Wilayatul Faqih

Tuesday, 15 December 2009


KONSEP POLITIK WILAYATUL FAQIH
MENURUT IMAM KHONEINI


A. Teori Politik Islam: Sunni Dan Syi'ah
1. Sejarah Pemikiran Politik Islam
Seorang orientalis terkemuka, V. Fitzgerald dalam bukunya Mohamedian Law, mengatakan bahwa Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah sistem politik (a political sistem). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam yang mengklaim sebagai kalangan modernis, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun atas fundamen bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh Joseph Schacht, seorang orientalis lainnya, yang berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar agama, ia mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana Islam merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan. Dengan demikian, seperti yang di kemukakan oleh H. A. R. Gibb, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekedar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangunan masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi.
Pendapat dari para orientalis tersebut diperkuat oleh fakta-fakta sejarah. Misalnya sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW bersama kaum Mukmin di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel sistem politik modern, maka dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence, tetapi juga tidak disangkal jika dikatakan sebagai sistem relegius, karena dilihat dari tujuan-tujuan dan motif-motif dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Sebagai sebuah sistem politik dalam perjalanan sejarahnya Islam diwarnai dengan dinamika pemikiran politik, seperti halnya perjalanan sejarah pemikiran politik agama-agama lain. Pemikiran politik Yahudi, Kristen, dan juga Islam tidak terlepas dari unsur kesejarahannya. Teori-teori politik tidak muncul begitu saja tetapi merupakan satu rangkaian proses dengan fenomena dan kejadian kesejarahan yang dikaji dan diteorisasi secara sistematis. Teori-teori politik yang muncul di Barat sebagaimana telah dimunculkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Rousseou merupakan kecenderungan-kecenderungan politik mereka dan perhatian mereka terhadap relasi nilai dan kekuasaan, agama dan kekuasaan, ideologi dan kekuasaan, kepentingan dan kekuasaan, yang sangat menonjol terjadi di zamannya, di negara-negara mereka atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka.
Demikian juga pengalaman Islam teoritisasi politik mengarah kepada perbincangan besar di sekitar Sunni, Syi'ah, dan Khawarij yang ketiganya menjadi representasi kajian dalam konstalasi politik dunia Islam. Ketiganya menjadi paham, preferensi politik juga sekaligus sistem politik yang melahirkan berbagai teori politik yang tidak lepas dari kesejarahan Islam klasik, tengah, dan moderen dari dulu hingga sekarang. Dalam bab ini dilihat bagaimana perkembangan teori politik Islam khususnya pada dua golongan yang besar yaitu Sunni dan Syi'ah. Oleh karena itu, untuk memahami teori politik Sunni dan Syi'ah, diperlukan pandangan ringkas tentang ajaran Islam, sejarah pertumbuhan kedua aliran ini dari sumbernya, dan perkembangan lanjut dari keduanya.
Sebenarnya tidak ada perbedaan berarti antara golongan Syi'ah dan Sunni dalam hal inti keimanan. Al-Qur'an dipandang oleh kedua golongan itu sebagai peran suci Allah Swt, dengan kata lain konsep ideal golongan Sunni juga disepakati oleh golongan Syi'ah. Permasalahan sebenarnya bersumber pada sejarah masa lalu yang sangat bersifat politis, bukan dari segi teologi Islam, walaupun kemudian dicarikan legitimasinya secara teologis. Friksi politik kedua golongan tersebut menurut Abd. Salam Arief dalam buku Negara Tuhan: The Tematic Encyclopaedia, diawali dengan kemelut politik sejak pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah dan disusul kemudian dengan penolakan Muawiyah bin Abu Sufyan terhadap eksistensi kekhalifahan Ali, telah menimbulkan ketegangan politik yang akut dari kedua belah pihak yang berujung terjadinya perang Siffin. Perang Siffin inilah yang oleh sementara kalangan sejarawan disebut al-fitnah al-kubra dan berpengaruh besar dalam mewarnai perjalanan panjang sejarah politik umat Islam dari generasi ke generasi sesudahnya.
Friksi politik dalam Islam antara kedua kelompok yaitu Sunni dan Syi'ah, disebabkan perbedaan pendapat mengenai masalah imamah, seperti yang dikatakan oleh salah satu ulama Syi'ah, A. Syarifuddin al–Mussawi, yang mengakui bahwa tiada suatu penyebab “perpecahan” di antara umat Islam yang lebih hebat dari pada perbedaan pendapat yang berhubungan dengan soal imamah. Tiada bentrokan dalam Islam demi suatu prinsip agama, yang lebih parah daripada yang terjadi di sekitar persoalan ini. Persoalan imamah menurut al-Mussawi, adalah penyebab utama yang secara langsung menimbulkan perpecahan selama ini. Generasi demi generasi yang mempertengkarkan soal imamah telah menjadi demikian gandrung dan terbiasa dengan sikap fanatik dalam kelompoknya masing-masing tanpa mau mengkaji dengan kepala dingin.
Ulama Syi'ah lain yaitu Thabathaba’i, menulis bahwa orang-orang Syi'ah memang muncul karena kritik dan “protes” terhadap dua masalah dasar dalam agama Islam, kendati tidak berkeberatan terhadap cara-cara keagamaan yang melalui perintah-perintah Nabi merata di kalangan kaum Muslimin sekarang. Dengan kata lain, di luar kedua masalah itu, tidak ada perbedaan secara prinsipil antara Sunni dan Syi'ah. Kedua masalah itu adalah berkenaan dengan Pemerintahan Islam dan kewenangan dalam pengetahuan keagamaan, yang menurut kalangan Syi'ah menjadi hak istimewa ahl al-bayt. Tetapi pendapat Syi'ah seperti itu ditolak oleh kalangan Sunni yang meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, tidak mewariskan kepemimpinan dan juga tidak menunjuk seseorang pengganti, tetapi ia membiarkan masalah kepemimpinan sepeninggalnya diserahkan kepada ummat.
Ayatullah Imam Khomeini, pemimpin besar revolusi Islam juga mengemukakan pandangannya mengenai paham dan aliran Syi'ah, menurutnya:
"Sejak awal mula sejarahnya, aliran syi'ah, yang merupakan aliran yang lazim dianut di Iran, telah memiliki ciri khas tertentu, jika beberapa aliran lain menganjurkan kepatuhan terhadap penguasa (meskipun mereka curang dengan bersifat menekan), maka Syi'ahisme menganjurkan perlawanan terhadap para penguasa seperti itu dan mencela mereka sebagai penguasa yang tidak sah. Sejak dulu orang Syi'ah selalu menentang pemerintahan yang menekan".

Salah satu perbedaan yang juga mencolok antara golongan Sunni dan Syi'ah adalah sifat oposisi dan perlawanan yang ditunjukan oleh paham ini terhadap penguasa tiran, seperti yang juga dikatakan oleh Imam Khomeini:
"Banyak orang Sunni mungkin menilai pemberontakan menentang pemerintahan tiran ini sebagai upaya yang tidak sesuai dengan Islam. Hal ini terjadi karena adanya pandangan yang menyatakan bahwa seorang penguasa tiran pun harus dipatuhi. Pandangan ini didasari penafsiran keliru terhadap ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan ikhwal kepatuhan".

"Sebaliknya, kita orang Syi'ah yang mendasari penahaman kita terhadap Islam melalui sumber yang berasal dari Ali dan keturunannya, menilai hanya para Imam atau orang yang mereka tunjuk yang berhak sebagai pemegang kekuasaan. Pandangan ini sesuai dengan penafsiaran ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan ikhwal kekuasaan. Penafsiran tersebut dibuat oleh Rasulullah sendiri."

"Akar permasalahan sebenarnya terletak pada kenyataan ini: negara-negara yang didiami Sunni membenarkan kepatuhan terhadap para penguasa mereka; sebaliknya, orang Syi'ah selalu yakin akan kebenaran pemberontakan-kadangkala mereka mampu melawan pada kesempatan lain mereka terpaksa harus diam".

Perlawanan Husein terhadap Yazid dan kematiannya di Karbala merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah muslim. Tindakan Husein merupakan bentuk perlawanan terhadap penguasa yang menyimpang dari konsep ideal Islam. Menurut Akbar S. Ahmed, dalam kepercayaan Syi’ah, pertentangan antara Husein dan Yazid tersebut, merupakan pertentangan klasik antara kebaikan dan keburukan. Husein mewakili kebaikan yang dapat ditemukan dalam Islam, sedangkan Yazid merupakan lambang depotisme, dinasti, dan kekuasaan sementara. Peristiwa tersebut memungkinkan golongan Syi'ah menjadi sekte terbesar setelah Sunni dengan kekhususannya sendiri.

2. Teori Politik Ahl as-Sunnah (Sunni)
Aspek ajaran Ahl as-Sunnah (Sunni) yang terpenting, terutama bila dibandingkan dengan ajaran Syi'ah, adalah teori politiknya. Semua kalangan Sunni mengakui otoritas keempat khalifah yang pertama, Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, sebagai penerus tugas Nabi yang menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga mereka disebut al-Khulafa al-Rasyidun. Setelah berdirinya Dinasti Umayyah nama lembaga khilafah tetap dipertahankan dalam pemerintahan, tetapi sesungguhnya khilafah Islam tersebut telah berubah menjadi kerajaan Arab. Sebab itu ahli-ahli hukum (fiqih) Sunni yang selanjutnya, menganggap bahwa hanya pemerintahan keempat khalifah (al-Khulafa al-Rasyidun) itulah yang menjadi lambang pemerintahan Ideal.
Dalam sejarah pemikiran Sunni, meskipun terdapat perbedaan yang umum di antara madzhab-madzhab fiqih mereka, ahli fiqih Sunni secara tradisional mendukung sebuah teori pemerintahan yang spesifik yang dikenal sebagai teori khalifah, sebuah doktrin baik sebagai teori politik maupun sebagai realitas historis yang signifikan. Teori tersebut telah mendominasi komunitas Islam untuk waktu yang cukup lama. Apabila teoritikus politik Sunni membicarakan teori khilafah, biasanya yang mereka perbincangkan adalah suatu imamah atau lembaga di mana seseorang bertugas mengawasi pelaksanaan syari’ah dan bertindak sebagai hakim. Tetapi karena istilah ini biasanya dipakai secara khusus di kalangan Syi'ah, maka digunakan pemakaian istilah lembaga khilafah untuk kalangan Sunni dan istilah imamah untuk kalangan Syi'ah untuk menghilangkan kebingungan.
Definisi khalifah menurut Montgomery Watt, dalam bukunya Islamic political Thougth, secara esensial berarti penerus, atau seorang yang memegang posisi yang sebelumnya dipegang oleh orang lain, akan tetapi kata ini tidak terbatas pada konteks otoritas politik saja. Menurutnya, seorang khalifah bukan saja berarti penerus dari pemerintah yang terdahulu, tetapi juga seorang yang secara definitif ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh orang yang telah menunjuknya. Atau lebih kurang sama artinya dengan wakil, atau naib (vicegerent).
Watt berpendapat, dalam arti sebenarnya khalifah adalah seorang yang menjalankan perintah sebagai pengganti Nabi, Watt berargumen bahwa ketika suatu saat Abu Bakar ditanya oleh seseorang: “Apakah anda wakil dari Rasulullah SAW?, oleh Abu Bakar dijawab, “ tidak”. Orang itu bertanya lagi, “Jadi anda ini siapa?” Abu Bakar menjawab, “ saya adalah penerus dari Nabi. Montgomery Watt menulis:
“Oleh karena Abu Bakar tidak ditunjuk oleh Nabi kecuali Hanya untuk mewakili Beliau mengimami shalat Jamaah. Maka kalimat “ Khalifah dari Rasulullah” tidak dapat diartikan sebagai “wakil”. Artinya sesungguhnya tentulah hanya sebagai “penerus”.

