Islam dan Negara Bangsa di Indonesia

Saturday 5 December 2009


Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia
Oleh: Dr. A. Yani Anshori, MA.

Konsep negara-bangsa (selanjutnya menggunakan istilah nation-state) merupakan salah satu konsep politik yang cukup sentral dan penting dalam pendiskusian wacana politik modern. Dalam kajian ilmu politik, ia menarik untuk ditelaah dengan serius. Sebuah nation (bangsa) merupakan sinonim dari sebuah state (negara) atau sebuah kelompok masyarakat yang secara bersama-sama terikat dengan loyalitas dan solidaritas umum[1]. Pengertian ini menjelaskan bahwa nation-­state merupakan sebuah entitas teritorial di mana negara sama besarnya atau coextensive dengan bangsa. Nation-state ditegakkan dengan semangat nasionalisme atau semangat yang disertai dengan kesadaran tinggi untuk membangun sebuah negara-bangsa. Nasionalisme menjadi faktor penentu untuk mempertahankan loyalitas dan memperjelas identitas politik. Semula nasionalisme merupakan sebuah doktrin politik yang digagas di Eropa yang mana umat manusia terbagi ke dalam berbagai bangsa dan masing-masing bangsa ditentukan berdasar sejarahnya, bahasanya dan lain sebagainya, untuk membangun negara-bangsa (nation-state) yang berdaulat.[2]
Penyelenggaraan pemerintahan nation-state muncul dan dipraktekkan di Barat pada abad XVII menggantikan pemerintahan tradisional. Ide nasionalisme sendiri secara umum tidak bisa terlepas dari dua tonggak kesejarahan; pertama, Revolusi Perancis dan perang Napoleon yang meluas dari Perancis sampai ke negara-negara Eropa, terutama Jerman, Italia, Spanyol dan Russia. Kedua, gerakan-­gerakan antikolonial yang berkobar pada awal abad dua puluh dan telah menyebar ke Asia, Afrika dan benua lainnya, termasuk ke dunia Islam pada umumnya.[3]
Konsep nation-state muncul di Barat ketika ruang lingkup agama terbatas hanya dalam satu aspek vertikal dalam kehidupan individu yang terpisah dari aspek-aspek lainnya. Di dalam Islam tidak demikian, Islam merupakan agama yang luas cakupannya meliputi aspek privat dan publik dalam kehidupan umat manusia. Syari’ah Islamiyyah oleh sebagian besar pemeluknya diyakini sebagai ketetapan hukum yang berlaku universal, lengkap dan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Meski demikian, terdapat dua alur pemikiran dari umat Islam dalam merespon masuknya wacana nation-state tersebut ke dunia Islam, yakni; pertama, respon konformis, yaitu mereka yang baik secara sadar atau terpaksa telah menerima gagasan Barat seperti nation-state dan nasionalisme sebagai suatu proses yang alami dan harus ditempuh untuk membentuk identitas nasional dan mumberikan loyalitas politik nasional. Kedua, respon non-konformis, yaitu mereka yang secara :3ada- menolak sebagian atau seluruhnya konsep nation-state dan gagasan-gagasan Barat lainnya sebagai sesuatu yang harus dikritisi atau bahkan ditolak dan karena itu harus diuraikan akar persoalan dan dicarikan solusinya, tetapi bagaimanapun juga pengaruh konsep nation-state merupakan sesuatu yang tidak bisa ditolak oleh Dunia Islam modern secara keseluruhan.[4]
Dalam mengekspresikan identitas politiknya, kelompok konformis cenderung terbuka dalam pencarian tradisi barunya dan menilai doktrin politik Islam sebagai sesuatu yang sifatnya duniawi saja. Sedangkan kelompok non konformis lebih cenderung menegaskan identitas keislamannya dari pada menerapkan konsep-kosep modern yang dianggap telah terbaratkan, dan menganggap doktrin politik Islam sebagai sesuatu yang mempunyai implikasi duniawi dan ukhrawi. Akibatnya bagi kelompok non-konformis ini, ketegangan Islam vs nation-state menjadi tidak terhindarkan.
