Biografi Imam Khomeini

Monday, 14 December 2009


SEJARAH SOSIAL POLITIK IRAN DAN
BIOGRAFI IMAM KHOMEINI


A. Sejarah Dan Pergolakan Sosial Politik Iran
Serangan besar kolonialisme dan imperialisme Barat ke dunia Islam dari segala arah pada abad ke-19 dan abad ke-20 melalui dimensi pemikiran, politik ekonomi, militer, dan juga melalui dimensi sosial kebudayaan dengan memperlihatkan dasar-dasar ketidakmampuan dan ketertinggalan pemikiran, peradaban, politik, dan ekonomi kaum Muslim, menyebabkan munculnya ide pembenahan, perubahan, dan moderenisasi, serta perlawanan terhadap pengaruh Barat pada masyarakat Islam.
Angin Revolusi yang dihembuskan Barat nampaknya menimbulkan adanya upaya pembenahan di dunia Islam, serta upaya perjuangan yang membebaskan diri dari kekuasaan kolonial, membentuk dan mengembangkan negara bangsa yang merdeka dengan segala tekanan dan permasalahan modernisasi. Menurut Jhon L. Esposito, pengaruh moderenisasi tersebut banyak memberikan tekanan terhadap perubahan sistem politik negara-negara muslim terutama pada awal abad kedua puluh.
Iran merupakan salah satu negara muslim yang tidak luput dari pengaruh revolusi Barat tersebut, hal ini nampak dari konstalasi politik di Iran yang telah mengalami pergolakan yang berlangsung lama, semakin menegang terutama ketika konsep negara bangsa (nation state) mulai diterapkan di Iran. Pertarungan antara ulama dan negara yang berlangsung 200 tahun terakhir menjadi potret utama masyarakat Iran yang memberikan warna tersendiri dalam perpolitikan di Iran.
Dalam sejarah Iran modern, perjuangan melawan kolonialisme dan pembentukan negara bangsa dimulai pada masa Dinasti Pahlevi, namun benih-benih gagasan negara bangsa tersebut sudah ada sejak Dinasti Qajar. Zayar dalam bukunya Iranian Revolution; Past, Present, and Future, Secara garis besar Iran modern bisa dibagi menjadi tiga ¬periode. Pada periode pertama yang dimulai pada abad ke-18, di bawah kekuasaan Dinasti Qajar. Periode ini mencapai titik kulminasi pada revolusi konstitusional pada tahun 1906 (di bawah pengaruh revolusi Rusia tahun 1905).
Periode kedua (1908-1953) ditandai dengan banyaknya konflik ini mencapai klimaks pada masa pem¬berontakan sosial (1941-1953) yang diikuti dengan pengunduran diri Syah Reza (1926-1941). Periode ketiga (1953¬-1979) ditandai dengan tumbuhnya partisipasi Iran sebagai negara yang berdaulat, dengan kontrol yang kuat atas sumber daya minyak bumi, peningkatan pendapatan yang tinggi dari minyak dan pertumbuhan ekonomi yang sangat mengesankan.

1. Sejarah Iran Modern
Sejarah Iran Modern bermula dengan tampilnya rezim Dinasti Qajar. Qajar meraih tahta kekuasaannya setelah melewati periode anarkhis dan pergolakan kesukuan untuk memperebutkan kekuasaan atas Iran. Rezim mereka tidak pernah terkonsolidasikan. Dinasti Qajar menguasai Iran dari tahun 1779 sampai tahun 1925 menyerupai beberapa dinasti pendahulunya di mana ia merupakan rezim memusat yang lemah karena berhadapan dengan faktor-faktor kesukuan propinsional yang kuat, dan merupakan rezim di mana indepedensi keagamaan yang sangat tinggi.
Pemerintahan pusat Dinasti Qajar merupakan pemerintah istana yang terlalu lemah untuk mengembangkan secara efektif sistem perpajakan di negeri ini. Sementara itu kekuasaan tokoh-tokoh agama semakin meluas, pada abad delapanbelas sampai abad sembilanbelas, ulama Iran mencapai tingkat otonomi yang tidak tertandingi oleh masa-masa sebelumnya, yaitu kepemimpinan yang kuat, Otoritas keagamaan ulama dikenal sebagai mujtahid atau penerjemah hukum-hukum agama (syari’at), dikembangkan secara luas bahwasannya mereka memiliki hak mengambil keputusan secara independen dan hak menafsirkan permasalahan agama berdasarkan pencapaian spiritual dan intelektual mereka.
Intervensi Eropa yang sangat penting adalah memodifikasi posisi rezim Qajar dan meningkatkan ketegangan yang tidak nampak antara penguasa dan ulama. Campur tangan bangsa Eropa terhadap Iran pertama kali datang dalam penaklukan dan pengukuhan pengaruh mereka melalui persaingan antara kekuatan-kekuatan Eropa. Hal ini membangkitkan Qajar untuk memoderenisir dan memperkokoh perangkat kenegaraan, dan mereformasi pendidikan dengan membangun Dār al-Fanūn sebuah perguruan tinggi tekhnik, serta mengorganisir kembali pasukan kavaleri dengan membentuk Brigade Cossack
Reformasi tersebut menimbulkan terbentuknya strata baru pemikir modernis Islam dan intelektual didikan Barat yang cenderung terhadap moderenisasi Iran sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk melawan kekuatan asing dan untuk memperbaiki kondisi kehidupan sebagian besar masyarakatnya. Hal ini memicu timbulnya sejumlah perlawanan dari kaum intelektual dan para ulama terhadap pengaruh asing dalam pemerintahan. Setidaknya ada beberapa peristiwa perlawanan penting yang terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Qajar ini, yaitu;
Pertama, munculnya Gerakan Tembakau pada tahun 1891-1892, di bawah pimpinan Marja besar Ayatullah al-Uzma Mirza Hasan Shirazi. Gerakan ini bertujuan menghilangkan akses dunia Barat yang menyebabkan turut campurnya mereka kedalam urusan internal negara Iran.
Kedua, Revolusi konstitusi Iran. Peristiwa yang terjadi tahun 1905-1906 ini berhasil mengakhiri kekuasaan absolut raja, hal ini disebabkan oleh timbulnya protes dari para pedagang dan kaum ulama terhadap menguatnya pengaruh Barat. Munculnya tuntutan atas dirombaknya tradisional dan terjadinya fragmentasi di kalangan penguasa Qajar sendiri. Revolusi konstitusional ini merupakan hasil suatu persekutuan antara kaum pedagang Bazaar, ulama, cendekiawan, bangsawan pemilik tanah dan sejumlah kepala suku. Mereka kemudian terwakili di dalam Majelis (parlemen), sebuah badan yang dibentuk setelah terjadinya revolusi ini, dan ikut menjalankan roda pemerintahan bersama raja. Pemberlakuan konstitusi baru tersebut justru merupakan awal dari sebuah pergolakan yang berkepanjangan. Kubu konstitusionalis didukung oleh ulama, pedagang, tokoh-tokoh suku mempunyai pengaruh besar di Iran, ditentang oleh kubu Syah dan Ulama konservatif, serta para tuan tanah yang kaya raya yang kemudian menyebabkan terjadinya beberapa kali petempuran.
Krisis konstitusional tahun 1905-1911 menimbulkan penyatuan aspek-aspek fundamental masyarakat Islam Iran dan membangkitkan kekuatan gerakan nasionalisme awal dan perlawanan terhadap intervensi asing, namun Iran, seperti kebanyakan negara muslim lainnya masih tetap mengalami pengaruh imperialisme Barat. Warisan dan dampak kehadiran, serta pengaruh asing di Iran menciptakan krisis kekuasaan, krisis keabsahan, dan krisis partisipasi yang saling berkaitan, yang semakin parah semasa pemerintahan Dinasti Pahlevi.
Ketiga, terjadinya sejumlah pemberontakan-pemberontakan lokal yang disebabkan oleh tekanan yang terus menerus dari para gubernur lokal, para intelektual modern, dan Ulama, dinasti ini diambang keruntuhan, Iran nyaris terbelah oleh Rusia dan Inggris, dalam keadaan ini pada tahun 1921 pemimpin Brigade Cossack, Reza Syah Pahlevi berhasil melakukan kudeta menggulingkan kekuasaan raja terakhir Dinasti Qajar.
Selain ketiga peristiwa tersebut merupakan faktor intern yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan Dinasti Qajar. Terdapat sejumlah faktor eksternal seperti pecahnya Perang Dunia pertama, menguatnya pengaruh Inggris di Iran setelah revolusi Oktober di Rusia, juga menyebabkan runtuhnya Dinasti Qajar pada tahun 1925 dan kemudian digantikan dengan Dinasti Pahlevi yang dipimpin oleh Reza Syah Pahlevi


