Sakralisasi Ideologi Memakan Korban:

Tuesday, 1 December 2009

Sakralisasi Ideologi Memakan Korban:
Kuasa dan Ritus Kekerasan Orde Baru di Balik Tragedi Tanjung Priok 1984

Wahyudi Akmaliah Muhammad
Pengantar
“Pada tanggal 13 September 1984 kami mendengar apa yang dinamakan Peristiwa Kerusuhan di Tanjung Priok, yang terjadi pada malam hari, 12 September. Berita-berita tentang kejadian ini simpang-siur. Dari mengenai orang -orang Islam yang dikatakan menginginkan adanya negara Islam, sampai pada oknum Babinsa masuk ke mushola As-sa’adah tanpa terlebih dahulu melepas sepatu. Koran-koran tidak banyak bercerita tentangnya. Tetapi peristiwa ini menjadi pembicaraan umum di mana-mana”.[1]



Ungkapan kalimat yang ditulis oleh Ruth Havelaar di atas, menunjukkan dua hal yang perlu dicermati. Pertama, bahwa tragedi Priok bukanlah sekedar peristiwa biasa, melainkan tragedi berdarah yang pernah terjadi di Ibu kota Jakarta. Ini terlihat dengan bagaimana tragedi Priok dibicarakan pada tingkatan publik yang bersifat personal di era Orde Baru. Maksudnya, semua orang mengetahui tentang tragedi Priok, tetapi pengetahuan itu hanya disimpan untuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, tragedi Priok telah menjadi rahasia umum dan ingatan publik, yang siapa pun orang mengetahuinya. Kedua, meskipun tragedi Priok menjadi rahasia umum bagi publik Jakarta, tetapi mengapa hanya sedikit orang yang berani mempertanyakan apa yang terjadi pada malam 12 September 1984? Bahkan media massa pun, pasca tragedi Priok, hanya beberapa gelintir saja yang membicarakan mengenai tragedi Priok itu.
Bertolak dari argumentasi di atas, tulisan ini ingin menarasikan munculnya tragedi Priok secara lebih rinci, dan apa yang menyebabkan munculnya tragedi Priok pada 12 September 1984? Serta bagaimana cara dan mekanisme pemerintah Orde Baru dalam meredam tragedi Priok sehingga tidak menjadi ingatan publik?.
Di sini, saya akan memaparkan proses munculnya tragedi Priok dalam dua narasi, yaitu narasi besar dan narasi kecil (bersifat lokal). Narasi besar adalah asumsi di balik pemberlakuan asas tunggal Pancasila yang coba diterapkan oleh pemerintah Orde Baru. Pemberlakuan asas tunggal ideologi Pancasila ini yang kemudian memunculkan reaksi protes dan kritik keras dari pelbagai elemen organisasi sosial-keagamaan dan juga partai politik pada tingkatan nasional.
Sedangkan pada narasi kecil adalah di tingkatan lokal, yaitu munculnya pelbagai kritik “keras” oleh masyarakat muslim Tanjung Priok atas kebijakan pemerintah melalui medium pengajian-pengajian akbar. Puncak pengajian akbar di daerah Tanjung Priok ini adalah pada 12 September 1984 yang dilakukan di Jalan Sindang. Tujuan pengajian akbar pada 12 September 1984 itu, selain mengkritik kebijakan pemerintah, juga menuntut pembebasan empat warga muslim Koja yang ditahan oleh aparat militer dalam insiden yang terjadi pada 8 September 1984. Selain itu, saya juga menelisik lebih jauh reproduksi wacana yang berupa stigma pasca tragedi Priok, yang kerap digunakan Orde Baru untuk membungkam kalangan korban yang pernah didehumanisasikan.
Ideologisasi Pancasila a la Orde Baru
“Orang yang tidak bisa mengambil pelajaran sebuah peristiwa masa lalu adalah orang yang tidak pernah belajar dari sejarah”. Adagium ini sekiranya digunakan oleh Orde Baru dalam menjalankan roda sistem pemerintahannya, belajar kepada masa lalu dari Orde Lama. Sebagaiman diketahui, pasca revolusi kemerdekaan Indonesia di bawah pemerintahan Orde Lama, negara Indonesia menggunakan dua sistem pemerintahan, yaitu demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.
Sistem demokrasi parlementer mensyaratkan besarnya peranan partai politik atau golongan dalam kehidupan politik nasional. Pada praktiknya, situasi politik yang berkembang di dalam model ini ternyata lebih banyak diwarnai oleh konflik-konflik politik dan kepentingan ideologis antara kelompok nasionalis dan Islam, yang kemudian berdampak timbulnya pemberontakan dan separatisme di beberapa daerah.[2] Model ini kemudian menghasilkan instabilitas politik yang berupa jatuh bangunnya kabinet.[3]
Memang, dalam format demokrasi parlementer, masing-masing kelompok di dalam masyarakat relatif memiliki kebebasan untuk dapat mengekspresikan ideologi politiknya. Sayangnya, kebebasan tersebut cenderung terdistorsi sehingga mengarah kepada antogonisme politik yang mengancam integrasi bangsa. Konsensus yang semestinya menjadi bagian integral dari penyelesaian konflik, justru memperparah situasi konflik di dalam masyarakat. Di tambah pula dengan belum kokohnya basis struktur pemerintahan Indonesia dalam mengelola negara yang baru.
Keadaan ini yang kemudian memaksa presiden Soekarno untuk melakukan tindakan “penyelamatan” agar persoalan tersebut tidak berlarut-larut, sehingga akan menjadi duri dalam daging dalam perjalanan pemerintahan Indonesia ke depan. Dengan didasarkan oleh keadaan itu, pada 14 Maret 1957, bersamaan dengan penyerahan mandat Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo, Presiden Soekarno mengumumkan diberlakukannya “Peraturan Negara dalam Bahaya dan Perang” atau yang terkenal dengan SOB (Regeling op den Staat van Oorlog en Beleg). Pada momen ini, tepatnya 1 Oktober 1956 dalam peringatan Sumpah Pemuda, presiden Soekarno menawarkan gagasan mengenai demokrasi terpimpin yang lebih cocok bagi Indonesia. Selepas dari pengumuman SOB, Soekarno pun langsung menunjuk dirinya sebagai ketua formatur kabinet.[4]
Kebijakan Soekarno mendapatkan pertentangan keras dari partai Masyumi. Alasannya, selain pengangkatan presiden sebagai ketua formatur menyalahi aturan, juga pemberlakukan keadaan darurat perang itu sebagai suatu hal yang tidak perlu dilakukan. Sebab negara belum dalam keadaan tahap yang membahayakan. Namun kritik-kritik ini tidak pernah digubris oleh Soekarno. Menyusul macetnya pembicaraan di dalam Majelis konstituante, maka pada 5 Juni 1959, Presiden Soekarno dengan didukung penuh oleh militer mengeluarkan dektrit yang berisi pemberlakukan kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Dektrit tersebut secara formal mengakhiri sistem demokrasi parlementer, dan mengawali lahirnya suatu sistem politik yang baru oleh Soekarno, yang disebut dengan Demokrasi Terpimpin.[5]
Di bawah sistem demokrasi terpimpin ini Soekarno menjadi sentrum otoritas pelbagai kebijakan yang diterapkan, baik kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Demokrasi terpimpin ini memang hanya berjalan 6 tahun (1959-1965), tetapi efek pemusatan kekuasaan di satu tangan ini menyebabkan melemahnya posisi Islam politik. Hal ini yang kemudian menggerakan Masyumi untuk terus melakukan tindakan konfrontatif terhadap kekuasaan dan kebijakan pemerintah. Ini dilakukan Masyumi dengan melakukan kritik terus-menerus terhadap pemerintah. Sikap oposisi ini membuat presiden Soekarno “gerah” dan menganggap Masyumi sebagai pengganjal revolusi. Puncak konfrontatif yang dilakukan oleh Masyumi ini berujung pada pembubaran organisasi Islam tersebut.
Alasan dibubarkannya Masyumi adalah karena para pemimpin Masyumi dianggap sebagai orang yang ikut berperan dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Alasan yang digunakan oleh pemerintah sebenarnya tidaklah begitu kuat. Ini karena tidak adanya keterlibatan Masyumi secara organisasional di dalam PRRI, yang terlibat hanya personal tokoh-tokoh Masyumi saja, seperti Natsir, Syafruddin Prawinonegoro, dan Burhanuddin Harahap. Namun demikian, momen pemberontakan yang dilakukan PRRI/Permesta, adalah dalih yang tepat bagi pemerintah untuk membubarkan organisasi Islam yang selama ini menjadi batu sandungan presiden Soekarno.[6]
Di dalam format yang baru ini, proses dan keputusan politik tidak lagi berlangsung di parlemen, yang memang sedang mengalami kemerosotan, akan tetapi ditentukan oleh tiga kekuatan poitik utama, yakni Soekarno, ABRI, dan PKI. Posisi Soekarno seiring menjadi penyeimbang dari persaingan antara ABRI dan PKI, dan antara PKI dengan kelompok Islam. Sistem ini akhirnya menciptakan instabilitas politik juga. Dominasi Soekarno di dalam proses politik tanpa mengindahkan kekuasaan yang lain cenderung mengarahkan demokrasi terpimpin kepada praktik-praktik otoritarianisme. Di sisi lain, intensitas keterlibatan Soekarno yang begitu besar dalam mengatur kehidupan politik mengakibatkan terbengkalainya pembangunan di sektor ekonomi. Titik klimaks dari pertikaian politik dan degradasi sosial eknomi tersebut adalah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September yang “dikaitkan” dengan PKI sebagai dalang di balik itu. Gerakan ini menjadi penanda berakhirnya pemerintahan Soekarno.
