Islam dan Negara Bangsa

Friday 11 December 2009


Islam Dan Ide Negara-Bangsa
Masa Pergerakan Nasional Indonesia

M
uhammad Sidiq Purnomo
Pendahuluan
Di negara-negara jajahan yang berpenduduk muslim, masalah "Islam dan nasionalisme" seakan tidak pernah rampung dibicarakan dan didiskusikan banyak kalangan, terutama semenjak Jamal al-Din al-Afghani mengumandangkan gagasan Pan Islamisme di tengah maraknya gerakan politik di negara-negara Islam untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Pan Islamisme adalah suatu gerakan yang bertujuan untuk mencari spririrt of Islam, memperkuat rasa persaudaraan Islam, membela Islam, dan membawa Islam kepada kemajuan.[1]
Semangat "perlawanan berbasis kesadaran Islam" yang digaungkan Jamal al-Din al-Afghani segera mendapat respon positif di berbagai negeri muslim. Salah satunya adalah Indonesia. Di Indonesia, pola pemikiran yang dihembuskan al-Afghani dan kedua muridnya (Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh) segera menjadi icon bagi semangat persatuan dan pergerakan Islam. Basis kesadaran atas dasar Islam ini memberikan inspirasi dan semangat bagi gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang berskala lokal maupun nasional.
Berawal dari sebuah kesadaran diri mengenai "masyarakat yang terjajah," atas inspirasi dr. Wahidin Sudirohusodo, pada tahun 1908, Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan organisasi Budi Utomo. Walaupun masih bersifat lokal (Jawa dan Madura), namun organisasi ini ternyata telah menjadi insperator bagi organisasi/gerakan sesudahnya.[2] Pada tahun 1911, terbentuklah sebuah organisasi/gerakan sosial-politik modern yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh Islam. Gerakan ini diberi nama Sarekat Islam (SI). Organisasi inilah yang untuk pertamakalinya menghembuskan semangat persatuan dan nasionalisme Indonesia. Deliar Noer seperti dikutip Agung Pribadi berkata: "Nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya dengan nasionalisme Islam. Dan sesuatu gerakan yang penting di Indonesia mulanya adalah gerakan orang-orang Islam."[3]
Setelah Budi Utomo dan Sarekat Islam, kemudian berdiri beberapa organisasi/gerakan modern yang berbasis pada agama (Islam) di antaranya adalah Muhammadiyah (1912) dan NU (1926). Namun ada juga organisasi/gerakan yang beraliran sekuler dan nasionalis, yaitu PKI (1924) dan PNI (1927).
Dalam tulisan singkat ini, penulis berupaya menggali dan menelusuri kembali sejarah pergerakan bangsa Indonesia terkait ide Negara-Bangsa (nation state) di Indonesia yang dilakukan oleh gerakan umat Islam di Indonesia (era pra kemerdekaan) khususnya Sarekat Islam – sebagai cikal bakal gerakan politik modern Indonesia.
Seputar Geneologi Term Nation State (Negara Bangsa)
Nation state atau biasa juga dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah negara-bangsa, merupakan dua kata yang sebenarnya terpisah antara satu dengan lainnya. State (negara) merupakan satu agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menciptakan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Nation (bangsa) merupakan sinonim dari sebuah state (negara) atau sebuah kelompok masyarakat yang secara bersama-sama terikat dengan loyalitas dan solidaritas umum.[4]
Selain terma nation ada pula terma lain yang sangat terkait erat mewarnai wacana nation state ini, yaitu nationality atau nationalism. Nasionalisme terdiri dari dua kata; nasional dan isme. Kata nasional mempunyai arti; 1) kebangsaan, 2) bersifat bangsa. Sedangkan isme adalah paham atau ajaran. Jadi, nasionalisme adalah (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri atau kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial dan aktual bersama-sama untuk mencapai, mempertahankan, mengabdikan identitas, integritas, kemakmuran dan kekuatan bangsa.[5]
Lothrop Stoddard mengatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dianut oleh sejumlah besar umat manusia sehinggga mereka membentuk suatu identitas kebangsaan, karena nasionalisme adalah rasa kebersamaan golongan (a sense of belonging together) sebagai suatu "bangsa". Pengertian "bangsa" ini digambarkan dalam pikiran penganutnya sebagai rakyat atau masyarakat yang bergabung bersama dan tersusun dalam suatu pemerintahan dan berdiam bersama dalam suatu daerah tertentu. Apabila cita-cita nasional telah menjadi kenyataan, maka terbentuklah suatu badan politik yang dikenal sebagai "negara".[6]
Dengan demikian, nasionalisme adalah suatu paham yang merupakan manifestasi dari rasa kecintaan kepada tanah air (negara), yang didasarkan kepada bahasa, sejarah, adat istiadat, bukan hanya terhadap agama saja.
