KEKUASAAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN

Wednesday, 25 November 2009

KEKUASAAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN


Oleh : Akhmad Satori




Pendahuluan
Sejarah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan kekuasaan politik atau yang juga disebut persoalan imamat (imamah). Mekipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar (w. 23 H/634 M) sebagai Khalifah, namun dalam waktu tiga dekade maslah muncul kembali dilingkungan umat Islam. Kalau yang pertama antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin maka yang terakhir adalah perselisihan antara khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan dan berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Muawiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.
Tidaklah mengherankan jika kemudian, perebutan kekuasaan politik mewarnai sejarah umat Islam; tidak hanya diantara dinasti-dinasti yang bersaing tetapi juga dilingkungan dinasti yang memerintah. Umat Islam telah melihat dalam sejarah mereka beberapa pemerintahan dinasti yang besar tetapi tidak luput dari pergolakan dan perebutan kekuasaan politik.
Akibatnya, konsekuensi logis dari hal tersebut, sejarah mencatat umat Islam dan perkembangan pemikiran mereka menghadirkan konsepsi politik yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan pendekatan yang digunakan, bahkan ada yang berpendapat bahwa Islam tidak memerlukan sistem politik sperti apa yang dikenal umat Islam itu sendiri.
Disisi lain, Islam sebagai sistem nilai mencakup segala aspek kehidupan manusia, ia tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Al Quran juga memerintahkan agar umat Islam melaksanakan ajaran-ajaran Islam seutuhnya dan melarang mereka mengikuti kehendak dan ajakan setan. Diantara ajaran Islam terdapat pula ajaran yang berkenaan dengan kehidupan politik.
Penelitian terhadap kitab-kitab Tafsir al Qur’an menunjukan adanya ide-ide yang berkenaan dengan kekuasaan politik dalam al Qur’an. Yang kemudian menyebabkan adanya kecenderungan perkembangan pemikiran politik diantara para mufasir ataupun para pemikir Islam. Hal ini terlihat dalam perbedaan pendapat mereka sebagai akibat perbedaan metode tafsir mereka.Rata Penuh
Layaknya sebuah teori pemikiran, teori kekuasaan politik yang mereka kemukakan telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan umat Islam dan mewarnai sikap antar generasi. Tidak hanya itu, kemunculan teori-teori tersebut telah menimbulkan pihak-pihak yang pro dan kontra. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana Al Quran menjelaskan konsep kekuasaan politik?dan untuk apa kekuasaan politik itu dijalankan?. Kiranya penjelasan berikut dapat memberikan jawaban terahadap pertanyaan tersebut