2. Iran dan Pembentukan Negara Bangsa
Pada akhir 1920-an Reza Syah, seorang perwira militer, merebut kekuasaan dan mendirikan Dinasti Pahlevi. Terimbas oleh langkah rekan sezamannya di Turki, Mustafa Kemal (Ataturk) yang memusatkan perhatiannya pada moderenisasi dan pembentukan pemerintahan terpusat yang kuat mengandalkan angkatan bersenjata dan birokrasi modern. Berbeda dengan Ataturk, Syah tidak menghapuskan lembaga-lembaga keagamaan, tetapi hanya membatasi dan mengontrol mereka.
Sejak itu Iran mengalami proses pembentukan negara bangsa yang serupa dengan proses yang berlangsung di Turki dan sejumlah negara lain. Negara menjadi motor perkembangan ekonomi serta perkembangan kebudayaan menurut model Barat. Namun berbeda dengan Turki golongan menengah menjadi kelas penopang utama bagi rezim Pahlevi. Selain itu Syah juga mengembangkan angkatan bersenjata baru yang lebih kuat. Banyak ulama yang mendukung pengambilalihan kekuasaan oleh Reza Syah guna memulihkan monarki yang kuat untuk meredam pengaruh asing.
Meskipun Reza Syah meraih kekuasaan dengan dukungan sebagian ulama yang menginginkan perbaikan, namun Syah justru membuat kebijakan yang menyebabkan hubungannya dengan ulama memburuk terutama ketika Syah berusaha membatasi kekuasaan kaum ulama. Syah berusaha untuk mewujudkan tujuan tersebut melalui pengembangan pendidikan sekuler, pengawasan pendidikan keagamaan, pembatasan wewenang syariat dan pengadilan agama dengan mengeluarkan sejumlah undang-undang baru dan memperkuat pengadilan negeri.
Menurut Lapidus, sekularisasi sistem administrasi hukum dan pendidikan hanyalah bagian terkecil dari program yang lebih besar yaitu kontrol negara terhadap modernisasi ekonomi, infrastruktur dibangun pada dekade 1930-an, tata perkantoran yang baru, Bank Nasional Iran dan jaringan perkeretaapian dibangun. Semuanya atas bantuan pihak asing. Hal ini terus berlangsung sampai menjelang berakhirnya perang Dunia II.
Berakhirnya Perang Dunia II, Inggris dan Rusia sekali lagi mencampuri urusan pemerintah Iran demi kepentingan sendiri. Mereka memaksakan pergantian Syah dan mengangkat putranya yang belum dewasa Muhammad Reza Pahlevi tahun 1941 sebagai boneka penguasa di Iran. Antara tahun 1941 dan 1953, Iran menjalani periode pergolakan yang terbuka antara sejumlah protektor asing dan sejumlah partai politik internal. Amerika Serikat lambat laun menggeser pengaruh Inggris dan Rusia dan akhirnya menjadi pelindung utama Iran pasca perang. Salah satu alasan utama dari campur tangan Amerika Serikat adalah kekhawatirannya bahwa Iran akan memperkuat pengaruh Uni Soviet dan komunisme di Iran. Penyelesaian tersebut mengembalikan rezim yang otoriter dan terpusat.
Menurut Hossien Bashiriyeh, ada lima landasan kekuasaan yang dibangun oleh Syah yang kemudian memicu timbulnya revolusi dan menyebabkan jatuhnya Syah. Pertama, kontrol negara yang sangat besar atas sumber-sumber keuangan, khususnya minyak; Kedua, program stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi serta intervensi ekonomi rezim ke dalam sistem ekonomi; Ketiga, mobilisasi massa dan penciptaan suatu keseimbangan antara kelas-kelas melalui kontrol dan intervensi rejim; Keempat, pembentukan hubungan-hubungan patron-client dengan kaum borjuis kelas atas, dan kelima diperluasnya peranan kekuatan penekan (khususnya SAVAK), dan ketergantungan pada Barat terutama dukungan politik militer AS.