Nasionalisme dapat berarti gagasan politik dan sosial terutama bertujuan menyatukan setiap kelompok atau suku bangsa yang menjadikan mereka patuh pada satu orde politik. Nasionalisme itu didasarkan atas kesamaan bahasa, sejarah, adat istiadat dan kualitas tertentu.[7]
Nation atau bangsa mempunyai dua pengertian, yaitu: dalam pengertian antropologis - sosiologis, dan pengertian politis.[8] Dalam pengertian antropologis - sosiologis, bangsa adalah suatu persekutuan masyarakat yang hidup berdiri sendiri dan masing-masing anggota persekutuan hidup tersebut merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah dan adat-istiadat. Persekutuan hidup semacam ini dalam suatu negara dapat merupakan persekutuan hidup yang mayoritas dan dapat pula merupakan persekutuan hidup minoritas. Bahkan dalam satu negara bisa terdapat beberapa persekutuan hidup "bangsa" yang anggota satu bangsa itu tersebar di beberapa negara. Adapun yang dimaksud bangsa dalam pengertian politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama, dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi.[9]
Ide nasionalisme bukanlah ide yang sangat tua, setidaknya rentang waktu akhir abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas dapat dijadikan acuan, meskipun ide tentang negara dan bangsa sendiri sudah berusia berabad-abad dan dapat dirunut jauh sampai pada para pemikir seperti Plato dan Aristoteles, tapi bangun diskursus nasionalisme baru dimulai pada para pemikir modern, seperti John Locke dan Fichte. Untuk pembahasan ini, diskursus nasionalisme yang dimaksud mengacu pada nasionalisme modern. Yaitu, faham tentang hak bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan, karena itu, anti imperialisme. Nasionalisme modern akan melahirkan kestabilan dan akan berfungsi sebagai kekuatan yang menyatukan suku-suku dan kelompok-kelompok etnis yang terpisah-pisah. Kerena itu nasionalisme merupakan unsur esensial bagi pembangunan bangsa (nation building) untuk Indonesia, sebuah bangsa dan negara multi etnis, bahasa, budaya dan agama yang senantiasa rentan akan perbedaan sosial kultural.[10]

Lahirnya Nasionalisme Modern Indonesia
"Bangsa" sesungguhnya adalah sebuah "konstruksi" yang dihasilkan oleh sebuah visi yang diperjuangkan, bukan oleh nasib yang telah ditentukan takdir. Bangsa Indonesia tidaklah muncul begitu saja, sebagai sebuah keharusan alamiah, tetapi adalah hasil perjuangan; akibat dari pergolakan sejarah.
Untuk sampai pada terbentuknya sebuah bangsa (Indonesia), banyak sekali pengorbanan yang harus diberikan. Pengorbanan para pahlawan bangsa tampaknya telah menggugah semangat generasi penerus bangsa Indonesia untuk bangun dari tidurnya guna menyongsong masa depan yang gemilang. Kesadaran diri sebagai masyarakat terjajah dan tertindas, telah menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi di daerah-daerah. Tidak lagi dibatasi oleh ras, bahasa, adat-istiadat dan juga agama. Semua berada dalam satu tujuan, yakni ingin melepaskan diri dari penindasan dan penjajahan.
Masyarakat sadar, bahwa perjuangan yang dilaksanakan secara kedaerahan seperti perang Diponegoro, perang Padri, Aceh, dan sebagainya dianggap tidak efektif dalam mengusir kekuasaan Belanda di bumi Indonesia. Oleh karena itu perlu disusun suatu kekuatan yang mengikat potensi yang ada di seluruh tanah air. Kesadaran seperti ini dikenal sebagai kesadaran nasional, yaitu kesadaran yang menggalang semangat kebangsaan yang meliputi daerah yang pernah digalang pada zaman Majapahit.[11]
Gerakan-gerakan nasionalisme merupakan sebuah fenomena yang terjadi pada sebuah negara di belahan dunia, khususnya bagi negara yang terjajah oleh imperealis asing. Seperti munculnya nasionalisme Arab,[12] nasionalisme India,[13] nasionalisme Turki[14] dan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme yang terjadi tersebut bisa menjadikan alat pemersatu sekaligus sebagai pembebas kaum tertindas.