Meskipun banyak penguasa baik dari dinasti Ummayah berupaya mengaitkan status Ilahiyah kepada para penerus (khalifah), para ulama fiqih Sunni pada umumnya menganggap khalifah sebagai penguasa yang sah yang memerintah dan mengatur rakyatnya. Penunjukannya tergantung pada kualitas-kualitas spesifik yang harus dimiliki seseorang penguasa, akan tetapi tidak ada kesepakatan universal tentang karakteristik-karakteristiknya. Bagaimanapun, saat itu teori khalifah belum disakralkan dan baru terjadi sakralisasi pada dinasti Abbasiyah, di mana ahli hukum Sunni menciptakan dan memformulasikannya.
Telaah mengenai proposisi utama teori politik tentang kekhalifahan terutama mengenai masalah legitimasi perlu dicermati di sini. Pertama, Abu Bakar dan Umar dua khalifah pertama menekankan aspek legitimasi dengan memakai tiga prinsip syura’ (musyawarah), aqd (kontrak penguasa rakyat), dan bai’at (sumpah setia). Metode ini kemudian digunakan untuk mengangkat pengganti mereka, Utsman. Namun, syura’ berangsur-angsur diabaikan, kemudian ‘aqd dan bai’at setelah berdirinya Dinasti Umayyah yang semi aristokatis. Selama era Abbasiyah, pertentangan antara legitimasi pemerintahan dan kesatuan ummat mengemuka. Sejak itu, teori politik yang ditekankan kalangan Sunni adalah otoritas khalifah sebagai pemegang otoritas kekuasaan Islam pasca wafatnya Nabi.
Otoritas Sunni awal menganggap khilafah sebagai lembaga politik yang sah dalam masyarakat Islam. Karena hanya ada satu ummat dan satu hukum Syari’ah, maka secara ideal hanya boleh ada satu orang khalifah yang melindungi ummat, serta mengawasi pelaksanaan syari’ah sesuai dengan pandangan ulama. Tetapi kemudian ketika khalifah kehilangan kekuasaan politik dan raja-raja kuat memerintah dunia Islam, teori ini direvisi terutama mengenai masalah yang mencakup khalifah, Sulthan, dan syari’ah. Khalifah melambangkan kesatuan ummat dan kekuasaan syari’ah, sedangkan Sulthan mengurus soal-soal aktual, militer dan politik, serta dimaksudkan untuk menjalankan hukum dan melindungi ummat.
Mengenai hal ini H. A. R. Gibb mengatakan;
“Di dalam masyarakat Sunni tidak ada satu teori politik universal. Dasar utama pemikiran politik Sunni memustahilkan sembarangan teori sebagai definitif atau final. Yang pasti di dalamnya adalah prinsip bahwa khalifah adalah suatu pemerintahan yang menjaga aturan-aturan syariah yang menjamin penerapannya dalam praktik. Selama prinsip itu berjalan, boleh jadi terdapat perbedaan pendapat yang tak terbatas dalam penerapannya”.

Ahli fiqih Sunni yang pertama dan paling signifikan berupaya mensistematikakan doktrin khalifah dalam kerangka hukum fiqih Islam adalah Abu al-Hasan al-Mawardi (979-1058 M) dalam bukunya yang terkenal al-Ahkaam as-Sulthaaniyyah (Hukum Tentang Pemerintahan). Al-Mawardi berupaya untuk mengabsahkan otoritas pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sekaligus berusaha membenarkan penggunaan pemaksaan sebagai implementasi pelaksanaan pemerintahan. Dia berpendapat bahwa khalifah secara Ilahiyah telah diberi otoritas baik untuk urusan politik maupun agama, Mawardi mengatakan;
"Tuhan…telah menunjuk untuk wakil rakyat seseorang pemimpin dan menjadikannya wakil kuasa dari Nabi di mana ia akan melindungi kepentingan-kepentingan agama; dia juga diserahi pemerintahan, sehingga penanganan segala perkara tetap berlandaskan agama yang benar…Kepemimpinan menjadi prinsip di mana dasar perkara-perkara agama ditegakkan dan dengan demikian kesejahteraan rakyat dapat diatur."

Pendapat seperti ini, yang berasumsi bahwa otoritas khalifah termasuk segalanya dan bahwa mereka telah ditakdirkan atas kehendak Tuhan yang Mahakuasa, dengan sendirinya sesuai dengan pendapat yang diadopsi oleh para ahli fiqih Sunni kontemporer, yang berargumen bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak menunjuk orang atau orang-orang tertentu sebagai penguasa atas kaum Muslim. Sebagai konsekuensi logis ialah tidak menjadi persoalan siapa yang memerintah dan bagaimana ia memperoleh otoritas tersebut.
Dalam kenyataannya memang teori politik yang dikembangkan oleh teoritisasi Sunni praktis terus berubah bersama dengan perubahan politik yang terjadi di dunia Islam. Hal yang paling ekstrim yang bisa dilihat adalah perubahan dari konsep khalifah pemimpin ideal yang menempatkan pemimpin, praktis sebagai orang yang dipilih oleh Allah dengan segala keunggulannya, hingga konsep imamah yang memberi jabatan kepemimpinan ummat kepada sekadar seseorang yang berhasil merebut kekuasaan (berkat keunggulan militernya). Sebelum dikembalikan kepada model idealis teosofis al-Farabi dan dibatasi hanya pada empat khalifah pertama (al-Khulafa al-Rasyidun), yang kembali ditawarkan sebagai alternatif.

3. Pemikiran Politik Syi'ah
Secara literal Syi'ah berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, “kelompok”. Secara terminologis istilah ini merujuk kepada sebagian kaum muslimin yang dalam dimensi spiritual keagamaan dan juga politik membela keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib atau yang dikenal dengan istilah ahl al-bayt. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah Syi'ah dan ahl al-bayt ini dibaptiskan kepada sebagian kaum Muslim yang mempropagandakan dan mendukung kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.
Syi'ah adalah kelompok yang percaya bahwa hak untuk menjadi penerus Nabi hanya dimiliki oleh keluarganya dan mengikuti keluarga Nabi (ahl al-bayt) sebagai sumber inspirasi dan bimbingan untuk memahami petunjuk al-Qur’an yang dibawa oleh Nabi itu. Keluarga Nabi adalah saluran melalui mana ajaran dan barakah wahyu mencapai kaum Syi'ah.
Syi'ah sendiri dalam perkembangannya terbagi dalam beberapa sekte. Menurut Ahmad Amin, sekte Syi'ah terbagi dalam tiga kelompok, yaitu, Syi'ah Zaidiyah, Syi'ah Itsna Asy’ariah yang sering disebut Syi'ah Imamiyah (dengan Doktrin 12 Imam), dan Syi'ah Ismailiyah yang memiliki doktrin dan berakhir pada Imam Ismail Abd Ja’far al-Shadiq. Berbeda dengan Ahmad Amin, al-Syahrastani membagi sekte Syi'ah menjadi lima golongan, yaitu: Kaisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah, Ghulat, dan Ismailiyah.
Dalam buku Ensiklopedi Islam, paham atau ajaran Syi'ah memiliki sejumlah doktrin penting yang terutama berkaitan dengan masalah Imamah, yang antara lain:
1. Ahlulbait (Ahl al-Bayt). Secara harfiah ahlulbait berarti keluarga atau kerabat dekat. Dalam sejarah Islam istilah tersebut khusus dimaksudkan kepada keluarga atau kerabat Nabi Muhammad SAW. Ada tiga pengertian ahlulbait; Pertama, mencakup istri-istri Nabi dan seluruh bani Hasyim; Kedua, hanya bani Hasyim; dan Ketiga, hanya terbatas pada Nabi sendiri, Ali, Fatimah, Hasan, Husein, dan Imam-imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib. Dalam ajaran Syi'ah bentuk yang terakhirlah yang lebih popular.
2. Al-Bada’. Dari segi bahasa bada’ berarti tampak. Doktrin al-bada’ adalah keyakinan bahwa Allah SWT mampu mengubah sesuatu peraturan atau keputusan yang telah ditetapkan-Nya dengan peraturan atau keputusan baru. Menurut Syi'ah, perubahan keputusan Allah SWT itu bukan karena Allah baru mengetahui sebuah maslahat, yang sebelumnya tidak diketahui-Nya.
3. Asyura. Berasal dari kata ‘asyarah, yang artinya sepuluh. Maksudnya adalah hari kesepuluh dalam bulan Muharram yang diperingati kaum Syi'ah sebagai hari berkabung umum untuk memperingati wafatnya Imam Husein bin Ali dan keluarganya di tangan Yazid bin Muawiyyah pada tahun 61 H di Karbala Irak.
4. Mahdawiyyah. Mahdawiyyah berasal dari kata Mahdi, yang berarti keyakinan akan datangnya seorang juru selamat pada akhir zaman yang akan menyelamatkan kehidupan manusia di muka bumi ini. Juru selamat ini disebut Imam Mahdi.
5. Taqiyah (dissimulation) Dari segi bahasa, taqiyah berasal dari kata taqiya atau ittaqa’ yang artinya takut. Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini terkandung sikap penyembunyian identitas dan ketidakterusterangan.
6. Marja’iyyah (sering disebut Marja’ Taqlid). Berasal dari kata marja’ yang artinya tempat kembalinya sesuatu, sedangkan dalam pengertian Syi'ah marja’ taqlid berarti “sumber rujukan”. Menurut Syi'ah Imamiyah, selama keghaiban Imam Mahdi, kepemimpinan umat terletak pada pundak para fukaha, baik dalam persoalan keagamaan maupun dalam urusan kemasyarakatan. Para fuqaha-lah yang seharusnya menjadi pucuk pimpinan masyarakat termasuk dalam persoalan kenegaraan atau politik. Doktrin marja’iyyah ini erat kaitannya dengan konsep wilayatul faqih (pemerintahan faqih)
7. Imamah (kepemimpinan). Imamah adalah keyakinan bahwa setelah Nabi Muhammad SAW wafat harus ada pemimpin-pemimpin Islam yang melanjutkan misi atau risalah Nabi. Dalam Syi'ah kepemimpinan ini mencakup persoalan keagamaan dan kemasyarakatan Imam bagi mereka adalah pemimpin agama sekaligus pemimpin masyarakat.
8. Doktrin-doktrin lain seperti, Ismah (menjaga), Raj’ah (pulang/ kembali), Tawassul (memohon), dan Tawali (mengangkat) atau Tabarri (menjauhkan diri).termasuk dalam doktrin-doktrin yang di anut oleh kaum Syi'ah.
Dari sekian banyak doktrin di atas, doktrin Imamah menempati kedudukan sentral dalam aspirasi politik Syi'ah. Doktrin itu antara lain: Pertama, tentang Imamah, yang menurut mereka merupakan salah satu rukun agama. Karenanya pemilihannya tidak boleh diserahkan kepada ummat, melainkan Nabi-lah yang menetapkan seseorang Imam dengan jelas. Kedua, Seorang Imam haruslah seorang maksum. Pengertian maksum ini menurut anggapan mereka yaitu seorang yang suci, terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil, dan ia tidak boleh berbuat suatu kesalahan. Semua yang bersumber dari dirinya, berupa ucapan atau tindakan adalah hak dan benar belaka. Ketiga, kaum Syi'ah menganggap bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah Imam yang telah ditentukan dan ditetapkan oleh Nabi sepeninggalnya dengan ketetapan nash yang jelas. Keempat, setiap Imam yang baru harus ditunjuk dan ditetapkan dengan nash oleh pendahulunya. Mereka berpegangan bahwa jabatan itu tidak dibenarkan pelaksanaannya di tangan ummat. Kelima, sekte-sekte Syi'ah bersepakat jabatan Imamah hanyalah hak Ali dan keturunannya. Dari kelima doktrin yang dipegang Syi'ah itu, jika ditelusuri secara mendalam, doktrin Imamah Inilah yang mewarnai Perjuangan mereka dalam melawan otoritas Sunni.
Bagi kaum Syi'ah, Ali Ibn Abi Thalib dan sebelas keturunannya (ahl al-bayt) adalah yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi. Hal ini, menurut seorang ulama Syi'ah, A. Syariffudin al-Musawi, antara lain ditandaskan dalam ucapan Imam Ali yang pernah mengatakan:
“Di manakah orang-orang yang mengaku bahwa merekalah dan bukannya kami (ahl al-bayt), yang dengan mantapnya menguasai ilmu? Semata-mata disebabkan kebohongan dan kedengkian mereka atas kami, karena Allah telah melimpahkan karunia-Nya atas kami dan menjauhkannya dari mereka? Memadukan kami dalam lindungan-Nya dan mengeluarkan mereka?! Dengan kami orang mendapat petunjuk, dan dengan kami dihilangkan kebodohan. Kepemimpinan (imamah) haruslah diserahkan pada Imam dari Bani Hasyim di antara Quraisy. Tidaklah ia pantas bagi selain mereka dan tidaklah pantas para pemimpin (Imam) kecuali yang berasal dari mereka.”

Berbeda dengan kaum Sunni, kalangan Syi'ah menganggap bahwa masalah kepemimpinan ummat adalah masalah yang terlalu vital untuk diserahkan kepada musyawarah manusia-manusia bisa, yang bisa saja memilih orang yang salah untuk kedudukan tersebut, dan karenanya bertentangan dengan tujuan wahyu ilahi. Adapun paradigma pemikiran politik yang dianut oleh kalangan Syi'ah memandang bahwa negara atau kepemimpinan ummat yang relevan disebut imamah, adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan.