Narasi di atas menjadi cermin bagi Soeharto dalam membangun sistem pemerintahannya, dengan mewaspadai Islam politik[7] sebagai kekuatan potensial. Islam politik ini, suatu saat akan dapat merusak hasrat libido kekuasaan Soeharto dalam mengukuhkan dominasinya di pemerintahan yang baru. Pengontrolan dan bahkan upaya pelenyapan terhadap Islam politik menjadi agenda Orde Baru yang tidak bisa ditawar. Tentu saja, hal itu dilakukan setelah Soeharto menghabisi lawan politiknya, yaitu PKI dan pelbagai elemen yang memiliki kecenderungan afiliasi dan sevisi dengannya.
Meski tidak dapat dipungkiri, proses naiknya Orde Baru ke kancah kekuasaan negara Indonesia membutuhkan pijakan dan legitimasi kekuatan Islam Politik (NU) dalam menumpas PKI. Itu dilakukan untuk tujuan pragmatis, yaitu melicinkan konsolidasi awal yang sedang dibangun Orde Baru. Namun setelah struktur politik dan ekonomi yang dibangun oleh Orde Baru relatif mapan, secara bertahap mulai disingkirkanlah Islam politik, yang suatu saat akan menjadi bantu sandungan bagi pemerintah Orde Baru. Sebagaimana yang pernah dialami oleh Orde Lama, yang memberikan Islam politik ruang untuk mengaktualisasikan ideologinya.
Sebab itu stigma dan kecurigaan terhadap Islam politik menjadi tidak pernah luntur dalam benak rejim Orde Baru. Salah satu bentuk pengontrolan yang dilakukan oleh rejim Orde Baru adalah dengan melakukan monitoring setiap langkah dan perilaku politik dari kalangan elit Islam, khususnya adalah “kelompok modernis”. Ini terlihat dengan pelarangan rejim Orde Baru kepada para pemimpin Islam yang berencana merehabilitasi kekuatan Masyumi setelah dibubarkan oleh rejim Orde Lama.[8]
Dengan demikian ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh rejim Orde Baru yang “diwariskan” Orde Lama, yaitu (1) krisis politik, yang ditandai dengan munculnya instabilitas politik dan pertarungan antar kekuatan politik yang mengakibatkan fragmentasi kepentingan yang cukup tajam pada jaman Orde Lama. Hal ini berakibat pada (2) ketidakstabilan ekonomi yang berujung pada merosotnya perekonomian Indonesia yang ditandai dengan melajunya inflasi hingga membumbung tinggi sekitar 650%. Yang tidak kalah penting juga adalah (3)mewaspadai perlawanan atas bahaya gerakan kanan (Islam) dan gerakan kiri (komunisme).[9]
Usaha pertama yang dilakukan oleh rejim Orde Baru adalah dengan memfokuskan sistem pemerintahannya pada sektor pembangunan ekonomi. Untuk membangun sektor pembangunan ekonomi yang kuat, ternyata tidak hanya dibutuhkan tim ekonomi yang handal melainkan mensyaratkan kehidupan politik yang stabil. Di sini, Orde Baru sangat percaya kepada pendekatan keamanan sebagai keniscayaan solusi untuk menstabilkan politik. Dalam menguatkan hal tersebut Orde Baru lalu melakukan konsolidasi untuk menguatkan basis struktur politiknya, yaitu memaksimalisasi peran ABRI, dengan menempatkannya dalam jabatan strategis di struktur pemerintahan. Hal inilah yang terkenal dengan sebutan dwi fungsi ABRI.[10]
Dalam maksimalisasi peran ABRI di sistem pemerintahan Indonesia lewat dwifungsi ini isu ideologi Pancasila sebagai asas tunggal pun mulai digulirkan. Tepatnya pada seminar kedua tahun 1966 di Bandung, yang diselenggarakan oleh ABRI. Poin utama dalam seminar itu adalah pengusulan pembuatan undang-undang tentang partai, organisasi sosial-keagamaan dan administrasi pemerintah, dan menjadikan Pancasila sebagai asas ideologi.[11]
Sementara itu, di sisi lain pemerintah Orde Baru juga mulai membesarkan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sebagai kendaraan politiknya untuk memenangkan pemilu.[12] Upaya membesarkan Sekber Golkar ini juga dibarengi dengan usaha-usaha pemerintah Orde Baru mengebiri artikulasi keberadaan partai Politik yang ada.[13] Akhirnya Partai Golkar menang mutlak pada pemilu 1971. Kemenangan ini juga menandakan dibukanya babak baru sistem kepartaian yang hegemonik, yaitu kebijakan penyederhanaan partai politik menjadi tiga partai: PPP, Golkar, dan PDI. Selama 32 tahun di bawah presiden Soeharto, Golkar menjadi kekuatan regulator politik tunggal tanpa pesaing untuk mengukuhkan kekuasaan politik dan dominasi ekonominya di pelbagai lini.
Setelah Orde Baru merasa cukup kuat dan memiliki basis struktur pemerintahan yang kokoh, kemudian secara berlahan-lahan Orde Baru mencoba memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal yang mesti diterapkan oleh pelbagai elemen masyarakat, dari partai politik hingga organisasi sosial-keagamaan. Usaha Orde Baru ini mendapatkan pertentangan dari pelbagai elemen masyarakat, sehingga realisasi asas tunggal Orde Baru sempat mengalami beberapa kali kegagalan akibat penolakan keras sejumlah partai politik dan organisasi masyarakat, yaitu tahun 1975 dan 1978.[14]
Namun kegagalan itu tidak pernah menyurutkan niat pemerintah Orde Baru untuk bersikukuh menerapkan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya landasan hidup berbangsa, bernegara, dan beragama. Ini ditegaskan oleh presiden Soeharto dalam pidatonya di Pekan Baru pada 27 Maret 1980. “Kita tidak bermaksud memusuhi Partai, golongan yang belum 100% percaya kepada Pancasila. Tidak! Akan tetapi kita wajib untuk membawanya sedemikian rupa sehingga benar-benar keseluruhan daripada kekuatan sosial-politik hanya berdasarkan ideologi nasional kita, Pancasila”.[15]
Hal ini kemudian ditegaskan lagi oleh presiden Soeharto dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, bahwa seluruh kekuatan sosial dan politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.[16] Penegasan ini makin membuktikan adanya proses ideologisasi Pancasila yang ditanamkan lakukan Orde Baru. Tak ayal, upaya pemberlakukan ideologi Pancasila sebagai asas tunggal ini pun mendapatkan reaksi keras dari kelima perwakilan agama (Katholik, Prothestan, Hindu, Budha, dan Islam). Perwakilan lima agama ini mengeluarkan pernyataan sikap bersama pada 6 November 1982, bahwa mereka menyatakan penolakannya terhadap rencana pemberlakukan asas tunggal, dan mereka akan tetap mempertahankan asas agama yang dimiliki masing-masing. Namun bukan berarti mereka menafikan Pancasila kepada umatnya, melainkan menjadikan umatnya sebagai makhluk beragama sekaligus juga memiliki jiwa Pancasila.[17]
Melihat reaksi penolakan keras yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan itu, sempat membuat pemerintah mengalah, dan rencana penyatuan ideologis dengan Pancasila yang diajukan ke DPR itu akhirnya hanya ditujukan kepada partai-partai politik saja. Pada bulan Agustus 1983 presiden Soeharto menegaskan kembali untuk memberlakukan asas tunggal, dan meminta kepada seluruh organisasi sosial keagamaan agar menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas. Undang-undang keormasan pun dijadikan senjata oleh pemerintah sebagai syarat bagi keberlangsungan boleh tidaknya sebuah ormas menjalankan kegiatannya.