Timbulnya nasionalisme Asia (khususnya Indonesia) berbeda dengan timbulnya nasionalisme Eropa. Nasionalisme Indonesia mempunyai kaitan erat dengan kolonialisme Belanda yang sudah beberapa abad lamanya berkuasa di bumi Indonesia. Usaha untuk menolak kolonialisme inilah yang merupakan manifestasi dari penderitaan dan tekanan-tekanan disebut nasionalisme. Melalui keinginan bersama didasarkan pada persamaan kepentingan itu akhirnya menciptakan nasionalisme Indonesia.[15]
E. Renan seperti dikutip Suhartono menyebut bahwa unsur utama dari terbentuknya sebuah bangsa adalah nation est le desir d'etre ensemble yaitu keinginan untuk ada bersama atau nation est le desir vivre ensemble yaitu keinginan untuk hidup bersama (menurut terjemahan Bung Karno) "kehendak akan bersatu". Jelas kiranya bahwa pembentukan bangsa Indonesia, berasal dari dorongan setiap individu untuk hidup bersama dan mempersatukan diri.[16]

Sarekat Islam (SI) Cikal Bakal Gerakan Politik Modern Indonesia
Dengan bangkitnya nasionalisme Indonesia pada dekade-dekade pertama abad ke-20, gerakan-gerakan masyarakat pribumi mulai bermunculan, berjuang menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bangsa. Tidak diragukan lagi, dalam upaya-upaya nasionalistik ini, Islam memainkan peran yang amat menentukan. Seperti dicatat oleh para pengkaji nasionalisme Indonesia, Islam berfungsi sebagai mata rantai yang menyatukan rasa persatuan nasional menentang kolonialisme Belanda. "Agama Muhammad," tulis George Mc Kahin dalam karyanya yang klasik, Nationalism and Revolution in Indonesia, "bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan; melainkan ia merupakan simbol kesamaan nasib (ingroup) menetang penjajahan asing dan penindas yang berasal dari agama lain.[17]
P.H. Fromberg juga mencatat tentang alasan Oemar Said Tjokroaminoto yang menjadikan agama sebagai idiologinya, "Sarekat Islam menggunakan agama Islam sebagai tali pengikat, dan apa yang dicitakannya adalah kemajuan bangsa Indonesia, dan Islam tidaklah menjadi penghambat karenanya". Pikiran Oemar Said Tjokroaminoto seperti ini merupakan refkleksi keinginan rakyat saat itu, sehingga Islam dipilih sebagai formula politiknya, sebagai pengikat kesatuan bangsa.[18]
Pada awal periode pergerakan kebangsaan ini, satu-satunya perwujudan politik Islam adalah Sarekat Islam (SI). Sarekat Islam (SI) adalah salah satu di antara organisasi politik Indonesia abad ke-20 yang paling menonjol. Sarekat Islam (SI) adalah tranformasi dari Sarekat Dagang Islam (SDI), didirikan pada 11 november 1911,[19] oleh H. Samanhudi, seorang saudagar muslim kaya di Surakarta Jawa Tengah. Pada awalnya, Sarekat Dagang Islam (SDI) merupakan suatu organisasi yang dibentuk untuk melawan dominasi Cina keturunan yang menguasai dunia perdagangan dengan mengorbankan pribumi. Timur Jaylani dalam "The Sarekat Islam movement: its Contribution to Indonesian Nationalism" mencatat bahwa perlawanan itu secara tidak langsung ditujukan kepada pemerintah Hindia Belanda yang memberikan prioritas dan perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam perdagangan dan industri di tanah air.[20]
Dalam Anggaran Dasar Sarekat Dagang Islam (SDI) sebagaimana tercatat dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia – bertujuan untuk meningkatkan persaudaraan di antara anggota, tolong-menolong di kalangan kaum muslimin; berusaha maningkatkan derajat kamakmuran dan kebebasan negeri. Organisasi ini disambut positif oleh seluruh masyarakat, hingga meluas sampai lapisan masyarakat bawah di pulau Jawa. Besarnya dukungan rakyat kepada SDI membuat khawatir pemerintah Belanda kala itu. Dan SDI dianggap sebagai organaisasi yang dapat menggoyang stabilitas pemerintahan. Untuk itu pada awal Agustus 1912, Residen Surakarta segera membekukan SDI. Namun dalam perkembangannya, karena dianggap tidak ada bukti yang memadai, pada tanggal 26 Agustus 1912 pembekuan dicabut, dengan syarat harus dilakukan perubahan pada anggaran dasarnya.