B. Imamah Dan Kepemimpinan Islam Menurut Syi'ah
Mengenai masalah Imamah dan kepemimpinan Islam, sebenarnya telah banyak para pemikir cendikiawan muslim baik dari Sunni maupun Syi'ah yang merumuskan dan memberikan pendapatnya, dalam sejarah teori politik Islam klasik, pemikiran politik kalangan Sunni tradisional cenderung memberikan penekanan kepada masalah kepemimpinan, apakah itu disebut khalifah, ahl hall wa al aqd, imam, sulthan dan sebagainnya. Kecenderungan ini tidak terbatas pada dunia Sunni saja, di kalangan Syi'ah pun demikian yaitu keperc ayaan dengan memberikan penekanan khusus kepada konsep imamah, termasuk kedalam konsep wilayatul faqih (kepemimpinan Ulama) yang dipromosikan Ayatullah Uzma Khomeini.
Secara etimologi, Imam atau Imamah berasal dari bahasa arab "amma" yang berarti pergi, menuju, atau pergi untuk melihat (to go to see)". Imamah mengandung arti "petunjuk jalan" atau memberikan suatu contoh. Dalam hal ini imam bisa berarti orang yang mempelopori, bertindak sebagai pemimpin atau yang memiliki keunggulan dibanding yang lain. Oleh sebab itu pemimpin dalam suatu ibadah keagamaan juga disebut sebagai imam. Dalam konteks umum imamah juga didefinisikan sebagai "kepemimpinan masyarakat" (popular leadership). Ini merupakan definisi umum yang diterima baik oleh para tokoh Sunni maupun Syi'ah. Kedua kelompok ini bersepakat bahwa imamah memang berarti suatu pemerintahan yang menjadikan syariah sebagai undang-undang pokok atau induk atau yang diistilahkan sekarang sebagai konstitusi.
Perbedaan dari kedua kelompok tersebut ialah di kalangan Syi'ah , imamah mempunyai makna yang lebih dari sekedar definisi umum di atas. Bagi Syi'ah imamah merupakan keyakinan yang paling penting, setelah keyakinan akan wahyu kenabian (divine prophethood) dan kebangkitan (resurreaction) di hari akhir. Mereka meyakini bahwa imamah bukan sekedar berarti kepemimpinan masyarakat atau kepemimpinan politik, melainkan juga bermakna sebagai kepemimpinan relegius. Dengan kata lain, imamah merupakan kepemimpinan politico-relegius. Kepemimpinan di bidang politik dan sekaligus agama.

1. Konsep Imamah menurut Teori Politik Syi'ah
Penjelasan tentang kepemimpinan Islam dalam pandangan Sy'iah pada dasarnya bertolak pada konsep wilayah dan imamah. Wilayah adalah konsep yang luas yang meliputi juga imamah dan wilayah bathiniyyah, sedangkan imamah adalah kepemimpinan (zi’āmah), pemerintahan (hukūmah) dan ri’sah ‘ammah dalam urusan dunia dan agama, yang terdapat pada diri Nabi SAW dan para imam sesudahnya.
Dalam konsep Syi'ah kepemimpinan manusia bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah memilih manusia sebagai khalifah di bumi, untuk keselamatan manusia, dipilih-Nya manusia yang mencapai kesempurnaan dalam sifat dan perkembangan kepribadiannya. Manusia-manusia ini adalah para nabi yang menjadi imam dalam urusan agama, dan pemimpin dalam urusan kemasyarakatan. Para nabi dilanjutkan oleh para aushiya, dan para aushiya dilanjutkan oleh para Imam faqih. Kepemimpinan manusia, dengan demikian merupakan keberadaan kepemimpinan Allah atas manusia.
Status politik dari para Imam adalah bagian yang esensial dari madzhab Syi'ah Imamiyah, seperti yang dikemukakan oleh Ahmed Vaezi. Menurutnya para Imam dianggap sebagai penerus Nabi Muhammad yang mulia, dan mereka yang mendukung Islam prespektif ini percaya bahwa setiap penerus harus ditunjuk oleh Allah melalui Nabi-Nya. Akan tetapi terdapat mereka yang berupaya mereduksi Imamah hanya sebagai sebuah sikap politik, sebuah kelompok yang mendukung Imam Ali (a.s) dan keluarganya sebagai penerus-penerus sah dari Rasulullah yang mulia. Oleh karena itu banyak ulama Sunni yang mendefinisikan sebagai berikut:
Syi'ah adalah mereka yang terutama mengikuti Ali dan mempertahankan kepemimpinannya dan suksesi dari Nabi dan pertunjukan (nash) dan wasiat terbuka (untuk umum) atau secara pribadi, dan juga percaya bahwa otoritas Ali (awla) tidak pernah keluar dari garis keturunannya.

Tetapi otoritas politik para imam tidak mengandung arti bahwa peran dan status mereka terbatas pada pemerintahan atau kepemimpinan. Bagi penganut mereka, Imam merepresentasikan tingkat tertinggi dari kesalehan mereka mempunyai kualitas yang sama seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Anthony Black dalam bukunya The Ilustory of Islamic Political Thought, menggambarkan para Imam sebagai berikut;
The twelve Imams themselves, and above all the present twelfth or hidden Imam, were held to be necessary to the constitution of the Universe and of true religion. The Imam is God’s proof (Hujjah: guarantee), he is the pillar of the Universe, the ‘gate’ through whom God is approached. Knowledge of revelation depends upon him.

Black mengatakan bahwa kedua belas Imam sendiri, dan di atas segalanya Imam yang kedua belas yang sekarang ghaib, dianggap begitu penting bagi konstitusi jagat dan agama yang benar. Imam adalah Hujjah Tuhan, dia adalah pilar dari jagat raya, “pintu gerbang” yang harus dilalui untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Pengetahuan mengenai wahyu ilahi tergantung padanya. Beberapa kualitas yang disandangkan pada para imam, seperti hujjah Allah dan perwalian, merujuk pada otoritas mereka yang lebih luas, dan masalah itu sangat esensial untuk memahami pemikiran politik Syi'ah.
Otoritas dan perwalian yang mutlak dari Allah merupakan pilar utama pemikiran politik Syi'ah Imamiyah (Istna Asy’ariyah) yang menegaskan bahwa siapapun yang akan menjalankan otoritas ini harus ditunjuk oleh Allah. Ide inilah yang membedakan doktrin Imamiyah dari teori-teori politik lainnya, dan bahkan sekte-sekte lain dari mazhab Syi'ah sepakat bahwa Imam harus ditunjuk oleh Allah melalui Nabi, hanya paham Syi'ah Imamiyah-lah yang terus mempertahankan pendapat ini selama ghaibnya Imam kedua belas (Imam Mahdi)









Bagan 2 :
Transmisi Kekuasaan Menurut Syi'ah























Rakyat
(Mujahidin
-e Khalq)

Bagi Syi'ah Imamiyah, imamah merupakan prinsip dalam doktrin agama, Al-Kafi sebagai induk kitab hadist Syi'ah Imamiyah Dua Belas (Itsna Asy’ariyah), memberi penakwilan terhadap nash Al-Qur’an untuk membangun “dinasti” penerus kenabian. Itu terlihat pada al-Kafi yang secara eksplisit menyatakan amal manusia setiap Muslim akan sia-sia jika menolak wilayah dan Imamah ahl al Bayt, meskipun ia bersujud hingga patah tulang lehernya, tidak akan pernah diterima Allah segala amal perbuatannya kecuali menerima Imamah ‘Ali dan ahl al-Bayt.
Secara hierarki, Kedua Belas Imam Syi'ah yang dianggap mempunyai otoritas dan kedaulatan tuhan tersebut adalah sebagai berikut :
a. Ali bin Abi Thalib (w. 41 H/ 661 M), keponakan dan menantu Nabi, yang memulai Imamah dan menjadi lambang dimensi esoteris Islam. Menurut Syi'ah ia dipilih di Ghadir Khum, oleh Nabi sebagai orang yang dipercayai (wasi) dan penerus tugasnya.
b. Imam Hasan (w. 49 H/ 669 M), putra Ali, yang menjadi khalifah selama beberapa waktu menggantikan ayahnya, dan meninggal di Madinah sesudah mengundurkan diri dari kehidupan umum.
c. Imam Husain (w. 61 H/ 680 M), adik Hasan, yang berperang melawan Yazid, Khalifah Umayyah kedua, dan terbunuh di Karbala bersama hampir seluruh keluargannya. Kematiannya diyakini oleh kalangan Syi'ah sebagai syahid pada tanggal 10 Muharram (61 H) merupakan hari peringatan besar dan wafatnya yang tragis menjadi lambang etos Syi'ah.
d. Imam Ali bergelar Zain al-Abidin dan al-Sajjad (w. 94 H/ 712 M), yang merupakan putra satu-satunya Imam Husain yang masih hidup ibunya adalah putri Raja Sassanin. Kumpulan doanya yang paling terkenal adalah Sakhifah Sajjadiyah, yang sesudah Nahj al-Balaghah karya Ali, merupakan bait-bait sastra keagamaan Arab paling mengharukan. Karya ini disebut pula “ Do'a keluarga Muhammad”.
e. Imam Muhammad al-Baqir (w. 113 H/ 733 M), putra Imam keempat, yang didudukkan di Madinah seperti ayahnya. Karena masa ini dinasti Umayyah mengalami pemberontakan di dalam tubuh mereka sendiri, maka golongan Syi'ah dibiarkan menjalankan ajaran keagamaan mereka. Karena itu banyak sarjana Muslim yang datang ke Madinah untuk belajar di bawah bimbingan Imam kelima dan banyak sekali tradisi yang berhssil dipertahankannya.
f. Imam Ja’far al-Shadiq (w. 146 H/ 756 M), putra Imam Muhammad al-Baqir, yang melanjutkan pengembangan ajaran Syi'ah sampai demikian rupa, sehingga ajaran tersebut diberi nama sesuai dengan namanya. Lebih banyak tradisi yang dikumpulkan oleh Imam Ja’far al-Sadiq dan Imam Muhammad al-Baqir daripada imam-imam lain. Kuliahnya diikuti oleh ribuan murid termasuk para tokoh Syi'ah. Abu Hanifah, pendiri salah satu aliran hukum (madzhab) Sunnah, juga pernah belajar di bawah bimbingannya. Pada masa Imam inilah Ismailiyah memisahkan diri dari Syi'ah Imamiyah, persoalan tentang pengganti Imam keenam menjadi rumit karena khalifah al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah telah memutuskan membunuh orang yang dipilih sebagai pengganti Imam Ja’far, dan dengan itu berusaha untuk memusnahkan Syi'ah.
g. Imam Musa al-Khazim (w. 183 H/ 799 M), putra Imam Ja’far, yang mendapat tekanan keras dari Dinasti Abbasiyah. Sebagian besar hidupnya dijalani dengan bersembunyi di Madinah sampai Harun al-Rasyid menangkapnya dan membawanya ke Baghdad di mana ia meninggal. Sejak itu hubungan Imam dekat dengan khalifah dan meninggalkan Madinah sebagai tempat kedudukannya.
h. Imam Ali al-Rida (w. 203 H/ 818 M), putra Imam Musa Al-Khazim, yang dipanggil oleh khalifah al-Ma’mun ke Merv di Khurasan di mana ia dipilih menjadi Khalifah pengganti. Tetapi popularitasnya dan pertumbuhan Syi'ah di daerah itu membuat khalifah berbalik menentangnya, dan akhirnya ia disingkirkan dan dimakamkan di Tush yang pada masa kini disebut Masyhad dan menjadi pusat keagamaan di Persia. Imam Rida ikut serta dalam berbagi pertemuan penting di kalangan sarjana pada masa al-Ma’mun dan perdebatannya dengan teolog-teolog dari agama-agama lain banyak ditulis dalam sumber-sumber Syi'ah. Ia juga menjadi pendiri berbagai kelompok sufi dan bahkan disebut “Imam Kesucian”.
i. Imam Muhammad al-Jawad al-Taqi (w. 221 H/ 835 M), putra Imam Rida, tinggal di Madinah selama al-Ma’mun masih hidup, meskipun al-Ma’mun mengawinkan Imam ini dengan putrinya untuk mencegah ia pergi dari Baghdad. Sesudah wafatnya al-Ma’mun, ia kembali ke Baghdad dan meninggal di sana.
j. Imam Ali al-Naqi (w. 254 H/ 868 M), putra Imam Muahammad Al-Taqi, yang tinggal di Madinah, sampai Al-Mutawakkil menjadi khalifah. Tetapi kemudian al-Mutawakkil bersikap keras kepadanya sebagai sikap anti Syi'ah yang ekstrim. Imam mendapat tekanan keras sampai meninggalnya Khalifah, tetapi kemudian ia tidak kembali ke Madinah. Ia meninggal di Sammara, di mana makamnya dan makam putranya dapat dijumpai sampai sekarang.
k. Imam Hasan al-Askari (w. 261 H/ 874 M), putra Imam al-Naqi, yang hidup dalam kerahasiaan di Sammara dan dijaga ketat oleh orang-orang khalifah, karena diketahui bahwa menurut ajaran Syi'ah putra Imam ini akan menjadi Mahdi. Imam Askari menikah dengan puteri Kaisar Byzantium, Nargis Khatun, ia memeluk Islam dan menjual dirinya sebagai budak untuk dapat memasuki rumah tangga Imam Hasan dan dari perkawinan ini lahirlah Imam keduabelas.
l. Imam Muhammad al-Muntazar/ al Muhdi (al-Mahdi) bergelar Shahib al-Zaman, Imam Syi'ah terakhir, mengalami kegaiban kecil pada saat ayahnya wafat. Dari tahun 260 H/ 873 M sampai 329 H/ 940 M ia memiliki empat orang wakil (naib) kepada siapa ia muncul dari waktu ke waktu dan melalui mana ia memerintah komunitas Syi'ah, karenanya periode ini disebut kegaiban kecil (al-ghaibat al-sughra). Kemudian sesudah itu dimulai masa kegaiban besar (al-ghaibat al-kubra) yang berlangsung terus sampai sekarang. Selama masa ini, menurut pandangan Syi'ah, Imam Mahdi hidup tetapi tidak tampak. Ia adalah axiamundi (pemerintah alam). Sebelum kiamat ia akan muncul kembali ke bumi untuk membawa persamaan dan keadilan dan memenuhi bumi dengan kedamaian sesudah dihancurkan oleh ketidakadilan dan perang. Mahdi adalah makhluk spiritual yang selalu ada untuk memberi bimbingan di jalan spiritual kepada mereka yang memintanya dan yang pertolongannya selalu diminta oleh orang-orang yang taqwa dalam do'a sehari-hari. Orang yang memiliki kemampuan spiritual yang baik sesungguhnya memiliki hubungan batin dengan Mahdi.