3. Revolusi Islam Iran
Pada akhir dekade 70-an, Dunia dikejutkan dengan peristiwa revolusi Islam yang terjadi di Iran. Revolusi yang oleh beberapa pengamat Barat seperti Jhon L Esposito disebut sebagai “salah satu pemberontakan rakyat terbesar dalam sejarah umat manusia” tersebut berhasil menggulingkan rezim otoriter pimpinan Reza Syah Pahlevi. Revolusi ini merupakan hasil suatu protes akumulasi ketidakpuasan rakyat Iran terhadap kebijaksanaan Syah, baik di bidang ekonomi, politik, agama, maupun sosial budaya. Keberhasilan revolusi itu banyak ditentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Di satu pihak terciptanya persatuan di antara kelompok-kelompok penentang Syah, baik yang berfaham nasionalisme (Front Nasional), Islamisme (organisasi- organisasi yang dibentuk kaum mullah maupun yang berfaham marxisme (Mujahiddin dan Fayden Khalq). Di pihak lain muncul kelompok Ulama seperti Ayatullah Murthadha Munthahari, Ayatullah Khomeini sebagai lambang “pemersatu”, serta tokoh intelektual awam seperti Ali Syari'ati sebagai konseptor akar Ideologi revolusi, Mehdi Bargazan, Bani Sadr, dan tokoh-tokoh lainnya. Hal ini dimungkinkan oleh tradisi dan ideologi Syi'ah yang sangat berakar kuat di kalangan rakyat Iran. Ideologi Syi’ah tersebut yang kemudian menjadi salah satu pemantik terjadinya revolusi Iran.
Revolusi Islam Iran ini melahirkan konfigurasi yang khas antara negara Iran dan Institusi Islam, bahkan revolusi ini merupakan sebuah peristiwa terbesar dalam sejarah masyarakat Iran. Revolusi tersebut menandai puncak pergolakan politik antara penguasa Iran dan kelompok ulama yang telah berlangsung lama, akibatnya terjadi perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan Iran yang berpengaruh terhadap sistem pemerintahan Iran sekarang.
Struktur politik Iran mengalami perubahan secara besar-besaran sejak berakhirnya kekuasaan Syah. Bentuk negara berubah dari monarki-absolut dimana Syah berkuasa, menjadi sebuah republik yang berdasarkan pada ajaran agama Islam mazhab Syi’ah. Perubahan konstitusional dan institusional yang secara substantif dilakukan melalui pemilihan. Bentuk Republik Islam dan Undang-undang Dasar Republik Islam Iran secara resmi disetujui mayoritas rakyat Iran melalui referendum yang diadakan pada tahun 1979.
Majelis Ahli yang didominasi para ulama dipilih untuk membuat rancangan konstitusi, masih menyisakan krisis identitas Iran yang tercermin dalam perdebatan konstitusional mengenai hakikat kepemimpinan negara. Perdebatan-perdebatan terjadi tidak hanya antara pihak yang lebih menginginkan pemerintahan sekuler daripada pemerintahan islami, tetapi juga di antara pihak yang menginginkan Pemerintah Islam namun menolak doktrin wilayatul faqih dari Imam Khomeini yang menjadikannya sebagai seorang marja taqlid (ahli otoritas tertinggi).
Bagi masyarakat dunia Islam, Revolusi Islam Iran merupakan kejadian yang secara simbolis penting. Revolusi Iran memperlihatkan bahwa rezim sekuler yang dipengaruhi oleh Barat dapat ditumbangkan dengan kekuatan oposisi yang di organisasi oleh para pembaru Islam. Karena kaum revivalis mendengungkan perubahan itu sejak akhir abad ke-19, namun dengan sukses, revolusi Islam ini mampu memberikan daya dorong baru bagi perjuangan mereka dan memicu munculnya aktivitas fundamentalis di dunia Islam lain.
Dapat dikatakan bahwa meskipun ketegangan dinamis bagi oposisi terhadap monarki telah lama ada di Iran, tidak seorangpun Muslim meramalkan dengan pasti bahwa hasil akhir revolusi berupa pemerintahan teokratis. Bagi kaum Muslim yang menginginkan pembaruan dan ingin lepas dari dominasi Barat, revolusi Islam Iran merupakan kejadian yang sangat memberikan ilham. Bagi kaum nasionalistik sekuler dan sebagian dunia Barat, revolusi ini terus mengusik. Akan tetapi, sepanjang periode ini peran dari sosok Ayatullah Ruhullah Khomeini sangat menonjol. Tidak salah apabila Jhon L. Esposito menyebut Imam Khomeini sebagai “living symbol and architect” revolusi Iran. Karena peranannya dalam memimpin revolusi Iran itulah, Khomeini diangkat sebagai pemimpin Revolusi Islam, sebagaimana yang tercantum dalam konstitusi Iran yang disahkan Desember 1979. Dalam buku Islamic Revolution of Iran, Imam Khomeini dianggap sebagai “wakil” Imam Mahdi: “ In conclution we once again declare our complete solidarity with people of Iran by resorting tu hunger strike and similar action and waiting for arrival of the deputy to al-‘Imam Muhammad al-Mahdi (AS), Imam Khumayni”.

B. Biografi Imam Khomeini
1. Riwayat Hidup Imam Khomeini
“ Two thing have made Imam Khomeini he is: one, his love of the family of revelation, and the other, his particular spirit of gnosticism”
Ayatullah al-Uzma Sayyid Ruhullah Al-Musavi Imam Khomeini lahir di Khumyn pada tanggal 24 Oktober 1902 (20 Jamadi-al Tahni 1320 H), bertepatan dengan hari ulang tahun Hazrat Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW dan Istri Ali bin Abi Thalib (Imam Syi’ah Pertama). Khomein adalah dusun yang berada dekat Isfahan, di Iran Tengah sekitar 300 kilometer selatan Teheran.
Keluarga Khomeini adalah keluarga Sayyid al-Musawi, keturunan Nabi SAW melalui jalur Imam Musa al-Kadzim as. Mereka berasal dari Nishapur, Iran Timur Laut. Pada awal abad ke-18, keluarga ini bermigrasi ke India, dan bermukim di kota kecil Kintur, di dekat Lucknow di Kerajaan Ayuddah (Qudh). Kakek Imam Khomeini, yang bernama Sayyid Ahmad al-Musawi al-Hindi, lahir di Kintur. Keluarga kakeknya adalah keluarga ulama terkemuka, Mir Hamed Husein Hindi Nishapur, yang karyanya, Abaqat al Anwar, menjadi kebanggan umat Islam di India. Sayyid Ahmad meninggalkan India pada sekitar tahun 1830 untuk berziarah ke kota suci Najaf, Irak. Di Najaf, ia bertemu seorang saudagar terkemuka dari Khomein. Menerima undangan sang saudagar, Sayyid Ahmad lalu pergi ke Khomein untuk menjadi pembimbing spiritual di dusun itu.
Di Khomein, Sayyid Ahmad menikah dengan Sakinah, pasangan ini dikaruniai empat anak, antara lain Sayyid Mustafa, yang lahir pada tahun 1856. Sayyid Mustafa belajar di Najaf, dibawah bimbingan Mirza Hasan Syirazi. Kemudian pada tahun 1894, ia kembali ke Khomein, di sana ia menjadi ulama dan dikaruniai enam anak. Imam Khomeini adalah yang bungsu. Ketika Imam masih berusia sembilan bulan tepatnya pada tahun 1903, ayah Imam Khomeini meninggal dunia. Kabarnya, Sayyid Musthafa dibunuh karena menentang Dinasti Qajar yang berkuasa dari tahun 1796-1926.

Bagan. 1
Silsilah Ayatullah Khomeini

Semasa kecil, Imam Khomeini mulai belajar bahasa Arab, syair Persia, dan kaligrafi di sekolah negeri dan di Maktab. Menjelang remaja, Imam Khomeini mulai belajar agama dengan lebih serius. Ketika berusia lima belas tahun, ia mulai belajar tata bahasa Arab kepada saudaranya Murtaza, yang belajar bahasa Arab dan teologi di Isfahan. Pada usia tujuh belas tahun, Imam Khomeini pergi ke Arak (kota di dekat Isfahan) untuk belajar kepada Syaikh Abdul Karim Haeri Yazdi, seorang ulama terkemuka yang meninggalkan Karbala untuk menghindari pergolakan politik. Sikap ini yang kemudian mendorong kebanyakan ulama terkemuka untuk menyatakan penentangan mereka pada pemerintahan Inggris.
Pada awal tahun 1930-an, Imam Khomeini menjadi mujtahid dan menerima ijazah (dalam menyampaikan hadis) dari empat guru terkemuka. Mereka adalah Syaikh Muhsin Amin Ameli, seorang ulama terkemuka dari Libanon; Syaikh Abbas al-Qummi, seorang ahli hadis dan sejarawan terkemuka, yang juga penulis buku Mafatih al-Jinan (Kunci-Kunci Surga); Abul Qasim Dehkordi Isfahani, seorang Mullah terkemuka dari Isfahan, dan Muhammad Reza Masjed Syahi, yang datang ke Qum pada tahun 1925, karena menentang Syah Reza yang anti-Islam.
Sebagai seorang otodidak yang berbudi luhur, Ayatullah Khomeini selalu menekankan pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama dan ketakwaan pada prinsip-prinsip agama Islam. Dengan pemahaman tentang ilmu pengetahuan rasional dan ilmu pengetahuan tradisional yang mendalam. Di usia yang ke-27 tahun, Imam Khomeini mulai mengajar filsafat, dan telah menulis buku-buku tentang berbagai seni agama, dan pada usia 30 tahun. Hingga awal 1960-an, Imam Khomeini melewatkan hidupnya di kota suci Qom. Di sana ia mengajar hukum filsafat, dan etika. Ia berkeras bahwa Islam memiliki komitmen terhadap kehidupan sosial politik. Khomeini menikah dengan Syarifah Batul, anak perempuan seorang Ayatullah yang bermukim di Teheran. Mereka dikaruniai lima orang anak, dua orang anak laki-laki dan tiga orang anak perempuan.
Imam Khomeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989, dengan memberikan suatu keyakinan kepada kaum Muslim di seluruh dunia bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang mampu menuntun manusia menuju kebenaran. Peranan dan kharisma Khomeini dalam Islam modern memang tidak dapat disangkal. Semoga harapan dan cita-cita beliau dapat menjadi kenyataan dalam sejarah umat manusia di dunia, khususnya kaum muslimin.