Untuk menyikapi perubahan di tanah air, maka SDI (sebagai aset ummat) segera melakukan perubahan pada tubuh organisasi. Dan muncullah sosok pemimpin baru yang brilyan, yakni Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto (1883-1934). Kemudian disusunlah anggaran dasar baru bahwa organisasi ini dinyatakan meliputi seluruh Indonesia,[21] dan sekaligus menghapus kata "Dagang" pada nama organisasi tersebut (SDI menjadi SI). Anggaran Dasar Sarekat Islam (SI) disahkan dengan akta notaries di Surabaya, bertanggal 10 September 1912.[22]
Perubahan Sarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Sarekat Islam (SI) bukan hanya dalam perubahan nama, tapi lebih pada perubahan orientasi, yaitu dari komersial ke politik. Tjokroaminoto adalah tokoh muslim pertama pada masa modern yang menyatakan Islam sebagai "faktor pengikat dan simbol nasional" menuju kemerdekaan yang sempurna bagi rakyat Indonesia. Sekalipun memiliki latar belakang pendidikan Barat, namun Tjokroaminito tidak suka bekerja pada pemerintah, dan berusaha membina karirnya di tempat lain. Ini terjadi setelah ia bekerja pada pemerintah selama beberapa tahun untuk kemudian mengundurkan diri.[23]
Ensiklopedia Nasional juga mencatat bahwa pada periode setelah 1916, wawasan Sarekat Islam (SI) adalah wawasan nasional untuk terbentuknya suatu bangsa. Sejak tahun ini pula, kongres Sarekat Islam (SI) disebut sebagai Kongres Nasional.[24] Pada Kongres Nasional 1916 dirumuskan sikap politik Sarekat Islam (SI) yang disahkan pada Kongres II di tahun berikutnya, 1917. Isi pokok organisasi antara lain mengharapkan hancurnya kapitalisme, melakukan upaya perlawanan terhadap praktik-praktik penindasan oleh penguasa, dan memperjuangkan agar rakyat nantinya akan dapat melaksanakan pemerintahan sendiri.
Dari waktu ke waktu Sarekat Islam (SI) mengalami perkembangan yang kian pesat. Dan pada waktu itu SI menjadi kekuatan politik yang amat terasa pengaruhnya di tanah air. Pada tahun 1916, tercatat 181 cabang Sarekat Islam (SI) di seluruh Indonesia dengan tidak kurang dari 700.000 orang tercatat sebagai anggotanya. Dan menurut W.F. Wertheim, dalam "East-West Parellels: Sociological Approaches to Modern Asia" mencatat, pada tahun 1919, anggota Sarekat Islam (SI) mencapai lebih dari dua (2) juta jiwa.[25] Sebuah angka yang fantastis kala itu. Budi Utomo di masa keemasannya saja – pada 1909 – hanya beranggotakan tak lebih dari 10.000 orang. Organisasi Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908 ini masih bercorak lokal. Selain itu, gerakan yang diawali oleh perjalanan dokter Wahidin Sudirohusodo yang mengadakan kampanye di kalangan priyayi Jawa ini lebih bersifat elitis. Sebagian besar anggotanya adalah kaum terpelajar, pegawai negeri dan para bangsawan. Tujuan Budi Utomo juga masih terbatas pada kemaslahatan sektoral Jawa dan Madura – serta tidak disebut-sebut kemerdekaan dalam platform organisasinya.[26]
Sarekat Islam (SI) mempunyai tujuan jangka panjang yang luhur, yaitu mengobarkan semangat keislaman bagi masyarakat Indonesia. Untuk meraih tujuan tersebut, maka kemerdekaan tanah air merupakan sesuatu yang mutlak. Tjokroaminoto sering menegaskan masalah ini, dan pada tahun 1931 ia menulis: "…tak boleh tidak kita kaum muslimin mesti mempunyai kemerdekaan ummat atau kemerdekaan kebangsaan (nationale urijheid) dan mesti berkuasa atas negeri tumpah darah kita sendiri." Bukan hanya itu saja, Tjokroaminoto juga berkeinginan untuk mencontoh negara Islam merdeka yang pernah di bangun Rasulullah di Madinah.[27]