3. Kedudukan Marja’ Taqlid Dalam Teori Politik Syi'ah
Keberadaan Imam yang memiliki otoritas menurut paham Syi'ah, bukan saja lahir atas kebutuhan politik. Lebih dari itu ia muncul atas dasar kewajiban yang telah digariskan oleh al-Qur’an. Kaum Syi'ah berkeyakinan bahwa pemegang wilayat Ilahiyyah pertama adalah Nabi Muhammad SAW. Selanjutnya mereka berpandangan bahwa sepeninggal Nabi yang behak memegang fungsi tersebut adalah Ali r.a. Fungsi ini kemudian diteruskan kepada Hasan putranya. Terakhir fungsi Imam ini dipegang oleh Muhammad bin Ali, seorang Imam zaman yang telah mengalami keghaiban kecil (ghaibah syugra). Posisi ini kemudian dilanjutkan oleh salah seorang dari wakil pribadinya (nubuwwah khas). Terakhir posisi ini dipegang oleh Ali bin Muhammad yang mengalami keghaiban besar (ghaibah kubra). Sejak itulah keghaiban berlangsung terus sampai sekarang.
Para Imam tersebut oleh kaum Syi'ah diyakini memiliki otoritas untuk membimbing ummat. Selain itu juga dipandang sebagai mujtahid yang mempunyai kemampuan memahami makna batin ayat-ayat al Qur’an. Ucapan dan tindakan mereka sampai sekarang masih menjadi pedoman dan menjadi panutan dikalangan Syi'ah. Dalam proses kepemimpinan, marja’ taqlid dipimpin oleh seorang Ayatullah Uzma, pemimpin terhormat dalam bidang spiritual, sedangkan bimbingan umat Syi'ah sehari-hari dilakukan oleh seorang marja’.
Ayatullah Uzma bertugas mengorganisir para ulama dan melakukan kaderisasi serta memberikan fatwa-fatwa sebagai pedoman bagi ummat, ia juga memperoleh humus dan zat. Jadi semakin terlihat bahwa lahirnya marja’ taqlid ini merupakan satu-satunya alternatif untuk memperkokoh terlaksananya ideologi Syi'ah. Menurut Imam Khomeini, posisi marja’ taqlid berperan sebagai tempat penyandaran ummat dan memberikan kepada mereka petunjuk-petunjuk Ilahi demi kebahagiaan kini dan kelak.
Dalam sejarahnya posisi marja’ taqlid adalah dipegang oleh seorang ulama yang kualifikasi ilmunya tidak diragukan lagi. Namun dalam perkembangan selanjutnya yaitu setelah abad ke-19, selain Ayatullah Husain Burujerdi, tidak ditemukan lagi marja’ taqlid dalam bentuk perseorangan. Mungkin sudah tidak ada lagi yang mampu mencapai derajat tersebut, sehingga perwujudannya mengkristal dalam bentuk kelompok. Marja’ taqlid yang berbentuk kelompok dewasa ini berjalan pada masa Imam Khomeini. Perwujudannya dilembagakan dalam bentuk wilayatul faqih yang dipimpin oleh sekelompok Ayatullah. Lembaga ini ditegakkan atas dasar empat prinsip, yaitu Allah sebagai prinsip tunggal, kepemimpinan manusia yang diwujudkan oleh kepemimpinan Allah, garis Imamah yang melanjutkan garis kenabian dan kepemimpinan Nabawiyah, yang dilanjutkan oleh manusia ketika Imam Ghaib.
4. Imamah dalam Pemikiran Politik Syi'ah Kontemporer
Dalam kancah pemikiran politik Syi'ah kontemporer setidaknya ada dua pandangan tentang konsep Imamah. Pertama, pandangan yang diwakili oleh Ayatullah Uzma Ruhullah Imam Khomeini, pemimpin revoluasi Islam Iran, yang menempatkan kaum ulama sebagai pemegang otoritas tertinggi di bidang politik maupun agama, Kedua, pandangan yang diwakili oleh 'Ali Syari'ti, ideolog revolusi Islam Iran, yang menolak dominasi politik kaum ulama, dan sebaliknya, menempatkan kaum "intelektual yang tercerahkan" (Rausyan Fikr) sebagai pemegang otoritas kekuasaan politik.
Dalam pandangan Hamid Enayat, Imam Khomeini mewakili kelompok yang berhati-hati tetapi semakin tumbuh di kalangan "militan" Syi'ah yang memperlakukan drama Karbala secara esensial sebagai tragedi yang bersifat manusiawi, dan menghindari anggapan bahwa heroisme Imam Husain merupakan peristiwa sejarah yang unik dan tidak bisa ditiru, di luar kemampuan manusia biasa. Menurutnya, Imam Khomeini adalah seorang teologi yang lebih dari teolog Syi'ah manapun yang sebanding dengannya, yang telah menggunakan kenangan Karbala.
Beberapa pokok pikiran Ayatullah Imam Khomeini yang relevan dengan konteks keterkaitan antara agama dan politik dalam mazhab Syi'ah, khususnya masalah Imamah (dan bagaimana Implementasi dari Konsep ini ke dalam kehidupan sosial-politik), di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Imam Husein memberontak dan menjadi martir guna mencegah berdirinya monarki dan pewarisan takhta yang turun temurun. Karena itu, kaum Muslim hendaknya "menciptakan Asyura" dalam perjuangan mendirikan negara Islam.
b. Islam bersifat Politis, karena al-Qur'an memuat lebih banyak, ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial daripada soal-soal ibadah. Dari 50 buku hadis, barangkali hanya ada tiga atau empat yang membahas masalah shalat dan kewajiban manusia terhadap Tuhan, dan sebagian kecil mengenai moralitas. Selebihnya selalu ada sangkutpautnya dengan masalah-masalah sosial, ekonomi, hukum, dan politik, oleh sebab itu, Islam tidak hanya mengatur masalah hubungan antara Tuhan dan makhluk-Nya.
c. Pemisahan agama dan politik serta adanya tuntunan agar ulama tidak ikut campur dalam masalah sosial politik merupakan propaganda imperialisme. Para ulama yang enggan melibatkan diri dalam masalah sosial-politik sama saja dengan menolak kewajiban dan misi yang didelegasikan kepada mereka oleh para imam. Mereka yang ingin mengecilkan kekuasaan para ulama dan menghancurkan kehormatan mereka di antara rakyat banyak adalah "pengkhianat besar negara".
d. Para faqih memiliki hak sebagai wakil imam dalam semua aspek keagamaan, sosial, dan politik.
e. Persatuan Sunni-Syi'ah merupakan hal penting kaum Syi'ah hendaknya meninggalkan keengganan mereka yang telah mendarah daging untuk shalat dibelakang imam-imam Sunni, merupakan "sebuah perserikatan antara kaum Sunni dan Syi'ah, serta antara pemerintah dan rakyat diwujudkan di Iran"'
f. Negara Islam akan menjamin keadilan sosial, demokrasi yang sebenarnya, dan kemerdekaan yang murni dari imperialisme. Islam dan pemerintahan Islam adalah fenomena Ilahi, yang menjamin kebahagiaan manusia dan keturunannya di dunia dan akhirat.
g. Al-Qur'an hanya memuat hukum Tuhan. Karenannya, yang berkewajiban melaksanakan hukum tersebut dan dapat memerintah dengan adil adalah penguasa yang dipilih para mujtahid saja, yang mengenal perintah Tuhan dan mengamalkan keadilan tanpa terpenjara oleh tekanan dan ambisi dunia.
h. Sebuah sistem pemerintahan yang mengamalkan hukum Tuhan, yang mendapatkan pengawasan yang mendapatkan pengawasan dari hukum agama (faqih), akan mengungguli semua sistem pemerintahan yang tidak adil di dunia ini.
i. Pembagian ummah menjadi beberapa bangsa merupakan sesuatu yang pantas disesali, dan itu adalah hasil kerja kolonialisme, serta para penguasa lalim dan serakah. Salah satu tugas pemerintahan Islam adalah mempersatukan ummah untuk membebaskan wilayah mereka dari cengkraman pemerintahan yang menjadi perantara kolonialis.
j. Hukum Islam menyediakan suatu "cetak biru" bagi negara dan masyarakat, di mana eksekutif bertugas melindungi dan mengawal, sedangkan yudikatif berfungsi menerapkan hukum Islam tersebut. Sementara itu, legislatif tidak diperlukan karena hanya Tuhan yang berwenang membuat undang-undang dan kaum Muslim pada hakikatnya sudah memiliki hukum-Nya.
k. Pemerintahan Islam, merupakan sesuatu yang mungkin dan penting, seperti yang dinyatakan oleh Imam al-Ridha (Imam Kedelapan) bahwa "tidak logis kalau Tuhan Yang Mahatinggi dan Mahabijaksana membiarkan rakyat-Nya, makhluk-Nya, tanpa mendapat petunjuk atau pelindung". Kebijakan Tuhan tidak dapat dibatasi hanya dalam ruang dan waktu tertentu saja. Karena itu, sejak sekarang sampai akhir masa nanti sangatlah diperlukan seorang imam yang dapat melaksanakan hukum-hukum Islam.
l. Alasan-alasan yang mendorong terpilihnya 'Ali sebagai imam masih dipakai hingga kini; orangnya berubah, tapi fungsinya tetap sama. Pemerintahan Islam masa kini harus merupakan "pengganti 'Ali". Pemerintahan itu harus konstitusional, tapi dalam pengertian bahwa para penguasa harus menyadari sejumlah syarat yang didefinisikan di dalam al-Qur'an dan Hadits.
m. Mulla Ahmad Naraqi (w. 1829) dan Syeikh Muhammad Husein Na'ini (w. 1936) adalah dua tokoh yang memiliki pandangan serupa bahwa kaum ulama mempunyai hak preriogratif di bidang politik, kendati keduanya tidak mengembangkan suatu tema sentral teori politik mereka.
n. Para faqih harus memegang kekuasaan, menggantikan peran raja (penguasa). Kendati masalah-masalah teknis bisa diserahkan kepada para ahlinya, namun pemegang kekuasaan tertinggi di bidang sosial-politik harus berada di tangan faqih yang adil.
o. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan rakyat dengan berpegang pada hukum Tuhan, Kepala Pemerintahan, pemimpin tertinggi haruslah seorang faqih, seorang ahli hukum Tuhan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.
p. Dalam pemerintahan Islam, kaum ulama menduduki posisi, baik sebagai pengawal (guardians/vali), penafsir (interpreters), maupun pelaksana (executors) hukum-hukum Tuhan. Oleh sebab itu, pemerintahan yang demikian merupakan pemerintahan Islam yang sebenarnya dan adil.
q. Pemerintahan Islam harus bertindak sesuai dengan syariat, dan karenanya dibutuhkan pengetahuan yang luas mengenai syariat dalam mana semua tindakan harus sesuai dengannya. Syarat-syarat ini hanya bisa dipenuhi oleh para faqih, pakar di bidang hukum Islam. Karenanya faqih adalah figur yang paling siap untuk memerintah masyarakat Islam. Inilah sebenarnya gagasan inti wilayah al-faqih. Sebagai penguasa, faqih memiliki otoritas yang sama dan dapat menjalankan fungsi sebagai imam, walaupun dia tidak dengan sendirinya sama dengan imam. Dalam hal ini, tidak ada tempat bagi para raja atau penguasa-penguasa temporal lainnya.
r. Selama gaibnya Imam Mahdi tidak berarti berhentinya peran politik umat Syi'ah. Dalam rangka membangun masyarakat dan negara Islam, kaum Muslim tidak boleh menunggu sampai kembalinya Imam Mahdi.
s. Pemerintahan Islam yang benar adalah sebuah pemerintahan konstitusional dengan al-Qur'an dan Hadits sebagai konstitusinya.
Dari pandangan-pandangan Imam Khomeini di atas dapat ditarik titik temu bahwa konsep wilayatul faqih sangat mengartikulasikan gagasan esensial dari Imam Khomeini tentang negara dan tujuan yang ingin dicapainnya. Wilayatul faqih juga merupakan "cetak biru" bagi suatu reorganisasi masyarakat, dan merupakan sebuah handbook bagi revolusi Islam Iran.