Konsepsi Kekuasaan Politik Menurut Al Qur’an
Sebelum kita membahas mengenai konsepsi kekuasaan politik menurut al-Qur’an, terlebih dahulu kita telusuri apa pengertian kekuasaan politik dan Al Qur’an. Istilah kekuasaan politik sering digunakan untuk menunjukan kewenangan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pengertian ini merujuk kepada pengertian politik sebagai aktifitas mengatur masyarakat, dalam pengertian ini terkandung unsur kewenangan membuat aturan-aturan hukum (kekuasaan legislatif), kewenangan melaksanakan hukum (kekuasaan eksekutif) dan kekuasaan melaksanakan peradilan untuk mempertahankan hukum (kekuasaan yudikatif), demikian pula kewenangan menyelenggarakan aktifitas politik lainnya.
Sedangkan Istilah AlQur’an adalah merujuk pada kitab suci umat Islam yaitu firman Allah SWT yang diturunkan dengan perantaraan malaikat jibrl kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai peringatan, tuntunan dan hukum bagi umat manusia. Tulisan ini bertujuan menemukan konsepsi kekuasaan politik yang dapat dipahami dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan objek ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kekuasaan politik di harapkan dapat mengetahui konsep dan pemikiran politik yang Qurani, yang bisa dijadikan rujukan bagi umat Islam.
Menurut Abdul Muis Salim ada beberapa kata dalam Al-Qur’an yang dapat dijadikan key word yang relevan dengan konsep kekuasaan. Kata-kata tersebut antara lain adalah al-hukm, as-sulthan, dan al-mulk. Adapun penjelasannnya sebagai berikut:
Pertama, konsep al-Hukm, Secara estimologi al-hukm artinya membuat keputusan, berasal dari kata dengan huruf-huruf ha, kaf dan mim. Istilah hukm bereferensi konsep politik sebagai aktifitas yang bertumpu pada hukum-hukum Tuhan dengan tujuan memelihara eksistensi manusia sebagai khalifah. Namun apabila makna hukm tersebut di kaitkan dengan kehidupan masyarakat, maka kata tersebut mengandung makna pembuatan kebijakan atau melaksanakannya sebagai pengaturan masyarakat, pengertian ini dapat dilihat dalam Q.S. Al-Qalam (36 - 39) Q.S Al-Maidah (50 dan 95). Dengan demikian bahwa kata al hukm tidak hanya disandarkan pada hukum Tuhan semata, tetapi juga disandarkan kepada hukum manusia. Ini berarti adanya dua hukum, yakni hukum Tuhan dan hukum manusia. Dari pengertian diatas kiranya ditemukan hubungan kata hukm dengan konsep politik seperti telah dikemukakan dan dengan demikian kata tersebut relevan pula dengan kekuasaan politik.
Kedua, As-Sulthan, kata ini mempunyai akar kata yang berasal dari huruf sin, lam dan tha dan mempunya makna pokok ”kekuatan dan paksaan”. Kata sulthan yang bermakna kekuasaan di temukan dalam Q.S. Al Isra’ : 80 yaitu :
”Dan barang siapa yang terbunuh secara aniaya, maka sungguh kami telah memberikan kepada walinya kekuasaan...”(Q.S Al-Isra : 33)
Juga dalam ayat 80 surat ini :
”...dan jadikanlah untukku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong"(Q.S Al-Isra : 80)
Dari penggunaan kata sulthan di atas maka dapat diketahui bahwa kata tersebut berkonotasi sosiologis, karena ia berkenaan dengan kemampuan untuk mengatasi orang lain, sehingga kalau dikaitkan dengan konsep kekuasaan politik, jelas istilah tersebut relevan dengan konsep kemampuan dari pada konsep kewenangan (otoritas).
Ketiga, Al Mulk, kata ini berakar pada huruf huruf; mim, lam dan kaf, yang mengandung makna pokok keabsahan dan kemampuan. Dari makna pertama terbentuk kata kerja malaka-yamliku-milkan yang artinya memiliki, dan dari makna kedua terbentuk kata kerja malaka-yamliku-mulkan yang artinya menguasai, dari sinidiperoleh kata malik ”raja” dan mulk ”kekuasaan” hal ini dapat dilihat dalam Q.S. Al Baqarah (247).
Dalam istilah politik al-mulk adalah seseorang kepala negara yang memperoleh kekuasaan dengan jalan mewarisi dari kepala negara sebelumnya, maksud dari penjelasan diatas adalah bahwa konsep yang terkandung dalam kata al-mulk adalah konsep dengan sifat yang umum dan berdimensi kepemilikan. Dengan demikian Kesimpulannya adalah kekuasaan politik merupakan kekuasaan yang dimiliki manusia disamping kekuasaan lainya sebagai pemberian Tuhan kepadanya.


