Penelitian

Friday 19 March 2010

PERSEPSI PARTAI POLITIK ISLAM DAN PARTAI POLITIK BERBASIS ISLAM DI KABUPATEN TASIKMALAYA TERHADAP PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI KABUPATEN TASIKMALAYA

Oleh.

Akhmad Satori
Rino Sundawa Putra


Abstract
Objectives of this study are to find out how the Islamic party and the Islamic-based party in Tasikmalaya understands and gives his perception on the implementation of the Islamic Shari'a in Tasikmalaya. Data collection is done by in-depth interviews, went into the field and direct observation with a sampling method is done deliberately (purposive sampling), while the approach to be used in this study is the symbolic interaction approach by trying to understand the meaning of human behavior in life, motives, insight, and internalization of values. (Faizal, 2003: 22).
Based on this research, it can be concluded that that in addressing, understanding and perception of the application gives the Islamic Shari'a in Tasikmalaya, tend to be careful. This began when the Islamic party and how Islam based on the District understand the "religious / Islamic" as stipulated in the vision-mission Tasikmalaya regency. So far, these parties do not make sense and understand the vision and mission as the juridical basis or a gate to then apply the concept of Islamic law which was adopted by the government. This is because the parties are aware there is no legal basis which provides higher greater authority to the region to implement Islamic law as a whole (Kaffah).

Keyword : perception, Islamic Political Party and Political Party Based on Islam, Islamic Shari’a.


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana partai Islam dan partai berbasis Islam di Kabupaten Tasikmalaya memahami dan memberikan persepsinya mengenai penerapan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (Indeepth Interview), terjun ke lapangan dan observasi langsung dengan metode sampling yang dilakukan dengan sengaja (Purposive sampling), sedangkan Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Interaksi simbolik Pendekatan dengan berupaya untuk memahami makna perilaku manusia dalam kehidupan, motif, wawasan, serta internalisasi nilainya.(Faizal, 2003 : 22).
Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa bahwa dalam menyikapi, memahami dan memberikan persepsinya mengenai penerapan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya, cenderung hati-hati. Ini dimulai ketika bagaimana partai Islam dan berbasis Islam di Kabupaten memahami “religius/Islami” yang tertuang dalam visi-misi Kabupaten Tasikmalaya. Selama ini partai-partai tersebut tidak memaknai dan memahami visi-misi tersebut sebagai landasan yuridis atau gerbang untuk kemudian diterapkan konsep syariat Islam yang diadopsi oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan partai-partai tersebut menyadari belum ada landasan hukum yang lebih tinggi yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk menerapkan syariat Islam secara keseluruhan (Kaffah).

Kata Kunci : Persepsi, Partai Islam dan Partai Berbasis Islam, Syariat Islam


A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai wacana yang mereproduksi pranata nilai, selalu berpengaruh pada pola kehidupan yang lebih luas kedalam struktur masyarakat yang kemudian dipahami dan diinternalisasikan ke dalam sebuah konsep yang mengatur sebuah sistem tertentu. Pranata nilai Islam yang terus berkembang di Kabupaten Tasikmalaya tidak hanya mencakup dalam pemahaman yang membentuk karakter masyarakat Tasikmalaya yang lebih Islami atau religius, tapi juga berkembang ke wilayah kekuasaan, artinya reproduksi nilai Islam kemudian diadopsi menjadi sebuah aliran politik dan dihayati dalam kerangka kekuasan. Sejak saat itu Islam terus direproduksi ke wilayah-wilayah kekuasaan dan sangat bersentuhan sekali dengan dinamika politik pada waktu itu. Kedekatan ulama dan penguasa menjadikan Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat sebagai agama baru.
Akar sejarah nilai-nilai Islam dalam wilayah kekuasaan sampai sekarang terus terinternalisasi dalam pemahaman masyarakat dan politisi Tasikmalaya sampai saat ini. Struktur sosial politik masyarakat Tasikmalaya dibangun berdasarkan sendi-sendi agama. Untuk itulah kenapa bahasan-bahasan bahkan isu-isu tentang keislaman selalu laku dalam ranah-ranah sosial politik masyarakat Tasikmalaya, dan partai-partai Islam selalu meraih suara yang signifikan di Kabupaten Tasikmalaya.
Kabupaten Tasikmalaya adalah daerah yang memiliki ratusan Pondok Pesantren, pada Renstra tahun 2001 ada sekitar 700 pesantren namun pada revisi Renstra tahun 2003 ada 400 pesantren (Renstra 2003 : 11 ). Ada beberapa Pondok Pesantren besar dan fenomenal yang menjadi basis gerakan keagamaan yang bertranformasi menjadi sebuah gerakan politik (Cipasung, Sukahideung dan Miftahul Huda).
Dalam konteks proses politik formal di Kabupaten Tasikmalaya yang berada dalam sebuah sistem demokrasi Indonesia, partai politik menjadi sebuah arena perjuangan sekaligus pertarungan para ulama atau para pemuka agama. Partai-partai yang menjadi pilihan jelas partai-partai yang berazas dan berbasis Islam, diantaranya PPP, PBB, PKS, PKB, PAN dan PBR. Konsolidasi para pemuka agama selama ini menjadi sebuah kunci kemenangan partai-partai Islam terutama PPP di Kabupaten Tasikmalaya, ditambah isu-isu dan wacana-wacana keagamaan yang memang selalu menjadi bahasan yang laku keras di Kabupaten Tasikmalaya.
Hasil dari konsolidasi politik para pemuka agama di dalam partai politik Islam adalah adanya Visi Misi Kabupaten Tasikmalaya, yaitu “Tasikmalaya yang Religius Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah daerah kabupaten Tasikmalaya selanjutnya menjabarkan dalam misi dan program.
Visi Misi tersebut secara formal akan menjadi sebuah kerangka dasar dan garis besar dalam membuat sebuah kebijakan dan peraturan daerah (Perda), terutama perda bernuansa syariat Islam yang secara umum mengikat masyarakat Kabupaten Tasikmalaya, mempunyai hukum tetap yang sifatnya memaksa setiap masyarakat. Kemudian muncul peraturan yang sifatnya segmentasi berbentuk Surat Keputusan (SK) Bupati contohnya Keputusan Bupati No 421.2/Kep.326 A/Sos/2001 tentang Persyaratan Memasuki Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Multi interperetasi dan multi tafsir ada pada cara pandang mengenai Renstra Kabupaten Tasikmalaya yang tertuang dalam visi misi Kabupaten Tasikmalaya, perbedaan cara pandang tersebut kemudian bermuara pada ada tidaknya penerapan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya, artinya ada dua anggapan tentang persepsi visi misi itu sendiri dan persepsi tentang penerapan syariat Islam, di Kabupaten Tasikmalaya. Anggapan itu adalah, pertama, bahwa Kabupaten Tasikmalaya telah menerapkan syariat Islam dalam bentuk hukum yang bersifat legal formal dengan landasan yuridis “religius/Islami” dalam visi-misi tersebut, kedua adalah bahwa Kabupaten Tasikmalaya belum bisa dikatakan menerapkan syariat Islam dalam kerangka hukum legal formal daerah, karena belum ada perda turunan dari visi-misi tersebut yang mempunyai hukum tetap dan bersifat memaksa dengan landasan syariat Islam.
Lahirnya sebuah visi misi daerah, Perda, Surat Keputusan kepala daerah dan Surat Edaran kepala daerah, khususnya yang benuansa syariat Islam adalah merupakan hasil sebuah konstalasi politik lokal yang bernuansa konfrontatif, kompromis, dialogis bahkan pragmatis, dimana partai politik menjadi sebuah kendaraan dalam mendistribusikan ideologi, platform, visi misi, ide-ide dan sistem nilai, lalu kemudian diperjuangkan lewat saluran politik formal baik itu di eksekutif maupun legislatif untuk mencapai sebuah formulasi hukum daerah. Dengan demikian usaha penerapan syariat Islam tidak lagi terfokus pada formalisasi syariat Islam dalam level negara, artinya usaha-usaha tersebut tidak lagi dalam kerangka dasar negara seperti Undang-Undang, tapi lebih bernuansa lokal yaitu dalam bentuk peraturan daerah (Perda).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut, maka diambil perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi partai-partai Islam dan partai yang berbasis massa Islam di Kabupaten Tasikmalaya memahami Visi Misi Kabupaten Tasikmalaya yang “religius Islami” sebagai landasan yuridis kebijakan Kabupaten Tasikmalaya?
2. Bagaimana partai-partai Islam dan partai yang berbasis massa Islam di Kabupaten Tasikmalaya memberikan persepsinya secara umum tentang penerapan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya ?

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Persepsi
Persepsi, menurut Rakhmat Jalaludin (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Ruch (1967: 300), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991: 201) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1994: 53) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989: 358).
Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209). Persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986: 54).

