MUNAWIR SJADZALI DAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

Thursday 8 January 2009

MUNAWIR SJADZALI DAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA
Oleh: Masnun Tahir

Pendahuluan
Ketika pertama sekali pada akhir 80-an, Munawir Sjadzali melontarkan isu tentang reaktulisasi ajaran Islam yang berkaitan dengan gugatan yang cukup fundamental pada nas}s}-nas}s} syari’ah. Pada saat itulah ia mulai memasuki persoalan dilematis antara syari’ah yang bersifat holistik dan realitas ke-Indonesiaan yang bersifat domestik.
Namun di luar dari pengemukaan ide tersebut, ia telah mencoba membangun karakter baru syari’ah, yang dalam lontaran politik, dikenal dengan istilah “membangun peradaban dan karakter masyarakat yang khas Indonesia (nation state and character building), yang pluralistik dan anti diskriminasi berdasarkan apapun”. Persamaan equalitas pria dan wanita dalam pandangan berbangsa, seperti terumuskan dalam UUD 1945, tidak hanya dalam urusan waris, tetapi hampir pada seluruh aspek kehidupan. Sementara itu dalam tafsir al-Qur’an dan al-Hadis dilema tersebut hampir terjadi di setiap aspek kehidupan. Dilema yang sama juga terjadi pada pergaulan antar umat beragama, antara muslim dan non muslim. UUD 1945 anti terhadap diskriminasi berdasarkan gender, agama dan lainnya, sedangkan syari’ah memberlakukan sebaliknya.
Menghadapi realitas seperti demikian, umat Islam Indonesia dihadapkan pada dua pilihan; antara menggunakan syari’ah yang ada secara fundamental, dengan konsekuensi umat Islam termarginalkan dalam pergaulan masyarakat modern yang berkembang dengan sangat kompleks, atau menyerahkan kepada hukum sekuler secara absolut tanpa bantahan, yang berarti meninggalkan doktrin al-Qur’an dan al-Hadis. Kemungkinan lain adalah menjadikan al-Qur’an dan al-Hadis sejalan dengan semangat perkembangan masyarakat, dengan tetap konsisten, tanpa mengubah identitas dasar Islam. Pilihan inilah yang kemudian didengungkan oleh beberapa pembaharu modern Islam termasuk Munawir Sjadzali.
Keberadaan Munawir Sjadzali dalam wilayah intelektual Indonesia, tidak disangsikan lagi sebagai salah satu pemikir modern dalam wacana pemikiran politik Islam di Indonesia. Di satu sisi kehadirannya mampu mendobrak tatanan baru pola pemikiran politik Islam dengan menghadirkan suasana baru ketika berhadapan dengan teks-teks Islam. Dan di sisi lainnya secara genial ia mampu memadukan gagasan-gagasan yang ada dalam berbagai tradisi yang berbeda berdasarkan beberapa kerangka teoritisnya.
1. Biografi Intelektual-Sosial Munawir Sadzali
Dalam rangka menyingkap lebih dalam misteri pemikiran seseorang, secara inherent pemaparan mengenai setting histories-nya menjadi keharusan. Amin Abdullah menggaris-bawahi bahwa lingkungan yang menjadi tempat seseorang dan masyarakat berada, ikut mempengaruhi proses aktualisasi norma-norma dalam kehidupan praksis-sosialnya. Keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praksis, sebenarnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan di manapun ia berada.[1]) Jadi ide dan gagasan pemikiran seseorang pasti selalu based on historical problems. Oleh karena itu, terkait dengan Munawir Sjadzali sebagai representasi pemikir politik Islam, konteks lingkungannya cukup strategis untuk diabstraksikan.[2])
Munawir Sjadzali lahir di Karang Anom, Klaten, Jawa Tengah tanggal 7 Nopember 1925. Ia adalah anak tertua dari delapan bersaudara dari pasangan Abu Aswad Hasan Sjadazali dan Tas’iyah. Dari segi ekonomi, keluarganya tergolong jauh dari sejahtera, tetapi dari segi agama keluarga ini adalah santri.
Pendidikan SD dan SMP di Solo (1937-1940); Sekolah Tinggi Islam Mamba’ul Ulum dan SMA di Solo (1943). Setelah menamatkan sekolah ini ia langsung menjadi guru di Ungaran, Semarang (1944-1945), Kursus Diplomatik dan Konsuler Deplu di Universitas Exeter, Inggris Raya (1953-1954); memperoleh M.A. dari Universitas Georgetown, AS (1959) mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Agama Islam dari IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. [3])
Selama masa perjuangan kemerdekaan ikut menyumbangkan tenaga antara lain sebagai penghubung antara markas pertempuran Jawa Tengah dengan badan-badan kelaskaran Islam.
Ia adalah tokoh intelektual dan agama serta diplomat yang menjabat sebagai Menteri Agama sejak Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) hingga Kabinet Pembangunan V (1988-1993).
Karirnya di Departemen luar negeri dirintis sejak tahun 1950 ketika ditugaskan pada seksi Arab/Timur Tengah. Di luar negeri, ia menjalankan tugas berturut-turut di Washington DC (1956- 1959) dan Kolombo (1963-1968). Kemudian menjabat sebagai Minister/Wakil Kepala Perwakilan RI di London (1971-1974) dan selanjutnya diangkat menjadi Duta Besar RI untuk Emirat Kuwait, Bahrain, Qatar dan Perserikatan Keamiran Arab (1976-1980).