Kekuasaan Politik : Untuk Apa?
Kedudukan manusia sebagai khalifatul fil ardhi sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an mengandung konsekuensi bahwa manusia merupakan pemegang otoritas kekuasaan baik kekuasaan politik maupun kekuasaan sosial di dunia dengan memegang kewajiban menegakan dan melaksanakan hukum-hukum Tuhan - al-Qur’an dan Sunnah – demi untuk mencapai keridhaan-Nya, dalam arti lain manusia adalah Namun persoalannya adalah pada tataran implementasinya, konsep tersebut sering tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penggunakan kekuasaan sering disalah gunakan (abuse of power), hukum-hukum Tuhan tidak sedikit yang disalah gunakan, bahkan otoritas kekuasaan yang di miliki seringkali di gunakan untuk membuat hukum-hukum yang sama sekali bertentangan dengan hukum Tuhan. Pertanyaan kritisnya kemudian adalah untuk apa kekuasaan politik itu? Atau bagaimana penggunaan kekuasaan menurut al Qur’an?.
Al-Quran sebenarnya sudah menjelaskan mengenai prinsip penggunaan kekuasaan politik, yaitu dalam Qur’an surat An Nissa ayat 58 dan 59, walaupun ajaran politik Al Qur’an sesungguhnya tidak terbatas pada kedua ayat ini, tetapi ayat ini secara langsung relevan dengan masalah tersebut. Dalam kedua ayat diatas menurut sebagian ulama memandang bahwa ayat-ayat diatas sebagai pokok hukum yang menghimpun segala ajaran agama, dengan kata lain kedua ayat diatas memegang peranan yang sangat penting sebagaia ayat sentral mengenai kekuasaan politik.
Sedangkan Rasyid Ridha berpendapat bahwa kandungan ayat tersebut sudah mencukupi untuk menjalankan pemerintahan meskipun tidak ada ayat lain yang turun berkenaan dengan kehidupan politik. Dilihat dari munasabah dengan ayat-ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya, menegaskan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan dimasukan kedalam surga dan hidup kekal di dalamnya, mereka juga akan memperoleh pasangan hidup yang suci dan kehidupan yang mulia, terpelihara dan senang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kandungan kedua ayat diatas merupakan kunci kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.
Adapun asbabun nuzul kedua ayat ini menurut As-Sayuthi,Al-Fairuzabadi dan Ibnu Abbas, berkenaan dengan kasus kunci Ka’bah yang berada dalam kekuasaan Ustman bin Thalhat pada tahun 8 H. Peristiwa tersebut bermula ketika Rasulullah meminta kunci Ka’bah dari Ustman, namun ketika hendak di serahkan, al-Abbas meminta kepada nabi agar kekuasaan atas kunci itu di serahkan kepadanya. Karena permintaan itu Ustman pun menahan kunci tersebut, meskipun Rasulullah mengulang permintaannya. Ustman baru menyerahkan kunci tersebut sambil berkata : ”inilah dia dengan amanat Allah”. Rasulullah pun lalu memasuki Ka’bah dan setelah keluar, ia bertawaf mengelilingi Ka’bah dan kemudian turunlah jibril membawa wahyu. Rasulullah pun memanggil Ustman dan menyerahkan kembali kunci tersebut kepada Ustman.
Dengan demikian dapat di katakan bahwa ayat–ayat di atas memiliki relefansi dengan kasus kunci Ka’bah, dan karena masalah ini merupakan bagian dari struktur pemerintahan , maka dapat di katakan bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan pula dengan aspek kehidupan politik.
Setidaknya ada tiga prinsip yang terkandung dalam kedua ayat ini yaitu :
1. Perintah untuk Menunaikan Amanat
Kata amanah mengandung pengertian segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman, sebagai mana yang tercantum dalam Q.S An Nisa : 58 sebagai berikut :
”Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar kamu menunaikan amanat-amanat itu kepada pemiliknya”(Q.S.An Nissa : 58)


Dari ayat diatas bisa diketahui bahwa dalam konsep amanat mengandung arti umum bahwa setiap orang yang beriman berkewajiban untuk menunaikan amanat yang menjadi tanggung jawabnya, baik itu amanat dari Allah maupun amanat dari sesama manusia.
Pada sisi lain sesuai dengan asbab an nuzul ayat, hal itu bermakna khusus bahwa kewajiban para pejabat untuk menunaikan amanat yang diberikan kepada mereka, yaitu kekuasaan politik. Disini pula dapat di katakan bahwa ayat diatas memperkenalkan prinsip pertanggungjawaban kekuasaan politik .
2. Perintah untuk Menetapkan Hukum dengan Adil
”...dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah kamu menetapkan hukum dengan adil...” (Q.S.An Nissa : 58)


Dalam ayat diatas jelas bahwa Allah memerintahkan kita menetapkan hukum dengan adil jika menetapkan hukum diantara manusia, ungkapan ”menentukan hukum” yang ada dalam ayat diatas mencakup pengertian membuat dan menerapkan hukum, secara kontekstual ayat tersebut tidak hanya ditunjukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat muslim, tetapi di tunjukan kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan memimpin orang lain dalam hal ini kekuasaan politik.
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut mengandung prinsip penggunaan kekuasaan politik dalam pembuatan hukum dan aturan lainnya yang harus berdasarkan keadilan, adapun dasar hukum dari kekuasaan politik tersebut adalah Al-Qur’an.
3. Perintah Ketaatan terhadap Allah dan RasulNya
Salah satu prinsip al Qur’an mengenai kekuasaan politik yang penting untuk kita ketahui adalah perintah untuk mentaati Allah, Rasulullah dan pemimpinnya, seperti firman Allah :
”Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taati pula Raul-Nya dan Ulil amri dari kamu...” (Q.S An Nissa : 59 )