2. Partai Politik Islam
Menurut Prof. Dr. Miriam Budiarjo (1998 : 43) secara umum dapat di katakan bahwa Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempuyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik. Tentu dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanan - kebijaksanan mereka.
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela, di mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan, dan turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat, atau membedakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu, berkampaye, menghadiri kelompok diskusi, dan sebagainya.
Partai politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW. Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Ikatan antara mereka terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter. Partai Islam merujuk pada partai-partai yang mengadopsi Islam sebagai ideologi yang mewarnai platform dan program partai-partai tersebut, sedangkan partai berbasis Islam adalah partai Islam pluralis merujuk pada partai-partai yang secara ideologis menancapkan nasionalis dan sekuler tetapi mempunyai basis massa Islam secara organisatoris atau secara kultural.

3. Pendefinisian Perda Syariat
Pendefinisian perda syariat ini dikembangkan berdasarkan fenomena maraknya perda syariat di Indonesia, Arskal Salim dalam Rusdji Ali Muhammad (2003 : 38) mengusulkan tiga kategori peraturan daerah untuk, yang berkaitan dengan ketertiban umum dan masalah sosial (pelacuran, judi dan konsumsi alkohol), kewajiban agama dan keterampilan membaca Al-Quran, membayar zakat (zakat atau pajak keagamaan), dan mengenai simbolisme agama.
Arskal Salim juga berpendapat bahwa perda syariat adalah bagian dari gerakan Pan-Islamisme yang berusaha untuk menggerakan Islam politik untuk agenda yang dalam Islam adalah dasar dari kerangka politik dan hukum dalam masyarakat, upaya ini dilakukan melalui saluran dan prosedur formal. Pendekatan teologis dari hadirnya perda-perda bernuansa syariah adalah untuk menformalkan aturan agama dan pendekatan hukum ekslusif pendekatan Islam politik merujuk pada gagasan bahwa Islam tidak hanya agama tetapi juga sistem hukum yang lengkap, universal, ideologis dan sistem yang sempurna (Robin Bush : 17).

C. METODE PENELITIAN DAN ANALISIS
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, dengan sasaran penelitian elite dan anggota partai politik Islam dan partai yang berbasis massa Islam di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu Ketua DPC /DPD (Dewan Perwakilan Cabang/Dewan Perwakilan Daerah), Sekretaris DPC/DPD, atau anggota Legislatif DPRD Kabupaten Tasikmalaya dari partai politik Islam dan partai politik yang berbasis massa Islam, yakni PPP, PKB, PBR, PAN, PKS dan PBB., Bagian Hukum Kabupaten Tasikmalaya dan Komisi I Bidang Pemerintahan, Ketertiban, Kependudukan, Penerangan/Pers, Hukum dan Perundang-Undangan, Kepegawaian/Aparatur Pemerintahan, Perizinan, Sosial Politik, Organisasi Kemasyarakatan/Lembaga Swadaya Masyarakat, Pertanahan Arsip dan Perpustakaan DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Selain itu, dalam rangka mendapatkan data yang valid dan realiable, responden juga berasal dari pengamat luar, seperti akademisi lokal dan tokoh agama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan tekhnik analisis data interaktif.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Sejarah Upaya Penerapan Syariat Islam di Indonesia
Penerapan syariat Islam dalam konteks hukum negara memiliki sejarah yang panjang. Usaha dalam wilayah yuridis dimulai ketika bangsa Indonesia merumuskan dasar negara pada awal usaha memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Gejolak yang terjadi sebelum Pancasila sebagai peletak dasar negara dikukuhkan bersama adalah ketika dalam sila pertama berbunyi :
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Rumusan itu ditolak oleh golongan minoritas non-muslim, dan akhirnya wakil-wakil dari kelompok Islam menyetujui usul penghapusan anak kalimat tersebut dari Pancasila dan batang tubuh pembukaan UUD 1945 karena Piagam Jakarta akan mengancam keutuhan wilayah Indonesia, sebabnya wilayah Indonesia bagian timur yang pemeluk Islamnya tidak signifikan mengancam akan keluar dari wilayah NKRI yang dicita-citakan. Akan tetapi, sila pertama tersebut mendapat tambahan kata kunci sehingga menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Fakta sejarah yang kemudian terus berlanjut mengenai usaha-usaha memformalkan syariat Islam kedalam bentuk yuridis negara adalah adanya gerakan separatis yang ingin membentuk sebuah negara Islam yang utuh. Gerakan yang terjadi di Jawa Barat pada awal 1950-an sampai awal 1960-an adalah DI/TII (Daulah Islamiyah/Tentara Islam Indonesia). Gerakan pemberontakan ini dipimpin oleh Karto Suwiryo. Salah satu basis gerakan ini adalah di Tasikmalaya, yaitu didaerah Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya. Kemudian tokoh-tokohnya mendirikan pesantren sebagai pola Tarbiyah (Pendidikan) bagi gerakannya untuk membentuk kader-kader perjuangannya. Pesantren itu adalah pesantren Miftahul Huda yang didirikan oleh KH. Khoer Affandi, pada saat itu juga dia menjabat sebagai Gubernur DI/TII.
Pola perjuangan yang dilakukan oleh para penerus tokoh DI/TII dipesantren Miftahul Huda kini bergerak menggunakan sistem politik formal lewat partai politik, terutama dalam momentum semangat otonomi daerah dimana peluang untuk menerapkan syariat Islam minimal dilevel daerah sangat terbuka. Perubahan gerakan ini sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang dikategorikan sebagai kelompok Islam garis keras yang tidak mengakui proses atau sistem politik formal dimana partai politik sebagai kendarannya dan pemilu sebagai prosesnya, padahal bila melihat akar sejarahnya gerakan DII/TII adalah gerakan perlawanan berbasis militer yang dimulai dengan melawan vis a vis, yakni melakukan perlawawan saling berhadapan dengan negara dan tidak mengakui adanya pemerintahan yang berkuasa.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Asymawi tentang fenomena upaya penerapan syariat Islam di Indonesia, bahwa Pemberlakuan (formalisasi) syariat Islam hampir tidak pernah menemukan titik totalitasnya (kaffah). Dalam sejarah Indonesia, formalisasi syariat lebih banyak terkait dengan hukum perdata, belum banyak sampai pada hukum pidana secara luas. Oleh karena itu, ada berbagai usaha pemberlakuan syariat Islam dari kelompok Islam dalam instrumen yang berbeda-beda. Beberapa Partai politik dan ormas Islam menempuh upaya pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Syariatisasi sejak Indonesia merdeka sudah dilakukan dalam beberapa jalur. Setidaknya ada tiga jalur yang pernah ditempuh dalam gerakan syariatisasi di Indonesia.
Pertama, jalur politik (parlemen) misalnya perjuangan partai-partai Islam untuk mengembalikan Piagam Jakarta di dalam Majelis Konstituante di masa Orde Lama yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Jalur politik ini, di masa Reformasi, kembali diperjuangkan semenjak Sidang Tahunan MPR Tahun 2000-2002 yang lalu. Dua partai Islam; Partai Persatuan Pembangunan (FPP) dan Partai Bulan Bintang (FBB) mengusulkan untuk memasukkan kembali “tujuh kata” tentang syariat Islam ke dalam Amendemen UUD 1945.
Kedua, jalur militer yang dilakukan kelompok Islam radikal dengan melakukan pemberontakan bersenjata (seperti Darul Islam/Negara Islam Indonesia/DI/TII) di Jawa Barat; atau pemberontakan Abdul Qahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan Teuku Muhammad Daud Beureuh di Aceh. Jalur militer ini tidak berhasil menggapai cita-cita berdirinya negara Islam dengan substansi penegakkan syariat Islam. Darul Islam dipimpin oleh SM Kartosuwiryo memproklamasikan negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 di desa Cisampang, Jawa Barat.
Ketiga, jalur kultural, yakni melakukan dakwah Islam kepada masyarakat melalui pemahaman syariat Islam kepada komunitas masyarakat. Hal ini dapat kita saksikan pada beberapa ormas Islam, yang giat memperjuangkan syariat Islam sebagai hukum negara. Kelompok-kelompok Islam, seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Front Pembela Islam selama ini giat mengkampanyekan proyek syariatisasi ke masyarakat melalui jalur dakwah.
Ketiga jalur proyek syariatisasi yang sudah dilakukan ternyata tidak mampu melakukan perubahan besar dalam usaha Islamisasi produk hukum. Terbukti sejak Indonesia merdeka hingga awal reformasi, proyek syariatisasi gagal menjadi kebijakan politik negara. Padahal, gairah umat Islam untuk memformalkan syariat ke dalam hukum negara begitu kuat. Karena itulah, strategi yang dilakukan adalah syariatisasi peraturan daerah dengan jalan mendekat kepada penguasa daerah (gubernur, bupati atau walikota) untuk membuat beberapa bentuk peraturan hukum yang aspiratif terhadap Islam. Jalur ini memang begitu terasa dampaknya bagi proyek syariatisasi di sejumlah daerah. Sekarang ini hampir di setiap kabupaten atau kotamadya sudah bersiap-siap membuat peraturan daerah (Perda SI). (Asymawi, 2007 : 5).