Pada pawai Kongres Nasional Sarekat Islam di Bandung tahun 1916, pernah terbesit niat untuk mengibarkan bendera Turki sebagai simbol (khilafah) pemersatu umat Islam seluruh dunia. Meskipun tidak banyak perannya dalam kehidupan politik umat Islam Indonesia, namun khilafah masih menjadi kebutuhan bagi umat Islam Indonesia.[28] Dan pada tahun 1924 didirikanlah Central Committee Chilafat (CCC) di surabaya yang diikuti puluhan organisasi Islam Indonesia.[29]

Sarekat Islam dan Saingan Ideologinya
Perkembangan Sarekat Islam (SI) yang kian pesat ini dirasa akan membahayakan posisi pemerintah. Untuk itu, pemerintah berusaha mencari cara untuk dapat mengaburkan pengaruh Sarekat Islam (SI) di masyarakat. Para penguasa tidak mau bertindak frontal untuk memukul Sarekat Islam (SI) karena akan dapat menimbulkan reaksi di kalangan rakyat Indonesia. P.H. Fromberg, mantan anggota Mahkamah Agung Hindia Belanda, pada tahun 1914, menyadari bahwa kekuatan Sarekat Islam (SI) bukan pada kelompok-kelompok yang terpecah-pecah tapi dalam wujud massa bersatu. Bung Hatta pada tahun 1930 pernah menulis bahwa Sarekat Islam (SI) diibaratkan "sebuah hostel umum di mana segala macam orang dapat berkumpul bersama untuk mengemukakan segala keluhan-keluhan mereka dan membeberkan isi hati mereka kepada teman dan sudara-saudara mereka."[30]
A.W.F. Idenburg, Gubernur Jenderal pada tahun 1911-an, menyadari ancaman yang dibawa Sarekat Islam (SI) terhadap kekuasaan kolonial. Dengan alasan inilah pada bulan Maret 1914, ia membuat undang-undang yang isinya adalah ia hanya memberikan pengakuan kepada berbagai cabang Sarekat Islam (SI), tidak kepada Sarekat Islam (SI) sebagai satu kesatuan organisasi. Tindakan ini bertujuan untuk memecah Sarekat Islam (SI) ke dalam perserikatan-perserikatan kecil, dan "masing-masingnya akan berdiri bebas dan tidak ada hubungannya antara satu dan lainnya." Dengan tindakan ini Idenburg berharap bahwa pimpinan Sarekat Islam (SI) pusat tidak lagi mempunyai otoritas penuh terhadap cabang-cabangnya.[31]
Tindakan untuk memecah belah Sarekat Islam (SI) yang dilakukan Idenburg tidak cukup sampai disitu saja. Ia juga berupaya menghancurkan kekuatan Sarekat Islam (SI) dari dalam, yaitu dengan cara memberi peluang kepada idiologi baru yang berhaluan radikal (Marxisme[32]) untuk melakukan infiltrasi terhadap Sarekat Islam (SI) melalui cabang-cabang Sarekat Islam (SI) di daerah.[33]
Pada 1917, paham idiologis Marxis mulai menyusup ke dalam Sarekat Islam (SI). Samaun dan Darsono dari Sarekat Islam (SI) cabang Semarang menjadi artikulator-artikulatornya yang paling menonjol. Dan pada tahun 1920 ISDV ditransformasikan menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia), sebagai partai politik yang sepenuhnya beraliran komunis. Namun demikian kedua tokoh ini tetap mempertahankan keanggotaan mereka dalam Sarekat Islam (SI) – berdiri di barisan terdepan kepemimpinan partai ini.
Diperkenalkannya Marxisme ke dalam Sarekat Islam (SI) memancing timbulnya konflik dan perpecahan dikalangan para pemimpin organisasi ini. Hal ini terutama benar dalam kaitannya dengan upaya masing-masing faksi (yakni faksi Islam dan faksi Marxis) dalam organisasi itu untuk memperoleh kontrol dan pengaruh dalam mendefinisikan agenda-agenda sosialistik dan revolosioner Sarekat Islam (SI). Untuk menjamin tetap terpeliharanya persatuan dalam organisasi, maka pengurus pusat Sarekat Islam (SI) terdorong untuk menekankan watak sosialistik dan revolusioner organisasi ini.