Adapaun tugas-tugasnya di dalam negeri adalah Kepala Biro Tata Usaha Departemen luar Negeri (1969-1970), Kepala Biro Umum Deplu (1975-1976), Staf Ahli Menteri Luar Negeri dan Direktur Jenderal Politik Deplu (1980-1983). Setelah itu diangkat menjadi Menteri Agama selama dua periode (1983-1993). Jabatan lain yang pernah dijalaninya adalah anggota DPA dan pernah menjadi ketua KOMNAS HAM> Republik Inddonesia.[4])
Pak Mun –begitu sapaan akrabnya- telah berpulng ke rahmatullah pada jumat 23 Juli 2004 di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta. Almarhum sempat dirawat di rumah sakit tersebut sejak 8 Juni 2004 akibat serangan stroke dan komplikasi beberapa penyakit. Almarhum Pak Munawir dikenal sebagai pendidik, diplomat, birokrat dan sekaligus pemikir. Sebagai pendidik ia dikenal dengan ide-ide cemerlangnya menyangkut perbaikan sistem pendidikan Islam dan masa depan mutu cendekiawan muslim. Saat ini doktor-doktor Islam lulusan Universitas di Barat ( MC Gill, UCLA) tidak akan mungkin melupakan jasa-jasa Munawir Sjadzali, karena dialah yang memperjuangkan jalur studui ke barat tersebut ketika menjabat sebagai Menteri Agama. Proyek Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) yang dibuka sejak tahun 1988 dan kelak melahirkan banyak sekali bibit unggul, lahir dari pikirannya pula.[5])
Sebagai Menteri Agama, Munawir telah banyak mengeluarkan kebijakan berkenaan dengan kehidupaan keagamaan dan lembaga keagamaan. Namun secara umum kebijakan-kebijakan itu berada di bawah semangat Munawir untuk merumuskan hubungan yang viable antara Islam dan negara. Rumusan yang diajukan Munawir memiliki afinitas dengan mainstream kebijakan negara yang ingin meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk yang berhaluan keagamaan. Konsep-konsep yang dibawa Munawir mendapat dukungan sepenuhnya dari negara. Tidak heran jika semasa Munawir menjabat Menteri Agama pemerintah Orde Baru mengakomodasi banyak kepentingan umat Islam. Tercatat beberapa peraturan-peraturan yang nampaknya menguntungkan Umat Islam sebagai hasil konsesi pemerintah terhadap keadaan umat Islam dan Departemen Agama seperti UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres no. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.[6])
Selain sebagai diplomat ulung Munawir juga seorang intelektual yang cukup produktif, sehingga sangat banyak karya yang telah ditulisnya, sebagian ada yang sudah dibukukan dan sisanya masih terpencar. Di antara karya-karya Munawir yang berupa buku adalah:
a. Islam dan Tata Negara” merupakan pokok pikirannya tentang wacana politik Islam yang dikomparasikan dengan konteks pluralitas bangsa Indonesia, diterbitkan oleh UI Press.
b. “Islam Realitas Baru dan Orientasi Masa Depan Bangsa” yang berbicara mulai dari karakter dasar hukum Islam sampai Pancasila, diterbitkan oleh UI Press.
c. “Ijtihad Kemanusiaan”. Buku ini mengupas segi inner dinamic Islam sebagai rah}matan li al-a>lami>n dalam perspektif kemanusiaan, diterbitkan oleh Paramadina.
d. “Bunga Rampai Wawasan Islam Dewasa ini”. Buku ini berisi tentang tawaran Munawir tentang problematika yang dihadapi umat Islam dewasa ini.
e. Islam and Govermental System: Teaching, History and Reflections”, diterbitkan oleh INIS Jakarta.
f. “Reaktualisasi Hukum Islam”. Tema ini tersebar di dalam berbagai buku, bahkan sebagai tema polemik dalam diskursus pemikiran Islam di Indonesia. Misalnya dalam buku “Ijtihad Dalam Sorotan”, “Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,” dan “Hukum Islam di Indonesia”.
Untuk menghargai jasa-jasa Pak Munawir dalam diskursus pemikiran Islam di Indonesia ada beberapa karya khusus didedikasikan kepadanya antara lain: Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali,[7]) Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam,[8]) Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik,[9]) Islam, Negara dan Civil Society,[10]) dan Islam berbagai Perspektif.[11])
2. Pemikiran Munawir Tentang Hubungan Islam dan Negara
Jika diletakkan dalam konteks dunia Islam, perhatian Munawir terhadap masalah hubungan antara Islam versus negara, yang terutama terepleksikan dalam karya intelektualnya, sebenarnya sesuatu yang wajar. Di seluruh dunia Islam, hubungan Islam dan negara memang sudah lama menjadi satu persoalan pelik. Ungkapan inna al-Isla>m di>n wa dawlah yang populer di lingkungan kaum muslim sebenarnya lebih menunjuk pada manifestasi Islam dalam sejarah daripada sebuah rumusan konsepsional yang aplicable dalam realitas. Oleh karena itu, tepatnya sejak keruntuhan kolonialisame Barat pada pertengahan abad ke-20 negara-negara Islam seperti Turki, Mesir, Sudan atau Aljazair mengalami kesulitan dalam upaya membangun hubungan yang memungkinkan antara Islam dan negara. Di sejumlah negara itu, posisi Islam versus negara senantiasa berada pada kutub-kutub pemikiran dan aksi politik yang saling tarik menarik dan antagonistik. Padahal pada saat yang sama di sejumlah negara itu Islam menduduki posisi penting, baik karena masa lalunya maupun karena Islam merupakan agama yang dianut mayoritas penduduknya. Oleh karena itulah kalangan pengamat muncul pertanyaan krusial: apakah Islam sesuai atau tidak dengan sistem politik modern, dimana ide negara bangsa (nation-state) merupakan unsur terpentingnya.[12])