2. Pendidikan dan Karier Politik Imam Khomeini
Hamid Algar dalam tulisannya yang berjudul Imam Khomeini Sang Sufi, mengatakan bahwa riwayat pendidikan Imam Khomeini dimulai di Khumayn, terdiri atas pelajaran membaca dan menulis dari Mirza Mahmud, guru yang datang ke rumah, dan kemudian Imam Khomeini memasuki sebuah maktab, dengan guru-gurunya adalah Mulla Abu al-Qasim, dan Syaikh Ja’far. Kemudian ia memasuki sekolah yang lebih modern, yang baru dibuka di Khumayn, di mana ia belajar kaligrafi dengan Aqa Mirza Mahallati.
Pada umur limabelas tahun, Imam Khomeini telah menyelesaikan studi Persianya dan telah mulai menekuni bahasa Arab dan studi-studi Islam. Studi-studi ini pada mulanya dipelajarinya dari Sayyid Murthadha, tapi dua tahun kemudian Khomeini memutuskan untuk belajar ke tempat yang lebih kondusif dan lebih tinggi atmosfir pendidikannya. Pada mulanya ia pergi ke Isfahan, mengikuti jejak ayahnya, tetapi pada akhirnya ia sampai di Arak, kota yang tidak terlalu jauh di mana Syaikh ‘Abdul Karim Haeri, sahabat ayahnya yang juga murid dari Mirza Hasan Syirazi. Dengan demikian dimulailah hubungan hidup Imam Khomeini dengan lembaga-lembaga keagamaan, sebuah hubungan yang semakin lama semakin tampak bukan sekedar persoalan kezaliman atau pewarisan.
Setelah runtuhnya imperium Utsmaniyah, Syaikh Haeri enggan tinggal di kota-kota yang berada di bawah kekuasaan Inggris. Ia kemudian pindah ke Qum. Imam Khomeini, lima bulan kemudian, mengikuti jejak Syaikh Haeri pindah ke Qum. Di tempat yang baru ini, Imam Khomeini belajar retorika syair dan tata bahasa dari gurunya yang bernama Syaikh Muhammad Reza Masjed Syahi. Selama belajar di Qum, Imam Khomeini menyelesaikan studi Fiqih dan Ushul dengan seorang guru dari Kasyan, yang sebelas tahun lebih tua darinya, yaitu Ayatullah Alia Yasrebi.
Pada tahun 1926, ketika Reza Khan mengalahkan orang-orang Qajar dan mendirikan Dinasti Pahlevi, Khomeini menyelesaikan studinya dan menjadi seorang Mujtahid (ulama di bidang agama Islam). Sejak awal Imam Khomeini menunjukkan bakat khususnya di bidang studi-studi irfan. Pada usia 27 tahun Khomeini menulis sebuah buku tentang Irfan dalam bahasa Arab. Irfan dan puisi yang diminati Imam Khomeini, sebenarnya kurang popular di kalangan mullah di Qom pada masa itu.
Pada akhir tahun 1940, Imam Khomeini mulai meninggalkan uzlah-nya, Khomeini percaya bahwa politik seperti juga filsafat, tasawuf, dan fiqh, merupakan bagian dari Islam. Untuk memajukan pandangannya dia mengamati dari dekat dua tokoh zaman itu, Ayatullah Kasyani, yang penting peranannya dalam bidang politik, dan Ayatullah Burujerdi, seorang marja’ taqlid paling penting sejak 1947. dalam banyak hal, seperti anti-kolonialisme, universalisme Islam, aktivisme politik dan populisme, pandangan Khomeini sama dengan Ayatullah Kasyani. Tetapi mereka juga berbeda dalam banyak hal. Ayatollah Kasyani adalah politisi yang berbudi bahasa, yang cenderung luwes, sedangkan Imam Khomeini lebih keras dan kurang akomodatif. Kekaguman Imam Khomeini terhadap Ayatullah Burujerdi adalah karena Ayatullah Burujerdi merupakan seorang mullah terkemuka yang terkenal luas pengetahuan teologi dan fiqihnya. Ayatullah Burujerdi juga dipandang sangat saleh dan merupakan administrator yang piawai. Kepribadian dan kharisma Ayatullah Burujerdi, maupun visi revormisnya, mengalahkan pengaruh ulama Syi’ah lainnya, menjadikan dirinya memimpin mereka yang diterima secara luas di kalangan Syi’ah.
Karier Politik Ruhullah Imam Khomeini bermula pada sekitar tahun 1962, setelah tergulingnya rezim Mosaddeq pada masa itu. Walaupun demikian keprihatinan sosial sudah nampak sejak dini dalam diri Khomeini muda, ketika ia masih berusia 39 tahun Khomeini secara terang-terangan menuding Reza Syah penguasa Iran saat itu sebagai budak Inggris, tiran, koruptor, dan penguasa anti-Islam.
Khomeini memasuki debat agama dan politik nasional, sekalipun tidak terang-terangan setelah perang Dunia Kedua, ketika reza Syah tidak lagi berkuasa. Untuk menghadapi pemerintahan Reza Syah yang anti-ulama, para ulama, setelah sebelumnya berjuang, merasa tidak mempunyai pilihan kecuali tunduk. Suatu masa yang begitu sulit agar rezim Syah tidak menghancurkan Qum sebagai pusat keagamaan di Iran. Pendekatan pasif ini dibenarkan oleh gagasan taqiyah dalam Syi’ah, untuk melindungi Islam ketika seorang Muslim menghadapi bahaya yang tidak mungkin diatasinya. Akhirnya selama pemerintahan Reza Syah, sikap taqiyah inilah yang dilakukan mayoritas ulama.
Kebijakan sekularisasi Syah awal 1960-an memberikan alasan pertama bagi Khomeini untuk menentang penguasa. Dia menuduh pemerintah mendewa-dewakan Barat dan menggerogoti Islam, dan dia memperlihatkan ketidak-mampuannya yang besar dalam memobilisasi jaringan oposisinya. Kaum Bazari (kaum Pedagang) adalah salah satu kelompok yang semakin terpikat oleh Khomeini, ketika mereka merasa penghidupannya merasa terancam oleh upaya Syah yang mengalihkan kekuatan kepada kaum borjuis komersial dan industrial. Khomeini mendorong dan menolong para saudagar membentuk aliansi misi Islam. Pada masa inilah, untuk pertama kalinya, Imam Khomeini tampil sebagai tokoh politik nasional terdepan yang menentang Syah dengan melancarkan pidato-pidato dan mengeluarkan pernyataan yang mengecam Syah secara terbuka.
Pada tahun 1963, Imam Khomeini ditangkap oleh polisi dan tentara rahasia Syah setelah menyelesaikan salah satu pidatonya di madrasah yang dipimpinnya di kota Qum. Sejumlah korban berjatuhan dalam peristiwa itu. Imam Khomeini dibawa ke Teheran dan ditahan di penjara Qasr di kota itu. Keesokan harinya, para pendukungnya turun ke jalan-jalan, menuntut pembebasan pimpinan mereka. Di beberapa kota juga dilancarkan pemogokan-pemogokan. Pasukan keamanan berupaya meredam kerusuhan tersebut dengan kekerasan, sehingga dilaporkan korban tewas mencapai 15.000 orang di Teheran dan sekitar 400 orang di Qom.
Akibat tekanan rakyat, kurang dari setahun setelah penangkapan, Imam Khomeini dibebaskan dari tahanan. Namun sebaliknya dari mengurangi kecaman-kecamannya, Imam Khomeini justru semakin memperhebat serangannya kepada rezim yang berkuasa. Ia pun kembali dijebloskan ke penjara, yang disusul dengan pengasingannya ke Bursa di Turki. Setelah setahun Khomeini diasingkan lagi ke Najaf di Irak. Dari Najaf, Imam Khomeini secara periodik mengeluarkan pernyataan-pernyataan keras mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di Iran. Tidak jarang pernyataan-pernyataan tersebut menimbulkan respon dari para pengikutnya di dalam negeri dalam bentuk aksi-aksi penentangan terhadap rezim yang berkuasa.
Pada 1 Februari 1979 Imam Khomeini kembali ke Iran setelah sekitar 14 tahun (sejak akhir tahun 1964) berada di pengasingan, dan memimpin langsung jalannya revolusi Islam. Pada tahun 1970, dalam kuliah-kuliahnya di Najaf, Ayatullah Khomeini mengembangkan gagasannya tentang konsep wilayatul faqih, yang kemudian digunakan sebagai konstitusi pertama Republik Islam Iran. Sekembalinya dari pengasingan, Ia sempat tinggal sebentar di Qom dan kemudian pindah ke Jamaran Teheran, hingga wafat pada tahun 1989.