Ketegangan Islam vs nation-state dalam ruang politik kenegaraan modern merupakan salah satu dampak terbesar penetrasi Barat ke Dunia Islam. Konsep nation-state dianggap a-historis bagi masyarakat Muslim yang menolaknya.[5] Nation state merupakan unit utama yang di dalamnya meliputi berbagai komponen masyarakat termasuk masyarakat agama yang heterogen, sebaliknya dalam doktrin Islam klasik, masyarakat agama dengan identitas dan karakter khas Islam merupakan unit utama yang menunjukkan sebuah entitas umat tersendiri atau bangsa tersendiri yang berasal dari latar kesejarahan, bahasa, budaya dan negara atau state yang berbeda-beda. Agama tetap menjadi faktor utama identitas politik, patron dan juga sumber otoritas dalam segala hal.
Dengan asumsi demikian, maka konsep nation-state dengan semua variabel modernnya pada dasarnya asing, a-historis dan tidak dikenal dalam ajaran Islam.[6] Islam semenjak kemunculannya, dengan Piagam Madinah sebagai dokumen politik, hanya mengenal istilah ummah[7] yang coextensive dengan universalitas Islam sendiri yang dalam wilayah negara menjadi identitas religio-politik yang lintas geografis, etnis, lintas budaya dan peradaban. Sedangkan konsep nation-state dengan variabel modernnya seperti nasionalisme dikenal di Dunia Islam belakangan, yakni sejak terjadinya kontak Dunia Islam dengan Dunia Barat modern yang terjalin lewat kolonialisme.
Pada abad XIX, kolonialisme Barat di Asia Timur dan Timur Tengah menegaskan gagasan nation-state sehingga nasionalisme dikenal lebih mendalam oleh para tokoh-tokoh Islam. Maka, sejak itu pula gagasan-gagasan tersebut tidak hanya sebagai pengetahuan lepas tetapi menjadi perdebatan sengit yang terkadang dicarikan pembenarannya dalam Islam.[8] Kemudian pada permulaan abad XX, fenomena nasionalisme menjadi lebih dikenal oleh khalayak Islam secara keseluruhan. Bahkan, ia menjadi sebuah komitmen perjuangan dan pergerakan oleh sebagian organisasi sosial-politik yang ditandai dengan munculnya para pejuang nasionalisme di Dunia Islam. Para pejuang nasionalisme tidak hanya mempropagandakan gagasan nasionalisme untuk jargon antikolonialisme tetapi juga untuk media mobilisasi kekuatan politik Islam dalam bentuk nasionalisme agama yang berorientasi kepada nasionalisme yang berbasis Islam.
Nasionalisme agama ini kemudian menilai pembicaraan Islam dan kenegaraan pascakolonialisme dengan mempertentangkan secara diametral "Islam versus sekuler" atau "Islam versus negara". Secara umum orientasi dasar perjuangan dari nasionalisme agama ini adalah terbangunnya simbol-simbol Islam dalam wilayah kenegaraan seperti misalnya negara Islam, konstitusi Islam, struktur dan infra struktur politik Islam dan sebagainya, meskipun karakter perjuangannya ada yang radikal dan moderat. Namun demikian, pemakaian nasionalisme dalam koridor nation-state merupakan kenyataan yang harus diterima oleh Dunia Islam.[9]
Penerimaan konsep nation-state oleh Dunia Islam setidaknya dikarenakan tiga hal; pertama, teori politik Islam klasik dan pertengahan tidak memberikan konsep yang jelas dan detail tentang penyelenggaraan negara secara modern yang lebih mengedepankan pluralisrne politik sehingga memberikan reinterpretasi yang varian bagi para pihak baik yang menerima atau yang menolak konsep nation-state. Konsep nation-state merupakan sebuah pilihan yang tak terhindarkan dan sebagai kenyataan yang harus dihadapi dalam politik modern. Kedua, praktek dunia Islam pascakolonialisme yang kemudian memproklamirkan diri sebagai negara yang berdaulat dengan mengakui pluralisme politik dalam wilayah teritorial tertentu, menjadi sebuah konsensus dan kesadaran bersama dalam penerimaannya terhadap konsep nation-state. Ketiga, banyaknya para 'ulama' dan pemimpin-pemimpin Islam yang mendukung penerapan nation-state secara menyeluruh atau sebagian sebagai sesuatu yang alami dalam institusi politik yang bersifat duniawi.[10]
Pengaruh kolonialisme Barat di Dunia Islam secara umum telah mewariskan perangkat-perangkat ideologis, institusi politik, hukum, pranata sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dinilai sekuler dan terbaratkan. Dalam keadaan demikian, posisi umat Islam pada tingkat negara dalam koridor nation-state sangat tidak menguntungkan terutama dalam wilayah politik, militer, sosial ekonomi dan budaya, sehingga bagi sebagian umat Islam konsep nation-state dengan semua variabel modernnya tetap dipandang sebagai agenda westernisasi yang tidak equivalen dengan tradisi politik Islam.