Rencana pemerintah untuk memberlakukan asas tunggal ini mendapatkan pertentangan keras dari pelbagai ormas, khususnya adalah kalangan Islam. Adalah Islam modernis radikal, Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DII), salah satu ormas Islam yang paling keras menentang pemberlakukan asas tunggal tersebut. Sebagaimana diungkap oleh pemimpin elitnya M. Natsir, melalui pamlet yang diterbitkannya. “Biarkan asas ini menduduki tempat yang sudah dimilikinya selama ini. Ia tidak mengganggu malah membantu. Ia bukan lawan. Ia kawan. Buat apa diganggu! Memang ia mudah saja di buldozerkan dengan suara terbanyak di DPR, umpanya. Hanya kalau cerita-ceritanya tak akan hingga ke sana saja. Contoh-contoh sejarah sudah cukup banyak. Akibatnya berat!!”.[18]
Reaksi protes dari kalangan ormas muslim mengenai asas tunggal makin bergaung dengan keras sejak Juni 1984, khususnya di daerah Ibu kota Jakarta dengan pelbagai khutbah yang disampaikan di mesjid-mesjid. Adalah Abdul Qodir Djaelani, salah seorang muslim oposan yang terkenal keras sikapnya dengan tajam mengkritik asas tunggal yang ingin diterapkan pemerintah. Asumsi yang dibangun oleh Abdul Qodir Djaelani adalah bahwa partai-partai politik yang ada sebenarnya hanya seperti satu partai, bukan tiga partai, dan ini dikendalikan oleh ABRI. Kemudian Abdul Qodir juga menggambarkan krisis moral dan politik Orde Baru dan menyimpulkan bahwa pembangunan ekonomi yang dilakukannya selama ini telah gagal total sehingga Indonesia, ia memprediksi, akan mengalami masa depan yang suram.
Puncak dari pertentangan antara pemerintah dan Islam politik serta masyarakat muslim mengenai penerapan asas tunggal adalah meletusnya tragedi Priok yang menewaskan 300 lebih masyarakat muslim yang melakukan demonstrasi besar-besaran di Tanjung Priok, Jakarta Utara pada 12 September 1984. Mereka berdemonstrasi untuk meminta pembebasan empat aktivis mesjid Ash-Sa’adah yang ditahan di Kodim 0502. Peristiwa tragedi Priok berdarah ini diawali oleh insiden kecil, di mana tentara dikabarkan mengotori kesucian mesjid As-Sa’adah dengan memasukinya tanpa ia mencopot sandal dan kemudian menyiram dinding mesjid Ash-Sa’adah tersebut dengan air comberan serta melakukan penangkapan dengan sewenang-wenang empat aktivis muslim.[19]
Penyikapan melalui ritus kekerasan yang dipraktekan oleh Orde Baru, salah satunya adalah tragedi Priok, ternyata sangat efektif untuk meredakan pelbagai elemen masyarakat yang mencoba melawan kebijakan yang selama ini diterapkan. Hasilnya yaitu dengan disahkannya UU no.8/1985 tentang Ormas dan diikuti dengan PP no. 18/1986, yang menyatakan bahwa semua organisasi sosial, agama, dan politik harus menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologi dan filosofis. Bagi organisasi yang menolak memasukkan Pancasila dalam AD/ART atau piagam akan dilarang oleh pemerintah.[20]
Pengesahan Undang-undang ormas di atas menjadi bukti mengenai kekuatan represi Orde Baru dalam menerapkan asas tunggal Pancasila, yaitu sebagai alat hegemoni untuk melanggengkan kekuasan politik dan libido ekonomi pembangunannya yang terus dilakukan. Undang-undang ormas yang memaksa digunakannya ideologi Pancasila sebagai dasar ideologi ini yang kemudian terpaksa diterima oleh pelbagai kalangan ormas agama dan sosial-kemasyarakatan. Ritus kekerasan ini yang kemudian dilakukan oleh rejim Orde Baru untuk membenamkan setiap gerakan yang sekiranya dianggap mengganggu stabilitas politik dan ekonomi yang dijalankannya. Kekerasan, dengan demikian, adalah potret wajah Orde Baru sesungguhnya dalam membangun Indonesia
Rekonstruksi Kronik Ingatan Tragedi Priok 1984
Berbicara mengenai peristiwa 12 September 1984, tentu tidak bisa dilepaskan dari konteks politik nasional pada masa itu. Di mana Orde Baru ingin menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi pelbagai elemen organisasi masyarakat. Dari partai politik hingga organisasi sosial kemasyarakatan dan keagamaan. Ini dilakukan pemerintah Orde Baru, setelah ia merasa cukup kuat, baik secara struktur pemerintahan maupun komponen politik yang dibangunnya. Bentuk-bentuk resistensi dan kritik komunitas muslim di Tanjung Priok terhadap konsep asas tunggal Pancasila tentu berkaitan dengan dinamika harian mereka, yaitu melalui ceramah yang dilakukan dalam pengajian tabligh akbar.
Jauh sebelum peristiwa tanggal 12 September, Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat Tanjung Priok, telah mengkoordinir pengajian-pengajian yang dilakukan oleh para remaja di Tanjung Priok. Bahkan sekitar tiga bulan sebelum peristiwa, setiap satu minggu diadakan dua kali pengajian yang bersifat tabligh akbar. Materi ceramah biasanya berkisar tentang maraknya praktek korupsi yang dilakukan oleh aparatur pemerintah, penolakan terhadap program Keluarga Berencana (KB), penolakan terhadap larangan penggunaan jilbab bagi siswi SLTA, hingga kritik keras terhadap rencana pemerintah untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal bagi partai politik dan organisasi massa (ormas).
Kritik yang diajukan oleh warga Tanjung Priok kepada pemerintah, selain melalui pengajian-pengajian semacam tablig akbar, juga dengan menuliskan melalui media, salah satunya adalah pamlet.[21] Kritik melalui pamlet ini tidak hanya ditempelkan di tempat-tempat umum, tetapi juga pelbagai mesjid dan mushola. Salah satu mushola yang ditempeli itu adalah mushola As-sa’adah yang berada di wilayah Koja. Pamlet itu dipasang pada dinding dan pagar mushola Assa’adah. Kritik dan protes lewat pamlet terhadap pemerintah ini diendus oleh aparat keamanan setempat, yang kemudian memicu reaksi mereka untuk bertindak. Tanggal 7 September 1984 menjelang Ashar, Ahmad Sahi, pengurus Mushola Assa’adah, didatangi oleh keamanan Gang IV Koja, yang bernama Arsamin. Ahmad Sahi oleh Arsamin dipertemukan dengan Babinsa Koja Satu (Sertu) Hermanu. Dalam perbincangan itu, Hermanu meminta kepada Ahmad Sahi agar mencopot seluruh pamlet yang terpampang di tembok dan pagar Mushola Assa’adah. Akhirnya, pamlet-pamlet itu pun dibersihkan oleh pemuda-pemuda Mushola Assa’adah.[22]
Betapa marahnya Sertu Hermanu, saat ia kembali ke mushola Assa’adah keesokan harinya, 8 September 1984, ia mendapatkan sisa-sisa pamlet yang masih terpasang di dinding mushola Assa’adah tersebut. Sambil mengacung-acungkan pistol kepada salah satu warga yang berada di sekitar mushola Assa’dah, ia lalu masuk ke dalam mushola hingga sampai podium, yang biasa digunakan oleh para penceramah, tanpa melepas alas kaki (sepatu lars) terlebih dahulu, untuk mencari pamlet yang masih tersisa. Ia lalu mencabut pamlet yang berada di dinding mushola Assa’adah dengan air got (air kotor yang berada di saluran-saluran selokan).[23]
Peristiwa ini dengan cepat menyebar ke wilayah Tanjung Priok yang lain. Banyak di antara masyarakat muslim Tanjung Priok, yang mendengar peristiwa tersebut menjadi naik pitam. Mereka tidak terima jika di tempat suci, semacam mushola, yang selama ini begitu dimuliakan dan dihormati itu dilecehkan dan diinjak-injak. Bagi umat Islam, menghina tempat ibadah, berarti telah menghina Allah. Menghina Allah dengan menodai mushola dengan air comberan dan masuk tanpa melepas alas kaki, berarti telah melukai keislaman dan menginjak-injak keimanan mereka. Begitu kuatnya simbolisasi ruang ibadah dengan keimanan umat muslim Tanjung Priok, sehingga membuat mereka (umat muslim) bergerak untuk melakukan sesuatu.
Akhirnya, warga muslim Tanjung Priok yang tidak menerima dengan sikap yang dilakukan oleh Sertu Hermanu berkumpul pada hari senin, 10 September 1984 di mesjid Baitul Makmur Koja. Mereka berkumpul untuk membicarakan perihal yang dilakukan oleh Sertu Hermanu. Dalam pembicaraan itu, disepakati bahwa Sertu Hermanu harus meminta maaf kepada pengurus mesjid dan umat Islam seluruhnya atas apa yang dilakukannya. Suasana di daerah Koja saat itu cukup panas dan mulai tidak kondusif. Ihwal ini yang membuat Ahmad Sahi dan Syaefuddin Rambe berinisiatif untuk menemui Sertu Hermanu terlebih dahulu agar dapat menyelesaikan persoalan tersebut secara damai. Mereka (Sertu Hermanu, Ahmad Sahi, dan Syaefuddin Rambe) lalu bertemu di dekat Musholla Assa’adah. Di pos RW 05 Kelurahan Koja Selatan yang terletak di Gang IV. Mereka bernegosiasi untuk membahas persoalan insiden di Mushola Assa’adah.