3. Corak Pemikiran Imam Khomeini
Selain mempelajari masalah fiqih dan hukum di Qum, Khomeini juga mempelajari dua tradisi Islam yang sangat tidak lazim yaitu 'irfan dan hikmah. Pelajaran inilah yang kemudian sangat besar pengaruhnya pada corak pemikiran dan pandangan Imam Khomeini mengenai dirinya dan dunia. 'Irfan (gnositisme), merupakan tradisi spiritual yang terdapat terutama di dunia Syi'ah. 'Irfan dalam beberapa hal sejajar dengan tasawuf. Hikmah (teosofi) yang diwarnai oleh sistem pemikiran yang sepenuhnya logis dan skolastik, dan juga oleh eksplorasi tentang hakikat realitas puncak, memberikan arus intelektual utama 'irfan.
Perhatian khusus Imam Khomeini terhadap filsafat Islam, teosofi (hikmah), dan gnosis ('irfan), sangat besar demikian tulis Gregory Rose. Menurut Rose, terlambatnya Imam Khomeini diterima sebagai faqih panutan (marja' taqlid) aalah karena minatnya kepada filsafat dan 'irfan. Memang demikian, keengganan kepada filsafat dan 'irfan adalah lazim di kalangan para fuqaha Syi'ah. Yang pasti, Imam Khomeini adalah (figur yang) langka di kalangan para fuqaha Syi'ah dalam hal meperlakukan secara sama 'irfan dan filsafat Islam dengan fiqih diantara ilmu keagamaan." Meskipun teori politik Khomeini memang tidak sepenuhnya terpola oleh pengaruh-pengaruh 'irfan seperti teori-teori sebagian ulama Syi'ah (apolits) lainnya, tulis Rose, terdapat cukup indikasi adanya pengaruh neo-Platonik dalam pemikiran Khomeini.
Dalam mempelajari kedua ilmu tersebut Imam Khomeini banyak dipengaruhi oleh para pemikir dan ulama terkemuka terutama dari kalangan Syi'ah, seperti; Nashiruddin Thusi, yang dengan tulisan-tulisannya membela tulisan–tulisan metafisis Ibnu Sina terhadap serangan teolog; Ibnu Arabi yang karya-karyanya mencerminkan aspek mistis dan lebih genatis dari hikmah, Shadruddin Syirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra (w. 1641) dengan konsep kearifan trensenden (al-Hikmah al-Muta'aliyah) dalam kitab al-Asfar al-Arba'ah, kemudian sumbangsih syair mistis penyair Persia, Jalaludin Rumi (w. 1273) dan Hafiz Syirazi (w. 1390), yang merupakan mata rantai penghubung antara 'irfan dan hikmah.
Kendati pandangan-pandangan Imam Khomeini didasarkan pada ilmu 'irfanya, namun sejalan tepat dengan kajian rasional dan tekstual agama. Sebab 'irfan Imam Khomeini pada dasarnya bersumber pada al-Qur'an dan para ahlul bayt, dan dijembatani oleh akal atau demonstrasi. Meski begitu, ketajaman rasional dan kedalaman tekstualnya tampak lebih lugas. Karenanya dalam mengungkapkan pandangan-pandangannya Imam Khomeini biasa menulis dengan gaya bahasa yang sederhana. Tulisan mistisnya senantiasa dibungkus dengan bahasa simbolik.
Setelah mempelajari filsafat, Khomeini mulai mempelajari tasawuf. Khomeini terutama mendapat pengaruh dari salah seorang gurunya Syahabadi. Seorang Mullah yang bukan saja teolog dan sufi yang sempurna, tetapi juga pejuang (mobarez), yang kesemuanya itu merupakan tiga ciri utama dalam kepribadian Imam Khomeini sendiri. Ketika mengulas sebuah doa yang dikenal dengan nama "Do'a Fajar" (Du'a As-Sahar), Khomeini menunjukkan keselarasan syariat dengan logika mistisme. Dia mengatakan bahwa tidak ada kontradiksi intrinsik antara 'irfan dan tasawuf di satu pihak, dan berpegang teguh pada syariat di pihak lain. Tentu saja, sulit bagi orang Barat modern untuk merujukan apa yang lazim dianggap dua sikap yang bertentangan: sikap tasawuf yang lembut dan kontemplatif, dan sikap syariat yang legalistis dan terikat hukum.