Dalam konteks Indonesia hubungan antara Islam dan negara memiliki tradisi yang amat panjang. Akar-akar geneologisnya dapat ditarik ke belakang hingga akhir abad ke-13 dan awal abad ke-14, ketika Islam -seperti dikatakan banyak kalangan- pertama kali diperkenalkan dan disebarkan di kepulauan ini. Dalam perjalanan sejarahnya yang kemudian inilah Islam, sambil mengadakan dialog yang bermakna dengan realitas-realitas sosio-kultural dan politik setempat, terlibat dalam politik. Pada kenyataannya malah dapat dikatakan bahwa Islam, sepanjang perkembangannya di Indonesia telah menjadi bagian integral dari sejarah politik negeri ini –meskipun ini tidak serta merta mengandaikan bahwa Islam secara inheren adalah agama politik, seperti dikatakan sejumlah pengamat.[13])
Sejak negara ini merdeka masalah tersebut telah menyulut ketegangan, permusuhan, bahkan konflik fisik antara keduanya. Dalam masa-masa formatif negara ini kaum muslim tidak hanya terus menerus menyuarakan aspirasinya untuk tidak hanya menjadikan Islam sebagai dasar negara, tetapi juga menjadikan sistem politik Islam sebagai panduan dalam mengatur negara. Sejarah menjadi menarik berhubungan dengan munculnya beberapa komunitas yang berobsesi mewujudkan sebuah negara agama (DI TII/NII) berdasarkan syari’ah di abad modern ini. Perdebatan tentang keterlibatan Tuhan dan implikasi kebijakan-Nya menjadi ramai kembali, ketika pemberontakan atas nama agama meletus di sana sini waktu itu (Aceh, Jawa Barat, Sulawesi).[14]) Meskipun usaha ini selalu berujung pada sebuah kegagalan, namun aspirasi ini tidak pernah berhenti dan secara konstan tetap menjadi wacana yang menarik. Setiap ada kesempatan dan peluang sekecil apapun aspirasi demikian kembali muncul ke permukaan. Hampir sepanjang abad, ada sebagian umat Islam, bercita-cita bahkan memberontak untuk sekedar sebuah wujud obsesi ini. Sejarah menjadi menarik bertitik taut dengan munculnya beberapa komunitas yang berobsesi mewujudkan sebuah negara (teokrasi) berdasarkan syari>’ah (integral) di abad modern ini misalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).[15]) Dalam konteks Indonesia, hampir setiap sidang yang diselenggarakan oleh DPR/MPR isu tentang usaha pemberlakukan Piagam Jakarta tetap menjadi isu yang menarik.
Setidaknya terdapat dua kesempatan dan peluang resmi yang digunakan kaum muslim untuk mewujudkan aspirasi politiknya. Pertama, pada saat berlangsungnya diskusi mengenai dasar negara pada tahun 1945. Pada saat ini wakil-wakil Islam mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi atau agama negara. Kedua, pada dekade 1950-an dalam sidang-sidang konstituante yang memberi peluang apada setiap kelompok untuk mendiskusikan kembali konstruk ideologi dan undang-undang dasar. Bahkan jika dibandingkan dengan yang terjadi pada kesempatan pertama, kesempatan kedua ini menyajikan perdebatan lebih luas mengenai pentingnya ideologi Islam dan konsepsi sistem politik Islam dalam negara Indonesia.[16])
Kerasnya sikap kaum muslim dalam memperjuangkan aspirasi politik ternyata membawa implikasi negatif –jika tidak boleh dikatakan merugikan- masyarakat Islam sendiri, baik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Di kalangan pemerintah tidak hanya muncul kecurigaan terhadap kaum muslim, tetapi mereka juga dipandang sebagai kelompok yang tidak sepenuhnya bersedia menerima Pancasila sebagai ideologi negara. Situasi demikian pada gilirannya menimbulkan respons balik. Tidak sedikit pemikir dan aktivis politik Islam yang memandang negara dengan curiga. Dalam kaitan ini dapat dikatakan bahwa dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam berkembang rasa saling curiga antara kelompok Islam dan negara.
Dalam situasi sosial politik seperti inilah Munawir diangkat sebagai Menteri Agama. Di sini Munawir segera dihadapkan kepada kelompok-kelompok Islam lama yang masih memperjuangkan ideologi Islam dan secara a priori menolak Pancasila sebagai asas tunggal; kalangan intelektualisme baru yang tidak lagi memperjuangkan ideologi Islam atau negara Islam, sebaliknya malah bersemboyan “Islam Yes, Partai Islam No”; dan kalangan ormas-ormas Islam yang lain masih bersikap menunggu.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia tersebut tidak terlepas dari pengamatan Munawir, meskipun secara formal ia bekerja di Departemen Luar Negeri. Bahkan karena tidak terlibat langsung dalam organisasi-organisasi Islam,Munawir mengakui dapat sepenuhnya mendudukkan diri sebagai pengamat. Bahkan dengan posisinya ini, ia dapat berpikir dan menganalisis secara “objektif” perkembangan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia. [17])
Problematika hubungan Islam dan negara di anah air sebenarnya setua Indonesia sendiri. Sejak perdebatan konstituante pasca kemerdekaan (akhir tahun 1950-an) , masalah ini meruncing dan tidak pernah terselesaikan. Perdebatan berkisar tentang bentuk negara yang hendak diciptakan, apakah teokratis atau sekuler. Dua sisi ekstrim yang sulit dipertemukan. Akhirnya jalan tengah yang paling baik ditempuh yaitu negara yang non teokratis tetapi agama dilihat sebagai satuan denominasi dalam masyarakat yang diakui dan dipelihara oleh negara. Negara Pancasila itulah sebutannya.