Syarifuddin Rambe pun meminta kepada Sertu Hermanu memohon maaf kepada umat Islam atas perbuatan yang dilakukannya di musholah Assa’adah. Penuntutan maaf yang diminta Syaefuddin Rambe ini adalah untuk meminimalisir konflik dan kemarahan masyarakat Tanjung Priok yang lebih besar. Sehingga insiden yang terjadi pada 7 September 1984 itu bisa diselesaikan hari itu juga. Sayangnya, permohonan maaf yang dipinta Syaefuddin Rambe tidak digubris oleh Sertu Hermanu. Bahkan dengan wajah penuh amarah ia malah bersuara dengan lantang “Tidak bisa!, sebab saya ini Petugas”. Sertu Hermanu kemudian merogoh kakinya, seolah ingin mengambil pistol. Sikap itu dicegah oleh Syafwan, dan meminta kepadanya agar menyelesaikan persoalan itu secara damai.[24]
Saat mereka sedang bernegosiasi, tiba-tiba muncul suara gaduh dari luar. Ternyata warga sudah berkumpul di pos Rw 05. Situasi pun kembali memanas. Dengan perasaan penuh emosi dan amarah, warga meminta kepada penghuni yang berada di dalam pos Rw 05 tersebut, agar mendesak Sertu Hermanu keluar untuk diadili. Pintu pos Rw 05 pun digedor-gedor warga yang berubah menjadi sekumpulan massa. Ada beberapa warga yang berteriak memaki Sertu Hermanu sebagai orang yang menginjak-injak agama Islam, “Babinsa kafir, keluarkan saja!”.[25]
Situasi yang tak terkendali dan kaotik itu, membuat warga Tanjung Priok lebur menjadi arus massa, sehingga mereka tidak memiliki otonomitas diri sebagai individu. Tiba-tiba, di antara massa tersebut ada yang berteriak “motornya di sana!”, sambil ia menunjukkan jari telunjuknya ke arah tempat di mana motor Sertu Hermanu di parkir. Sebagian massa lalu menuju motor Sertu Hermanu tersebut. Tanpa berpikir panjang, massa lalu membakar motor Sertu Hermanu. Pembakaran motor ini adalah sebagai bentuk representasi kemarahan massa kepada Sertu Hermanu karena ia tidak mau keluar dari pos Rw 05.
Sertu Hermanu, mendengar motornya dibakar, emosinya pun memuncak. Diiringi rasa amarah dan panik, ia mengeluarkan pistol yang diselipkan di kakinya. Syaefuddin Rambe mengingatkan kembali Sertu Hermanu agar tidak menggunakan pistolnya. Syaefuddin Rambe juga meyakinkannya, bahwa ia akan tetap aman dari amukan massa warga Priok yang berada di luar pos Rw 05 tersebut. Pertemuan ini pun dibubarkan, mengingat suasana yang sudah tidak kondusif. Pembicaraan dan negosiasi yang dilakukan ini memang belum selesai, karena itu akan dibicarakan lagi sore harinya dengan melibatkan pamong desa.[26]
Belum lagi mereka keluar dari pos Rw 05, tiba-tiba datang aparat keamanan dari Kodim menangkap Syarifuddin Rambe dan Sofywan bin Sulaeman. Menyusul kemudian Muhammad Nor dan Ahmad Sahi. Jika Syarifuddin Rambe dan Syofwan Sulaeman ditangkap karena keterkaitannya dengan dialog di pos RW 05, sedangkan Muhamad Nor ditangkap dengan tuduhan sebagai pemrakarsa pembakaran sepeda motor milik babinsa, karena pada saat itu ia berada di dekat sepeda motor milik Sertu Hermanu yang dibakar oleh massa. Saat ditangkap, Muhamad Nor baru saja menamatkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas. Sedangkan Ahmad Sahi ditangkap dalam kapasitasnya sebagai pengurus Mushollah Assa’adah yang juga dituduh menggerakkan massa untuk mengeroyok dan membakar sepeda motor Sertu Hermanu.[27]
Peristiwa tertangkapnya empat orang warga Koja ini menjadi titik kulminasi memanasnya masyarakat muslim Priok. Di mana sebelumnya, masyarakat Priok sudah emosi akibat insiden yang dilakukan Sertu Hermanu di Mushola Ash-Saa’adah. Informasi mengenai tertangkapnya empat orang warga Koja pun tersebar hampir di seluruh wilayah Jakarta. Insiden ini menjadi pembicaraan di mana-mana. Beberapa warga Tanjung Priok lalu melapor kepada Amir Biki, salah satu tokoh masyarakat Tanjung Priok yang dihormati, perihal insiden penangkapan empat orang warga Koja. Amir Biki pun pergi mendatangi markas Kodim 0502 untuk meminta pembebasan empat warga Koja yang ditahan itu dengan baik-baik. Sayangnya, permintaan itu pun ditolak. Penolakan ini yang kemudian menggerakan Amir Biki dan beberapa pemuda muslim Tanjung Priok untuk melakukan sesuatu.[28]
Siang hari, 12 September 1984, kira-kira jam 13.00, Amir Biki dan beberapa pemuda yang terlibat dalam kepanitiaan, mempersiapkan tempat dan pelbagai peralatan untuk menyelenggarakan tabligh akbar. Dari persiapan pembuatan podium hingga pemasangan pengeras suara. Tablig akbar yang sudah diumumkan sehari sebelumnya ini akan diadakan malam hari, tepatnya di Jalan Sindang. Tujuan pengajian akbar ini adalah bentuk representasi protes kepada markas Kodim 0502 untuk membebaskan empat warga Koja yang ditahan.
Malam hari, pukul 20.30 acara tabligh akbar pun dibuka oleh pembawa acara. Amir Biki menjadi pembicara pertama dan sekaligus menjadi pembuka tabligh akbar. Sebagai pembicara pertama, ia tidak memberikan ceramah agama, melainkan sekedar berorasi yang berisi pernyataan sikap kepada pemerintah atas kebijakan yang tidak mengindahkan hak-hak masyarakat muslim, khususnya warga muslim Tanjung Priok. Amir Biki juga menyatakan penolakannya terhadap Undang-undang Tentang Organisasi Massa, Organisasi politik yang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya azas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara hingga pelaksanaan Keluarga Berencana. Selain itu, tentu saja, ia juga menuntut kepada petugas Kodim agar membebaskan empat orang warga Priok yang ditahan. “Jika tidak dibebaskan, maka akan terjadi banjir darah!”, ujar Amir Biki sambil mengancam dengan memberikan batas waktu hingga sampai jam 23.00 malam dalam orasinya.[29]
Setelah Amir Biki, Salim Kadar Kadar naik ke atas Podium. Disusul kemudian oleh mubaligh M. Nasir, yang isi ceramahnya banyak menyinggung tentang kebijakan pemerintah, Program Keluarga Berencana dan kemudahan-kemudahan akses ekonomi bagi etnis Tionghoa. Penceramah berikutnya adalah Syarifin Maloko. Malam itu, Syarifin Maloko tidak memberikan ceramah. Ia hanya menyampaikan salam kepada para jemaah. Itu pun setelah dipaksa oleh Amir Biki. Dalam tabligh akbar, peran Syarifin Maloko digantikan oleh Ratono, seorang mubalig muda. Mubalig yang berikutnya tampil ke podium adalah Yayan Hendrayana. Dalam ceramahnya, Yayan Hendrayana lebih banyak membicarakan sosok Jenderal L.B. Moerdani, dan mencercanya sebagai orang kafir. Disusul kemudian Ratono yang menyinggung tentang pembebasan empat orang warga Tanjung Priok yang ditahan oleh pihak Kodim Jakarta Utara.[30]
Pukul 22.30 para mubaligh telah selesai berceramah. Lalu Amir Biki kembali naik ke podium. Ia memperingati Kodim 0502 agar segera membebaskan empat orang yang ditahan. Jika tidak, maka akan terjadi banjir darah. Amir Biki memberikan batas waktu kepada Kodim 0502 sampai jam 23.00 malam. Karena, mereka merasa tidak ada tanggapan apa-apa dari orasi sikap yang disampaikan melalui tabligh akbar, saat itu juga Amir Biki mengajak kepada massa jamaah tabligh akbar agar beramai-ramai mendatangi Kodim 0502 Jakarta Utara untuk menuntut pembebasan empat orang yang ditahan.