Adalah suatu hal yang menarik membaca hubungan Islam dan negara dalam konfigurasi politik dan praktik politik Islam di Indonesia. Hubungan keduanya meskipun dalam beberapa kasus terlihat sejalan, namun pada kenyataannya sering terjebak dalam ruang politik yang konfrontatif, juga diskursus yang dikedepankan keduanya menjadi akar polemik yang tak kunjung usai. Apa yang salah dengan fenomena hubungan keduanya dalam pentas politik Indonesia? Jawaban yang diberikan kepada pertanyaan ini sering berbeda dari satu disiplin ilmu ke disiplin ilmu lainnya dan dari satu peneliti ke peneliti lainnya. Tetapi semuanya berawal dari upaya untuk mengkaji uniknya penghadapan Islam versus negara dalam proses demokratisasi di Indonesia.[11]
Sejarah Indonesia modern[12] dimulai dengan perbincangan di seputar nation-­state yang kemudian dapat melahirkan bentuk nasionalisme modern Indonesia sejak tahun 1900-an, terutama dilakukan oleh para intelektual[13]. Hampir semua negeri Muslim di Dunia Ketiga termasuk Indonesia, mengalami problem nation-state dalam mencari identitas dan karakter kebangsaannya (nation character buildings). Khususnya di Indonesia, problem nation-state semacam ini terkadang belum terselesaikan tuntas yang pada gilirannya akan selalu melahirkan penghadapan "Islam versus negara" dan sebutan yang dikotomis; negara agama (diniyyah) dan negara sekuler (la diniyyah). Pertentangan dan dikotomi seperti ini akan menjadi ganjalan dalam penyelenggaraan negara dalam konteks nation-state. Penghadapan Islam versus negara ini praktis dimulai sejak masa menjelang kemerdekaan yang kemudian berlanjut pada masa Orde Lama, Orde Baru dan masih terasa hingga kini. Namun, penghadapannya sungguh unik karena hal ini berpengaruh kepada hubungan Islam dan negara dalam konteks nation-state secara luas baik pada wilayah konsep, wacana maupun dalam wilayah praksis penyelenggaraan negara. Keunikan ini terjadi karena adanya dilema kepatuhan antara kepatuan kepada agama dan kepatuhan kepada negara dalam satu wilayah nation-state yang mengharuskan adanya ideologi dan konstitusi yang bersifat memaksa pada tingkat praksis negara.[14] Dilema kepatuhan tersebut akan semakin tajam apabila negara diselenggarakan berdasarkan sebuah ideologi yang harus dianut oleh semua anggota masyarakat. Dalam hal ini, ideologi merupakan sesuatu yang di samping membutuhkan kepatuhan juga menuntut adanya kepercayaan, pada haI hakikat kepercayaan adalah wewenang khas agama.[15] Dari sini kemudian muncul tarik menarik kepatuhan antara kepada agama dan kepada negara. Tarik menarik kepatuhan itu pada tingkat ideologis membawa problem dan logika yang kompleks dan terkadang sulit didamaikan.
Problematika tersebut pada dasarnya bermuara kepada akar masalah hubungan agama dan negara, dan sebenarnya permasalahan ini merupakan masalah Dunia Islam secara umum sebagai wujud ketidaksiapannya memasuki wilayah nation-state secara utuh. Karena penyelenggaraan negara dalam wilayah nation-state menuntut adanya penegasan karakter dan identitas kebangsaan (nation character buildings), maka tarik-menarik dalam hubungan agama dan negara dalam satu wilayah nation-state akan semakin mengkaburkan definisi dan identitas nation character buildings yang pernah atau akan dibangunnya. Dalam permasalahan ini, negara Indonesia dibangun dan berdiri tanpa disertai nation character buildings yang jelas.[16] Sehingga wajar jika sejak awal kemerdekaannya hingga saat ini telah terjadi tarik menarik kepentingan yang menuntut sebuah kepatuhan antara kepada agama dan kepada negara dengan berbagai variannya yang diekspresikan baik lewat jalan damai melalui Parlemen seperti kasus Konstituante, maupun lewat jalan kekerasan mengangkat senjata seperti DI/ TII, atau sakedar ala preman jalanan model FPI.