Pada dasarnya dalam perspektif pemikiran politik Islam, setidaknya ada tiga paradigma hubungan antara agama dan negara yaitu:
Pertama, paradigma integralistik. Dalam konsep ini agama dan negara menyatu (integral). Agama Islam dan negara, dalam hal ini tidak dapat dipisahkan. Wilayah agama juga meliputi wilayah negara (di>n wa dawlah). Karenanya menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar “kedaulatan ilahi” (devine sovereignity) karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.[18])
Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi’ah. Hanya saja dalam term politik Syi’ah, untuk menyebut negara (ad-dawlah) diganti dengan istilah ima>mah (kepemimpinan). Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyeleggarakan “kedaulatan Tuhan”, negara dalam perspektif Syi’ah bersifat teokratis, salah satu wacana yang dikritik oleh kaum Islam liberal. Negara teokratis mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (syari’ah).
Paradigma integralistik ini yang kemudian melahirkan paham negara agama, di mana praktek ketatanegaraan diatur dengan menggunakan prinsip-prinsip keagamaan, sehingga melahirkan konsep Islam di>n wa dawlah. Sumber hukum positipnya adalah sumber hukum agama. [19]) Selain kelompok Syi’ah, pendukung paradigma ini juga berasal dari kelompok Suni seperti Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Sekh Muhammad Rasyid Rida dan Maulana Al-Maududi. [20])
Kedua, Paradigma Simbiotik. Menurut pandangan ini agama versus negara berhubungan secara simbiotik, yakni suatu hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara karena dengan negara agama dapat berkembang, sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan moral dan etika. Paradigma simbiotik ini dapat ditemukan dalam pemikiran al-Mawardi dalam bukunya al-Ah}ka>m al-Sult}a>niyyah. Dalam buku ini ia mengatakan bahwa kepemimpinan negara (ima>mah) merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia (hara>s\ah al-di>n wa al-dunya>). Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktifitas yang berbeda, namun mempunyai hubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.[21])
Dalam konsepsi al-Mawardi tentang negara, syari’ah mempunyai posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik. Dalam ungkapan lain al-Mawardi mencoba mengkompromikan realitas politik dengan idealitas politik seperti disyaratkan oleh agama, dan menjadikan agama sebagai alat justifikasi kepantasan atau kepatutan politik. Dengan demikian, al-Mawardi sebenarnya mengenalkan sebuah pendekatan pragmatik dalam menyelesaikan persoalan politik ketika diperhadapkan dengan prinsip-prinsip agama. Pemikir-pemikir lain juga berpendapat demikian adalah al-Ghazali (w. 1111) dalam karyanya Nas}iha>t al-Mulk, Kimiya-yi al-Sa’a>da>t dan al-Iqtis}a>d fi al-I’tiqa>d.[22])
Ketiga, Paradigma Sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan antara agama daan negara. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Pemrakarsa paradigma ini adalah Ali Abd al-Raziq, seorang cendekiawan muslim dari Mesir. Dalam bukunya al-Isla>m wa Us}u>l al-H}ukm, Raziq mengatakan bahwa Islam hanya sekedar agama dan tidak mencakup urusan negara; Islam tidak mempunyai kaitan agama dengan sistem pemerintahan kekhalifahan, termasuk kekhalihan Khulafa>’ al-Ra>syidi>n, bukanlah sebuah sistem politik keagamaan atau keislaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi. Ali Abd Raziq sendiri menjelaskan pandangan pokok pandangannya bahwa:
Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tetapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, ekonomi yang kita miliki dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tuntutan zaman.[23])
Pandangan Raziq ini tentu saja menyulut kontroversial bahkan hingga sekarang. Rashid Ridha merasa gerah dengan pikiran Raziq sehingga menulis buku “al-Khila>fah aw al-Ima>mah al-Uz}ma>” dan “Yusr al-Isla>m wa Us}u>l al-Tasyri>’ al-A. Munculnya karya Khalid Muhammad Khalid “Min Huna> Nabda’”, karya al-Gazali “Min Huna> Na’lam”, karya Sayyid Qutb “al-‘Ada>lah al-Ijtima>iyyah”, Muhammad ‘Ima>rah “al-Isla>m Wa Us}u>l al-Ahka>m Li ‘Ali> ‘Abd al-Razi>q”, semuanya merupakan diskusi lebih lanjut tentang perbedaan pendapat mengenai Islam versus negara.[24]) Tokoh lain yang mengikuti pendapat ini adalah Thaha Husein.[25])
Namun yang menarik adalah hasil penelitiannya Muhammad Qasim Zaman di mana setelah melacak kembali data-data sejarah awal Islam akhirnya ia sampai pada kesimpulan bahwa “tidak ada bukti sejarah yang kuat yang mengindikasikan adanya pemisahan agama dari politik dalam sejarah Islam”.[26])
Dalam konteks Indonesia, polarisasi itu juga terjadi, namun bagi Munawir setelah menganalisa ketiga pemikiran yang berkembang akhirnya ia berkesimpulan: Setelah memperhatikan kelemahan-kelemahan mendasar pada dua aliran (integralistik dan sekularistik), kiranya bertanggungjawab terhadap Islam kalau kita kemudian cenderung mengikuti aliran simbiotik yaitu paradigma penengah antara integralistik dengan paradigma sekularistik.[27])
Lebih lanjut Munawir mengemukakan bahwa bangsa Indonesia khususnya umat Islam patut bersyukur bahwa para pendiri negara ini telah merumuskan Pancasila untuk dijadikan ideologi negara. Dengan demikian, hendaknya umat Islam Indonesia menerima negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila ini sebagai sasaran akhir dari aspirasi politiknya. Dalam kaitan ini dapat dikemukakan, baik dalam sistem politik maupun sistem hukum, terdapat persamaan antara Republik Indonesia dan sebagian besar dari negara-negara Islam yang ada di dunia sekarang ini, sama-sama mengikuti pola politik barat, dengan adaptasi dan modifikasi, dan sama dalam hal, selain dalam bidang-bidang perkawinan, pembagian warisan dan perwakafan, sistem hukum di negara-negara tersebut tidak sepenuhnya bersumberkan hukum Islam.[28])