Massa kemudian dibagi dua kelompok oleh Amir Biki. Kelompok pertama ke arah Markas Kodim 0502, yang dipimpin langsung oleh Amir Biki. Sedangkan kelompok yang kedua dipimpin oleh M. Nasir, dengan tujuan ke arah pertokoan Cina di daerah Koja. Oleh Amir Biki para mubaligh tidak diperbolehkan ikut dalam rombongan. Hingga pukul 23.00, keempat warga yang ditahan belum juga dibebaskan. Perihal ini menambah daya semangat massa untuk bergerak maju ke arah Markas Kodim 0502.[31] Jamaah tabligh akbar yang bergerak menuju Kodim dihadang di depan Markas Polisi Resort (Mapolres) oleh satu regu Artileri Pertahanan Udara Sedang (Arhanudie). Yang saat itu dipimpin oleh Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto, Kepala seksi 2 Operasi Kodim 0502 daerah Jakarta Utara.
Di tengah lampu jalan yang redup dan dalam kondisi dan suasana yang memanas, massa jamaah tablig akbar saling berhadapan, kurang lebih 3-5 meter, dengan regu Artileri Pertahanan Udara Sedang, yang dipimpin oleh Sersan Dua Sutrisno Mancung di bawah Kapten Sriyanto, Kepala Seksi-2 Operasi Kodim 0502 Jakarta Utara. Tiba-tiba dari arah depan massa jamaah tabligh akbar keluarlah berondongan timah panas. Peristiwa penembakan ini merenggut korban yang tidak terbilang sedikit. Lima puluhan lebih di antaranya luka-luka dan hampir tiga ratusan lebih korban meninggal dunia.[32]
Sebagaimana diungkap oleh K.H. Abdul Qodir Djaelani. Menurut kesaksiannya, lebih dari dua truk besar mayat diangkut atau orang yang terkena tembakan disusun seperti karung goni. Sesudah truk itu berlalu, datang mobil ambulans dan pemadam kebakaran membersihkan dan menyiram darah di jalan raya dan sisinya hingga bersih.[33] Kesaksian KH. Abdul Qodir Djaelani ini serupa dengan yang diungkapkan oleh Yusron. Ia adalah orang yang menjadi saksi mata saat peristiwa pembantaian massal tragedi Priok berlangsung.
“Mereka yang meninggal tak hanya ditembak, tapi juga dilindas truk. Ketika massa sedang tiarap (menghindari tembakan), kemudian truk lewat, truk ABRI, dari arah utara ke arah selatan. Truk itu melindas massa yang sedang tiarap. Ada massa yang sudah kena tembak, yang lari dikejar, bahkan ada yang lari sampai ke lorong-lorong pun itu masih dikejar, ditembak dari atas truk...........saya dilempar ke atas truk ditumpuk bersama mayat-mayat. Di atas saya masih ada dua mayat lagi, di bawah saya ada dua lagi”.[34]
Sebagian besar korban, baik yang meninggal maupun yang luka-luka, langsung dibawa ke Rumah Sakit Angkatan Darat terlebih dahulu. Tidak ada seorang pun dari pihak keluarga diperbolehkan menjenguk korban yang sedang menjalani perawatan. Perihal ini menyebabkan kebingungan keluarga korban, apakah saudara, ayahnya, atau kakaknya sudah meninggal atau memang masih hidup.[35] Ada sebagian korban yang meninggal, dikuburkan secara massal di beberapa tempat penguburan umum. Bahkan ada juga korban-korban yang diangkut helikopter untuk di buang ke laut.[36]
Stigmatisasi: Dari Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) hingga Partai Komunis Indonesia
Pasca tragedi Priok, alih-alih menjadikan tragedi Priok itu sebagai konsumsi publik, yang bisa dibicarakan di mana pun dan kapan pun oleh masyarakat Tanjung Priok. Pembicaraan mengenai tragedi Priok dalam tingkatan personal antar tetangga pun akan berujung pada penangkapan. Karena itu, banyak dari masyarakat Tanjung Priok dan Jakarta tidak berani bersuara untuk menanyakan perihal anggota keluarganya yang hilang sejak malam 12 September 1984. Rumah Tahanan Militer di Cimanggis adalah situs ingatan yang menyimpan narasi orang-orang yang dibungkam dengan penangkapan selama beberapa minggu, karena mereka menanyakan perihal anggota keluarganya yang hilang
Saat itu, kalangan keluarga korban Priok hanya bisa “diam” dan “pasrah” atas apa yang telah menimpa sanak saudaranya. Namun bukan berarti sikap “diam” dan “pasrah” yang mereka lakukan adalah suatu sikap ke-total-an untuk tidak berbuat apa-apa. Kalangan korban Priok mengartikulasikan sikap “diam” dan “pasrah” mereka dengan melakukan ritual tahlilan Ritual tahlilan ini dilakukan, selain sebagai upaya melepaskan kepergian sanak-saudara yang tidak kembali pada malam 12 September 1984 dengan mereferensikan diri kepada Tuhan, juga sebagai celah untuk bersuara dalam lingkup lebih personal antar tetangga mereka, di tengah suasana politik kuasa negara yang mengkondisikan mereka untuk diam. Apa yang dilakukan oleh kalangan keluarga korban Priok adalah melakukan bentuk perlawanan bersuara dengan cara yang lain.
Kuatnya hegemoni negara juga berujung pada pendisiplinan media massa yang berkembang saat itu. Pasca tragedi Priok berlangsung tidak ada satu pun media massa yang berani untuk merepresentasikan mengenai tragedi Priok sesungguhnya. Tempo adalah salah satu contohnya. Dalam mendeskripsikan pemberitaan mengenai tragedi Priok, Tempo hanya menginformasikan berita dari satu sisi saja, yaitu perspektif pelaku. Dalam hal ini adalah L.B Moerdani dan Try Sutrisno. Meski diakui ada sisi lain yang coba dimunculkan oleh Tempo, yaitu pemberitaan mengenai asal muasal munculnya huru-hara yang dilakukan oleh sekelompok muslim Priok. Namun sedikitnya pemberitaan yang ditampilkan mengenai cikal bakal meletusnya tragedi Priok membuat berita yang dimunculkan oleh Tempo lebih cenderung menguatkan argumentasi massa jamaah tabligh akbar sebagai dalang di balik peristiwa 12 September 1984.[37]
Dengan demikian, ruang publik di bawah kekuasaan rejim Orde Baru alih-alih sebagai ruang negosiasi antar tanda, simbolik, bahasa, dan kontestasi wacana yang berkembang di masyarakat, ruang publik malah menjadi jejaring penebar kuasa dan doktrin kepada masyarakat melalui pelbagai bentuk pembungkaman dan pengontrolan, baik secara fisik maupun psikologis Salah satu upaya pembungkaman melalui psikologis adalah dengan menciptakan stigma kepada kalangan korban dan keluarga korba tragedi Priok.
Stigma ini yang masih direproduksi oleh masyarakat Jakarta saat ini dalam memandang kalangan korban dan keluarga korban Priok. Realisasi wacana stigma yang dipraktekkan masyarakat adalah memandang kalangan korban dan keluarga korban Priok sebagai liyan. Memandang kalangan korban dan keluarga korban Priok sebagai liyan, berarti adanya pengandaian ruang pemisah dan pembatas yang tegas antara “kami” dan “mereka”. Sikap dikotomik “kami” dan “mereka” berakibat pada pada penyingkiran kalangan korban Priok. Bentuk penyingkirannya itu adalah dengan dimatikannya citra diri korban dan keluarga korban.
Dari sini, kita bisa membaca bahwa korban, keluarga korban tragedi Priok, dan masyarakat Jakarta adalah bagian dari korban narasi besar yang diciptakan oleh negara untuk melanggengkan kekuasaannya melalui kekerasan dan stigma. Meski diakui, efek yang muncul kepermukaan itu berbeda. Di mana kalangan korban dan keluarga Priok menempati level terbawah yang harus menanggung derita kekejaman narasi besar negara tersebut. Lewat tragedi Priok dan stigmatisasi ini, jika dikalkulasikan, maka kalangan korban dan keluarga korban Priok mendapatkan tiga lapisan penindasan. Pertama, siksaan dan penjara yang harus mereka terima selama bertahun-tahun tanpa adanya proses pengadilan. Kedua, efek traumatis yang diakibatkan oleh tragedi Priok, pasca pembebasan kalangan korban Priok. Sedangkan yang ketiga, adalah stigmatisasi masyarakat yang disponsori oleh wacana resmi negara.
Adalah bapak Anshari, sebelum tragedi Priok berlangsung, ia sering diundang untuk mengisi pengajian majelis taklim dan mengajar baca alquran untuk ibu-ibu dan anak-anak. Dalam seminggu ia bisa mengisi 4-6 kali pengajian. Banyak dari orangtua yang juga menitipkan anak-anaknya kepada bapak Anshari untuk diajarkan membaca alquran. Meski menjadi ustadz di tingkatan kampung, banyak rejeki yang mengalir dari aktifitas yang dilakukan bapak Anshari ini. Terlebih lagi bila setiap hari jum’at, ia selalu diminta oleh masyarakat untuk mengisi ceramah di mesjid-mesjid.