4. Kandungan Karya-Karya Imam Khomeini
Ayatullah Uzma Ruhullah Khomeini merupakan sosok ulama yang termasuk produktif dalam menulis, terbukti dengan banyaknya karya-karya yang dihasilkan sampai akhir hayatnya. Menurut Najibullah Lafraie sekurang-kurangnya ada 25 buku yang ditulis maupun yang berasal dari ceramah-ceramahnya Imam Khomeini. Namun sebagian besar karya Imam Khomeini berhubungan dengan hukum Islam, etika, dan pengetahuan umum.
Tulisan-tulisan awal Imam Khomeini berisi berbagai masalah perenungan, pengabdian, dan masalah mistik. Pada tahun 1928, ia menulis sebuah komentar terperinci dalam bahasa Arab terhadap do’a sebelum fajar selama Ramadhan karya imam Ja’far Shadiq (Syarh Du’a Al-Sahar). Pada buku pertamanya ini, Khomeini menunjukkan bukan hanya penguasaan bahasa ‘irfan tetapi juga apa yang telah menjadi pengabdian sepanjang hidup para Dua Belas Imam yang nampak dalam do’a-do’a itu sebagai teks untuk perenungan maupun untuk diucapkan. Karya ini diikuti dengan kitab Sirr al-Shalah, yang ditulis juga dalam bahasa Arab. Dalam karya ini, dimensi simbolis dan makna batin seluruh bagian shalat, dari wudhu sampai salam yang menutupinya, diungkapkan dengan bahasa yang kaya, kompleks dan lancar.
Dalam menulis karya-karya lainnya, Khomeini banyak sekali dipengaruhi oleh konsep-konsep terminologi ‘irfan yang tidak hanya mengacu kepada al-Qur’an, Sunnah Nabi dan para Imam, tetapi juga dari sumber-sumber dan otoritas seperti para sufi yang antara lain seperti; Khawaja ‘Abdulah Anshari, Jalaludin Rumi, Shadr Al-Din Qunawi, Abdul Razzaq Kasyani (w. 1310), dan Daud Qaysari; seorang ahli teosofi Syi’i, Qazi Sa’id Qummi (w. 1691), dan para pakar (master) ‘irfan kontemporer seperti Muhammad Riza Al-Syahabadi. Pengaruh mereka sangat terlihat sekali terutama dalam kitab Misbah al-Hidayah ila al-Khilafah wa al-Wilayah yang diselesaikannya tahun 1930.
Selain karya-karya dalam bentuk ‘irfan, akhlaq dan fiqh, masih banyak lagi karya-karya Khomeini dalam bidang lainnya. Berikut ini adalah karya-karya Imam Khomeini dalam ilmu Kalam. Meskipun demikian, harus selalu diingat bahwa masalah-masalah kalam selalu membawa konsekuensi-konsekuensinya dalam bidang politik. Dalam beberapa karya di bawah ini, Kasyf al-Asrar dan Wilayat-e-Faqih, kalam benar-benar keluar dari batas-batas tradisionalnya dan bergerak dengan pasti ke wilayah teori politik.
Syarh-e Hadits-e Ra’s al-Jalut adalah sebuah pemaparan terhadap pembahasan terkenal dari Imam Ridha (a.s) dengan pemuka-pemuka berbagai agama seperti Kristen, Yahudi, Zoroaster, yang diriwayatkan dalam karya al-Syaikh al-Shanduq, Kitab al Tawhid dan ‘Uyun Akhbar al-Ridha. Karya selanjutnya, Hasyiyah pada Syarh-e Hadits-e Ra’s al-Jalut yang merupakan karya Qadhi Sa’id Qummi dalam bahasa Arab, kemudian karya yang termasuk fundamental mengenai politik yaitu Kasyf al-‘Asrar, yang merupakan sebuah sanggahan terhadap pamflet setebal 32 halaman yang berjudul Asrar-e-Hazar Saleh (1943), di dalam karya ini Khomeini menyanggah pandangan-pandangan penulis pamlfet itu yang didasarkan pada Wahhabisme.
Karya Khomeini selanjutnya adalah Risalah fi al-Tholab wa al-‘Iradah adalah hasil dari tahun-tahun setelah Khomeini memulai kuliahnya tentang Ushul al Fiqh pada tahun 1945। Lubb al-‘Atsar merupakan karya Khomeini selanjutnya dibidang kalam, kitab ini disebut juga Risalah fi Tholab wa al-‘Iradah wa al-Jabr wa al-Tafwid, sebuah rekaman Ayatullah Ja’far Subhani atas kuliah-kuliah Khomeini dalam bahasa Arab (1951). Kemudian karya master piece lainnya di bidang politik yaitu, kitab Wilayat-e-Faqih atau Hukumat-e-Islami, yang ditulis dalam bahasa Persia, adalah sebuah kompilasi dari sekitar dua belas kuliah Khomeini di Najaf tentang wilayat al-faqih yang dikumpulkan oleh Sayyid Hamid Ruhani. Selain di bidang Filsafat, Kalam, dan Politik, Karya-karya Khomeini juga banyak mengenai bidang-bidang lainnya, seperti Ushul dan Fiqh, kumpulan-kumpulan fatwa, pidato-pidato, kuliah-kuliah, pernyataan-pernyataan, hasil wawancara, dan sebagainya.
[1] Lihat dalam makalah Behroz Kamal Fandi, Duta Besar Republik Islam Iran, Pikiran dan Pandangan Politik Imam Khomeini, makalah Seminar Nasional akhir tahun, "Iran, Islam, dan Barat", yang dilaksanakan pada tanggal 23 Desember 2006, Yogyakarta.
[2] Revolusi yang dimaksudkan adalah revolusi yang terjadi di Barat pada abad pertengahan, antara lain; revolusi Industri, revolusi Perancis dan kemudian revolusi kaum Bolshevik (Rusia). Revolusi yang terjadi di Barat membawa efek yang besar terhadap negara-negara di belahan dunia lain.
[3] Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), terutama dalam Bab Pendahuluan, hlm. 2-3.

[4] Perikasa dalam Zayar, Iranian Revolution; Past, Present and Future, di akses di www.google.com/search/revolusi.