Pandangan Munawir ini diperkuat oleh Ibrahim Hosen dengan mengatakan bahwa NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah termasuk Da>r al-Isla>m yang pemerintahannya wajib ditaati oleh warga negara RI yang beragama Islam, sejalan dengan firman Allah:
يايها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الامر منكم... ) [29]
Alasan Hosen adalah bahwa di Indonesia mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Umat Islam bukan saja dilindungi dan dijamin hak-haknya, akan tetapi juga diberi kebebasan berdasarkan undang-undang untuk mengamalkan ajaran agamanya, bahkan mengembangkan dan menyebarluaskannya. Lebih dari itu malah, pemerintah membantu dan ikut aktif mengembangkan, memajukan dan menyemarakkan syi’ar agama Islam.[30])
Alasan lain adalah bahwa dalam proses penyusunan UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara serta isinya sesuai dengan teori dan konsepsi siyasah Islam yang mengedepankan musyawarah dan tidak ada satu butirpun yang merugikan atau mempersulit, prinsip-prinsip keadilan juga tercermin di sana serta semangat dan jiwanya relevan dengan prinsip-prinsip umum pensyari’atan hukum Islam. Untuk itu dilihat dari sisi ini pun menurut Ibrahim Khosen, pemerintahan RI tidak diragukan lagi bahwa eksistensinya cukup Islami dan oleh sebab itu kebijakannya wajib ditaati selama untuk kemaslahatan.[31])
Tokoh lain yang memperkuat pandangan politik Munawir ini adalah KH. Sahal Mahfud (kini Ketua MUI Pusat). Sahal berpandangan bahwa Islam dan politik mempunyai titik singgung yang erat, bila keduanya dipahami sebagai sarana menata kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh. Islam tidak hanya dijadikan kedok untuk mencapai kepercayaan dan pengaruh dari masyarakat semata. Politik juga tidak hanya dipahami sekedar sebagai sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan.
Menurut Sahal dalam konteks Indonesia, korelasi Islam dan politik juga menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas berbangsa dan bernegara. Ini bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di tanah air. Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik, bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.[32])
Jadi dalam rumusan Sahal, Islam dipandang sebagai kekuatan integratif terhadap negara. Islam adalah faktor komplementer bagi komponen-komponen lain bukan sebagai faktor tandingan yang justru berpotensi menciptakan disintegrasi terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya sebagai faktor integratif, maka Islam harus difungsikan sebagai pendorong tumbuhnya partisipasi penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan berkeadilan.[33])
Pemenuhan keadilan dan kesejahteraan inilah yang harus bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh masyarakat. Rasulullah sendiri sebenarnya memberikan isyarat, bahwa kekuasaan memang bukan tujuan dari politik kaum muslimin. Rasulullah sendiri mencanangkan usaha perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau kaum muslimin terutama ulama dan para elite politiknya untuk menjaga moralitas politik. [34])
Dalam pemikiran politik Munawir Isu negara Islam itu sebenarnya sangat modern –artinya pada zaman nabi tidak pernah ada perdebatan apakah perlu negara Islam atau tidak. Tetapi begitu ada konsep tentang negara, dan ada pengertian baru tentang pemerintahan modern, maka wacana tentang negara Islam mulai lahir. Maka wacana negara –seperti Islam- sebenarnya berkaitan dengan perkembangan baru dunia Islam pasca-kolonial, bukan wacana berdasarkan syari’ah yang abadi dan tidak berubah. Tema melawan teokrasi ini biasanya dibicarakan dengan cara silent syari’ah.[35]) Kunci utama dari pendukung tema ini adalah penolakan terhadap apa yang disebut “mitologi negara Islam”, yaitu sebuah negara yang berdasar pada pemahaman total hukum Islam (syari’ah) dan peleburan monopolistik kekuasaan dan agama. Gerakan ini juga mendesakkan dialog antar agama dan perjuangan untuk menciptakan sebuah masyarakat politik demokratis dan pluralistik.
Dalam konteks Indonesia, masih menurut Munawir mengkaji gerakan Islam politik tidak bisa dinilai secara apriori sebagai bentuk tentatif dari tarik menarik kepentingan di ranah politik saja. Gerakan Islam politik di Indonesia tidaklah hadir secara spontan. Paling tidak ada empat hal yang melatarinya. Pertama, globalisasi, dengan medium kecanggihan teknologi komunikasi, seperti televisi, internet dan sebagainya, telah menyingkap tabir-tabir penindasan dan kekerasan yang dialami sebagian masyarakat Islam di berbagai belahan dunia seperti Pelestina, Afganistan, Irak, sehingga memunculkan solidaritas umat Islam Global.
Kedua, Islam politik sebenarnya merupakan gejala politik keagamaan yang tidak bisa dipisahkan dari konteks power struggle. Di dalamnya terjadi perkawinan yang sempurna antara politik dan agama. Motif-motif politik yang berupaya menempatkan Islam dalam lingkar kekuasaan negara, sebagai sistem yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk norma hukum, sosial-budaya, sistem ekonomi, dan tata hubungan internasional, mendapatkan legitimasinya dalam bahasa agama.