3. Visi Misi “Religius/Islami” Sebagai Kerangka Dalam Memahami Penegakan Syariat Islam
Pada penelitian ini, peneliti memulai asumsinya atau dasar penelitian dari bagaimana partai Islam dan Partai yang berbasis Islam di Kabupaten Tasikmalaya memahami terlebih dahulu visi-misi Kabupaten Tasikmalaya yang “Religius/Islami”. Hal ini dianggap penting karena visi-misi tersebut dirumuskan oleh lembaga politik yang didalamnya terdapat partai-partai politik untuk mengakomodasikan ideologi, tujuan dan kepentingan lewat dinamika politik yang terjadi dan berkembang.
Visi-misi Kabupaten Tasikmalaya yang tertuang dalam No 13 tahun 2001, terdapat kalimat “Religius/Islami” yang menjadi pedoman arah pembangunan Kabupaten Tasikmalaya. Penempatan idiom Islam dalam Visi-Misi Kabupaten Tasikmalaya yang dirumuskan pada tahun 2001 oleh Pansus Renstra Visi-Misi. Namun pemahaman yang berkembang dalam partai-partai yang mendukung pencantuman religius/islami dan anggota Pansus secara keseluruhan tidak dipahami sebagai landasan yuridis untuk menerapkan syariat Islam yang “ekstreem” atau syariat Islam yang dipaksakan dalam sebuah regulasi yang sifatnya memaksa ke dalam hukum positif, tapi lebih kepada membingkai masyarakat Tasikmalaya yang memang sudah religius Islami agar nilai-nilai terebut tetap terpelihara dan terus dikembangkan dalam ruang privat masyarakat Tasikmalaya.
Ketua Pansus Visi-Misi, Basuki Rahmat mengatakan realisasi dan indikator keberhasilan visi-misi “religius/Islami” sekarang dirasakan hanya sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, mengawang-ngawang dan tidak punya konsep yang jelas dalam menata itu. Indikatornya pun sangat sulit untuk diukur, kalau yang diukur dari jumlah mesjid dan mushola yang terus bertambah, santri yang banyak dan siswi sekolah banyak yang memakai jilbab mungkin bisa diukur, tapi itu tidak bisa menjadi jaminan bahwa kualitas keimanan dan religiuitas masyarakat Tasikmalaya kemudian meningkat. Wacana-wacana keislaman yang terus berkembang dari visi-misi tersebut hanya terkesan sebagai konsumsi politik dan komoditas politik kalangan elit partai politik.
Formalisasi syariat Islam berbeda dengan penegakan syariat Islam dalam kaitannya dengan visi-misi “religius/Islami”, formalisasi syariat Islam terkadang terjebak pada simbolisme yang mewah tapi justru dangkal syariat Islamnya, tetapi penegakan syariat Islam itu murni dalam Islam sendiri yang tertuang dalam Al-Quran, Hadist dan Sabda Nabi. Dalam hal ini pembuatan Perda di Kabupaten Tasikmalaya bila mau bersandar pada visi-misi tersebut harus membuat Perda yang senapas dengan visi-misi tersebut dengan niat menegakan syariat Islam tanpa “embel-embel” syariat Islam yang simbolik. Banyak ruang untuk memasukan syariat Islam dan setiap aturan, misalnya Perda pengentasan kemikinan, dan pengangguran.
Visi-misi yang menjadi acuan dan harapan yang ingin dicapai oleh pemerintah Kabupaten Tasikmalaya menjadi sulit diukur indikatornya, terutama target religius/Islami. Kalau tujuannya hanya membingkai masyarakat Kabupaten Tasikmalaya yang sudah religius, lalu apa kebutuhannya, bukankah visi-misi adalah sebuah proyeksi dalam mewujudkan sebuah harapan. Dalam hal ini terkesan ada ambiguitas politik, dimana seolah-olah ada harapan penegakan syariat Islam tapi syariat Islam itu sendiri terjebak pada simbolisme politik.


Tabel : 4.1.
Klasifikasi pemahaman partai politik Islam dan partai politik berbasis Islam di Kabupaten Tasikmalaya mengenai visi-misi “religius/Islami”

Nama Partai Pandangan/Sudut Pandang Memahami Harapan Yuridis Penegakan Syariat Islam Argumentasi Alasan
PPP Payung besar bagi pembangunan fisik maupun mental masyarakat Kabupaten Tasikmalaya, dan pergerakannya harus seiring dengan “religius/Islami” Belum bisa dipahami sebagai landasan yuridis untuk kemudian dibuat hukum positif berbasis syariat (Perda). Belum ada landasan peraturan yang lebih tinggi (Undang-Undang dan Perundangan-undangan yang melandasinya
PKB Mengangkat nilai-nilai yang terinspirasi dari masyarkat yang memang sudah religius dan Islami












Tidak membawa visi-misi itu pada ruang yang nantinya membuat wacana membuat Perda syariat yang akan membawa syariat Islam itu pada ruang yang lebih kecil.

Tidak pernah memahami secara intitusi partai, bahwa “religius/Islami” bisa dijadikan sebagai landasan yuridis umtuk kemudian dibuat Perda-Perda berbasis syariat Islam terkesan syariat Islam itu sendiri bergantung pada Perda dan itu.

Perda-Perda berbasis syariat faktanya justru akan menjadi kontra produktif ketika menilai bahwa perda itu adalah syariat Islam, padahal Perda tersebut hanya sebagian kecil dan jauh dari syariat yang kaffah
PKS Terkesan kepada bentuk simbolisme yang indikatornya sulit diukur.

Visi-misi tersebut sangat mulia, apalagi kalau diimbangi dengan usaha-usaha yang lebih kongkrit. Kurang sepakat kalau ranah penegakan syariat Islam yang berangkat dari visi-misi tersebut dilakukan dengan menggembar-gemborkan Perda syariat Rentan dijadikan komoditas politik dan terkadang tidak meyeluruh dan subtansial.
PAN Visi-misi tersebut tidak lebih diposisikan dalam konteks menjadi kerangka besar dalam memberikan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya Belum bisa dipahami sebagai landasan yuridis dibuatnya aturan hukum yang bersifat memaksa (Perda). Pusat belum memberikan payung hukum bagi daerah untuk menerapkan aturan hukum yang bersifat memaksa terhadap penerapan syariat Islam.
PBB Visi-misi yang “religius/ Islami” belum masuk kepada apa yang dimaksud dengan sistem penegakan syariat.

Memahaminya memang masih sebatas pada porsi yang sewajarnya, yang penting bagaimana masyarakat Kabupaten Tasikmalaya dibingkai dengan nilai-nilai keislaman dan religiusme yang tinggi. Sangat bisa dijadikan landasan yuridis pelaksanaan syariat Islam dalam bentuk aturan hukum, bila kondisi nasional negara mengakomodir, artinya landasan hukum yang lebih tinggi diberikan oleh pusat kepada daerah. Selama Undang-Undang Dasar belum menggiring kepada sesuatu dimana daearah bisa leluasa menerapkan syariat yang menyeluruh, visi-misi tersebut dipahamai hanya sebatas membingkai
PBR Sampai sejauh ini, makna ataupun cara pandang “religius/Islami” masih sebatas simbol-simbol yang ditonjolkan
terkadang terbelenggu kedalam konsumsi ataupun monopoli elite-elite politik, kelihatan mewah tapi tidak menyentuh ke tengah-tengah masyarakat Sangat besar landasannya bila dijadikan landasan dan pedoman yuridis untuk kemudian dibuat penegakan syariat Islam, tapi tidak identik dengan pembuatan Perda syariat, banyak ruang dan celah tanpa harus terjebak pada jargon-jargon dan simbolisme politik Belum ada politisi dari partai itu sendiri yang ingin betul-betul inginmenerapkan syariat Islam secara Kaffah