[5] Ira. M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3, terj. Ghufron A. Masadi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 31-33.
[6] Kekuasaan dinasti-dinasti Iran terdahulu di bangun atas struktur kekuasaan yang absolut, dimana para raja (Syah) memiliki otoritas politik yang sangat besar. tetapi struktur negara yang absolut mulai memudar (disintegrate) pada masa kekuasaan Dinasti Qajar.
[7] Hubungan antara ulama dengan rezim tidak jelas, namun dibalik kelemahan dinasti Qajar, terdapat preseden sejarah yaitu kolaborasi antara elit penguasa dan elit ulama: Lapidus, Sejarah, hlm. 33. Selain itu ada kontrovensi bahwa apakah ulama dengan mengintervensi kebijakan raja, merupakan pembelaan terhadap kedaulatan rakyat, gagasan demokratis, kepentingan kelembagaan ataukah hanya untuk kepentingan pribadi. Namun konsensusnya adalah bahwa apapun alasan pribadinya banyak ulama yang mendukung tantangan terhadap campur tangan asing dan pemerintahan Syah yang salah. Penjelasan ini dapat diihat dalam, Syahrugh Akhavi entri “Iran”, dalam Jhon L. Esposito (ed) Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1, terj. Eva YN., dkk. ( Bandung: Penerbit Mizan), hlm. 330.
[8] Wilayah-wilayah Iran jatuh ketangan Rusia pada 1804-1813 dan 1825-1828. Inggris menghentikan ambisi territorial Iran di Afganistan dalam konflik 1836-1838 dan 1856-1857. Syah-Syah dinasti Qajar memberikan konsensi dan hak kapitulasi kepada pihak asing, yang memungkinkan Inggris, Rusia, Perancis, Belanda, Swedia, Belgia, dan Hunggaria mendominasi berbagai bidang. Dari angkutan dan perbankan hingga keamanan dalam negeri. Konsensi yang terpenting adalah konsensi Reuters 1871 (Pertambangan, perbankan, dan Jalan Kereta Api), Regie Tembakau 1891 dan konsensi D’Arcy 1901 (minyak). Esposito, Ensiklopedi, hlm. 330.
[9] Brigade Cossack adalah pasukan militer yang dilatih dan diorganisir secara khusus oleh penasihat Rusia dan Austria dan dibentuk antara tahun 1887-1880. Lapidus, Sejarah, hlm. 36.
[10] Gerakan Tembakau terjadi pada tahun 1891-1892, ketika ulama dipimpin oleh Ayatullah Shirazi, menggunakan khumus kaum Syi’ah, khususnya saudagar Bazar, untuk mendanai protes kolektif dalam menentang regie Tembakau (monopoli tembakau oleh Inggris), gerakan ini disebut gerakan pertama bangkitnya bangsa Iran untuk mendapatkan hak-hak mereka dari negara-negara asing dan penindasan kerajaan Iran. Gerakan ini menjadi awal gerakan konstitusi, yang menyebabkan perkembangan berarti bagi politik dan sosial dalam sejarah Iran.
[11] Selama gerakan sosial yang dikenal sebagai gerakan Konstitusi 1905, banyak ulama masa ini memperingatkan Dinasti Qajar dengan istilah zulm (menindas keadilan Imam Ghaib). Para pedagang umumnya cemas dengan arus barang-barang asing dan kemudahan yang diberikan kepada pihak asing untuk menjual barang-barang mereka di Iran akibatnya banyak yang mengalami kemunduran dan kebangkrutan akibat wiraswastawan Eropa: Esposito, Ensiklopedi, hlm. 330.
[12] Lihat Riza Sihbudi, “ Revolusi Iran: Sebuah Pandangan Sosiologi Politik “, Timbangan Buku “ The State and Revolution in Iran ” karya Hossein Bashiriyah (London & Canberra: Croom Helm, 1984), hlm. 203, dalam Jurnal Ilmu Politik 2, 1986, hlm. 112-115; Ibid., Biografi Politik Imam Khomeini (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 5.
[13] Sihbudi, Biografi, hlm. 6.
[14] Esposito, Ensiklopedi, hlm. 329-337.
[15] Mustafa Kemal Ataturk, merupakan penggagas moderenisme di Turki disebut juga bapak pendiri Republik Turki, melakukan serangkaian pembaharuan politik dan moderenisasi politik dengan berupaya mendirikan sebuah negara bangsa yang modern yang cenderung ke demokrasi sosial yaitu gagasan yang berasal dari Eropa reformasi yang dicangkokkan pada Turki merdeka melalui dua konsep komplementer: semangat kontemporer dan Nasionalisme. Lihat M. Naim Turfan, entri “ Mustafa Kemal Ataturk ”, dalam Esposito, Ensiklopedi, hlm. 217-219.
[16] Esposito, Demokrasi, hlm. 68-69.
[17] Perlu diketahui bahwa pembentukan negara bangsa di Iran merupakan ilmbas dari beberapa revolusi yang terjadi di Barat. Seperti yang dikemukakan Lapidus, bahwa revolusi Perancis dan revolusi Amerika sama-sama mengakibatkan perubahan besar di bidang politik dan kecakapan bernegara. Mereka membidani kelahiran negara kebangsaan moderen yang dibangun berdasarkan persamaan dan partisipasi relatif warga negara, kekentalan identifikasi penduduk dengan kultural politik, nasional. Mereka juga memprakarsai pembentukan institusi parlemen yang memungkinkan penyebarluasan perwakilan politik, dan struktur negara yang menggabungkan penggunaan kekuasaan dan kepentingan otonomi earga dan kebebasan politik masing-masing warga negara: Lapidus, Sejarah, hlm. 6.
[18] Meuleman, Johan Hendrik, Dinamika Abad Ke-20, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 6 (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 30.
[19] Ibid., hlm. 30.
[20] Lapidus, Sejarah, hlm. 48-49.
[21] Hossein Bashiriyah, “The State and Revolution in Iran 1968-1982” (London & Canberra: Croom Helm, 1984), hlm. 203; Sihbudi, Revolusi, hlm. 113-144.
[22] Esposito, Demokrasi, hlm. 66,
[23] Sihbudi, Revolusi, hlm.114. Perlu dicatat bahwa Ideologi Syi’ah yang berakar kuat dalam keyakinan masyarakat Iran sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan revolusi Islam Iran. Aktor Intelektual revolusi Islam Iran selain Imam Khomaeni adalah Ali Syari’ati, ia berhasil menerjemahkan secara mudah ideologi Syi’ah menjadi revolusioner dengan paradigma sosiologis Marxis.
[24] Ibid., hlm. 79-80.
[25] John. L. Esposito, Islam dan Politik, terj. Jusup Soe’yb (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 196.
[26] Sihbudi, Biografi, hlm. 60.
[27] Sayyed Ali Qaderi, The Life of Imam Khomeini, Volume One, M. J. Khalili and Salar Manaf Anari (ed) (The Institute for Compilation and Publication df Imam Khomeini’s Work: International Affair Department, Teheran, 2001), hlm. 61.
[28] Sa’id Najafiyan, “Imam Khumayni: Life and Works” part 1, al-Tawhid (Mei-Juni 1990), hlm. 117-135; Mohsen Milani, The Making, hlm. 88. Namun sumber-sumber lain menyebutkan Ayatullah Khomeini dilahirkan pada tahun 1900 atau 1901, lihat misalnya, A Biography of Imam Khomeini, (Teheran, 1982), hlm 3 dan Ringkasan, Biografi, Pidato-Pidato dan Wasiat Imam Khomeini (Jakarta: Kedutaan Besar Republik Islam Iran, 1989), hlm. 1. Sementara Amir Taheri menyebutkan tanggal kelahiran Ayatullah Khomeini sebagai 9 November 1902, Lihat Taheri, The Spirit, hlm. 9 dan Sihbudi, Biografi, hlm. 36.
[29] Nama Khomeini berasal dari nama Kota Khumayn. Di Iran memang ada semacam Tradisi menggunakan nama kota/daerah sebagai nama orang, biasanya dengan menambahkan akhiran ‘i’. Contoh lain Rafsanjan menjadi Rafsanjani dan Teheran menjadi Teherani dan sebagainya, sedangkan gelar Sayyid menunjukkan adanya garis keturunan dari Nabi Muhammad SAW: Sihbudi, Biografi, hlm. 36.
[30] Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, terj. Anis Maulachlea (Jakarta: Penerbit Pustaka Zahra, 2006), hlm. 9, dalam pengantar penerbit.
[31] Sihbudi, Biografi, hlm. 43
[32] Ibid., hlm. 10.
[33] Ibid.
[34] Sihbudi, Biografi, hlm. 39. Dalam beberapa sumber ada mengatakan bahwa Khomeini menikah pada usia ke-27 tahun, seperti yang dikutip dari Khomeini, Sistem, hlm. 9; Norman Calder, entri “ Ruhullah al-Musawi Khomeini” dalam Jhon L Esposito (eds), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,Jilid 6 (Bandung: Penerbit Mizan, 2004), hlm. 214.