Sebenarnya, yang menjadikan jurang perbedaan antara kedua belah pihak adalah perbedaan landasan teologis-ideologis masing-masing faksi. Tiga serangkai Tjokroaminoto, Agus Salim dan Abdoel Moeis dengan tegas menyatakan bahwa Islam adalah ideologi partai itu, dan mereka menggerakkan partai itu sejalan dengan gerakan Pan-Islamisme di Timur Tengah. Sebaliknya, Samaun dan Darsono "lebih menghendaki disingkirkannya agama dari politik praktis," seraya mengorientasikan diri mereka serta seluruh kegiatan partai kepada prinsip-prinsip Marxis.[34]
Perbedaan mendasar antara golongan Islam dan Marxis ini, akhirnya mengarah pada perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam (SI). Pada kongres keenam Sarekat Islam di Surabaya pada 1921, penganut Marxis dikeluarkan dari organisasi dengan alasan mereka melanggar disiplin partai, yaitu mempertahankan keanggotaan mereka dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).[35]
Perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam (SI) banyak membuat sejumlah kalangan kecewa. Di antaranya adalah mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda. Kekecewaan itu ditandai dengan munculnya kelompok-kelompok pelajar yang bermula di Surabaya, Bandung, setelah itu di kota-kota di seluruh Jawa dan di luar Jawa[36]. Di bawah pengaruh seorang anggota PI[37] yang telah kembali ke tanah air, Ishak Tjokrodisurjo, mendirikan sebuah kelompok studi di Bandung, di mana usaha praktisnya dilakukan oleh Anwari dan Soekarno. Pengaruh PI dan anggota-anggotanya yang telah kembali ke Indonesia mengakibatkan berdirinya Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada tanggal 4 Juli 1927. Pada mulanya partai ini dimaksudkan sebagai duplikat dari PI di Indonesia atas inisiatif Hatta. Oleh karena itu ideologi yang dikembangkan PNI yang didirikan oleh Soekarno itu tidak berbeda dengan ideologi yang sudah dikembangkan oleh PI di negeri Belanda.[38]
Kekecewaan PI dan PNI terhadap perpecahan di tubuh Sarekat Islam (SI) terutama disebabkan terjadinya perpecahan dikalangan kelompok nasionalis. Padahal kedua kelompok tersebut selalu berusaha menggagas persatuan dikalangan kelompok nasionalis untuk bersama menumbangkan kekuatan colonial Belanda. Tetapi usaha untuk mempersatukan kelompok nasionalis selalu gagal, dan pada akhirnya menambah satu kutub baru, yang disebut kelompok nasionalis.
Perpecahan antara tiga golongan tersebut, menurut Deliar Noer disebabkan oleh pendidikan yang mereka terima bersifat Barat yang sekuler, terutama sekolah-sekolah yang didirikan Belanda pada umumnya, malahan juga didirikan oleh misionaris Kristen. Sarana pendidikan tersebut memang diusahakan oleh Belanda agar menimbulkan emansipasi dari pengaruh agama di kalangan pelajar. Sebab agamalah terutama yang menimbulkan pergolakan politik di kalangan rakyat Indonesia.
Golongan sekuler tersebut kemudian pecah menjadi dua: PKI (Komunis) di satu pihak dan PI dan PNI (Nasionalis) di pihak lain. Oleh karena itu masa pencarian ideologi ini memang ditandai oleh adanya tiga aliran besar di Indonesia, yaitu Islam, Komunis dan Nasionalis. Tapi dalam konflik dan dialog ideologi pada fase ini, PKI yang membawa ideologi Komunisme hanya terlibat dalam waktu yang sangat singkat, karena PKI dianggap sebagai partai terlarang.[39]
Dengan hilangnya PKI dalam kancah perpolitikan di Indonesia, maka konflik dan dialog ideologi selanjutnya hanya melibatkan dua kelompok, yaitu nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Di samping itu juga terjadi perpecahan di kalangan intern nasionalis sekuler, sebagaimana terjadi perpecahan antara kelompok yang dipimpim Soekarno dengan kelompok yang di pimpim Hatta sekembalinya Hatta ke Indonesia.

Penutup
Wacana nation state untuk pertamakali merambah Indonesia pada abad XIX, istilah ini kemudian melahirkan bentuk nasionalisme. Nasionalisme merupakan sebuah kelompok masyarakat yang bersama-sama terikat dengan loyalitas dan solidaritas yang salah satu tujuannya adalah menginginkan adanya perbaikan dan kesejahteraan nasib dan bangsanya. Dan klimaks dari pergerakan nasional adalah pembentukan nation Indonesia.
Lahirnya gerakan-gerakan yang berskala lokal maupun nasional seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan gerakan-gerakan lain adalah buah dari nasionalisme. Di mana salah satu tujuan awalnya adalah ingin mempersatukan rakyat Indonesia dan ingin membebaskan diri dari kolonialisme. Seiring perjalanan waktu, Sarekat Islam telah menjadi organisai besar dan dianggap membahayakan bagi pemerintah Belanda pada waktu itu.