B. Persepsi Partai Politik Islam dan Berbasis Islam Terhadap Penerapan Syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Dalam memahami bagaimana kemudian PPP memberikan pengertian dalam hal penegakan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya, adalah perlu digaris bawahi bagaimana partai ini memberikan pemahamannya atau sudut pandangnya mengenai visi-misi yang “religius/Islami”, dimana memahami visi tersebut hanya sebagai payung besar bagi pembangunan fisik maupun mental masyarakat Kabupaten Tasikmalaya dan tidak bisa dijadikan landasan yuridis pembuatan regulasi hukum positif berupa Perda karena terbentur dengan aturan hukum yang lebih tinggi yang belum memberi landasan hukum yang pasti.
PPP Kabupaten Tasikmalaya menjelaskan, bahwa apa yang dinamakan dengan syariat Islam itu harus bersifat menyeluruh dan utuh (Kaffah), artinya seluruh tata perundang-undangan yang ada harus didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Disini perlu menata ulang pemikiran, karena terlanjur syariat Islam itu diidentikan dengan lahirnya sebuah Perda yang seolah-seolah berbasis syariat Islam, padahal dalam Perda itu jauh sekali dari subtansi penegakan syariat Islam. Tetapi dalam hal ini, ide-ide untuk menegakan syariat Islam yang lebih menyeluruh tidak harus padam, artinya ide-ide tersebut harus terus diperjuangkan terutama oleh kader-kader PPP dengan memberikan legitimasi hukum yang lebih tinggi dilevel negara agar syariat Islam yang lebih menyeluruh bisa diterapkan dalam konteks daerah.
Peluang atau ruang-ruang untuk menegakan salah satu syariat Islam sangat terbuka lebar dan tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tanpa embel-embel “Perda Syariat” atau “aturan daerah yang berbasis syariat Islam”. Ini harus diawali dengan terpelihara ide-ide untuk terus berusaha menegakan salah satu syariat Islam dari politisi-politisi yang berasal partai Islam dan berbasis Islam, terlepas ada atau tidak legitimasi aturan Perundang-Undangannya dilevel negara untuk melandasi itu. Syariat Islam jangan dipahami sebagai aturan yang harus diformalkan dan disimbolkan melalui perangkat atau instrumen pemerintah, tapi syariat Islam juga harus dipahami dalam ranah yang bersifat privat yang bersifat informal tetapi menjangkau struktur kehidupan publik.
Pemberlakuan syariat Islam bagi PPP harus dilakukan menggunakan dua pola. Yakni struktur dan kultur, Struktur dapat membentuk kultur, sebaliknya kultur juga dapat membentuk strutur. Pertanyaannya adalah jalan mana dulu yang harus kita dahulukan, struktur atau kulutur. Kalau dari aspek kultur, ternyata kita belum terbiasa menjalankan kehidupan dengan praktek syariat.

2. Partai Kebangkitan Bangsa
Dari awal pemahaman tentang bagaimana memposisikan visi-misi “religius/Islami”, PKB memahami visi tersebut tidak dalam konteks pada ruang yang nanti akan membuat syariat Islam dalam bentuk Perda. PKB memahami syariat Islam itu adalah merupakan sumber hukum yang paling tinggi dari segala sumber hukum, mewadahi semua unsur-unsur kehidupan manusia dan mewadahi semua umat Islam dimanapun, lintas batas atau lintas negara. Syariat Islam jangan dipahami sebagai aturan yang bersifat teritori, artinya syariat Islam jangan dipilah-pilah menjadi sebuah aturan yang hanya berlaku disatu daerah saja, apalagi formalitas oleh sebuah pemerintahan, baik itu pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi atau pemerintah Kabupaten/Kota.
Syariat Islam adalah sebuah aturan yang memang secara individu bagi pemeluknya wajib untuk dilaksanakan, lebih tepatnya berada dalam ruang privat manusia dan tidak dalam monopoli kekuasaan. Syariat Islam itu bersifat universal, jika penerapan syariat Islam diidentikan atau disamakan dengan sebuah Perda, maka sampai kapanpun Perda tersebut tidak akan bisa mengakomodir syariat Islam secara keseluruhan.
Sampai hari ini PKB memandang, tidak sepakat bila penerapan syariat Islam di formulasikan kedalam sebuah Perda, karena Perda tidak akan mengakomodir seluruh aturan dan nilai-nilai yang ada dalam syariat Islam itu sendiri. Konsep penerapan syariat Islam bisa diawali dengan proses politik, dengan kewenangan yang dimiliki Ekekutif dan Legislatif, artinya apa yang bisa didorong untuk tegaknya salah satu nilai dari syariat Islam, itu didorong tapi tidak dengan memformalkan, dipaksakan dan disimbolkan melalui instrumen hukum nilai terebut. Salah satunya, sarana yang paling potensial untuk memulai penegakan syariat Islam lewat jalur pendidikan agama dan kegiatan keagamaan, bagaimana Legislatif bisa membuat legislasi atau kebijakan agar pendidikan agama di Kabupaten Tasikmalaya menjadi lebih maju dari segi anggaran misalanya, tapi bagaimana terlaksananya nilai-nilai syariat Islam ditengah-tengah masyarakat, itu dikembalikan lagi pada masyarakat dan menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri, tanpa paksaan dan ancaman hukuman yang bersifat positif.
Dapat dipahami, PKB dalam memberi persepsinya bagaimana sebetulnya nilai-nilai syariat Islam bisa diimplementasikan tanpa adanya intervensi dari penguasa. PKB lebih memahami syariat Islam bersifat individu daripada dipaksakan ke ranah yang sifatnya publik oleh sebuah intitusi atau instrumen pemerintahan. Argumentasi yang kemudian muncul dari persepsi ini adalah bahwa syariat Islam bersifat sebagai sesuatu yang sulit diukur oleh indikator-indikator dan logika-logika hukum tapi bisa diukur dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan dari masing-masing individu yang bersifat rohaniah dan batiniah.

3. Partai Keadilan Sejahtera
Cara memahami apa itu syariat Islam dan bagaimana Implementasinya, bagi PKS tergantung bagaimana cara memahami “religius/Islami” itu sendiri yang menjadi arah pedoman pembangunan kabupaten Tasikmalaya ke depan. Bagi PKS visi tersebut sangat bisa sekali dijadikan dasar legitimasi bagaimana kemudian syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya bisa diterapkan dalam konteks ruang, waktu, kesempatan dan ranah-ranah yang mendukungnya.
Bagi PKS, upaya penegakan syariat Islam jangan dipilah-pilah dan diklasifikasi kedalam sebuah simbol-simbol politik, seperti Perda syariat. Syariat Islam itu mengatur segala kebaikan dari ajaran Islam yang sangat suci yang datangnya dari Allah SWT agar kehidupan manusia bisa tertata rapih. Untuk itu penegakannya harus betul-betul menyeluruh. Bagian-bagian yang mengusung nilai-nilai keislaman yang ingin dikonversikan kedalam bentuk kebijakan oleh sebuah pemerintah, dalam hal ini pemerintah Kabupaten Tasikmalaya beserta Legislatif, itu juga bagian dari salah satu upaya penegakan syariat Islam tapi jangan diberi simbol dan gelar bahwa itu seolah-olah kebijakan syariat Islam secara keseluruhan. Perlu dipisahkan apa itu kebijakan sebagai upaya menegakan salah satu syariat Islam dengan tegaknya syariat Islam secara keseluruhan.
Syariat Islam secara keseluruhan ada dalam Al-Quran dan Al-Hadist, setiap manusia bisa membaca dan mengimplementasikan apa-apa yang dilarang dan dibolehkan dalam Al-Quran dan Al-Hadist, itu kuncinya. Tapi kalau berbicara peran yang dilakukan dalam ranah politik yang ada dipemerintahan dan parlemen dalam menegakan syariat Islam ini tergantung dari political will dari masing-masing intitusi (partai dan penguasa), artinya kalau mau menerapkan syariat Islam, lakukanlah secara menyeluruh (Kaffah) sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Al-Hadist. Ada yang memahami syariat Islam tidak perlu di formalkan sebagai aturan hukum yang mengikat ada yang memahami syariat penegakan syariat Islam bukan wewenang kebijakan pemerintah dalam ranah politik, dan ada yang memahami syariat Islam sebagai aturan yang perlu diformalkan.
Syariat Islam harus muncul dari segi Amaliyah, artinya muncul sebagai kesadaran khususnya bagi partai-partai yang punya ideologi ingin mengusung nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat, bukan muncul hanya sebagai wacana, perdebatan apalagi sebagai komoditas politik, Al-Quran dan Al-Hadist tidak perlu diperdebatan lagi. Syariat Islam adalah pelaksanaan Amaliyah bukan hanya simbol, artinya syariat Islam sebagai sebuah aturan yang kompleks, dari mulai masalah keyakinan, ibadah dan muamalah, tidak ada satu pun yang tidak diatur dalam syariat Islam, untuk itu syariat Islam tersebut tidak harus menunggu formalitas tapi berupaya agar konsep syariat Islam itu membumi tanpa simbol dan bukan wacana, apa yang bisa dilaksanakan itu harus dilaksanakan.
Dalam hal ini PKS memandang relasi penegakan syariat Islam dengan kekuasaan adalah selama kekuasaan menaungi, artinya selama diwilayah kekuasaan itu ternaungi seluruh konsep-konsep Islam, tidak perlu lagi diformalkan menjadi sebuah aturan yang kaku. Syariat Islami itu bersifat murni sumber hukum dari segala sumber hukum, bersifat batiniyah dan dipertanggung jawabkan secara individu. Kalau tidak diformalkan sudah bisa dilaksanakan, kenapa harus diformalkan. Untuk konteks sekarang, lebih baik melakukan pembinaan dan menggiring masyarakat ke arah penegakan syariat Islam itu sendiri dianding memaksa masyarakat dengan instrumen hukum yang bersifat memaksa, tapi disisi lain masyarakat belum paham apa itu sebenarnya syariat Islam. Kalau syariat Islam melulu diidentikan dengan Perda justru pemahaman syariat Islam menjadi sempit, fenomena ini justru mengarah pada ketidak efektifan penerapan syariat itu, karena sifatnya yang memaksa dan cenderung menghakimi hak-hak individu seseorang.
Syariat Islam itu terasa nikmat kalau disadari secara alami dengan ketaqwaan dan keimanan, bukan dengan bentuk paksaan berupa formaslisasi syariat dalam wilayah kekuasaan.