Sejak ia ditangkap dan kemudian dibebaskan dari penjara, hanya beberapa majelis taklim yang meminta bapak Anshari untuk mengisi pengajian. Begitu pula dengan mengajarkan baca al-Quran, muridnya bapak Anshari kian hari kian menyusut. Perihal ini dikarenakan munculnya asumsi yang beredar di kalangan masyarakat mengenai masa lalu yang dimiliki bapak Anshari. Masyarakat merasa khawatir, jika bapak Anshari mengisi pengajian dan ceramah, akan mengajak mereka untuk melawan pemerintah, seperti yang dilakukan oleh Amir Biki.
Dulu sebelum saya kena peristiwa itu, saya ngajar di mana saya bebas. Ngajar majelis taklim ibu-ibu dan remaja. bahkan saya setiap jum’at ngisi khutbah jum’at bebas di mana aja. Semenjak peristiwa itu banyak mesjid-mesjid nolak saya. Banyak orang menganggap dan nuduh peristiwa Priok yang saya alami sejajar dengan PKI. Isi ceramah saya dianggap menghasut. Hingga sekarang omongan seperti itu masih ada, meski sampai sekarang sudah reformasi. Pernah saya mengisi pengajian remaja masih ada suara-suara masyarakat yang menyangka saya akan menghasut dan mengajarkan seperti Amir Biki.[38]
Dari ungkapan bapak Anshari menujukkan bagaimana masyarakat belum lepas dari bayang-bayang masa lalu. Reproduksi wacana Orde Baru selama bertahun-tahun telah tertanam dalam benak masyarakat. Ini diperlihatkan saat masyarakat melihat bapak Anshari. Mereka tidak melihat bapak Anshari sebagai sosok manusia seperti biasa, yang sama dengan mereka, yang juga memiliki masa lalu. Dengan reproduksi wacana stigma terhadap kalangan korban Priok, masyarakat tersebut mengidentifikasikan bapak Anshari bukan sebagai seorang penceramah atau ustadz yang memberikan khazanah kebaikkan seperti ustadz yang lainnya, melainkan mencoba mentotalisasikan definisi personal diri bapak Anshari ke dalam kumpulan massa yang melawan pemerintah pada 12 September 1984. Di sini masa lalu yang sudah sekian tahun lamanya di panggil kembali untuk dijadikan amunisi oleh masyarakat dalam mendeskriditkan bapak Anshari.
Sedangkan Ibu Yetti, yang kehilangan bapaknya saat tragedi Priok, terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga bersama ibunya untuk membiayai sekolah dan penghidupan adik-adiknya. Dengan berbekal ijazah SMU, ia kerapkali menyusuri jalanan dan mengetuk pintu dari kantor ke kantor instansi untuk melamar pekerjaan. Sesering ia melangkahkan kakinya untuk mendaftarkan diri melamar menjadi karyawan, seseiring itu pula sebuah instansi menolaknya. “Di setiap instansi sepertinya terdapat nama-nama korban dan keluarga korban Priok, sehingga setiap mereka (instansi) mengetahui nama saya, seketika itu pula pintu pekerjaan tertutup untuk saya” ungkap ibu Yetty.
Tetapi pernah juga beberapa kali nama ibu Yetty lolos dari sensor instansi sebagai kalangan korban Priok dan keluarga korban Priok yang perlu diwaspadai. Namun saat fase wawancara, dan kemudian pewawancara mengetahui ibu Yetty adalah keluarga korban Priok, seketika itu pula vonis tidak diterima sebagai karyawan akan ia dapatkan. Dari wacana yang muncul ketika itu, kalangan korban keluarga Priok distigmakan sebagai anak eks PKI dan GPK (Gerakan Pengacau Keamanan), yang keduanya adalah “musuh” negara. Karena itu, banyak dari instansi yang tidak mau menerima dan berurusan dengan anak-anak atau keluarga korban yang tersangkut dengan tragedi Priok. [39]
Apa yang dialami oleh Bapak Anshari dan Ibu Yetti adalah sekelumit cerita yang juga dialami oleh hampir seluruh anak dan keluarga korban Priok lainnya. Mereka, selain harus berjuang menghadapi ingatan kelam yang terus membayangi, juga harus berjuang bertahan hidup menanggung beban sebagai korban Priok yang distigmakan melawan negara. Stigmatisasi ini berujung pada ketidakberterterimaan masyarakat kepada kalangan korban dan keluarga korban Priok. Keadaan ini yang memaksa mereka hanya dapat berkecimpung di sektor informal dalam menghidupi diri dan keluarganya. Seperti tukang ojek, warung kelontongan, penjual pisang, dan lain sebagainya.
Mekanisme pembungkaman melalui stigma ini kerap dipraktekkan oleh rejim Orde Baru. untuk melumpuhkan kelompok-kelompok yang dianggap subversif dan kritis kepada pemerintah. Ini dilakukan untuk menancapkan kekuasaan dan melanggengkan hasrat libido kekuasaannya dengan membentuk ruang panoptikon kepada masyarakat dan kelompok-kelompok yang dianggap subversif itu.
Di sinilah efektifnya mesin yang bernama stigma. Stigma bukan hanya mencipta kata dan kemudian mengalamatkan kepada subyek yang tertuduh, melainkan juga mengosongkan pelbagai identitas yang terdapat dalam diri subyek dan menggantinya dengan sesuatu yang negatif. Sesuatu yang negatif ini mendeformasi diri sang subyek yang memiliki nama, etnis, agama, dan memiliki relasi sosial dengan yang lainnya, menjadi identitas yang tidak bertuan. Subyek ini yang kemudian dipersepsikan sebagai virus yang perlu dijauhi oleh masyarakat.
Stigma sendiri, ungkap Ervin Gofman, adalah atribut dan streotif yang dikenakan oleh seseorang untuk menandakan sesuatu. Penandaan ini yang membuat pikiran kita tereduksi saat melihat dan mendefinisikan orang tersebut.[40] Pengoperasian mesin yang bernama stigma ini seperti tongkat berujung tajam dan lancip, yang bisa menghujam dan melukai jiwa dan badan seseorang sekaligus.[41]
Stigmatisasi ini yang kerap dilakukan oleh sebagian masyarakat kita saat memandang kalangan korban dan anak-anak korban dari peristiwa 65. Kalangan korban peristiwa 65 selain di penjara selama puluhan tahun tanpa adanya proses pengadilan oleh rejim Orde Baru, juga harus menanggung stigma sebagai orang-orang atheis yang tidak percaya Tuhan dan dianggap telah melakukan kejahatan kemanusiaan yang lainnya. Sedangkan bagi anak-anak keluarga korban peristiwa 65, mereka harus menanggung beban pewarisan sejarah yang mereka sendiri seringkali tidak pernah mengetahuinya. Imbas dari beban pewarisan sejarah itu adalah dengan tidak diterimanya mereka sebagai bagian dari lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal.
Stigmatisasi melalui pelbagai pelabelan ini menciptakan ruang demarkasi dalam diri masyarakat dalam memandang kalangan korban kejahatan masa lalu. Oposisi antara “kami” dan “mereka” adalah pendefinisian identitas yang lazim dan berkembang di masyarakat Indonesia dalam memandang kalangan korban kejahatan masa lalu rejim Orde Baru. Sikap oposisi antara “kami” dan “mereka” ini membuat kalangan korban kejahatan kemanusiaan masa lalu menjadi objek yang diam dalam keterbungkamannya.
Kaitannya dengan kalangan korban dan keluarga korban Priok Meski mereka dibungkam, bukan berarti mereka tidak bersuara. Ke-diam-an mereka adalah suatu sikap bersuara dengan cara yang lain, yaitu dengan memelihara ingatan masa lalu. Pemeliharaan ingatan ini yang sewaktu-waktu akan keluar ke ruang publik di saat momen yang tepat. Bergulirnya reformasi pada Mei 1998 ini yang kemudian dijadikan pelatuk momen ingatan untuk membuka dan mengartikulasikan suara-suara kalangan korban dan keluarga korban Priok ke ruang publik. Artikulasi ingatan mereka adalah bentuk perlawanan dari ingatan resmi negara yang menganggap, sebagaimana pernah diungkap Try Sutrisno, bahwa kalangan korban Priok adalah pelaku yang melakukan huru-hara untuk mengganggu kesatuan Indonesia dan stablitas negara.
Penutup
Dalam penutup tulisan ini, saya tidak akan menyimpulkan narasi tulisan di atas, tetapi ingin mengutip ungkapan Goenawan Mohammad mengenai Ingatan. Ini sebagai peneguh dan sekaligus reflektif, betapa kekerasan tidak hanya menimbulkan luka bagi sang korban, melainkan torehan luka dan trauma yang mendalam. Goresan ini menjadi hantu yang terus membayangi sang korban. Sebab itu, jika tidak diselesaikan persoalan masa lalu ini, maka saya khawatir akan berwujud menjadi dendam,[42] dan ritus kekerasan akan melulu terulang kembali. Bukan oleh negara, tetapi oleh kita sebagai bagian dari generasi yang pernah dilahirkan oleh Orde Baru.