[1] Lihat Dankwart A. Rustow, entri "Nation” dalam David L. Sills (ed.), International Encyclopedia of Social Sciences, Vol. 11 (New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1972), hal. 7-13. Pada hal. 7 ditegaskan, "The nation has come to be accepted as the central political concept of recent times. In prevailing usage in English and other languages, a nation is either synonymous with a state or its inhabitants, or else it denotes a human group bound together by common solidarity-a group whose members place loyalty to the group as a whole over any conflicting loyalties.
[2] Ibid., halm. 11.
[3] Ibid., halm. 8.
[4] Istilah konformis dan non-konformis ini digunakan oleh JP Piscatori untuk membedakan kelompok realis dan kelompok idealis. Lihat James P. Piscatori, Islam in a World of Nation States (New York: Cambridge, 1994), hal. 40.
[5] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisrne Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina,1996), hal. 10.
[6] Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik, hal. 11-16. Lihat pula GW Choudury, Islam and the Modern Muslim World (London: Scorpion Publishing Ltd, 1993).
[7] Lihat teks lengkap Piagam Madinah dalam Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, vol. 3 (Beirut: Maktabah al-Ma'arif, tt), hal. 224-226. Penegasan tentang satu umat terdapat dalam pembukaan Piagam tersebut seperti berikut ini:
Artinya: Dengan menyebut nama Allah yang maha Pengasih dan maha penyayang. Inilah piagam tertulis dari Muhammad di kalangan orang-orang Mu'min dan Muslim (yang berasal) dari Quraisy dan dari Yatsrib, dan orang-orang yang mengikuti mereka, mempersatukan diri dan berjuang bersama mereka. Sesungguhnya mereka adalah satu umat yang mandiri (bebas dari pengaruh dan kekuasaan manusia lainnya).
[8] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik, hal. 11-16.
[9] Lihat GW Choudury, Islam and the Modern., hal. 95-126, bab IV, Islam in Modern Nation States.
[10] Lihat JP. Piscatori, Islam in a World., hal. 45.
[11]H.J. Benda, "Democracy in Indonesia", Journal of Asian Studies, 23 No. 3 (Mei 1964)
[12] Memetakan sejarah Indonesia modern dalam mengeksplorasi ide-ide yang dominan menjadi empat periode, 1) Periode analisis "agama" (1910-1920), 2) Periode analisis sosial (1920-1927), 3) Periode analisis nasional (1927-1942) dan 4) Periode analisis sintesis (1942-1945). Lihat Kuntowijoyo, Demokrasi dan Budaya Birokrasi (Yogyakarta: Bentang, 1994), hal. 45.
[13] Dalam hal ini, intelektual yang dimaksud adalah mereka dari para anggota masyarakat yang lebih mampu menyatakan dan menegaskan perasaan dan kebebasan berpendapat dan berpikirnya dengan arif dan bljaksana secara profesional dalam bidangnya masing-masing, baik di dalam institusi atau di luar institusi. Lihat pendefinisian Reinhold Niebuhr yang dikutip Mochtar Pabottinggi dalam "Kaum Intelektual Pemimpin clan Aliran-­aliran Ideologi di Indonesia Sebelum Revolusi 1945", Prisma Vol. IV (1986), hal. 40.
[14] Mengenai dilema kepatuhan ini Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik., hal. 10­.
[15] Lihat Franz Magnis Suseno, Kuasa dan Moral (Jakarta: Gramedia,1995), hal. 97.
[16] Tidak ada pasal dalam UUD 1945 atau sila-sila dari Pancasila yang menegaskan dan memberi penjelasan tentang nation character buildings. Andaikan ada hanya merupakan instrumen-instrumen yang semu dan multi interpretasi.

No comments:

 

Most Reading