C. Konsep dan Sejarah Perkembangan Wilayatul Faqih
1. Analisis Konseptual Wilayatul Faqih
Konsep wilayatul faqih merupakan poros sentral dari pemikiran Syi'ah kontemporer yang mepngadopsi sistem politik yang berbasiskan perwalian. Konsep ini muncul dari doktrin Imamah yang merupakan basis paham Syi'ah, berikut ini di analisis secara konseptual mengenai pengertian dari wilayatul faqih.
Dalam bahasa Arab, kata ‘wilayah’ berakar dari kata wali yang menurut istilah kalangan leksiograf Arab terkemuka merupakan unit terkecil (tunggal) dalam bahasa yang mengandung makna tunggal; kedekatan daya tarik/ hubungan dekat/ persamaan/ pertalian. Dalam bahasa Arab terdapat tiga makna yang tercatat untuk kata ‘wali’: (1) teman; (2) setia/ berbakti; (3) Pendukung atau Penyokong. Di samping ketiga arti ini, dua arti lain disebutkan untuk kata ‘wilayah’: (1) kekuasaan (tertinggi) dan penguasaan; (2) kepemimpinan dan pemerintahan Dalam bahasa Persia, kata wali memiliki sederet arti, seperti teman, pendukung, pemilik, pelindung, pembantu, dan penjaga. Begitu pula kata wilayah, yang bermakna mengatur dan memerintah. Kata wilayah dalam wilayatul faqih bermakna pemerintahan dan administrasi atau pengelolaan. Sebagian kalangan meletakkan makna ini untuk mendapatkan pengertian ‘pengendalian atau kontrol, penguasaan, jabatan, hakim, dan kekuasaan tertinggi yang menunjukkan otoritas wali (sang pembawa wilayah) atas mawla ‘alayh (orang yang bergantung pada atau menjadi objek wilayah). Namun demikian, wilayah yang bermakna pengawasan dan pelaksanaan urusan-urusan mawla ‘alayh adalah pemberi pelayanan kepada mawla ‘alayh, bukan melakukan pembebanan dan pemaksaan atasnya.
Dalam Al Qur'an kata wilayah. disebutkan hingga 236 kali. 124 kali dalam bentuk kata benda dan 112 kali dalam bentuk kata kerja. Salah satunya adalah yang terdapat pada surat Al-Maidah ayat 55 dan 56. Pada kedua ayat ini al Qur’an menggunakan kedua bentuk kata wilayah itu.
"Sesungguhnya wali (bentuk kata benda) kalian adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat saat mereka sedang ruku'. Maka barangsiapa yang berwilayah (kata kerja: yatawallâ) kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, sesungguhnya partai Allah adalah yang menang."

Secara bahasa, wilayah atau walayah yang berakar dari kata w-l-y pada dasarnya mengandung makna kedekatan, apakah itu kedekatan jasmaniyah atau kedekatan maknawiyah. Karena itu, ia kadang berarti berteman, menolong, mencintai, mengikuti, menteladani, memimpin atau mematuhi. Karena makna-makna tersebut pada dasarnya merujuk pada makna adanya kedekatan antara pelaku, subyek, dan penderita.
Menurut Ahmad Vaezi, dalam terminologi hukum Islam (fiqih), Istilah wilayah mempunyai beberapa penggunaan, di antaranya sebagai berikut; Pertama, wilayat al-qaraba, tipe otoritas wilayah ini diberikan pada seorang ayah atau kakek dari garis ayah untuk anak-anak atau mereka yang terganggu mentalnya (meskipun sampai usianya dewasa). Otoritas untuk bertindak sebagai wali didasarkan pada hubungan kekerabatan; kedua, wilayat al-qada’ menurut ahli fiqih Imamiyah, Imam maksum pada awalnya mempunyai otoritas tunggal untuk mengadili rakyat berdasarkan hukum dan wahyu Ilahiyah. Akan tetapi pada saat sekarang, seorang faqih yang mampu dapat mengambil tanggung jawab ini dengan Izin Imam; ketiga, wilayat al-hakim, dalam hal ini, otoritas diberikan pada administrator dari hakim biasa, untuk mengawasi kepentingan-kepentingan seseorang yang tidak mampu menjalankan urusan-urusannya sendiri, seperti seseorang yang lemah pikirannya atau orang yang sakit jiwa. Bagi siapapun yang tidak mempunyai wali, ahli fiqih berkata: Hakimlah yang akan menjadi wali mereka yang tidak mempunyai wali. Keempat, wilayat al-mutlaqa, menurut bukti-bukti tekstual seperti pada al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 6, ahli fiqih Imamiah percaya bahwa Nabi dan para Imam-Imam mempunyai otoritas Ilahi atas rakyat. Menurut ayat tersebut, Nabi mempunyai lebih banyak hak atas para penganutnya dari hak mereka sendiri. Dengan demikian, otoritasnya yang penuh kebijaksanaan berlaku sangat efektif terhadap rakyat. Otoritas yang sama, menurut kepercayaan Syi'ah, juga diberikan kepada para Imam; dan kelima, wilayat al-ustba, menurut para ahli fiqih Sunni otoritas ini dihubungkan dengan hak waris, yang menetapkan ahli waris. Kategori wilayah yang demikian tidak dapat diterima oleh para ahli fiqih Imamiyah.
Kata faqih, menurut Jalaludin Rahmat adalah muslim yang sudah mencapai tingkat tertentu dalam ilmu kesalehan. Seorang faqih di isyaratkan harus mengetahui semua peraturan Allah, mampu membedakan sunnah yang sahih dan yang palsu, yang mutlak dan yang terbatas, yang umum dan yang khusus. Ia juga harus mampu menggunakan akalnya untuk membedakan hadis dari situasi lain, situasi taqiyyah dan situasi lain, serta memahami kriteria yang telah ditetapkan. Menurut doktrin wilayatul faqih, seorang faqih mempunyai wilayah, perwalian atau pemerintahan atas masyarakat sebagai seorang pengurus atau pengelola yang mendorong masyarakat tersebut meraih apa yang diidamkan Islam.
Dari analisis konseptual di atas dapat kita simpulkan bahwa wilayatul faqih dapat didefinisikan sebagai sebuah otoritas yang diserahkan kepada para fuqaha (para faqih) yang berilmu tinggi sehingga mereka dapat mengarahkan dan memberi nasihat pada umat muslim selama tidak hadirnya imam maksum. Adapun otoritas ini didapat dari Imam yang merupakan al-Hujjah (dari Allah), oleh karenanya adalah wajib untuk mentaati perintah-perintahnya sebagai otoritas tunggal yang sah.

2. Sejarah dan Perkembangan Konsep Wilayatul Faqih
Seperti yang telah disinggung terdahulu, konsep wilayatul faqih, dalam beberapa hal merupakan kelanjutan dari doktrin Imamah, karena melaksanakan fungsi-fungsi utama pemerintahan Imam. Konsep ini menggambarkan unsur perwakilan rasional berdasarkan pilihan rakyat, yang berbeda dengan diangkatnya Imam oleh Allah. Tetapi faktor utama – kekuasaan individual – tetap tidak berubah. Baik Imamah maupun perwakilan Imam digunakan untuk mengabsahkan kelompok-kelompok yang berkuasa. Menurut Ahmad Moussawi, pendekatan politis Islam merupakan bagian dari pendekatan religius terhadap masalah-masalah duniawi. Dalam hal ini, bentuk kedaulatan yang mewakili kedaulatan Tuhan di muka bumi ini, hanya merupakan suatu organisasi manusia.
Namun menurut Moussawi, perkembangan organisasional dalam Islam telah mengabaikan tradisi spiritualnya yang kaya. Konsep-konsep pluralitastisnya tentang jama’ah, bay’ah (sumpah setia), dan syura’ (musyawarah) masih belum diterjemahkan ke dalam lembaga-lembaga formal. Dengan pengecualian kelompok-kelompok fityan (persaudaraan muslim), kita tidak dapat menemukan konsep-konsep Islam terdahulu yang tercakup dalam sistem politik Islam. Sebaliknya kita menemukan lembaga-lembaga individualistis, seperti Imam yang diangkat dan para wakilnya yang kharismatis, dalam Islam Syi'ah.
Dalam keadaan inilah kemudian konsep wilayatul faqih, menjadi salah satu sistem politik alternatif yang dipilih oleh sebagian kalangan Syi'ah – terutama Syi'ah Imamiyah (Itsna Asy’ariyah) - untuk menjawab masalah imamah. Selama dua abad terakhir, Syi'ah Itsna Asy’ariyah memiliki vitalitas politik yang dapat dijelaskan oleh potensi yang ada tersebut seperti prinsip-prinsip di atas, ditambah prinsip ijtihad, pertimbangan mandiri sebagai suatu alat melengkapi sumber-sumber yurisprudensi. Dalam madzhab Syi'ah, ijtihad merupakan proyek logis dan imperatif yang selalu menyertainya.
Sebagian pihak menganggap bahwa ide wilayatul faqih, dalam arti seorang mujtahid (seorang yang telah mencapai tingkat ijtihad) memikul tanggung jawab atas kehidupan masyarakat Islam, merupakan novel sejarah pemikiran Islam dan usaha memutar kembali cerita yang berjalan mundur ke dua abad silam. Bebarapa pandangan mengenai hal itu telah dikemukakan oleh banyak faqih besar Syi’ah sejak abad ke-18, meneliti pandangan-pandangan para faqih tersebut mengenai wilayatul faqih kiranya akan membantu mengklarifikasi latar belakang sejarah perkembangan konsep wilayatul faqih ini.
Adalah Mulla Ahmad Naraqi (faqih terakhir Dinasti Qajar), yang pertama kali mengemukakan gagasan ini kurang dari dua abad lalu. Naraqi merupakan faqih terkemuka yang menggunakan wilayat untuk faqih dalam pengertian supermasi mujtahid atas masyarakat Syi'ah Imamiah selama ghaibnya Imam Mahdi. Ia mencirikan mujtahid sebagai orang yang paling berilmu, yang pencariannya akan pendapat yang benar memiliki penilaian spekulatif (zhan). Naraqi menganggap zhan ini sebagai bukti yang sah sejak tertutupnya gerbang untuk memperoleh pengetahuan karena ghaibnya Imam kedua belas.
Mulla Ahmad Naraqi berpandangan bahwa faqih mempunyai wilayah atas apapun yang dimiliki Nabi Muhammad SAW dan imam-imam maksum. Sebagai pemimpin atas masyarakat dan benteng pertahanan Islam. Faqih mempunyai wilayah itu kecuali masalah-masalah yang menurut ijma’ atau nash jelas berada diluar lingkup wilayahnya. Wilayah seorang faqih yaitu apapun yang berhubungan dengan masalah spiritual dan keduniaan masyarakat yang perlu diselesaikan. Hal ini menurut Naraqi selain sudah merupakan kesepakatan para faqih terhadap kebenaran hukum Islam, juga karena banyak hadits-hadits yang dengan jelas memberi penekanan pada masalah ini.
Kemudian Syeikh Muhammad Hasan Najafi (w. 1849) yang menulis kitab Jawahir mengemukakan pendapatnya mengenai konsep wilayatul faqih. Ia menulis :
“Pernyataan umum tentang wilayah al- faqih di jadikan argumen melalui praktik dan fatwa-fatwa para ahli hukum agama (fuqaha). Ini berarti bahwa dalam pandangan mereka, wilayah al-faqih adalah aksiomatik dan tidak perlu dibuktikan lagi.”

Kemudian ia menambahkan:
“Saya percaya bahwa Allah telah menjadikan kepatuhan dan kesetiaan pada para fuqaha ‘pemegang otoritas’ (ulil amri) sebagai kewajiban kita, bukti-bukti mengenai pemerintahan faqih, khususnya hadits dari Imam Mahdi membenarkan hal itu.”