Tragedi Priok adalah salah satu ritus kekerasan yang pernah dilakukan oleh rejim Orde Baru melalui pemberlakukan asas tunggal Pancasila. Ini digunakan untuk menancapkan dan melanggengkan hasrat kekuasaan dan libido ekonominya yang terus membuas dan tak pernah terpuaskan
“Jauh di balik dendam dan perdamaian, terhantar ingatan. Seperti sebuah samudera. Di sana Tuan memilih mana lokan yang ingin Tuan takik dari dalam laut yang menyimpan masa lalu itu, dan mana yang ingin Tuan campakkan. Ingatan tidak pernah utuh. Masa silam tidak pernah satu. Ada kenangan yang memilih damai. Ada waktu lampau yang mendorong Tuan berseru: “Kami ingin menuntut balas”. Ada politik ingatan, ada politik melupakan. Keduanya menganggap bahwa sejarah adalah semacam fotokopi dari pengalaman yang telah tersimpan, bisakah?. Siapa pun yang pernah “menengok kembali” sebenarnya tak pernah sepenuhnya kembali”.[43]
Biodata penulis
Wahyudi Akmaliah Muhammad dilahirkan di Jakarta pada 16 Mei 1980. Saat ini masih tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanathadarma, Yogyakarta. Sedang menyelesaikan tesis “Islah: Politisasi Ingatan Tragedi Priok 1984”. Sebelum itu, ia pernah nyantri untuk memperdalam agama Islam selama enam tahun di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta (1994-1999), dan mengabdikan diri menjadi guru di almamaternya selama dua tahun (2004-2006). Ia menyelesaikan sarjana strata satu bidang Pendidikan Islam, fakultas Tarbiyah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta (1999-2004).
Daftar Pustaka
Abdul Azis, Politik Islam Politi: Pergulatan Ideologi PPP Menjadi Partai Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta: LKiS.
B.J Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1982.
Bahtiar Effendi, Islam dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Daniel Dhakidae, “Etika Sebagai Kewajiban Politik, Kekerasan, Negara Orde Baru” dalam Etika Politik Dalam Konteks Indonesia, (ed) Eddy Kristiyanto, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Dokumentasi Rekaman Persindangan Tanjung Priok, Jakarta, Elsham: Jakarta, 2003.
Erving Goffman, Stigma, notes on management of spoiled identity, New york: A Touchstone Book, 1986.
Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir 6, Jakarta: Grafiti, 2006
Harould Crouch, Militer/ABRI dan Politik, jakarta: Sinar Harapan, 1986.
Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003
Herbeth Feith, The Wilopo Cabinet, 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia, Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project, Monograph Series, 1958.
Ikrar Nusa Bakti, dkk, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, Soeharto Di balik Peristiwa 27 Juli?, Bandung: Mizan, 2001.
Majalah Tempo, 22 September 1984.
Ridwan Saidi, Dinamika Kepemimpinan Islam dalam Orde Baru, 1986.
Robert E. Elson, Suharto, Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005.
Ruth Havelaar, Selamat Tinggal Indonesia: Kisah Hidup Seorang Perempuan Belanda, Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002.
Suswanto, Masyumi dan PRRI: Analisis Keterlibatan Beberapa Tokoh Masyumi dalam Pemeruntahan Revolusioner Republik Indonesia, Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol Universitas Gadjah Mada, 1993.
Wawancara dengan bapak Anshari, tanggal 9 November 2006.
Wawancara dengan Ibu Yetti, tanggal 8 November 2006.
Wawancara dengan Irta, 6 November 2006.
Wawancara dengan Irta, 6 November 2006.
Wawancara dengan Yetty, 7 November 2006.
Widjiono Wasis, Kesaksian Peristiwa Tanjung Priok, Tragedi yang Tidak Perlu, Jakarta: Balai Pustaka, 2003.



[1] Ruth Havelaar, Selamat Tinggal Indonesia: Kisah Hidup Seorang Perempuan Belanda, Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2002, hal.92-93
[2] Munculnya pemberontakan di beberapa daerah pada masa itu, selain karena adanya konflik ideologi dan pelbagai kepentingan yang muncul antara kaum nasionalis dan Islam mengenai falsafah dasar negara juga karena masih rapuhnya struktur pemerintahan yang dibangun negara. Hal ini berakibat pada ketidakmampuan pemerintah untuk mengelola dan mengatur hubungan di antara pelbagai hubungan kelompok sosial-politik, yang mengakibatkan ketidakadilan dalam mendistribusikan sumber-sumber kekayaan secara merata. Di antara gerakan perlawanan terhadap pemerintah pusat itu adalah pemberontakan Darul Islam dan Tentara Nasional Islam (DI-TII), Perjuangan Semesta Alam (Permesta), Gerakan Tentara Islam Indonesia di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakar, Darul Islam di Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureueh. B.J Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, The Hague: Martinus Nijhoff, 1982, hal. 72
[3] Dalam perjalanan sistem demokrasi parlementer antara tahun 1950-1957 ini, tidak ada satu pun partai yang memperoleh dukungan mayoritas. Perihal ini mengakibatkan silih bergantinya kabinet sebagai bentukan dari koalisi partai-partai politik. Di mana hampir dari umur setiap kabinet itu kurang dari setahun. Di antara koalisi partai kabinet itu adalah Kabinet Hatta (1950), Natsir (1951-1952), Sukiman (1951-1952), Wilopo (1952-1953), Ali Sastromijoyo I (1953-1955), Kabinet Burhanuddin Haharap (1955-1956), dan Ali Sastromijoyo II (1956-1957). Herbeth Feith, The Wilopo Cabinet, 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia, Ithaca, NY: Cornell Modern Indonesia Project, Monograph Series, 1958, hal. 107-108
[4] Di pihak lain juga atas dasar legitimasi SOB, militer pun mulai meningkatkan posisinya sebagai kekuatan politik, yaitu dengan memberikan dukungan mengenai konsepsi gagasan Soekarno tentang pembentukan Dewan Nasional. Dalam pembentukan Dewan nasional tersebut, militer menempatkan anggotanya sebagai wakil dari golongan fungsional
[5] Setidaknya terdapat tiga implikasi politik yang cukup mendasar khususnya bagi Islam politik, terkait dengan dikeluarkannya dektrit tersebut. Pertama, mengenai Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila tidak mungkin diganti kecuali dengan melalui presedur pasal 37 UUD 1945. Dektrit tersebut akhirnya menghentikan segala perdebatan secara formalistik mengenai dasar negara yang menjadi persoalan sensitif hampir selama 20 tahun sejarah Republik Indonesia. Kedua, menyangkut keberadaaan Masyumi dan PSI sebagai partai politik yang paling gigih mengkritik diberlakukannya Demokrasi Terpimpin, yang membuat kedua partai tersebut dibubarkan. Ketiga, diberlakukan UUD 1945 secara implisit menghidupkan kembali persoalan status Piagam Jakarta. Soekarno ternyata telah mengantisipasi implikasi yang terakhir tersebut. Dinyatakannya bahwa Piagam Jakarta memiliki hubungan yang khas dengan UUD 1945; yakni sebagai bagian yang integral dengan UUD 1945. Pernyataan Bung Karno ini untuk sementara memuaskan kalangan Islam. Para pemimpin Islam memang tidak meminta penjelasan lebih jauh mengenai pernyataan Soekarno tentang bagian integral dari UUD 1945 tersebut. Lihat. Abdul Azis, Politik Islam Politi: Pergulatan Ideologi PPP Menjadi Partai Islam, hal. 49
[6] Suswanto, Masyumi dan PRRI: Analisis Keterlibatan Beberapa Tokoh Masyumi dalam Pemeruntahan Revolusioner Republik Indonesia, Skripsi, Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol Universitas Gadjah Mada, 1993, hal. 155
[7] Secara teoritis pengertian Islam Politik meliputi dimensi-dimensi ajaran Islam yang terkait dengan kegiatan politik (hubungan manusia dengan kekuasaan yang dilihami petunjuk Islam) yang telah bersinggungan dengan berbagai kepentingan manusia. Islam politik terkait dengan teori, praktik, landasan, nilai Islam dalam berpolitik. Kajian terhadap Islam politik merupakan upaya mempelajari perilaku politik seseorang, kelompok, atau umat Islam yang didorong kesadaran keagamaan yang tinggi. Istilah Islam Politik digunakan oleh banyak pihak, antara lain Andree Feillard, Bahtiar Effendy, M.Rusli Karim dalam pelbagai tulisan dan karya akademis mereka dalam mengamati gejala-gejalan politik yang berdimensi kekuasaan dengan dilandasi ajaran agama (Islam). Lihat. Abdul Azis, Politik Islam Politi: Pergulatan Ideologi PPP Menjadi Partai Islam, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006, hal. 17
[8] Ridwan Saidi, Dinamika Kepemimpinan Islam dalam Orde Baru, 1986, hal.127
[9] Robert E. Elson, Suharto, Sebuah Biografi Politik, Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005, hal.318
[10] Dwifungsi ABRI, tutur Harold Crouch, yang mewarnai sejarah Indonesia ini memiliki dua persfektif, Pertama, dwifungsi struktural. Dalam dwifungsi struktural ini ABRI memandang bahwa jabatan-jabatan strategis dalam pemerintahan harus dipegang oleh ABRI. Asumsinya, dengan keterlibatan mereka di pemerintahan, maka stabilitas politik untuk kepentingan akselerasi pembangunan ekonomi dapat terjamin. Dengan logika seperti ini, ABRI melakukan penetrasi ke segala aspek kehidupan sosial-politik, baik level nasional maupun lokal, eksekutif hingga yudikatif, bahkan juga turut mengambil peran (menguasai) dalam sektor bisnis dan ekonomi. Sedangkan kedua, dwifungsi mental. Di sini keterlibatan ABRI dalam struktur pemerintahan dianggap tidak penting. Yang terpenting adalah bagaimana ABRI meningkat profesionalismenya sebagai penjaga negara dan pengabdi masyarakat. Dengan sikap profesionalisme ini mentalitas para perwiranya akan terbentuk. Dengan demikian, keterlibatan ABRI dalam dunia politik justru menjadikannya tidak dapat bersikap netral kepada masyarakat. Sayangnya perspektif yang kedua ini kurang populer dikalangan para petinggi ABRI. Ini karena sudah terhanyutnya ABRI dalam hasrat kuasa politik dan jabatan yang dimilikinya semasa jaman Orde Baru. Lihat. Harould Crouch, Militer/ABRI dan Politik, jakarta: Sinar Harapan, 1986, hal. 308.