Atas dasar inilah kemudian pemerintah Belanda berusaha menghancurkan organisasi ini dengan berbagai cara. Yang salah satunya adalah memecah Sarekat Islam dari dalam yaitu, memasukkan idiologi baru (marxisme) dalam organisasi ini. Dari sinilah benih-benih persoalan muali terlihat – hingga akhirnya terjadi perpecahan di tubuh SI.
Daftar Pustaka
Dault, Adhyaksa, Islam dan Nasionalisme; Reposisi wacana Universal dalam Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Djaja, Tamar, Soekarno-Hatta Persamaan dan Perbedaannya, penerbit: Sastra Hudaya, t.t
Donohue, John J. dan John L. Esposito (ed), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah (Terj) Machmun Husein, Jakarta: Rajawali, 1989
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998
Karim, M. Abdul, Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Membongkar Marjinalisasi Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan RI), Yogyakarta: Sumbangsih Press, 2005
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
Madjid, Nurcholish, Demokrasi Indonesia; Dilema dan Jalan keluar Atasi Krisis, Jakarta: Kompas, 2000
--------------------, Indonesia Kita, cet. 2, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004
Maarif, Ahmad Syafii, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1987
Majalah Sabili edisi khusus "Sejarah Emas Muslim Indonesia", 2003
Majalah Sabili edisi khusus " Islam Kawan atau Lawan, 2004
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, cet. VIII, Jakarta: LP3ES, 1996
Nur, Aminuddin, Pengantar Studi Sejarah Pergerakan Nasional (Jakarta: Pembimbing Massa, 1967
Smith, Anthony D., Nasionalisme, Teori, Ideologi dan Sejarah, Jakarta: Erlangga, 2003
Stoddard, Lothrop, The New World of Islam, London: Chapman and Hall Ltd, 1922
Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908 – 1945, cet. 2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Suryanegara, Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Jakarta: Mizan, 1998
Syaukani, Ahmad, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Yatim Badri, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos, 1999



[1] Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme; Reposisi wacana Universal dalam Konteks Nasional (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), hlm. 29.
[2] Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945, Cet. Ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 30.
[3] Agung Pribadi, Islam Meretas Kebangkitan dalam majalah Sabili edisi khusus "Sejarah Emas Muslim Indonesia" (2003), hlm. 72.
[4] Dankwart A. Rustow, enri "Nation" dalam David L. Sills (ed), International Encyclopedia of Social Sciences, Vol. 11 (New York: The Macmillan Company & The Free Press, 1972) dalam Ahmad Yani Ansori, Outline mata kuliah Islam dan Ide Negara Bangsa di Indonesia, hlm. 1.
[5] Tim Penyusun Kamus Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 509-60-.
[6] Lothrop Stoddard, The New World of Islam (London: Chapman and Hall Ltd, 1922), hlm. 137.
[7] Lihat John J. Donohue dan John L. Esposito (ed), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah (Terj) Machmun Husein (Jakarta: Rajawali, 1989), hlm. 144-145.
[8] Aminuddin Nur, Pengantar Studi Sejarah Pergerakan Nasional (Jakarta: Pembimbing Massa, 1967), hlm. 87.
[9] Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme (Ciputat: Logos, 1999), hlm. 57.
[10] Nurcholish Madjid, Indonesia Kita (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 32-33.
[11] M. Abdul Karim, Islam dan Kemerdekaan Indonesia (Membongkar Marjinalisasi Peranan Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan RI) (Yogyakarta: Sumbangsih Press, 2005), hlm. 18-19.
[12] Nasionalisme Arab merupakan tuntutan bangsa Arab untuk mencapai kemerdekaan dari penjajahan Inggris dan Perancis yang telah memecah negara-negara Arab dengan batas-batas wilayah dan mewariskan dilema bagi masa depan bangsa Arab, yaitu wilayah yang terpecah-pecah menjadi wilayah-wilayah kecil. Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 147-148.
[13] Nasionalisme India pada awalnya bersifat Brahman, dicetuskan oleh kaum Brahmana (kasta tertinggi di India) dengan semboyan "India-Arya, India dalam Keemasan – kembali ke Weda." Namun ide nasionalisme yang ditiupkan kelompok Brahmana tersebut kurang mendapat dukungan penuh dari seluruh rakyat India, termasuk di dalamnya kasta Sudra dan Paria. Umat Islam India juga merasa khawatir apabila nasionalisme India ini akan menjadi nasionalisme Hindu yang akan mengancam keberadaan umat Islam India yang minoritas. Lihat Lothrof Stoddard, The New World……., hlm. 207-208.