Dari pernyataan di atas menurut Syeikh Najafi, bahwa permasalahan pemerintahan faqih, merupakan sesuatu hal yang dapat diterima oleh masyarakat muslim, karena telah banyak dalil-dalil yang memberikan bukti yang sangat jelas.
Pandangan lain dikemukakan oleh Ayatullah Burujerdi (w. 1962), yang menganggap bahwa pemerintahan faqih dalam segala urusan telah mempengaruhi masyarakat sebagai aksioma, sehingga tidak diragukan lagi untuk mempengaruhi menyatakan dengan penuh yakin bahwa banyak hadits yang membuktikan masalah ini. Pendapat Burujerdi dibenarkan oleh Ayatullah Syeikh Murthada Ha’iri, yang merupakan guru dari Ayatullah Khomeini. Ia menganggap perintah suci (berupa stempel, tanda tangan, perintah) dari Imam Mahdi sebagai salah satu bukti tentang Wilayah al-Faqih.
Ayatullah Ruhullah Imam Khomeini (w. 1989), yang kemudian mengaplikasikan konsep wilayatul faqih ini secara praksis ke dalam konstitusi Iran, meyakini bahwa faqih menerima otoritas absolut (mutlaqah). Yaitu bahwa faqih yang memenuhi persyaratan penuh (jami’ syarait) diberi semua kekuasaan dan tanggung jawab Imam ke-12 pada masa keghaibannya kecuali bila ada alasan tertentu yang pasti bahwa kekuatan dan tanggung jawab itu masih berada di tangan Imam. Imam Khomeini mengatakan:
“Ide wilayah al-faqih bukanlah temuan kita. Wilayah al-faqih adalah sebuah masalah yang telah bergulir lama…yang mana kita hanya menggali serta mendiskusikan aspek-aspek yang berbeda dalam konteks pemerintahan untuk lebih memperjelas duduk perkaranya…ini adalah masalah yang sama dengan yang difikirkan dan disampaikan para fuqaha itu. Kita mengemukakan inti permasalahan; (jadi selanjutnya) ini tergantung pada generasi sekarang dan yang akan datang untuk meneliti lebih lanjut dan berusaha menemukan cara-cara untuk merealisasikannya…”

Dari beberapa pandangan para fuqaha tersebut, bahwa konsep wilayatul faqih merupakan konsep yang telah lama ada dan berkembang seiring waktu. Hingga sampai saat ini ketika konsep tersebut telah direalisasikan dalam konstitusi Republik Islam Iran oleh Imam Khomeini.







Bagan. 3
“Model Kekuasaan” Wilayatul Faqih












3. Dalil dan Dasar Argumentasi Rasional Konsep Wilayatul Faqih
Secara prinsipil, masalah wilayatul faqih berakar pada dasar-dasar argumentasi rasional dan pada dalil teks-teks keagamaan. Seperti yang dikemukakan oleh Ibrahim Muharram Habsiye, argumentasi wilayatul faqih berakar pada: Pertama, keharusan adanya pemerintahan sebuah masalah, selama menyangkut sistem nilai baik dan buruk yang berkaitan dengan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi manusia, maka otomatis ia akan menjadi objek agama; Kedua, pemerintahan merupakan masalah yang ekstra krusial dalam kebahagiaan itu, maka agama mengingat tujuannya, harus memasuki wacana pemerintahan. Akal mensyaratkan keadilan, pengetahuan agama dan kemampuan memimpin. bagi pemerintahan (penguasa). Ketiga, al-Qur’an memberi pernyataan pada surah an-Nissa ayat 59;
“ Wahai orang-orang yang beriman. Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang memiliki otoritas atas kalian dan jika kalian bertikai tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu ke Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itu yang baik dan berakibat yang sebaik-baiknya..”

Dengan meyakini keselarasan dan keserasian antara aql dan naql, maka dengan menggabungkan beberapa proposisi rasional dengan ayat suci ini kita dapat menyimpulkan beberapa hal:
a. pemerintahan termasuk wilayah agama,
b. pemerintahan hanya merupakan hak Tuhan,
c. ketaatan terhadap penguasa legitimate seiring dengan ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Penjelasan berikutnya menunjukkan bahwa dalam pemikiran Syi'ah, kebutuhan akan pemerintahan yang dipimpin oleh seorang faqih sudah dibuktikan dalam banyak hadist yang terutama sanadnya disampaikan oleh ahli-ahli hadits kalangan Syi'ah. Ada banyak hadis dan riwayat dikemukakan sebagai dalil wilayatul faqih, salah satu hadist tersebut antara lain sebagai berikut: Riwayat dari Imam Ali bin Abi Thalib ra, melalui Syekh al-Shaduq, bahwa Rasulallah SAW mengatakan, "Ya Allah! Berikanlah kasih sayang dan kemurahan kepada penggantiku." Ketika ditanya siapakah para penggantinya itu, Rasulallah menjawab, "Mereka yang datang setelahku dan menyampaikan hadits-hadits dan sunah-sunahku."
Menurut Teherani, terdapat dua catatan penting mengenai riwayat dan sanad dari hadis ini bagaimana memaknai wilayatul faqih. Pertama, Rasulullah SAW mempunyai tiga tanggung jawab utama: (1) menyebarkan wahyu Allah SWT, menyampaikan perintah-perintah agama dan membimbing umat manusia; (2) memutuskan perkara-perkara yang berhubungan dengan hukum dan melerai percekcokan; dan (3) masalah wilayah, yakni pemerintahan dan kepemimpinan atas umat Islam. Kedua, maksud dari perkataan "mereka yang datang setelahku dan menyampaikan hadits-hadits dan sunah-sunahku" tertuju pada para fuqaha, bukan untuk para perawi dan pelapor hadits semata. Karena seseorang yang memiliki keahliah dan dapat menentukan sebuah hadist dan sunah itu berasal dari Rasulullah SAW, berarti telah mencapai maqam faqih dan memiliki kecakapan dalam berijtihad (memberi interpretasi dan pertimbangan mandiri). Dengan mempertimbangkan masalah penting tersebut, maka hadits ini menyatakan sebagai berikut, "Para fuqaha adalah pengganti-pengganti Nabi SAW." Karena Nabi memegang beberapa kedudukan, sementara tidak ada kedudukan khusus yang disebutkan, maka selanjutnya dikatakan bahwa para fuqaha adalah pengganti-pengganti Nabi SAW dalam semua kedudukan itu.
Hadits selanjutnya, riwayat dari Imam ke-12, Syekh al-Shaduq meriwayatkan dalam kitab Kamal ad-Din dari Ishaq bin Ya'qub, bahwa Imam Mahdi, Imam ke-12 memberi jawaban atas pertanyaan Ishaq secara pribadi, ia menuliskan yang bersegel tuqi' yang isinya: "Dimasa ketidakpastian (kegaiban Imam) rujuklah para penghantar (perawi) hadis-hadis kami (faqih), Karena mereka adalah hujjah-ku untuk kalian dan aku hujjah Allah untuk mereka."
Dalam menegakkan otoritas fuqaha, para pembela wilayatul faqih sering merujuk pada bagian kedua dari hadits ini, yang berbunyi "Mereka hujjah-ku untuk kalian dan aku hujjah Allah untuk mereka." Bagaimanapun menurut ulama Syi'ah seperti Imam Khomeini berpendapat bahwa bagian pertama dari hadits tersebut juga bias digunakan untuk menegakkan otoritas faqih. Bagian pertama dari hadits itu mendorong masyarakat untuk bertanya pada mereka yang dekat dengan ajaran-ajaran para Imam as. menyangkut semua parmasalahan baru yang dihadapi masyarakat.
Pernyataan itu membuat jelas bahwa fuqaha bertindak sebagai hujjah dari Imam dalam segala hal dimana Imam bertindak sebagai hujjah Allah. Dalam bagian kedua hadits tersebut, Imam Khomeini menjelaskan bahwa hujjah Allah sebagai seseorang yang telah dipersiapkan oleh Allah untuk menjawab beberapa perkara, artinya segala perbuatan, tindakan-tindakan, dan perkataan-perkataannya bermakna sebagai hujjah (bukti) bagi kaum muslim. Kesimpulannya menjadi seorang hujjah berimplikasi memegang otoritas atas para pengikutnya dan oleh karenanya semua perintah-perintah dari pemegang status seperti itu haruslah dipatuhi. Inilah yang kemudian dijadikan dalil wilayatul faqih sekaligus menjadi bukti kuat bahwa fakih adalah wakil Imam.

4. Pengertian Faqih dan Kualifikasi Faqih
Sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu bahwa dalam konsep wilayatul faqih, hanya seseorang yang telah mencapai tingkat fuqaha (tingkat seorang faqih) dan cakap dalam menggali hukum-hukum Ilahi dari sumber-sumber yang sahih (al-Qur’an dan Hadits) saja yang dapat menangani masyarakat Islam. Bagaimanapun juga pemimpin atau penguasa masyarakat Islam harus mampu membuat keputusan dan pertimbangan hukum yang tepat berdasarkan ketentuan yang telah dibuat oleh Tuhan. Di samping itu ijtihad dan kemampuan untuk membuat interpretasi dari keputusan hukum yang mandiri, seharusnya dibatasi dalam sebuah bidang tertentu. Imam Khomeini mengatakan:
"Seorang wali harus memiliki dua sifat, yang keduanya merupakan ketentuan mendasar dalam pemerintahan --yakni pemerintahan dengan undang-undang Ilahi-- yang tidak dapat diterima akal kecuali dengan keduanya. Yang pertama adalah pemahaman terhadap undang-undang. Dan yang kedua, keadilan. Sedangkan masalah kafa'ah termasuk ke dalam permasalahan ilmu dengan keluasan ungkapannya, yang juga tidak diragukan keharusannya bagi seorang hakim. Dapat juga Anda katakan syarat tersebut merupakan syarat-syarat yang mendasar."

Dalam buku lain yaitu bukunya yang berjudul Islamic Government, Imam Khomeini mengklasifikasikan sekurang-kurangnya ada delapan (8) persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqih untuk bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam, yaitu: (1). Mempunyai pengetahuan yang luas tentang hukum Islam; (2). Harus Adil, dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi; (3). Jenius; (4). Dapat dipercaya dan berbudi luhur; (5). Memiliki Kemampuan Administratif; (6). Bebas dari segala pengaruh Asing; (7). Mampu mempertahankan hak-hak bangsa, kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawa, dan; (8). hidup sederhana.
Sedangkan menurut Jalaludin Rahmat secara terperinci seorang faqih harus mencukupi syarat-syarat berikut, antara lain:
a. Faqahah
Faqahah adalah pencapaian derajat ijtihad (mujtaid muthlaq), yaitu kemampuan secara ilmi dalam menurunkan hukum syariat dari dalil-dalil yang telah tetap baginya. Juga, faqahah sebagai syarat imamah terbagi dua: Pertama, bahwa untuk memenuhi tugas dan tanggung jawab, seorang imam hendaknya memiliki kecukupan (kafaah) ilmu dalam setiap permasalahan syariat Islam, mulai dari hukum-hukumnya, tujuan syariat, akhlak syariat, dan metode syariat dalam membenahi setiap perkara, sehingga dia pun dapat mengatur perjalanan politik pemerintah. Juga hendaknya memiliki kemampuan ilmi dalam mengatasi kesulitan-kesulitan dengan dasar syariat. Dalam hal ini, seorang imam tidak dibenarkan untuk bersandar kepada mujtahid lain. Karena dalam menentukan ketentuan syariat haruslah sesuai dengan permasalahan politik yang ada. Dalam menentukan keperluan umum suatu pemerintahan, diperlukan kebijaksanaan yang selalu sesuai dengan cuaca politik yang ada, serta meliputi seluruh masalah yang diperlukan dalam pemerintahan.
Seorang imam harus memiliki pandangan yang jelas tentang seluruh kebutuhan syariat yang harus dimiliki suatu pemerintah, sehingga itu semua tidak akan dapat dicapai kecuali waliul amr ataupun imam adalah seorang mujtahid. Kedua, selain imam adalah seorang mujtahid, sebagai syarat umat dibenarkan taklid kepadanya, akan sangat banyak memudahkan apabila imam juga seorang marja' taqlid, sehingga mempererat keterikatan antara imam dengan umat. Hal ini sangat penting karena keberhasilan pemerintahan islami juga bergantung pada hubungan keterikatan antara imam dan umat.
b. 'Adalah (Bertindak Adil )
'Adalah yaitu sifat istiqamah dalam tariqah dan syariat Islam. Dengan syarat, istiqamah sudah merupakan tabiat yang tetap bagi seorang yang disifati adil, atau dengan ibarat yang lain, telah menjadi kebiasaan baginya. Demikianlah pendapat yang masyhur di antara para ulama. Mereka tidak mengartikan 'adalah cukup hanya dengan memenuhi kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Tetapi sudah merupakan suatu kekuatan dalam menguasai diri, sehingga orang percaya bahwa dia tidak lagi akan melakukan pelanggaran meskipun dalam situasi yang sangat sulit.
Tentu saja definisi 'adalah seperti di atas merupakan definisi khusus. Definisi secara umum, yaitu menjaga diri dan ikhlas terhadap syariat Islam, serta fana terhadap kebaikan syariat dengan mewujudkannya dalam perbuatan. Tetapi definisi 'adalah bagi imam harus lebih ketat dari definisi ini. Karena seorang imam bertanggung jawab mengantar umat pada kebaikan mereka. Dari sisi lain imam adalah figur terpenting dalam suatu masyarakat, karena darinya umat terilhami, darinya umat mengambil contoh dan belajar. Seorang imam adalah figur yang dipercaya dan diimani untuk mengatur kebaikan suatu pemerintahan, baik dalam hukum-hukum ataupun ekonominya. Oleh karena itu imam haruslah seorang yang telah mencapai derajat keadilan tertinggi.
Bersabda Rasul SAW: "Keimamahan itu tidak baik, kecuali bagi seseorang yang memiliki tiga perkara: wara' yang menghindarkannya dari bermaksiat kepada Allah, kelembutan (hilm) yang menguasai kemarahannya, dan penguasaan (wilayah) yang baik." Dalam riwayat lainnya ia bersabda: "Para faqih adalah umana' para rasul selama belum masuk ke dalam pengaruh dunia," Juga dari Imam Hasan al-Askary as: "Adapun seorang fuqaha yang menjaga diri, mempertahankan agamanya, menentang hawa nafsunya, taat pada perintah maula-nya, maka bagi orang awam hendaklah bertaklid kepadanya."
c. Kafa'ah
Makna kafa'ah adalah pemahaman yang dimiliki secara luas mencakup permasalahan kemasyarakatan, politik, dan kemanusiaan, yang semuanya merupakan pendukung untuk sampai kepada wilayah yang baik, seperti yang telah disebutkan dalam hadits. Bersabda Rasul SAW: "Siapapun yang memimpin kaum muslim, sementara ia melihat adanya seseorang yang lebih utama darinya, maka ia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum muslimin." Imam Khomeini berkata: "Masalah kafa'ah adalah masalah pengetahuan dalam bentuk luas. Dan tidak diragukan kelazimannya bagi seorang hakim."