[11] Tujuan diadakannya seminar yang berlangsung akhir Agustus 1966 adalah sebagai forum pemimpin ABRI untuk mendiskusikan strategi era baru politik Indonesia. Dua hal yang diminta oleh Soeharto kepada seminar tersebut. Pertama, membuat strategi untuk stabilitas politik dan kedua, membuat metode pembangunan ekonomi. Seminar ini sebenarnya yang merupakan cikal bakal lahirnya paradigma Orde Baru dalam membangun Indonesia ke depan. Robert E. Elson, Suharto, Sebuah Biografi Politik, hal.281
[12] Organisasi Golkar awalnya dibentuk sebagai koalisi pelbagai kekuatan elemen masyarakat untuk mengimbangi pengaruh PKI. Namun dalam pemerintahan Orde Baru disegarkan kembali dan diperluas hingga menjadi kekuatan politik yang amat besar melalui pelbagai cara. Salah satunya adalah dengan peraturan Pemerintah yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri, Amir Mahmud, yang memerintahkan bahwa “seluruh anggota anggota kelompok fungsional yang ditugaskan di badang-badan pemerintahan di tingkat provinsi dan lokal harus diganti jika mereka bergabung ke dalam partai politik, di antaranya adalah PNI, NU, Parmusi, PSII, dan Perti”. Bahtiar Effendi, Islam dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998, hal.117.
[13] Pengkebirian ini tercermin dengan upaya pemerintah yang melarang unsur-unsur pendukung Soekarno masuk di dalam PNI, dan kemudian menggantinya dengan orang baru yang loyal kepada pemerintah. Pemerintah juga melarang dihidupkannya kembali Masyumi dan memaksa partai jelmaan Masyumi, yaitu Parmusi, agar dalam mengangkat kepengurusan Dewan Pimpinan Partai (DPP) tidak mengikutsertakan para elit Masyumi. Lihat, Abdul Aziz, Politik Islam Politik: Pergulatan Ideologis PPP Menjadi Partai Islam, hal. 77-78
[14] Robert E.Elson, Suharto: Sebuah Biografi Politik, hal. 234
[15] Ibid, hal. 235
[16] Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, hal.121
[17] Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara, Yogyakarta: LkiS, hal. 236
[18] Ibid.
[19] Bahtiar Effendi, Islam dan Negara, hal. 123.
[20] Pengesahan Undang-undang ini melewati perdebatan panas. Banyak dari pelbagai organisasi, terutama organisasi agama, memiliki kekhawatiran bahwa dengan mengambil Pancasila sebaga satu-satunya dasar ideologi akan mengurangi integritas, kebebasan organisasi mereka, dan bahkan akan mengganti raison d’etre mereka dengan ideologi sekuler. Douglas E. Ramage, Percaturan Politik Di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002, hal.5-6. Bahkan utusan NU di Parlemen pernah melakukan walk out ketika DPR menggulirkan wacana Pancasila sebagai ideologi resmi. Lihat. Martin Van Bruinessen, NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,Yogyakarta: LKiS, 1994, hal.4
[21] Isi tulisan dalam pamlet itu sendiri sama dengan ceramah-ceramah yang selama ini disampaikan oleh para mubaligh, yaitu penolakan terhadap larangan jilbab untuk SLTA, Penolakan azas tunggal Pancasila yang coba diterapkan oleh pemerintah, dan penolakan terhadap realisasi program Keluarga Berencana
[22] Kesaksian Ahmad Sahi dalam Kesaksian Peristiwa Tanjung Priok, Tragedi yang Tidak Perlu, (Jakarta: Balai Pustaka, 2003) Hal. 120-121
[23] Kesaksian Ahmad Sahi dalam sidang perkara Nomor 201/Pid. HAM/Ad Hoc/2003/PN. Jkt. Pst. Atas nama terdakwa Sutrisno Mascung dan kawan-kawan, tanggal 27 Oktober 2003. Dokumentasi Rekaman Persindangan Tanjung Priok, Jakarta, Elsham: Jakarta, 2003.
[24] Kesaksian Syafwan bin Sulaeman dalam Widjiono Wasis, Kesaksian Peristiwa Tanjung Priok, Tragedi yang Tidak Perlu, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, hal. 115
[25] Kesaksian Syafwan bin Sulaeman. Ibid, hal 117
[26] Kesaksian Syarifuddin Rambe. Ibid. Hal.112-113
[27] Kesaksian Muhamad Noor. Ibid Hal. 126
[28] Kesaksian Sriyanto. Ibid. hal. 168
[29] Husen Saif. Ibid, hal. 8
[30] Wawancara dengan Daud, putera dari Ratono, 6 November 2006.
[31] Kesaksian Husen Saif, dalam Widjiono Wasis, Kesaksian Peristiwa Tanjung Priok, Tragedi yang Tidak Perlu, Jakarta: Balai Pustaka, 2003hal 8.
[32] Wawancara dengan Irta, 6 November 2006.
[33] Ikrar Nusa Bakti, dkk, Militer dan Politik Kekerasan Orde Baru, Soeharto Di balik Peristiwa 27 Juli?, Bandung: Mizan, 2001, hal. 52
[34] Ibid.hal. 52
[35] Wawancara dengan Yetty, 7 November 2006. Banyak dari keluarga korban yang mengira saudaranya telah meninggal dalam Tragedi Priok. Sehingga mereka langsung mengadakan tahlilan sebagai bentuk duka dan kirim doa ke arwah korban agar diterima di sisi Allah. Namun, saat korban telah dianggap sudah meninggal, dan keluarga korban mengikhlaskannya. Beberapa bulan kemudian korban yang dianggap meninggal datang ke rumah. Terang saja, peristiwa ini menimbulkan keheranan bercampur bahagia.
[36] Wawancara dengan Irta, 6 November 2006.
[37] Lihat. Majalah Tempo, 22 September 1984.
[38] Wawancara dengan bapak Anshari, tanggal 9 November 2006.
[39] Wawancara dengan Ibu Yetti, tanggal 8 November 2006.
[40] Erving Goffman, Stigma, notes on management of spoiled identity, New york: A Touchstone Book, 1986, hal. 3
[41] Daniel Dhakidae, “Etika Sebagai Kewajiban Politik, Kekerasan, Negara Orde Baru” dalam Etika Politik Dalam Konteks Indonesia, (ed) Eddy Kristiyanto, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hal. 249
[42] Dendam, dengan demikian, adalah berlangsungnya ingatan obsesif yang tidak terbatas, yang juga dapat diartikan sebagai gejala patologi sosial dalam suatu masyarakat. Namun dendam ideologis bukan semata-mata dendam psikologis, akan tetapi ia adalah suatu teknologi kekuasaan. Karena itu, di balik dendam tidak lain adalah usaha sistematik untuk tetap mempertahankan kesesatan negara. Di mana dalam perkembangannya semua dapat mengarah kepada suatu patologi sosial yang selalu menjadi ladang subur bagi kekerasan, ketika kekerasan negara jadi satu dengan kekerasan masyarkat. Lihat Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, Jakarta: Kompas, 2003
[43] Goenawan Mohammad, Catatan Pinggir 6, Jakarta: Grafiti, 2006, hal 165

No comments:

 

Most Reading