[35] Sihbudi, Biografi, hlm. 42-43.
[36] Ibid.
[37] Hamid Algar, “Iman Khomeini Sang Sufi”, dalam Mata Air Kecemerlangan: Sebuah Pengantar Untuk Memahami Pemikiran Imam Khomeini (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm.72-73.
[38] Ayatullah Syaikh Abdul Karim Ha’eri (1859-1936), merupakan ulama dan cendekiawan yang cukup disegani di Arak, yang kemudian mendirikan sekolah teologi yang dikenal sebagai Hauz-e Ilmiye atau Hawzat ‘Ilmiyyah (lembaga pengajaran) di kota suci Qom. Pada tahun 1922, Ayatullah Ha’eri pindah ke Qom dan menetap seterusnya di kota ini, kemudian Imam Khomeini pun ikut pindah ke Qom. Menurut Hamid Alghar, Ayatullah Ha’eri bersama Ayatullah Burujerdi (1875-1961) merupakan dua tokoh yang secaa langsung memberikan latar belakang terhadap munculnya Imam Khomeini. Hamid Alghar, “ Khomeini Penjelmaan Sebuah Tradisi”, dalam Siddiqui, Gerbang, hlm. 205-206.
[39] Sihbudi, Biografi., hlm. 40.
[40] Baqer Moin, “ Ayatullah Khomeini Mencari Kesempurnaan: Teori dan Realitas”, dalam Ali Rahnema (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), hlm. 86.
[41] Ibid., hlm. 87.
[42] Kritik Khomeini ini terutama berasal dari tulisannya yang diterbitkan menjadi sebuah buku yang berjudul Kasyf al-‘Asrar (Pengungkapan Rahasia-Rahasia) pada tahun 1941. Yamani, Filsafat, hlm. 112.
[43] Ada bukti bahwa Khomeini sendiri termasuk yang bersikap seperti ini. Seorang muridnya menuturkan, ketika Bafqi -seorang Ayatullah yang tidak disukainya- balik ke Qum, setelah dibuang, Khomeini mengunjunginya. Bafqi marah, karena para mullah membiarkan pihak berwenang menghancurkan Mesjid Imam di Qum untuk pembangunan jalan. Bafqi berkata kepada Khomeini: “Anda disini dan membiarkan mereka menghancurkan mesjid Imam?” Jawab Khomeini “at-taqiyyatu dini wa dinu aba’i (Taqiyah adalah jalanku dan jalan leluhurku)”., Teherani, M.S. dalam Yad Quartely, No. 4, Teheran, 1986; lihat juga, Rahnema, Para, hlm. 83.
[44] Ibid.
[45] Yamani, Filsafat, hlm. 112.
[46] Yamani, Filsafat, hlm. 112-113.
[47] Sihbudi, Biografi, hlm. 60.
[48] Ilmu Irfan disebut juga gnositisme, merupakan cabang dari ilmu filsafat yaitu pengetahuan mistis dunia bathiniyah manusia yang mengupayakan keakraban dengan Allah. Rahnema, Para, hlm. 74.; Khomeini sendiri mengatakan bahwa al-Qur'an sarat dengan kajian-kajian 'irfani yang hanya bias difahami oleh seorang yang mumpuni, yang merupakan puncak rahasia dan menjadi sebab keagungan serta kebesaran al-Qur'an" al-Qur'an yang mulia sangat sarat dengan rahasia, hakikat, makna-makna luhur, tauhid dimana akal ahli makrifat tercengang dengannya dan ini adalah mukjijat agung lembaran cahaya samawi (al-Qur'an)", Sayid Ridha Moaddab, "Metode Tafsir Mistis (Irfani) Imam Khomeini" dalam Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam Al-Huda, Volume V, Nomor 13, Tahun 2007), hlm. 15.
[49] Rahmena, Para, hlm. 74.
[50] Yamani, Filsafat, hlm. 121.
[51] Ibid, hlm. 121-122.
[52] Ibid., hlm. 74-75.
[53] Bahasa simbolik disebut juga bahasa ramzi atau isyari, Imam Khomeini meyakini bahwa al-Qur'an sangat kaya dengan kandungan-kandungan mistis dan symbol-simbol, namun untuk memahaminya tidak sembarang orang dapat melakukannya. Khomeini menelaah dan mengkaji tafsir dari ayat-ayat al-Qur'an dengan gaya ramzi dan isyar'i yang syarat dengan bahasa serta rahasia-rahasia irfani. Moaddab, "Metode", hlm. 5.
[54] Rahnema, Para, hlm. 75.
[55] Ibid., hlm. 76.
[56] Carlsen, Mata, hlm. 98-106.
[57] Menurut ingatan kira-kira Imam Khomeini sendiri, tulisannya yang pertama adalah komentar atas suatu hadits yang dikenal sebagai Ra’s Al-Jalut (Kepala Sang Goliat), tapi Sayyid Ahmad Khomeini menganggap Imam Khomeini keliru Ingat. Dikutip Hamid Algar, dari catatan-catatan Imam Khomeini dalam Sargousashka, jilid I, hlm 40 pada tulisannya “Imam Khomeini Sang Sufi”, dalam Carlsen, Mata, hlm.72-73.
[58] Karya ini untuk pertama kalinya diterbitkan setelah revolusi, bersama dengan pengantar bahasa Persia dan catatan-catatan oleh Sayyid Ahmad Fihri (Teheran 1369/1980). Aslinya dalam bahasa Arab diterbitkan secara terpisah di Beirut pada 1402/1982); Carlsen, Mata, hlm. 73.
[59] Terdapat tiga edisi terpisah dari karya ini, salah satunya yang dipersiapkan oleh sayyid Ahmad Fihri, memuat teks Arab dan terjemahan Parsi dan hanya ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang dikutip, yang juga diterbitkan sebagai buku edisi terpisah di Teheran pada 1360-1980. kedua edisi lainnya memuat hanya terjemahan Parsi dan seluruh isinya. Ibid., hlm. 73.
[60] Gaya bahasa dalam kitab ini sangat dipengaruhi dari konsep-konsep dan terminolog Ibnu Arabi. Ibid., hlm. 74.
[61] Carlsen, Mata, hlm. 74. Hanya setelah Revolusi Kitab Misbah al-Hidayah ila al-Khilafah wa al-Wilayah, diterbitkan, sekali lagi sebagai hasil upaya Sayyid Ahmad Fihri (Teks Arab serta terjemahan Persianya, Teheran 1360/1981).
[62] Kasyf al-‘Asrar (Pengungkapan Rahasia-Rahasia) adalah karya pertama yang ditulis oleh Khomeini mengenai politik. Buku ini diterbitkan ketika Reza Khan yang telah digulingkan dan diasingkan oleh tentara sekutu yang menduduki Iran, di sini Khomeini secara keras menyerang para imperialis dan agen-agennya, seperti Reza Khan dan Attaturk, dan rencana-rencana mereka untuk menjatuhkan Islam. Buku ini terdiri atas enam bagian. Bagian pertama adalah sanggahan terhadap doktrin-doktrin Wahhabi. Bagian kedua adalah tentang Imamah. Bagian ketiga membahas mengenai otoritas dan kekuatan legal para mujtahid selanjutnya bagian keempat dan kelima membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan Pemerintahan Islam dan bagian terakhir menjawab serangan-serangan terhadap keabsahan hukum Islam dan membahas sebab-sebab merosotnya perhatian terhadap agama. Dalam kitab Kasyf al-‘Asrar ini telah tampak bibit-bibit ketegasan dan keteguhan yang mencirikan pernyataan-pernyataan, pesan-pesan dan pidato-pidato Khomeini pada tahun-tahun setelah revolusi. Lihat Sa’id Najafian, “Karya-Karya Imam Khomeini”, dalam Hamid Algar dan Robin W. Carlsen, Mata , hlm. 101-102.
[63] Sikap permusuhan Ayatullah Khomeini terhadap rezim Pahlevi dan landasan konsep revolusionernya tentang Negara Islam diekspresikan dalam rangkaian kuliahnya di Najaf yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku ini. Sa’if, "Karya. ", hlm. 103-105.
[64] Karya-Karya dibidang Ushul Fiqh antara lain; Risalah’i Musytamil bar fawa’idi dar Masa’il-e Musykilah, yang memuat pendapat-pendapat gurunya Ayatullah Haeri Yazdi dalam bidang Ushul Fiqh, Tahdzib al-Ushul (1945), Risalah fi al-Ijtihad wa al-Taqlid (1950), Nayl al-‘Awthar fi Bayan Qaidat la Dharar wa la Dhirar (1955), Ta’liqah ‘ala Kifayat wa Ushul (1948), al Tasa’il (1965), Risalah fi Mawdhu’ ‘ilm Al-Ushul, Risalah fi Qa’idat man Malak, Kitab al-Thaharah 3 jilid (1955), Ta’ilqah ‘ala al-‘Urwat al-Wustqa (1955), al-Makasib al Mukarammah (1961), Hasyiyah Tawdid al Masa’il (1961), Risalah-ye Najat al-‘Ibad, Hasyiyah Risalah-ye Irts, Ta’liqah ‘ala Washilat al-Najat, Tahrir al-Washilah (1946), Manashikh-e Hajj (1964), Kitab al-Bay (1976), Kitab al Khalal fi al-Shalat (1978) dan Risalah fi Ta’yin al-Fajr fi al-Layali al-Muqamirah (1988), Sa’if,"Karya., hlm. 103-105.

No comments:

 

Most Reading