D. Konsep Politik Wilayatul Faqih Menurut Imam Khomeini
Sebenarnya dari segi konsep politik, tidak ada gagasan-gagasan yang benar-benar baru dari Ayatullah Khomeini. Dari pernyataan yang terdapat dalam kalimat pembuka pada kumpulan ceramahnya yang berjudul Hukumat-e Islami, Khomeini mengatakan persoalan-persoalan keperluan akan suatu negara Islam sebenarnya adalah suatu kenyataan yang segera bisa disepakati, khususnya di kalangan Syi’ah. Khomeini mengatakan:
"The Governance of Jurisprudent is a clear scientivic idea that may require no proof in the sense that whoever knows the laws and beliefs can see its axiomatic nature. But the condition of the Moslem society, and the conditions of our religious academies in particular, has driven that issue away from the minds and it now needs to be proven again".

Menurut Imam Khomeini dalam buku Hukumat-e Islami tersebut, tema wilayatul faqih sebenarnya dapat dditerima keberadaanya dengan mudah dan tidak lagi memerlukan dalil untuk mendukungnya. Menurutnya siapa saja yang menerima tanpa keraguan konsep ini akan mengenalinya sebagai sebuah kebutuhan umat Islam masa kini yang mendatangkan kejelasan (pencerahan) bagi siapa saja yang mempelajarinya.
Menurut Hamid Alghar, Imam Khomeini memberikan tiga poin penting yang disampaikannya, pertama, kebutuhan akan terbentuknya dan terpeliharanya institusi politik Islam atau dengan kata lain kebutuhan akan terbentuknya kekuatan politik sebagai tujuan-tujuan, aturan-aturan dan kriteria-kriteria Islam; kedua, tugas bagi para ulama (fuqaha) untuk membentuk negara Islam dan mengambil peran dalam bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif, singkatnya, konsep pemerintahan yang dikehendaki oleh Khomeini adalah pemerintahan yang dikepalai oleh seorang faqih (wilayatul faqih); dan yang ketiga, yaitu program kerja yang disusun oleh Khomeini untuk membentuk sebuah negara Islam, termasuk standar-standar bagi reformasi yang dilandasi oleh penegakan aturan yang relegius dalam hal ini penegakan terhadap ajaran-ajaran Islam. Ketiga tema tersebut Khomeini uraikan secara rinci dengan mengaitkan pembahasannya secara khusus atas negara Iran. Karenanya pada bagian diskusi umum maupun diskusi teoritis, peristiwa-peristiwa yang disampaikan tersebut banyak merujuk kepada keadaan negara Iran.

1. Kebutuhan Akan Pemerintahan Islam
Menurut Imam Khomeini, Islam merupakan agama yang memiliki seperangkat hukum berkenaan dengan masalah-masalah sosial yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslim sebagai suatu kesatuan sosial, oleh karena itu menurutnya, kaum Muslim diwajibkan untuk mentaati aturan-aturan tersebut.keberadaan hukum-hukum yang telah tersusun tersebut tidaklah cukup untuk mereformasi masyarakat.
Selanjutnya menurut Imam, untuk menjadikan pelaksanaan hukum-hukum itu efektif, dan memastikan bahwa hukum-hukum tersebut dapat mendukung reformasi, maka diperlukan kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidziyah) yang bertugas sebagai pengambil keputusan atas suatu masalah. Karenanya Allah Yang Maha Kuasa, dalam kaitannya dengan penerapan hukum-hukum tertulis (syariat), telah meletakan bentuk pemerintahan yang dilengkapi oleh institusi eksekutif dan administratif. Imam Khomeini mengatakan:
"A collection of laws is not enough to reform society. For a law to be an element for reforming and making people happy, it requires an executive authority. This is why God, may be praised, created on earth, in addition to the laws, a government and an executive and administrative agency”.

Untuk mewujudkan hal tersebut menurut Khomeini, Islam memerlukan kekuasaan negara dan pemerintahan, ia berargumen bahwa as-Sunnah dan thariqah (jalan hidup) Nabi Muhammad SAW, menyajikan bukti atas kebutuhan akan tegaknya pemerintahan. Pertama, Nabi Muhammad sendiri menegakan sebuah pemerintahan, sebagaimana telah dibuktikan dalam sejarah, ia melaksanakan hukum-hukum Islam, menegakkan aturan-aturannya dan fungsi administrasinya dalam masyarakat. Menurut Khomeini, Nabi Muhammad SAW telah menjalankan seluruh fungsi pemerintahan seperti, mengutus orang-orang terpilihnya untuk menjadi Gubernur di daerah-daerah yang berbeda, membentuk badan kehakiman dan menunjuk seorang hakim, mengirim duta (utusan) ke berbagai negara asing, kepala suku dan para Raja, ia juga mensyahkan berbagai perjanjian dan pakta, serta memimpin sendiri pasukan Islam di berbagai pertempuran.
Kedua, Nabi Muhammad menunjuk seorang pelaksana aturan-aturan untuk meneruskan kepemimpinan ia yang didasari atas perintah Allah SWT. Khomeini berargumen jika Allah Yang Maha Kuasa –melalui Nabi Muhammad SAW- menunjuk seseorang yang akan menjalankan aturan sebagai masyarakat muslim sepeninggalnya, maka ini merupakan indikasi bahwa pemerintahan tetap menjadi kebutuhan setelah wafatnya Nabi. Dengan menjalankan perintah Allah melalui penunjukan seorang penerus kepemimpinan, Rasulullah SAW secara implisit menegaskan perlunya untuk menegakkan pemerintahan. Dengan demikian jelaslah bahwa kebutuhan akan perundang-undangan dan terbentuknya pemerintahan oleh Nabi SAW tidak terbatas pada masanya, melainkan terus berlanjut setelah Nabi wafat.
Selanjutnya Imam Khomeini mengatakan sepeninggal Nabi, kaum muslimin tetap memerlukan seseorang yang dapat mengeksekusi (menerapkan) hukum dan meneggakan institusi Islam dalam masyarakat:
In truth, the social laws and regulations need an executor. In all countries of the world, legislation alone is not enough and cannot secure people's happiness. The legislative authority that can bring to people the fruits of just legislation. This way Islam decides to establish an executive authority side by side with the legislatif authority and appointed a person in charge to implement. In addition to teaching, disseminating, and explaining.

Pada asasnya, hukum dan institusi kemasyarakatan mmerlukan keberadaan eksekutor. Dalam beberapa kasus, dimana saja kekuasaan legislatif yang berdiri sendiri, tidak cukup memberikan manfaat. Kekuasaan legislatif tidak dapat menjamin terwujudnya kebaikan untuk manusia. Setelah penegakan legislatif, kekuasaan eksekutif harus terbentuk. Kekuasaan inilah yang akan melaksanakan hukum dan keputusan yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Hal ini akan menjadikan hukum-hukum lebih bermanfaat bagi manusia dan masyarakat juga akan mendapatkan keputusan adil. Kebutuhan akan berjalannya hukum Ilahi, kebutuhan akan kekuasaan eksekutif dan pentingnya kekuasaan itu dalam memenuhi tujuan-tujuan dari misi kenabian serta tegaknya aturan yang adil yang akan memberikan kebahagiaan bagi umat manusia, menurut Khomeini dapat dilakukan semuanya dengan penunjukan atas seseorang untuk menjadi penerus kepemimpinan yang merupakan pelengkap dari misi kenabian.
Dalam Hukumat-e Islami, Imam Khomeini juga sudah lebih mengelaborasi tentang apa dan bagaimana seharusnya sebuah pemerintahan Islam. Imam Khomeini menganggap pemerintahan para penguasa Dinasti Ummayah (661-750) dan Dinasti Abbasiyyah (750-1258), sebagai pemerintahan yang “anti-Islam”. Karena ”mereka telah mengubah sistem pemerintahan Islam sebelumnya dan mengadopsi sistem pemerintahan monarki seperti halnya kerajaan-kerajaan Romawi, Persia, dan Fir’aun di Mesir”. Menurutnya seperti yang dikutip Sihbudi, bentuk pemerintahan anti-Islam seperti itu masih ada hingga saat ini. Islam, katanya tidak mengakui institusi monarki dan sejenisnya.
Menurut Khomeini, pemerintahan Islam tidak sama dengan pemerintahan yang ada sekarang ini. Ia mencontohkan pemerintahan Islam bukan merupakan pemerintahan yang bersifat tirani, di mana para pemimpin negara dengan pemerintahan semacam ini dapat bertindak sewenang-wenang atas harta dan kehidupan rakyat mereka, memperlakukan orang sekehendak mereka dan membunuh orang yang mereka inginkan serta memperkaya seseorang yang mereka kehendaki dengan memberikan tanah dan harta milik orang lain. Hal seperti ini seperti yang dikatakan Khomeini:
The Islamic government is not similar to the well-known system of government. It is not a despotic government in which head of state dictates his opinion and tampers with the lives and property of the people. The prophet, may God's prayers be upon him, and Ali, the Amir of the faithful, and the others Imams had no power to tamper with peoples property with their lives. The Islamic government is not despotic but constitutional. However, it is not constitutional in the well-known sense of the world, which represented a parliamentary system or in the people's council. It is the constitutional in the sense that those in charge of affairs observe a number of conditions and rule underline in the Koran and in the Sunna and represented in the necessity of observing the system and of applaying the dictates and laws of Islam. This why the Islamic government in the government of devine law.

Khomeini menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW, Amirul muknimin, dan para Khalifah tidak diizinkan untuk menjalankan kekuasaan seperti yang telah disebutkan di atas (kekuasaan tiran). Pemerintahan Islam tidak bersifat tirani dan tidak bersifat absolut kekuasaannya, melainkan bersifat konstitusional sebagaimana pengertian saat ini yaitu berdasarkan suara mayoritas. Pengertian konstitusional yang sesungguhnya adalah bahwa pemimpin adalah suatu subjek dari kondisi-kondisi tertentu yang telah dinyatakan dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Kondisi-kondisi tersebut merupakan hukum-hukum dan aturan-aturan Islam yang terdiri dari kondisi-kondisi yang harus diperhatikan dan dipraktikkan. Pemerintahan Islam karenanya didefinisikan sebagai pemerintahan yang nberdasarkan hukum-hukum Ilahi (Tuhan) atas manusia (makhluk).
The difference between the Islamic government and the constirtutional government both monarchy and republican, lies in fact that the people's representative of the King's representative as the ones who codify and legislate. Where as the power of legislation as confined to God may the prise, and no body may rule by that which has not been given power by God. This is why Islam relaces the legislative council by planing council that works to run the affairs and work the minister so that may offer their service in all spheres.