4. Partai Amanat Nasional
Partai Amanat Nasional memandang penegakan syariat Islam sebagai sebuah ketetapan hukum yang berskala nasional, artinya harapan untuk menegakan syariat Islam di daerah dan dalam konteks ini adalah pemerintah Kabupaten Tasikmalaya berpulang kembali kepada payung hukum yang ada diatasnya. Sampai sejauh ini pusat belum memberikan wewenang secara penuh kepada daerah untuk meregulasi konsep syariat Islam tersebut keadalam hukum daerah.
Ada perbedaan antara penerapan syariat Islam dengan usaha penerapan salah satu syariat Islam. Dua perbedaan ini harus betul-betul dipahami agar tidak terjebak pada dikotomi terbatas. Karena legitimasi hukum yang berskala nasional belum ada dalam melandasi sebuah daerah menerapkan syariat Islam secara keseluruhan, bukan berarti salah satu atau bagian-bagian dari konsep syariat Islam tidak bisa diterapkan didaerah asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi.
Dalam hal ini, PAN sebagai partai yang lahir untuk mengusung nilai-nilai keislaman sangat setuju terhadap pelaksanaan penegakan syariat Islam, tapi disisi lain kita juga harus memahami wilayah yuridis dalam hal ini Undang-Undang yang masih belum memberikan ruang yang luas terhadap penerapan syariat Islam yang menyeluruh didaerah, dan kita semua harus taat terhadap Undang-Undang tersebut.

5. Partai Bulan Bintang
Menurut Partai Bulan Bintang, pada dasarnya, setiap agama memiliki “syariat”, karena definisi daripada syariat itu adalah aturan. Kalau dalam konteks Islam syariat itu adalah aturan dan hukum baik itu yang datangnya dari Alloh SWT atau dari sabda dan Hadist Nabi yang tertuang dalam Al-Quran, dan setiap umat Islam itu wajib menjalankan syariat tanpa harus dikendalikan dan ditekan oleh pemerintah. Dalam konteks proses politik, bagi PBB syariat Islam memang harus mencelup semua ranah yuridis baik itu Undang-Undang dan kalau dalam konteks daerah adalah Perda. Dalam hal ini visi-misi “religius/Islami” potensi atau legitimasi hukum sangat besar kalau kemudian menjadi acuan lahirnya Perda-Perda yang berbasis syariat Islam bila ada hukum diatasnya yang melegitimasi lahirnya Perda berbasis syariat Islam yaitu Undang-Undang.
PBB tidak memahami bahwa penegakan syariat Islam dalam konteks negara dimulai dengan mengubah dasar negara atau merubah negara Pancasila menjadi sebuah negara Islam, tapi harus dimulai dengan mengembangkan potensi masyarakat yang mayoritasnya adalah umat Islam bertata, berbangsa dan bernegara semua diwarnai dengan cara-cara keagamaan. Dalam konteks Kabupaten Tasikmalaya, penegakan syariat Islam tidak terpaku pada kepada lahirnya sebuah Perda yang dikatakan sebagai “Perda syariat”, idealnya adalah semua Perda dan kebijakan-kebijakan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya di-Sidgoh atau diwarnai dengan konsep-konsep syariat Islam.
Menurut PBB, syariat Islam bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian, pertama syariat Islam di bidang ibadah, kedua syariat Islam dibidang hukum privat dan ketiga syariat Islam dibidang hukum publik. Pengertian syariat Islam dalam ibadah bahwa pemerintah tidak bisa intervensi terhadap pelaksanaan ibadah umat Islam, kemudian dalam hukum privat artinya syariat Islam tersebut tanpa adanya pengaturan secara formal dari pemerintah, syariat Islam tersebut harus dijalankan oleh umat Islam karena itu berlaku bagi umat Islam saja, dan dalam hukum publik itu adalah syariat Islam yang harus diperjuangkan kedalam wilayah-wilayah formal pemerintah, dalam hal ini pemerintah dan parlemen Kabupaten Tasikmalaya.
Dapat dipahami apa yang kemudian menjadi persepsi dan pemahaman PBB dalam penegakan syariat Islam khususnya di Kabupaten Tasikmalaya sebagai sebuah hal yang lebih bersifat rohaniah sehingga seluruh penerapan syariat Islam tidak bisa sepenuhnya bersifat formalis, tapi lebih kepada bagaimana konsep syariat Islam bisa mewarnai segala kebijakan daerah. Penerapan ide-ide syariat ini bukan pada sistem Mahdohnya atau sesuatu yang bersifat fisik, tapi bagaimana syariat Islam yang bersifat rohaniah ini di imani oleh semua masyarakat Islam.

6. Partai Bintang Reformasi
Dalam wilayah hukum positif formal pemerintah daerah, penegakan syariat Islam tentunya harus mempunyai kerangka hukum yang lebih tinggi. PBR memahami bahwa syariat Islam yang selama ini menjadi wacana pasca otonomi daerah adalah syariat Islam yang terbagi-bagi kedalam beberapa bagian, kebanyakan, bila melihat fenomena penegakan syariat Islam didaerah itu hanya menyangkut bagian-bagian yang sifatnya lebih teknis dan bagian-bagian kecil saja, seperti kewajiban menggunakan jilbab, pengaturan jam kerja wanita, zakat dan kewajiban lulus membaca Al-Quran dalam menempuh pendidikan formal. Pada dasanya syariat Islam tersebut harus betul-betul menata kehidupan yang lebih luas, karena nilai ataupun tujuan yang ingin dibangun dari penerapan syariat Islam ini adalah sesuatu yang bersifat agami, indikatornya sulit diukur apakah daerah tersebut menerapkan syariat Islam atau tidak.
Penerapan syariat Islam yang lebih kongkrit adalah bukan dengan sebuah ancaman hukuman atau sanksi yang tertuang dalam sebuah Perda, tapi lebih bersifat pembinaan. Penegakan syariat Islam jangan dikesankan sebagai upaya penegakan hukum yang bersifat memaksa, karena dengan pola persepsi ini justru akan membuat masyarakat menjadi takut dan skeptis dengan penegakan syariat Islam. PBR memahami bahwa memang perlu instrumen hukum yang mejadi landasan penerapan syariat Islam, tapi cara memahami instrumen hukum tersebut bukan pada penerapan syariat Islam yang Kaffah, tapi hanya bagian atau aturan hukum diilhami dari konsep syariat Islam.
Syariat Islam tidak akan mungkin diakomodir hanya dengan sebuah Perda, bahkan akan terkesan elitis, simbolis bahkan pragmatis. Kalau berbicara penerapan syariat Islam dalam wilayah politis formal pemerintah, instrumen yang paling memadai adalah instruen hukum pusat, bukan daearah. Syariat Islam harus dipandang sebagai sesuatu yang bersifat ruh dibanding bersifat ancaman, artinya seberapa besar umat Islam meyakini dan menjalankan syariat Islam tersebut, apakah sesuatu yang bersifat ruh bisa diasumsikan dan diprediksi dengan lahirnya sebuah Perda.
PBR memberi pemahaman tentang penerapan syariat Islam lebih kepada nilai-nilai yang bersifat ruh dibanding bersifat simbol, tapi kemudian konsentrasi PBR dalam hal menegakan syariat Islam yang mungkin bisa ditegakan dalam ruang-ruang hukum positif daerah adalah salah satu dari bagian-bagian yang terilhami dari konsep syariat Islam sendiri.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini di ketahui bahwa semua responden dari ke enam partai Islam dan partai berbasis Islam (PPP, PKB, PKS, PAN, PBB dan PBR) di Kabupaten Tasikmalaya, dapat dipahami bahwa dalam menyikapi, memahami dan memberikan persepsinya mengenai penerapan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya cenderung hati-hati. Ini dimulai ketika bagaimana partai Islam dan berbasis Islam di Kabupaten memahami “religius/Islami” yang tertuang dalam visi-misi Kabupaten Tasikmalaya.
Disisi lain, setuju atau tidaknya partai-partai ini terhadap penegakan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya dapat dipahami bahwa partai-partai tersebut mendefinisikan syariat Islam kedalam bentuk yang lebih relevan untuk bisa diterapkan dalam konteks sekarang dan dalam konteks negara Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa partai-partai tersebut ternyata lebih selektif dan lebih bisa mengkaji dari aspek yuridis dan aspek subtansial, artinya tidak serta merta syariat Islam yang secara bulat harus dipaksakan ke dalam ranah hukum formal pemerintah. Syariat Islam lebih dipahami sebagai sumber hukum agama yang bersifat rohaniah dan bersifat lebih kepada hak privat, kalau pun syariat Islam diadopsi kedalam hukum positif publik maka syariat Islam tersebut harus dipilah terlebih dahulu dan harus ada sandaran hukum yang lebih tinggi dalam melegitimasinya.
Sejauh ini dari segi implementasi terlebih setelah tercantumnya “religius/Islami” dalam visi-misi Kabupaten Tasikmalaya, partai-partai tersebut belum menemukan adanya unsur pemaksaan untuk melaksanakan syariat Islam dari sebuah kekuasaan pemerintah daerah, dan memang pemahaman dari awal pembentukan visi tersebut terutama dari partai-partai yang masuk dalam penelitian ini, tidak dibangun pemahaman bahwa visi tersebut akan menjadi landasan yuridis bagi penerapan syariat Islam yang bersifat memaksa kedalam sebuah Perda.