Sebagian ulama mengemukakan bahwa dari tinjauan terhadap ayat yang berkenaan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bisa di kronologiskan dengan ayat ayat sebelumnya dan memperlihatkan adanya perkembangan pembentukan hukum. Sebelum ayat diatas turun, ketaatan kepada Rasulullah Saw masih mengikuti perintah taat kepada Allah SWT, hal ini dipahami jika di kaitkan dengan kedudukan dan fungsi Rasulullah sebagai pemberi penjelasan terhadap wahyu yang diturunkan Allah kepadannya.
Turunnya Q.S.An Nissa di atas membawa perubahan status pada ketaatan kepada Rasulullah, artinya ayat diatas memberi isyarat bahwa rasulullah mempunyai kemandirian dan kekuasaan untuk membuat hukum. Tetapi kemandirian tersebut tidak bersifat mutlak karena perintah itu dikatakan setelah perintah ketaatan kepada Allah yang mndahuluinya. Dengan demikian kedua perintah ini memberikan pengertian bahwa ketaatan kepada Rasulullah tidak melampaui batas ketaatan kepada Allah.
Kemudian masalah konsep ulil amri yang terdapat dalam ayat diatas sebagian ulama berpendapat bahwa kata ulil amri berhubungan dengan kata al-Rasul dengan perantaraan partikel penghubung, karena ungkapan ini maka ungkapan tersebut bermakna bahwa ulil amri wajib ditaati seperti halnya Rasulullah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa antara Rasulullah dan para ulil amri terdapat ikatan yang menghubungkan mereka berupa kewajiban menegakan hukum Allah.
Kesimpulan ini berimplikasi bahwa firman Allah yang dibahas tidak hanya mengandung kewajiban taat kepada Rasulullah dan ulil amri semata, tetapi juga hal tersebut menjadi dasar keberadaan kekuasaan politik yang dimiliki pemerintahan dan keabsahannya, namun keabsahan kekuasaan tersebut mengandung makna bahwa hukum-hukum dan kebijaksanaan yang mereka putuskan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.


Kembali Kepada Al Qur’an dan As Sunnah
Al Qur’an tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana sistem politik terwujud. Tetapi di dalamnya di jelaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal saleh. Di sisi lain kenyataan sejarah mencatat bahwa kekuasaan politik telah menyebabkan diferensiasi pemikiran yang berkembang dalam umat, yang berakibat pada terpecah belahnya umat kedalam beberapa aliran politik yang kemudian sangat rentan terhadap terjadinya pertentangan satu sama lain. Maka dari itu al-Qur’an telah menjelaskan bahwa perselisihan yang terjadi diantara umat harus diselesaikan dengan kembali berpedoman kepada al-Qur’an dan sunnah seperti yang di jelaskan dalam Q.S. An Nissa : 59 sebagai berikut :
”...Kemudian jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Itu adalah pilihan yang baik dan penyelesaian yang bagus” (Q.S. An Nissa : 59)


Cara penyelesaian seperti yang di jelaskan dalam ayat diatas merupakan alternatif terbaik di antara kemungkinan penyelesaian yang ada dan juga merupakan cara yang memberikan hasil yang lebih baik.
Dengan demikian, kedudukan al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan terakhir dan pemutus mengandung makna bahwa hukum Tuhanlah yang berdaulat dalam negara, sebab seperti yang telah di kemukakakan bahwa kedaulatan, dalam hal ini kedaulatan hukum, adalah kewenangan tertinggi dalam memutuskan hukum. Hukum tuhan tidak saja menjadi sumber dan dasar kekuasaan pemerintah, tetapi juga menjadi dasar dan rujukan akhir yang menentukan.


Penutup
Al Qur’an adalah kitab suci yang kebenarannya tidak diragukan lagi oleh umat Islam. Di dalamnya terkandung semua aspek kehidupan yang berlaku untuk semua konteks ruang dan waktu. Kepadanyalah semua persoalan kehidupan manusia dikembalikan, tidak terkecuali permasalahan politik ummat. Tetapi hal itu akan sangat tergantung pada bagaimana ummat sendiri bisa memelihara tanpa mereduksi ke otentisitasan Al Quran sendiri. Wallahu’alam












Daftar Pustaka


Al Qur'an Al Kariim


Al Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, (terj) Penerjemah Bahrun Abu Bakar dkk, Semarang : Penerbit Thoha Putra,1986


Abegebriel, A. Maftuh. dkk, Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia, Semarang : Penerbit SR. Ins Team Publising, 2004


Hamid, Tijani Abd. Qadir, Pemikiran Politik dalam Al Qur’an, Jakarta : Penerbit Gema Insani Press, 2001.


Sadjali, Munawwir, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Yogyakarta : Penerbit Universitas Indonesia Press, Edisi kelima, 1993.


Salim, Abdul Muin, Fiqih Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an, Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Edisi ketiga, 2002

No comments:

 

Most Reading