Ketiga, “pengalaman” politik Indonesia di awal kemerdekaan, mengenai rasionalisasi birokrasi yang berimplikasi pada “perampingan” laskar rakyat hanya pada laskar yang mendapat pendidikan dan pelatihan dari Belanda dan Jepang sedangkan yang berasal dari “iniasiatif” rakyat seperti laskar di bawah komando Ibnu Hajar di Kalimantan, Kahar Muzakar di Makasar dan sebagainya tidak mendapat ruang politik dalam pemerintahan yang baru. Akibatnya, kelompok yang tersingkirkan ini menjadi gerakan “pemberontak” yang mengusung negara Islam dan penegakan syariat Islam., karena sejak awal mereka memang menjadikan Islam sebagai simbol perlawanan terhadap penjajah.
Keempat, adanya “pengalaman” penerapan syariat Islam di masa-masa kerajaan dahulu, seperti pernah termaktub dalam Undang-undang Sultan Adam tahun 1835 yang dikeluarkan oleh Sultan Adam al-Watsiq billah, di masa kerajaan Banjar ataupun yang terjadi Aceh dan Padang-Minangkabau. Hal ini tentunya menjadi “ingatan “ yang tetap hidup dalam bawah sadar sosial masyarakat tertentu.
Keempat realitas ini tidak dilihat dalam kerangka “tradisionalis” yang beranggapan bahwa Indonesia memiliki legitimasi historis dalam penerapan dan penegakan syariat Islam di Indonesia. Juga bukan dalam kerangka “liberalis” yang mengganggap bahwa “pengalaman” penerapan syariat Islam tidak memiliki akar historisnya di Indonesia.
Adapun yang menjadi dasar Pemikiran Politik Islam Munawir Sadzali adalah kontekstualisasi teks doktrin guna melakukan aktualisasi ajaran Islam. Kontekstualisasi ini dilakukan karena telah terjadinya perubahan-perubahan sosial. Inilah yang menjadi spirit reaktualisasi ajaran Islam. Menurut Munawir Reaktualisasi adalah upaya re-interpretasi terhadap doktrin Islam yang memiliki validitasnya sendiri. Ia harus dilakukan, untuk menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang. Perspektif yang tidak persama jika dilihat dari sudut pandangan sejarah itu menuntut kemampuan kaum muslimin untuk merumuskan ulang nilai-nilai normatif yang langsung dalam konteks relevansinya bagi kebutuhan hidup. Prinsip-prinsip teori metodologi hukum (us}u>l al-fiqh) dan kaidah-kaidah hukum agama (qawa>’id al-fiqh) akan menjaga agar proses penafsiran kembali itu tidak menyimpang dari prinsip yang terkandung dalam hal yang ingin ditafsirkan ulang statusnya, dan tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan status hal itu sendiri semula.[36])
Secara tidak disadari, proses reaktualiasasi itu telah menjadi alami dalam kehidupan kaum muslimin. Konfigurasi antara nilai-nilai normatif dan reaktualisasi ajaran agama akan tetap menjadi kebutuhan yang nyata, selama kaum muslimin tetap pada pendirian untuk tidak “melangkahi” ketentuan sumber tekstual, tetapi juga tidak bersedia menarik diri dari pola kehidupan yang senantiasa berubah. Dengan kata lain, konfigurasi itu merupakan upaya menjaga kontinuitas (persambungan tradisi) di tengah perubahan, agar tidak kehilangan akar-akar budaya dan keagamaan mereka. Dalam jangka panjang, sikap ini akan mematangkan fungsi doktrin Islam dalam hidup mereka. Doktrin Islam, yang semula berarti kerangka hidup normatif dengan perwujudannya sendiri sebagai doktrin formal, lalu berubah menjadi etika masyarakat yang diserahkan sepenuhnya kepada pilihan-pilihan oleh warga masyarakat. Ia tidak berkembang menjadi hipokritas, karena pada dasarnya kemunafikan haruslah dilihat adanya pada kesengajaan untuk menggelapkan ajaran. Dalam proses reaktualisasi, yang terjadi adalah upaya penafsiran kembali dari satu orang ke lain orang di kalangan kaum muslimin, tanpa mengubah pandangan formal masyarakat muslim secara keseluruhan.
Terjadinya proses reaktualiasi, dan konsekuensinya perubahan ketentuan, hal-hal yang telah diterima sebagai konsensus itu menunjukkan vitalitas nilai-nilai normatif Islam. Tidak mudah dilakukan perubahan atasnya, tetapi tetap tidak tertutup kemungkinan bagi perubahan
Dasar lain yang menjadi landasan pemikiran politik Munawir adalah ijtihad. Pemikiran politik Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berlangsung. Munawir memandang bahwa semua proses politik dalam sejarah, termasuk suksesi kekuasaan baik yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, Ustman maupun Ali, sepenuhnya adalah inisiatif dan ijtihad manusia (para sahabat Nabi) belaka. Tak ada pentunjuk dari Nabi, apalagi dari Tuhan, tentang bagaimana seharusnya sebuah tata politik (polity) diciptakan. Dengan kata lain masalah politik sepenuhnya adalah rasional.
Menurut Munawir, ijtihad merupakan wujud kegiatan akal untuk berpikir, yang inherent dengan inti ajaran Islam sendiri (al-Qur’an maupun al-Hadis). Ijtihad bukan lahir dari proses sejarah sebagaimana terjadi di Barat, tetapi lebih dikarenakan oleh dorongan al-Qur’an dan al-Hadis agar manusia mempergunakan pikirannya dalam menghadapi problema kehidupan. Penggunaan ijtihad tidak terbatas wilayahnya, baik terhadap masalah-masalah yang tidak ada ketentuan dalam al-Qur’an dan al-Hadis maupun terhadap masalah-masalah yang sudah ada ketentuan dalam nas}s}, meskipun hadis Mu’adz dalam sejarahnya hanya menyebutkan pada masalah yang tidak terdeteksi dalam nas}s}.