Daftar Pustaka

Abuza, Zachary, 2007, Political Islam and Violence in Indonesia, New York, Routledge

Ali, Rusdji, 2003, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi ,Jakarta: Logos, 2003.

Azhari, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta. Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hill, Jakarta.

Boland, B. J. 1971, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Den Haag, The Hague-Martinus Nijhoff.

Brunessen, Van, Maria, 2004, Geneologis of Islamic Radicalism in Post-Soeharto Indonesia, South East Asia Reseach.

Budiarjo, Miriam, 1993, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Raja Grafindo Persada, University of California.

Jurdi, Syarifudin, 2007, Islam dan Politik Lokal, Pustaka Cendikia Press, Yogyakarta.

Malik, Abdul, Dinamika Kaum Santri : Kajian Tentang Aktiuvitas Umat Islam di Tasikmalaya 1905-1942, 1992, Skripsi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Millis dan Huberman, 1992, Analisa Data Kualitatif, PT Rosda Karya, Bandung.
Moeleong, Lexy, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya, Bandung.

Moesa, Maschan, 2007, Nasionalisme Kyai, Konstruksi Sosial berbasis Syariat, Lkis, Yogyakarta

Muzakir, Amin, 2005, Kaum Santri Kota : Pengusaha, Perubahan Ekonomi Dan Islam di Kota Tasikmalaya 1930-1980an, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Noer, Deliar, 2000, Partai Islam di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Mizan, Jakarta.
Sukmasari, Indira, 2007, Agama dan Politik, Dilema Penataan Demokrasi di Negara Berkembang (Artikel dalam Swara Politika Vol. 10, No. 2), Lab. Ilmu Politik FISIP UNSOED, Purwekerto.
Surya, Anom, 2002, Gempa Tektonik Syariat Islam di Daerah : Mengungkap Rencana Strategis 2001-2005 di Tasikmalaya (Artikel dalam Tashwirul Afkar No. 12).
Sumber Lain :
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Renstra Kabupaten Tasikmalaya, Perda Nomor 13/2003 Mengenai Visi Misi Kabupaten Tasikmalaya.
Keputusan Bupati Tasikmalaya No. 421/Kep. 326 A/Sos/2004.
Surat Edaran Bupati Tasikmalaya No. 451/SE/Sos/2001.

Penelitian

POLITIK IDENTITAS: RELASI ANTARA POLITIK ISLAM DENGAN NEGARA STUDI TENTANG PERDA BERBASIS SYARIAH DI TASIKMALAYA

Oleh.


Hendra Gunawan[1]





Abstract

Relation between Islam and politicks in several cities in Indonesia show significant changes. If in the pas political identity which want to appear by muslim is emphasized with a vengeance, in reform with the implementation of regional outonomy, a number of cities with a population of islam began to reveal their moslem identity collectively. It can be seen from a number of cities which demanding syariah formalization such as district bireun (Aceh), tanggerang district (Banten), Indramayu District (West Java), Tasikmalaya (West Java), Bulukumba (South Celebes), to bima (NTB) etc. Institusionalization of political identity wich was carried by pioneers moslems that range to the will offormalizing Islamic rules into the public space. However, if we make a categorization about syariah islam formalization, will soon be known that there are two opposing groups.

Abstraksi

Relasi antara Islam dan politik di sejumlah kota di Indonesia menunjukan perubahan yang signifikan. Kalau pada masa sebelumnya politik identitas yang ingin ditampilkan oleh umat Islam ditekan sekuat-kuatnya, pada masa reformasi dengan diberlakukannya otonomi daerah, sejumlah kota yang berpenduduk Islam mulai ingin menampakan identitas kemusliman dirinya secara kolektif. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah kota yang menuntut formalisasi syariah seperti Kabupaten Bireun (Aceh), Kota Tangerang (Banten), Indramayu (Jawa Barat), Tasikmalaya (Jawa Barat), Bulukumba (Sulawesi Selatan), sampai Bima (Nusa Tenggara Barat) dan lain-lain. Pelembagaan politik identitas yang diusung oleh para pionir umat Islam itu berkisar kepada kehendak untuk memformalkan aturan Islam kedalam ruang publik. Namun demikian kalau kita membuat kategorisasi tentang formalisasi syariah Islam, akan segera diketahui bahwa terdapat dua golongan yang berseberangan.

Kata Kunci: Politik Identitas dan Politik Islam





I. PENDAHULUAN

Perjalan sejarah umat Islam pasca Indonesia merdeka mengalami pasang surut. Politik identitas yang ingin ditampilkan oleh umat Islam melalui perwakilan tokoh-tokohnya mengalami kekalahan pertamanya ketika tujuh kata dalam piagam Jakarta dihapus. Meskipun begitu keperkasaaan politik Islam pada pemilu pertama menunjukan prestasi yang cukup baik dengan mengantongi suara 20, 9% (Masyumi) dan 18,4% (NU)[3] dan tercatat sebagai partai pemenang kedua dan ketiga setelah PNI. Namun keperkasaan yang ditunjukan umat Islam pada pemilu tahun 1955 rontok pada masa Presiden Soekarno dengan penerapan Demokrasi Terpimpinnya. Apalagi setelah tokoh-tokoh penting partai Masyumi di penjarakan oleh sang presiden, keperkasaan politik umat Islam sedikit memudar, kalau tidak disebut hilang.

Kalau kita analisis kemunculan gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia pasca Orde Baru tentu tidak lahir begitu saja atau hanya sekedar respon terhadap situasi transisi politik Indonesia pasca jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru. Akar-akar kemunculannya mempunyai genealogi pada wacana dan aksi serupa di masa lalu. Paling tidak ada dua preseden yang menjadi akar dari fenomena itu, yaitu gerakan DI/TII dan Partai Masyumi. Dua preseden ini, bersama dengan pengaruh-pengaruh jaringan transnasional Islam kontemporer, telah mengilhami banyak kaum Muslim Indonesia untuk kembali merevitalisasi identitas politik mereka di ruang publik. Di beberapa ‘kota kecil’ di bagian timur Indonesia, gerakan-gerakan Islam radikal diyakini ikut terlibat dalam berbagai ‘perang’ komunal yang mengiringi jatuhnya salah satu rejim otoriter terlama dalam sejarah politik abad ke-20. Meskipun tidak menyebabkan disintegrasi nasional dalam skala besar sebagaimana terjadi di negara-negara Balkan eks-komunis, perang komunal di kota-kota kecil Indonesia itu memunculkan sejumlah pertanyaan penting tentang peran dan relasi agama dalam kehidupan publik, khsususnya dalam bidang politik[4].