[14] Nasionalisme Turki adalah suatu paham kebangsaan yang berpendapat bahwa semua orang Turki, baik yang berada di Kerajaan Turki Usmani maupun di Rusia merupakan suatu bangsa dan harus bersatu atas dasar kepentingan mereka yaitu agama dan bangsa. Lihat Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 42.
[15] Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945, Cet. Ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 5-6.
[16] Ibid., hlm. 4.
[17] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Tranformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 62-63.
[18] Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia (Jakarta: Mizan: 1998), hlm. 193.
[19] Ada juga yang berpendapat bahwa Sarekat Islam (SI) sebenarnya sudah berdiri sejak 16 Oktober 1905 dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Dan menurut mereka, tanggal berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) ini lebih tepat disebut sebagai "Hari Kebangkitan Nasional", dan bukan tahun 1908 dengan patokan berdirinya Budi Utomo. Karena ruang lingkup Budi Utomo hanya terbatas pulau Jawa, bahkan hanya etnis Jawa Priyayi pada tahun 1908 itu. Sedangkan Sarekat Dagang Islam mempunyai cabang-cabang di seluruh Indonesia. Jadi, inilah yang layak disebut "Nasional". Agung Pribadi, Islam Meretas Kebangkitan dalam majalah Sabili edisi khusus "Sejarah Emas Muslim Indonesia", (2003), hlm. 74.
[20] Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm. 79
[21] Dalam kongres pertamanya di Surabaya 13 Januari 1913, Sarekat Islam membagi wilayah organisasi menjadi tiga bagian, yaitu Jawa Barat (meliputi Jawa Barat, Sumatra dan pulau-pulau disekitarnya), Jawa Tengah (meliputi Kalimantan), Jawa Timur (meliputi Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa dan pulau-pulau lain di Indonesia Timur). Ketiga wilayah ini serta cabang-cabang Sarekat Islam (SI) berada di bawah pengawasan dari pengurus pusat di Surakarta yang diketuai oleh H. Samanhudi. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, cet. VIII, (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 118-119.
[22] Yeni Rosdianti Rasio, SDI – SI Sang Pelopor Kebangkitan dalam majalah Sabili edisi khusus " Islam Kawan atau Lawan (2004), hlm. 14.
[23] Ahmad Syafii Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante……,hlm. 79-80.
[24] Dalam Kongres Nasional ini, menurut Muhammad Roem melalui Bunga Rampai dari Sejarah dihadiri sebanyak 80 utusan dari berbagai daerah: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Suryanegara, Menemukan Sejarah Wacana Pergerakan Islam……, hlm. 195.
[25] Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante………. hlm. 81.
[26] Sabili, (2004), hlm. 15.
[27] Maarif, Studi tentang Percaturan dalam Konstituante…….hlm. 80.
[28] M. Roem, Bunga Rampai Sejarah, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 16. Dalam Badri Yatim, Sukarno, Islam dan Nasionalisme (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 147.
[29] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cet. VIII (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 242.
[30] Ibid., hlm. 82.
[31] Ibid., hlm. 82-83.
[32] Marxisme pertamakali diperkenalkan oleh tokoh-tokoh Marxis Belanda, yang diketuai oleh Hendricus Josephus Frannciscus Marie Sneefliet, seorang Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1913. Pada tahun 1914 kelompok Marxis mendirikan ISDV (Indische Sosiaal Democratische Vereeniging, Organisasi Sosial Demokrat Hindia Belanda), dan lewat organisasi inilah kemudian gagasan-gagasan dan slogan-slogan Marxis "diekspor" ke dalam tubuh Sarekat Islam (SI). Ibid., hlm. 86.
[33] Ibid., hlm. 83.
[34] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara………, hlm. 66-67.
[35] Ibid., hlm. 67-68.
[36] Di daerah-daerah juga muncul gerakan-gerakan pemuda (pelajar) yang bersifat kedaerahan. Seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Celebes dan lain sebagainya. Tamar Djaja, Soekarno-Hatta Persamaan dan Perbedaannya (penerbit: Sastra Hudaya, t.t.), hlm. 38.
[37] PI singkatan dari Partij Indische. Sebuah organisasi politik yang mengatakan dirinya sebagai kelompok nasionalis Indonesia di negeri Belanda.
[38] Badri Yatim, Soekarno, Islam dan…….., hlm. 28.
[39] Ibid., hlm. 29.

No comments:

 

Most Reading