Lebih lanjut Munawir mendorong tokoh-tokoh intelektual sesama muslim untuk melakukan ijtiha>d secara jujur, untuk menjadikan Islam lebih tanggap terhadap berbagai kebutuhan situasi lokal dan temporal Indonesia. Menurut Munawir, dalam perkembangan sejarah doktrin Islam terdapat banyak penguasa Islam yang berani menempuh kebijakan hukum yang tidak sesuai secara harfiyah dengan bunyi ayat-ayat al-Qur’an dan atau ucapan maupun tindakan Nabi Muhammad SAW. Maka kalau kita berusaha memahami ajaran Islam dengan akal budi, dan tentu saja dengan rasa penuh tanggungjawab kepada Islam, kita bukanlah yang pertama dalam berijtihad. Munawir menyebutkan bahwa pelopor “penyimpangan” itu tidak lain ialah Umar bin Khattab sendiri. .[37])
Diilhami oleh keberanian dan kejujuran Umar, Munawir menyatakan bahwa harus dilakukan langkah-langkah yang berani dan jujur dalam memberlakukan ajaran-ajaran Islam. Seraya meyakini dinamisme dan vitalitas doktrin Islam, ia mengusulkan agar kaum muslim melaksanakan agenda-agenda reaktualisasi lewat ijtihad,untuk menjadikan Islam lebih sesuai dengan kekhasan lokal dan temporal Indonesia.
C. Penutup
Memang mengikuti alur pemikiran Munawir, dalam konteks pembaharuan ajaran Islam di Indonesia tampaknya akan menimbulkan sikap pro dan kontra. Gagasan kontroversial seperti ini agaknya secara sadar dimunculkan oleh Munawir agar tidak terjadi diskriminasi dan penomorduaan sekelompok anggota warga bangsa di bumi Indonesian yang plural ini. Sebab menurut keyakinannya diskriminasi apalagi hegemoni terhadap sekelompok warga secara telanjang jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi. Baginya demokrasi adalah salah satu nilai fundamental yang ada dalam Islam.
Yang penting menurut Munawir, adalah memperjuangkan nilai-nilai Islam, bukan universum formalistiknya. Islam hanya dilihat sebagai sumber inspirasi-motivasi, landasan etik-moral, bukan sebagai sistem sosial dan politik yang berlaku secara keseluruhan. Dengan kata lain, Islam tidak dibaca dari sudut verbatim doktrinalnya, tetapi coba ditangkap spirit dan rohnya. Walhasil, visi Munawir tentang Indonesia masa depan adalah sebuah Indonesia yang demokratis, semua mempunyai hak yang sama dan tidak ada diskriminasi. Semoga.
DAFTAR PUSTAKA
A.Maftuh Abegebriel dkk, Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia (Jogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004).
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia; Studi Sosio Legal Atas Konstituante1956-1959, terj. Sylvia Tiwon (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995).
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985),
Akh. Minhaji, “Sekali Lagi: Kontroversi Negara Islam” dalam Majalah Asy-Syir’ah No. 6 (tahun 1999).
Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam; Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front (Jakarta: Darul Falah, 1999).
Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana (Yogyakarta: LKiS, 1999).
Asep Gunawan (ed.), Artikulasi Islam Kultural (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
Bahtiar Effendy “Islam Dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,terj. Ihsan Ali Fauzi (Jakarta: Paramadina, 1998).
Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan Ketegangan Ideologis” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, 1998)
Charles Kurzman (ed.),Liberal Islam: A Sourcebook (Oxford: Oxford University Press, 1998).
Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV (tahun 1993).
Iqbal Rauf Saimina (ed.) Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).
Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF Islam, Negara dan Civil Society , (Jakarta: Paramadina, 2005)
Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis (Chicago: Chicago of University Press, 1988).
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001)
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000),
Muhammad Qasim Zaman, “The Caliph, The Ulama, and The law: Defining the Role and Function of the Caliph in the Early ‘Abbasidh Period,” Islamic Law and Society 4 (January 1997).
Munawir Sjadzali, “ Dari Lembah Kemiskinan” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (Jakarta: Paramadina, 1995).
Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993).
Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997)
M. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial (Yogyakarta: LkiS, 2001)
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi; Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994).
Ulumul Qur’an No. 3, Vol. VI, Tahun 1995.
Yudian W. Asmin Ed., Ke Arah Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: FSHI, 1994).
*Penulis lahir di Lombok 27-8-1975. Dosen Tetap IAIN Mataram (NTB) dan Dosen luar biasa di STAIIQH Bagu, STIT Nurul Hakim di Batukliang , STIT NW Sengkol dan UIN Sunan Kalijaga. Mantan Aktifis SM UIN Yogya, PMII, IPNU, GP Ansor dan PKB. Kini tercatat sebagai mahasiswa program doktor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sehari-hari juga sebagai konsultan beberapa pesantren di wilayah NTB.


[1]) M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural: Pemetaan Atas Wacana Keislaman Kontemporer (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 26 dan 246.
[2]) Dalam peta pemikiran Islam kontemporer di Indonesia, posisi Munawir bisa disejajarkan dengan Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib,dan lain-lain. Baca Yudian W. Asmin, “Peran Hasbi Ash-Shiddieqy dalam Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia Abad XX” dalam Ke Arah Fiqh Indonesia, Ed. Yudian W.Asmin (Yogyakarta: FSHI, 1994), hlm. 10. Begitu juga Ulumul Qur’an No. 3, Vol. VI, Tahun 1995, hlm. 32.
[3]) Munawir Sjadzali, “ Dari Lembah Kemiskinan” dalam Muhammad Wahyuni Nafis dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam; 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 4.
[4]) Ibid.