Terdapat perbedaan yang mendasar antara pemerintahan Islam dengan pemerintahan monarki atau republik. Karekteristik pemerintahan monarki adalah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang raja (sebagai perwalian atas rakyat) dengan berdasarkan undang-undang (legislasi), sedangkan karakteristik pemerintahan Islam, kekuasaan legislatif dan wewenang untuk menegakkan hukum secara eksklusif adalah milik Allah SWT. Pembuat yndang-undang suci ini adalah satu-satunya kekuasaan legislatif. Tidak ada seorangpun yang berhak membuat undang-undang lain dan tidak ada hukum yang harus dilaksanakan kecuali hukum dari pembuat undang-undang yaitu hukum Allah SWT.
Atas dasar itulah dalam sebuah pemerintahan Islam, badan atau majelis perencanaan mengambil peran sebagai Majelis legislatif, yang merupakan salah satu dari tiga cabang kekuasaan dalam pemerintahan yang ada saat ini yaitu, kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Majelis ini menyusun program-program bagi departemen-departemen kementrian di dalam rangka aturan-aturan Islam dan dengan cara demikian majelis ini akan menentukan bagaimana kuantitas dan kualitas pelayanan publik yang diberikan negara kepada masyarakatnya. Hukum-hukum Islam yang ada dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi telah diterima kaum muslim dan ditaati. Penerimaan mereka ini memudahkan tugas pemerintah dan menerapkan hukum-hukum tersebut dan membuatnya agar tetap menjadi milik rakyat dengan mensosialisasikannya.
Sebaliknya, pada penerimaan republik atau monarki konstitusional, sebagian besar para pemimpinnya mengklaim bahwa mereka mewakili suara mayoritas rakyat, yang mana dengan suara mayoritas tersebut rakyat pasti akan mengabulkan apapun yang mereka kehendaki, kemudian memaksakan hal-hal yang menjadi kehendak mereka tersebut kepada seluruh penduduk yang dikuasainya. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang berbasis hukum. Dalam pemerintahan ini, kedaulatan hanyalah milik Allah serta hukum adalah berupa keputusan dan perintah-Nya. Hukum-hukum ini mempunyai kewenangan mutlak atas semua individu dalam sebuah pemerintahan Islam.
Imam Khomeini adalah seorang ulama yang menginterpretasikan Islam sebagai agama yang memiliki komitmen terhadap perkembangan sosial dan politik, seperti yang dituliskan oleh Shaul Bakhas, Ayatullah Khomeini "interpreted Islam as a commitment to sosial and politic causes" . Bagi Imam Khomeini, masalah yang harus mendapatkan perhatian serius adalah perlunya Islam dan Iran merdeka dari kolonialisme Barat dan Timur, serta perlunya kaum ulama bertanggung jawab untuk kemanusiaan, tidak hanya di Iran tetapi juga terhadap orang-orang lapar dan tertindas dimanapun mereka berada. Imam Khomeini yakin bahwa Islam itu bersifat politis, kalau tidak maka agama hanyalah "omong kosong" belaka. Menurut Khomeini, "al-Qur'an memuat seratus kali lebih banyak, ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah sosial daripada masalah-masalah ibadah. Menurutnya jangan sekali-kali mengatakan bahwa Islam hanya mengatur masalah yang menyangkut hubungan antara Tuhan dan mahluk-Nya.
Pemisahan agama dan politik serta adanya tuntutan bahwa ulama tidak boleh campur dalam masalah-masalah sosial politik, menurut Imam Khomeini merupakan propaganda dari Imperialisme. Ia mengecam para ulama yang enggan melibatkan diri dalam masalah-masalah sosial politik. Mereka itulah yang menurut Imam Khomeini dinilai sebagai orang-orang yang menolak kewajiban dan misi yang didelegasikan pada mereka dari para Imam. Khomeini mengutuk sikap para "ulama istana" (ulama of the court/ akhund-ha-e-darbari), yaitu mereka yang berdampingan dengan Syah dan menerima jabatan yang diberikan Syah). Para ulama seperti itu menurut Khomeini merupakan "musuh Islam".

2. Gagasan "Wilayatul Faqih" (Pemerintahan oleh Faqih)
Salah satu gagasan yang paling menonjol dalam pemikiran politik Imam Khomeini adalah idenya tentang wilayatul faqih (pemerintahan para faqih) yang pada dasarnya menghendaki agar kepemimpinan pada umumnya, termasuk kepemimpinan politik, harus berada di tangan terpercaya. Pemikiran politik Imam Khomeini mengenai wilayatul faqih yang menjadi bagian terpenting dalam sistem politik Republik Islam Iran ini memberikan tekanan pada imamah yang diartikan sebagai kepemimpinan agama dan politik yang sekaligus disandang oleh faqih (ahli hukum agama).
Sebagai sebuah sistem pemerintahan yang mengamalkan hukum Tuhan dan yang mendapat pengawasan dari para ahli hukum agama (faqih), menurut pendapat Imam Khomeini, sistem Islam akan mengungguli semua sistem pemerintahan yang tidak adil di dunia ini. Keyakinannya yang mendalam tentang keterkaitan erat antara agama dan politik, menjadi salah satu landasan utama bagi keteguhan Imam Khomeini dalam mengembangkan konsep “Pemerintahan Islam yang dipimpin oleh para ulama”. Menurutnya, negara Islam akan menjamin keadilan sosial, demokrasi yang sebenarnya dan kemerdekaan murni dari imperialisme. Islam dan Pemerintahan Islam adalah fenomena ilahi yang penggunaannya menjamin kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.
Seperti yang dikatakan Enayat Hamid, kontribusi paling berani imam Khomeini untuk wacana moderen mengenai negara Islam adalah penegasannya bahwa esensi negara seperti itu bukanlah konstitusinya. Pada kenyataannya bukan juga komitmen penguasanya untuk mengikuti syariah, namun kualitas pemimpinnya. Khomeini beranggapan bahwa kualitas khusus ini hanya dapat dipenuhi oleh faqih. Khomeini, mensyaratkan setidaknya ada tiga kualitas yang harus dipenuhi oleh seorang penguasa, yaitu; kafaah, (memiliki kecerdasan dan kemampuan memerintah); 'adalah (bersifat adil yaitu sangat terpuji iman dan moralnya), dan faqahah (berpengetahuan terutama mengenai ketentuan dan aturan Islam). Jika seseorang memiliki tiga kualitas diatas yaitu mempunyai kemampuan memerintah, mengetahui hukum dan bersikap adil, maka menurut Khomeini, orang itu akan memiliki otoritas nabi juga dan semua orang wajib mentaatinya.
Selain persyaratan faqih di atas, salah satu hal yang penting yang perlu kita ketahui dalam konsep wilayatul faqih, otoritas dan perwakilan dari faqih adalah tugas sosial yang didelegasikan kepada mereka. Konsekuensinya, hal itu tidak menaikkan status mereka dari sisi kemanusiaan atau menurunkan status masyarakat yang mengakui perwalian dari faqih yang adil dan kapabel. Dalam buku Islam and Revolution, Imam Khomeini mengatakan:
“By 'authority' we mean government, the administration of the country, and the implementation of the sacred laws of the shari'a. These constitute a serious, difficult duty but do not earn anyone extraordinary status or raise him above the level of common humanity. In other word, authority here has the meaning of government, administration, and execution of law; contrary to what many people believe, it is not a privilege but a grave responsibility".

Dengan otoritas kita artikan sebagai pemerintahan, administrasi sebuah negara dan implementasi hukum-hukum syariah, ini merupakan sebuah tugas yang serius dan sulit, tapi tidak memberikan seseorang sebuah status yang luar biasa atau meninggalkan posisinya diatas level kemanusiaan lainnya. Dengan kata lain, otoritas di sini mempunyai arti sebagai sebuah pemerintahan, administrasi, dan pelaksanaan hukum, dan bukan seperti yang dipercayai banyak orang, sebagai sebuah previlage, tapi justru sebagai sebuah tanggung jawab berat.

3. Pandangan Imam Khomeini terhadap Demokrasi
Dalam beberapa pemikiran politiknya, Imam Khomeini tampaknya mengkritisi demokrasi Barat-yang justru berkembang di dunia Timur. Menurut Khomeini demokrasi Barat telah merusak dunia Timur, khususnya dunia Islam. Untuk itu umat Islam harus mengajarkan kepada orang-orang Barat tentang makna Demokrasi yang sebenarnya. Ia menawarkan model baru demokrasi yang dilandaskan pada ajaran-ajaran Islam dengan menyebut "demokrasi sejati". Bagi Imam Khomeini, yang dimaksud dengan demokrasi sejati adalah Islam. "inilah demokrasi. Bukan berasal dari Barat, yang sangat kapitalis, bukan pula demokrasi yang diterapkan di timur, yang telah melakukan penindasan kepada rakyat jelata.
Dalam penjelasannya Khomeini menegaskan, bahwa rakyat memiliki otoritas dalam mewujudkan pemerintahan. Dengan kata lain, ia menganggap bahwa pemerintahan sebagai perwujudan dari kehendak rakyat. Baginya rakyatlah uang berhak menentukan sebuah rezim politik yang hendak memerintah dalam sebuah Negara; dan rakyatlah yang mengesahkan konstitusi dan memilih pimpinan, presiden atau perwakilan legislatif. Partisipasi rakyat dalam penentuan sebuah kepemimpinan sangat dijunjung tinggi oleh Imam Khomeini. Namun demikian, pada satu sisi rakyat memang memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan pemimpinnya, pada sisi lain, Imam Khomeini menekankan agar dalam penentuan pilihan pemimpinnya, rakyat memegang teguh ajaran-ajaran Islam.
Pemerintahan menurut Imam Khomeini adalah instrument bagi pelaksanaan undang-undang Tuhan di muka bumi. Tidak seperti negara demokrasi murni (liberal), pada dasarnya tidak ada hak negara – yakni lembaga legislatif sebagai wakil rakyat- untuk membuat undang-undang. Otoritas membuat Undang-undang dan kedaulatan ada di tangan Allah. Memberikan kepada rakyat hak untuk membuat undang-undang, selain bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana diyakini Imam Khomeini, juga hanya akan memaksa negara menerima perundang-undangan yang boleh jadi buruk tetapi merupakan kemauan rakyat, atau pun menolak perundang-undangan yang baik karena bertentangan dengan kehendak rakyat.
Menurut Imam Khomeini pemerintahan Islam harus konstitusional, sudah tentu tidak dalam arti umum dari istilah itu, yang di dalamnya hukum disetujui. Menurutnya, penyelenggaraan pemerintahan, penanggungjawab pelaksanaan hukum dan pengelolaan masyarakat harus komitmen menjaga dan menjalankan hukum-hukum agama. Maka dari itu, pemerintahan Islam ialah pemerintahan hukum tuhan atas rakyat. Namun demikian, Khomeini berpandangan meskipun kekuasaan yang ideal menurutnya dipegang oleh kaum filusuf fuqaha, namun ia sangat menolak jika menggunakan cara-cara pemaksaan. Sebab menurutnya "Kita tidak hendak membenarkan cara itu sehingga kita jadi diktator. Tuhan dan Nabi Tidak pernah memberikan hak demikian itu kepada kita".
Dalam kesempatan lain Imam Khomeini menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, dan menolak konsep bahwa kedaulatan ada di tangan sekelompok orang tertentu (elit) dalam masyarakat:
"Pemilihan umum tidaklah dibatasi pada sekelompok tertentu dalam masyarakat – entah itu kelompok ulama, partai politik, atau yang lain-tetapi berlaku untuk seluruh rakyat. Nasib rakyat ada di tangan mereka sendiri. Dewasa ini hak pilih ada di tangan rakyat. Dalam pemilihan umum, semua warga negara adalah setara satu sama lain, entah itu presiden, perdana menteri, petani, pemilik tanah, atau pedagang. Dengan kata lain, setiap orang tanpa kecuali berhak atas satu suara".

Dalam banyak kesempatan Imam Khomeini menekankan perlunya partisipasi rakyat dalam memilih para pemimpin. Dalam wasiat terakhirnya untuk rakyat Iran, Last Will and Testment , dia mengingatkan bahwa merupakan "tanggungjawab yang berat bagi rakyat" untuk memilih "para ahli dan wakil yang akan duduk sebagai pemimpin atau Dewan Kepemimpinan. Khomeini menasehati rakyat Iran agar, dalam semua pemilihan, yaitu pemilihan Presiden, Majelis Perwakilan, atau anggota Dewan Ahli, bahwa: "Kalian harus berpartisipasi…Kalian semua, kaum marja', ulama, kaum bazzari, para petani, pekerja, dan pegawai negeri, bertanggungjawab terhadap nasib negara Islam".
Pada titik ini Imam Khomeini memilih demokrasi bukan sebagai doktrin atau ideologi, tetapi sebatas cara dan sistem bagaimana hukum Tuhan dan pelaksanaannya dapat berkuasa serta efektif secara damai, seiring kebebasan karuniawi manusia. Sebab menurut Imam Khomeini, nasib selamat atas celaka suatu bangsa ada di tangan mereka, mereka bebas. Akan tetapi manakala mereka memilih hukum Islam dan wali faqihnya mereka harus komitmen pada pilihan ini, yakni patuh dan menerima kebebasannya diatur oleh hukum dan wali faqihnya. Hal ini ia lakukan melalui referendum di awal kemenangan revolusi Iran dan pemilihan umum Majelis Ahli (Mejlis Khubreghan).
Dari pendapatnya di atas, Khomeini mempertegas bahwa meskipun seorang pemimpin (wali-faqih) secara de jure memiliki kewenangan untuk memerintah, tetapi ia juga memerlukan suara dan kehendak rakyat, untuk dapat menjadi wali, berkuasa dan mengaktifkan kewenangannya secara praktis. Dengan begitu, wali faqih yang berkuasa, akan mendapatkan kekuatan legitimasinya dari dua sisi vertikal, dari Tuhan dan dari rakyat, sebesar jarak antara langit dan bumi. []














No comments:

 

Most Reading