[5]) Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, Pengantar Editor dalam Islam, Negara dan Civil Society , Ed. Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (Jakarta: Paramadina, 2005), hlm.xxi
[6]) Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan Ketegangan Ideologis” dalam Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI; Biografi Sosial Politik (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 411
[7]) Muhammad Wahyuni Nafis dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam..,
[8]) Iqbal Rauf Saimina (ed.) Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988).
[9]) Azyumazri Azra dan Saiful Anam (ed.), Menteri-Menteri Agama RI…,.
[10]) Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam…,
[11]) Sudarnoto Abdul Hakim, Islam Berbagai Perspektif (Jakarta: Lpi, 1995).
[12]) Bahtiar Effendy “Islam Dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,terj. Ihsan Ali Fauzi (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 2.
[13]) Ibid., hlm. 22.
[14]) Al-Chaidar, Wacana Ideologi Negara Islam; Studi Harakah Darul Islam dan Moro National Liberation Front (Jakarta: Darul Falah, 1999), hlm. 1.
[15]) Informasi tentang HTI dan MMI ini lihat Muhammad Iqbal Ahnaf “ MMI dan HTI; The Image of The Others”, dalam A.Maftuh Abegebriel dkk, Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia (Jogjakarta: SR-Ins Publishing, 2004), hlm. 691-725.
[16]) Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Di Indonesia; Studi Sosio Legal Atas Konstituante1956-1959, terj. Sylvia Tiwon (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm.16-25. Juga Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 177-178.
[17]) Bahtiar Effendy, Hendro Prasetyo dan Arief Subhan, “Munawir Sjadazali; Pencairan .., hlm. 392.
[18]) Din Syamsudin, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam” dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV (tahun 1993), hlm. 5. Hal ini dimuat juga dalam Asep Gunawan (ed.), Artikulasi Islam Kultural (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).
[19]) Ibid.
[20]) Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 1. Baca juga Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm.24.
[21]) Dien Syamsuddin, Usaha ., hlm. 6.
[22]) Ibid., hlm. 7.
[23]) Dikutip dari M. Din Syamsuddin, Usaha…,hlm. 7. Penjelasan lain mengenai pemikiran Ali ‘Abd al-Raziq ini lihat pula Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologis (Chicago: Chicago of University Press, 1988), hlm. 128-169. Begitu juga ‘Ali ‘Abd al-Raziq, “ Message Not Government, Religius Not State,” dalam Charles Kurzman (ed.),Liberal Islam: A Sourcebook (Oxford: Oxford University Press, 1998), hlm. 1-29.
[24]) Akh. Minhaji, “Sekali Lagi: Kontroversi Negara Islam” dalam Majalah Asy-Syir’ah No. 6 (tahun 1999), hlm. 12.
[25]) Munawir Sjadzali, Islam dan ., hlm. 2. Informasi lebih lanjut tentang pemikiran dan kritik atas ide Husein ini dapat dibaca pada Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi; Kajian Kritis terhadap Pemikiran Thaha Husein (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994).
[26]) Muhammad Qasim Zaman, “The Caliph, The Ulama, and The law: Defining the Role and Function of the Caliph in the Early ‘Abbasidh Period,” Islamic Law and Society 4 (January 1997), hlm. 1-36.
[27]) Munawir Sjadzali, Islam dan . , hlm. 235-336.
[28]) Ibid. Juga baca Munawir Sjadzali, Islam Realitas ., hlm. 61-66.
[29]) Al-Nisa> (4): 59.
[30]) Panitia Penyusunan Biografi KH. Ibrahim Hosen, Prof. KH. Ibrahim ., hlm 137-138.
[31]) Ibid ., hlm. 139.
[32]) Sahal Mahfudh, Nuansa ., hlm. 207-208.
[33]) Ibid.,hlm. 249. Nampaknya pandangan Sahal tentang Islam dan negara Pancasila ini sejalan pemikiran yang sudah lama berkembang dalam NU yang notabene menjadi tempat berkiprahnya Sahal. Bagi NU, negara Pancasila merupakan bentuk final bangsa Indonesia yang pluralaristik ini. Informasi lebih lanjut bagaimana proses penerimaan Nu terhadap Pancasila sebagai asas tunggal, baca Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, alih bahasa Lesmana (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 233-249.
[34]) Ibid.
[35]) Dalam perspektif pemikiran ada tiga cara pembacaan syari’ah golongan Islam Liberal ini: (1) The liberal syari’ah (suatu model yang menganggap bahwa syari’ah itu sendiri berwatak liberal jika ditafsirkan secara tepat); (2) The silent syari’ah ( Islam menjadi liberal karena syari’ah mendiamkan topik-topik tertentu, sehingga umat Islam bebas mengadopsi watak liberalisme); dan (3) The interpreted syari’ah (Islam menjadi liberal jika syari’ah ditafsirkan secara liberal, sebab pemaknaan syari’ah dikembalikan pada penafsiran manusia). Hermeneutika yang paling kontroversial dari tiga konsep tersebut ialah konsep interpretasi syari’ah, di mana menurut mereka syari’ah perlu ditafsirkan kembali. Itulah sebabnya golongan ini mencoba melakukan penafsiran. Ketiga istilah ini cukup menarik, karena sejauh ini belum pernah ada yang membuat kategori pembacaan syari’ah yang tajam seperti ini, yang bisa menyadarkan kita bahwa di kalangan Islam liberal sekalipun ada konflik penafsiran mengenai Islam dan semuanya dalam koridor klaim mencari otentisitas hukum Islam yang mampu berdialektika dengan realitas keindonesiaan.
[36] Ed. Komarudin Hidayat dan Ahmad Gaus AF, ed. dalam Islam.., hlm.xxi
[37]) Munawir Sjadzali, Ijtihad kemanusiaan (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm.57.

No comments:

 

Most Reading