Bagi yang mengusung ide dan semangat Islam politik, kesempatan yang diberikan struktur politik Indonesia pasca Orde Baru memberi ruang kepada mereka untuk mengimplementasikan apa yang mereka imajinasikan sebagai bentuk ideal politik Islam. Di masa lalu, bentuk ideal itu adalah negara Islam, tetapi sekarang bentuk ideal itu mengalami transformasi menjadi apa yang sering disebut sebagai ‘perda syariat’ (peraturan daerah syariat). Fenomena yang disebut terakhir marak terjadi di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat dan beberapa provinsi lain. Dari sini terlihat bahwa gerakan-gerakan Islam menempuh beragam jalan untuk mengekpresikan dirinya. Keragaman itu muncul sebagai bentuk respon terhadap situasi zaman yang berubah[5].

Di Tasikmalaya, sebuah kota di Jawa Barat, yang belakangan ramai dibincangkan karena adanya usaha-usaha sebagian kalangan Islam untuk memformalisasi syari’at Islam ke dalam bentuk Perda (peraturan daerah). Meskipun secara formal usaha tersebut relatif berhasildengan diberlakukannya aturan yang berlandaskan pada Islam, kenyataannya Tasikmalaya memberikan contoh yang menarik bagaimana Islam kemudian menjadi wacana dominan dalam kehidupan simbolis penduduknya. “Islamisasi” kemudian tidak lagi diperdebatkan di ruang-ruang sidang DPRD atau sejenisnya, tetapi, misalnya, dalam simbol-simbol di jalan raya. Penguasa mencoba untuk memperlebar legitimasi kekuasaannya kepada simbol-simbol Islam dalam bentuk lain yang tidak terbatas pada serentetan aturan-aturan formal, tetapi pada imaj-imaj yang dikonstruksikan kepada publik dalam bentuk-bentuk yang tak-terpikirkan.

Penerimaan masyarakat Tasikmalaya terhadap Islam sebenarnya tidak menghapus begitu saja ikatan terhadap agama dan kepercayaan sebelumnya. Yang terjadi adalah hibridisasi pada dua tataran sekaligus, pada tataran ideologis dan pragmatis. Pada tataran ideologis, Islam diterima sebagai bentuk tanggapan terhadap ketidakmampuan nilai-nilai di Tasikmalaya dalam hal ini adalah Sunda dalam menjawab tantangan perubahan yang telah melewati batas-batas komunitas yang sifatnya lokal. Sementara pada tataran pragmatis, agama dan kepercayaan lokal tetap dipertahankan sampai batas-batas tertentu karena dipandang masih mampu menjawab persoalan lokalitas yang tak mampu dijawab oleh Islam yang membawa nilai universal.

Memasuki masa Indonesia merdeka, peran umat Islam dalam kehidupan politik masyarakat Tasikmalaya justru mengalami peningkatan. Secara formal, Pemilu 1955 menjadi ajang pembuktian keberhasilan partai politik yang mengusung ideologi Islam. Bahkan, ketika Orde Baru telah berkuasa, peran partai Islam dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, terutama di wilayah kota, belum menunjukan tanda-tanda surut. Sampai di sini, masih menjadi pertanyaan tentang seberapa jauh keberhasilan partai politik Islam berkait dengan kuatnya wacana Islam dalam praktik sehari-hari masyarakat Tasikmalaya. Yang pasti, keberhasilan Islam pada tataran politik formal menjadi legitimasi sejarah yang terus direproduksi sampai sekarang oleh sebagian kalangan Islam, termasuk yang belakangan gencar menuntut pemberlakuan Perda-perda “Islami”.

Penelitian ini mencoba untuk menguraikan kembali politik identitas kaum santri Tasikmalaya dengan kembali menghubungkan antara Islam dan negara atau politik. Mengingat beberapa tahun terakhir politik identitas kaum santri di Tasikmalaya kembali menguat. Keinginan kolektif masyarakat Tasikmalaya untuk memunculkan identitas politiknya tidak terlepas dari perjalanan sejarah masyarakat Tasikmalaya seperti diuraikan diatas.

Rumusan Masalah

Dalam suatu penelitian ilmiah, masalah yang akan dibahas mungkin akan telalu luas. Hal itu dikarenakan satu fenomena sosial tidak hanya terjadi oleh satu faktor, akan tetapi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Masalah yang kompleks dan rumit itu perlu untuk disederhanakan supaya dapat dengan mudah difahami. Untuk itu penulis merumuskan masalah ini dengan persoalan “bagaimana politik umat Islam di Kota Tasikmalaya menguatnya kembali politik identitas di Kota Tasikmalaya: Studi terhadap perda berbasis Syariah di Kota Tasikmalaya ?”

Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan beberapa teori untuk menganalisis berbagai fenomena sosial yang terkait dengan politik identitas umat Islam di Kota Tasikmalaya. Salah satu teori yang akan dipakai adalah tentang teori politik identitas. Kajian politik kontemporer banyak menyinggung tentang politik identitas dan multikulturalisme. Namun dalam penelitian ini penulis hanya akan menggunakan konsep tentang politik identitas tersebut. Politik identitas didefinisikan secara longgar dalam kajian ilmu sosial. Salah satu rumusan politik identitas adalah rasa persamaan sekelompok orang yang didasarkan pada persamaan tempat, agama, dan suku[6]. Politik identitas dapat dimaknai sebagai gerakan politik kekuasaan yang membawa-bawa simbol agama, etnis, atau pun adat. Salah satu definisi indentitas itu adalah kepribadian atau identitas merupakan ciri-ciri atau jati diri yang melekat terhadap seseorang atau kelompok[7]. Tetapi di lain sisi, jika perbedaan budaya dipolitisasikan dengan maksud untuk membangun perbedaan, yaitu perbedaan-perbedaan yang jika dibaca dengan cara yang diatur dengan baik, dapat membentuk dasar kebijakan saling pengertian umum bagi manusia dalam semua peradaban, maka bukan hanya kesempatan untuk hidup yang baik dalam setiap peradaban yang kini terancam (demikian juga dalam zaman dimana kita hidup), tetapi juga dasar-dasar penting untuk dapat melanjutkan kehidupan itu sendiri.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara politik umat Islam di Kota Tasikmalaya dengan negara sehubungan dengan menguatnya kembali politik identitas di Kota Tasikmalaya.

Lokasi Penelitian

Dalam suatu peneltian tempat penelitian dijadikan salah satu daya tarik untuk sebuah proyek penelitian. Namun demikian perhitungan tempat yang matang dan tepat dengan tema penelitian menjadi unsur yang tidak boleh diabaikan. Agar kesesuaian antara tempat dan tema penelitian terjalin seorang peneliti harus pandai memilih dan memilahnya. Oleh karena itu lokasi dalam penelitian ini, agar sesuai dengan tema penelitian, akan terfokus di Kota Tasikmalaya sebagai Kota Santri.

Sasaran Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah aktor-aktor pemerintah dan non pemerintah yang terlibat langsung maupun tidak dalam wacana politik identitas di Kota Tasikmalaya.

Fokus Penelitian

Dalam penelitian ini fokus kajiannya akan terpusat pada:

1. Penguatan masyarakat tentang budaya lokalnya.

2. Penguatan kembali masyarakat terhadap identitas kulturnya.

3. Penguatan kembali masyarakat pada praktek keagamaan yang dianutnya

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualititif fenomenologi. Alasan yang digunakan oleh penulis menggunakan metode penelitian ini karena metode ini menuntut bersatunya antara peneliti dengan subjek pendukung penelitian[8].

II. HASIL PENELITIAN DAN DAN ANALISIS

Hasil Penelitian

Di Indonesia pasca Orde Baru akses dan kesempatan bagi elit Muslim di daerah untuk memberi makna baru kehadiran mereka dalam politik mendapatkan momentumnya. Di tingkat permukaan mereka sekarang mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan simbol-simbol Islam. Meskipun berangkat dari alasan keagamaan, konsekuensi dari kehadiran elit Muslim dengan simbol-simbol Islam dalam politik seringkali, bahkan sebagian besar, bersifat non-keagamaan. Di tengah transisi politik yang belum mampu menghasilkan sebuah pelembagaan kekuatan-kekuatan politik baru yang efektif, pilihan yang dilakukan elit Muslim di daerah itu terlihat cukup masuk akal. Berkaitan dengan problem transisi politik yang seringkali membingungkan, mereka menawarkan alternatif pemecahan dengan pemberlakuan ‘syariat Islam’. Dalam argumentasi mereka, ‘syariat Islam’ adalah solusi yang bisa dijalankan di Indonesia setelah pada saat yang sama mereka menganggap sistem yang ada selama ini—mereka menyebutnya sebagai sistem ‘sekuler’—telah gagal. Karena sadar bahwa ide tersebut harus diperjuangkan melalui jalur konstitusional, mereka pun ikut terlibat secara aktif dalam mekanisme politik formal. Hal ini diungkapkan oleh tokoh Islam, Miftah Fauzi, Pimpinan Pondok Pesantren Tajur:

“Sebagai seorang muslim tentunya meyakini bahwa syariat Islam adalah solusi. Oleh karena dewasa ini berkembang keinginan berbagai daerah agar diberlakukan syariat Islam, ini artinya kemungkinan hukum Islam di Indonesia khususnya dalam konteks otonomi daerah saat ini terbuka peluang kearah sana”[9]

Dua daerah di Priangan yang kencang menyuarakan aspirasi penegakan syariat Islam adalah Cianjur dan Tasikmalaya. Beberapa kelompok Islam politik di kedua daerah itu mencoba memanfaatkan situasi transisional pasca Orde Baru sebagai momentum untuk merevitalisasi kembali imajinasi kaum Muslim mengenai negara Islam. Akan tetapi, sadar bahwa wacana tersebut telah kehilangan konteksnya, para elit Muslim dari kelompok Islam politik berusaha memobilisasi potensi ummat untuk sebuah bentuk perjuangan baru yang bernama ‘Perda Syariat’. Karena untuk menawarkan Negara Islam adalah tidak mungkn untuk masa sekarang ini. Salah satu tokoh Islam, Acep Mubarok, yang diwawancara penulis mengatakan:

“Sekarang hampir tidak mungkin menawarkan Negara Islam kepada masyarakat. Oleh karena itu, perjuangan kita adalah berusaha memasukan aturan-aturan islam lewat perda-perda. Karena untuk saat ini, itulah yang paling mungkin” [10].

Dalam hal ini, peran bupati di kedua daerah itu sangat besar. Mereka secara piawai memainkan simbol-simbol Islam tetapi mereka pun tetap bekerja dalam retorika sistem pemerintahan modern. Dalam konteks Tasikamalaya sendiri elit Muslim di kota ini hanya melihat partai Islam sebagai simbol keagamaan yang potensial dieksploitasi dalam rangka memperjuangkan agenda politik identitas mereka. Dan hasilnya memang membuktikan bahwa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memenangkan pemilihan umum pertama pasca Soeharto pada tahun 1999.

Kontroversi pertama dalam wacana politik identitas Muslim di Tasikmalaya pasca Soeharto adalah perseteruan soal visi rencana strategis kabupaten yang harus segera disusun sesuai dengan PP No. 108/2000 yang mengharuskan setiap pemerintah daerah membuat rencana strategis (renstra) bagi acuan pelaksanaan pembangunan di daerah bersangkutan. Terkait hal ini Nung Sudrajat,salah satu staf di Pemerintahan Kota dan pernah melakukan penelitian tentang perda syariah ini mengatakan:

”Ada benturan antara partai Islam dengan Partai Non Islam dalam menetapkan Renstra ini. Namun demikian golongan Islam akhirnya memenangkan pertarungan keperntingan ini”. [11]

Kalangan politisi dari partai-partai Islam mengajukan ide untuk memasukan nuansa ‘syariat Islam’ ke dalam renstra. Sementara itu, sejawat mereka dari partai-partai lain tampak hati-hati menyikapi ide tersebut. Mereka menyadari adanya wacana yang dominan yang menempatkan visi syariat dalam renstra pararel dengan substansi ajaran Islam itu sendiri. Jika tidak mendukung visi syari’at dalam renstra, seseorang akan segera dituding sebagai tidak Islam, tidak ‘nyantri’ atau bahkan anti-Islam.

Konstruksi seperti ini dianggap dilematis bagi kalangan politisi yang mempertimbangkan Islam sebagai komoditas yang penting dalam pertarungan politik. Meskipun tidak setuju dengan formalisasi syari’at, banyak politisi yang tidak mengungkapkan sikapnya secara terbuka karena khawatir akan kontraproduktif terhadap agenda-agenda kepentingan politik mereka. Bahkan bagi kalangan politisi dari partai non-agama, pilihan untuk mendukung—atau tidak menolak secara terbuka—visi syariat dalam renstra merupakan hal yang dianggap perlu diambil, apalagi di tengah kondisi masyarakat Tasikmalaya yang dipercaya sangat kental dengan tradisi santri

Renstra Kabupaten Tasikmalaya 2001-2005 itu akhirnya disepakati dan dituangkan dalam Perda No. 13/2001. Bagian dalam perda itu yang kemudian menjadi bahan perseteruan adalah adanya penyantuman visi Kabupaten Tasikmalaya “yang religius/Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Sebagai bentuk realisasi dari visi Tasikmalaya yang religius/Islami itu, Bupati Tasikmalaya, Tatang Farhanul Hakim, mengeluarkan Surat Edaran No. 451/SE/Sos/2001 tentang upaya peningkatan kualitas keimanan dan ketakwaan[12]. Setelah itu, keluar juga Keputusan Bupati Tasikmalaya No. 13/2003 451/Se/04/Sos/2001 tentang persyaratan memasuki jenjang pendidikan SD, MI, SMP, dan MTs. Dalam perkembangannya, karena banyaknya kritik terhadap visi kabupaten sebagaimana tertuang dalam Perda No. 13/200, dua tahun kemudian visi renstra direvisi dengan Perda No. 13/2003. Dalam perda revisi ini, visi Kabupaten Tasikmalaya diubah sedikit menjadi “Tasikmalaya yang religius/Islami sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”. Peraturan-peraturan yang disebut di atas oleh sebagian elit Muslim di Tasikmalaya dipandang sebagai ‘perda syariat’, apalagi mengingat visi Tasikmalaya yang telah dicantumkan dalam renstra sebagai kabupaten yang ‘religius/Islami’[13].

Salah satu fenomena menarik yang mengiringi kontroversi ‘politik identitas’ di Tasikmalaya adalah kemunculan kelompok ‘ajengan bendo’. Mereka awalnya adalah para juru dakwah yang laris. Pada awal tahun 2000-an, ketika isu mengenai perda syariat untuk pertama kalinya lahir di Tasikmalaya, mereka adalah kelompok yang paling nyaring mendukung kehadiran jenis perda tersebut. Terlepas dari sikap mereka terhadap perda syariat, keberadaan kelompok ‘ajengan bendo’ dalam konfigurasi sosiologis elit Muslim seringkali menimbulkan reaksi dari kalangan kyai atau ajengan lama.. Kemunculan mereka yang belakangan tetapi kemampuan mereka yang besar untuk mempengaruhi wacana publik dalam waktu yang relatif singkat, baik dalam isu-isu politik maupun keagamaan, dianggap oleh kalangan kyai atau ajengan yang telah mapan hanya sekedar menumpang antusiasme publik terhadap gerakan ‘reformasi’.

Saat ini, kata “Tasikmalaya” dipergunakan untuk dua nama hierarki pemerintahan daerah. Pertama, Kabupaten Tasikmalaya yaitu daerah otonom yang dipimpin oleh seorang bupati dengan luas wilayah sekitar 2.508,91 km2. Sebelum bernama Tasikmalaya, kabupaten ini bernama Sukapura yang didirikan oleh Sultan Agung dari Mataram pada 9 Muharam Tahun Alif, bersama-sama dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Parakanmuncang[14]. Kedua, Kota Tasikmalaya yakni daerah otonom yang dipimpin oleh seorang wali kota. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001, wilayah Kota Tasikmalaya meliputi tiga kecamatan bekas Kota Administratif Tasikmalaya, yaitu: Cihideung, Tawang, dan Cipedes; serta lima kecamatan yang diambil dari Kabupaten Tasikmalaya, yaitu: Indihiang, Mangkubumi, Kawalu, dan Cibeureum dan sekarang sudah bertambah menjadi 10 kecamatan.

Pemerintahan Kota Tasikmalaya memang masih begitu muda. Akan tetapi, keberadaan Kota Tasikmalaya sudah dikenal jauh sebelum pemerintahan kota tersebut dibentuk. Pada masa kolonial, Kota Tasikmalaya menunjukkan pertumbuhan yang dinamis seiring dengan perubahan fungsi kota dari sebuah kota distrik (district) menjadi kota keresidenan (residentie). Sementara itu, dilihat dari aspek wilayah administrasi pemerintahan, wilayah Kota Tasikmalaya tidaklah identik dengan Kabupaten Sukapura. Di lain pihak, opini umum menunjukkan bahwa Kota Tasikmalaya merupakan hasil dinamis dari perkembangan Kabupaten Sukapura.

Seiring waktu, Kota Tasikmalaya telah menjelma sebagai salah satu kota besar di wilayah Priangan Timur. Masalah yang dihadapi kota seluas 171,56 km2 itu pun kian kompleks. Setiap tahun angka kriminalitas di kota santri pun terbilang tinggi. Berdasarkan data Polresta Tasikmalaya, kasus kejahatan yang terjadi selama tiga tahun terakhir di kota penghasil kota Tasikamalaya itu itu tergolong tinggi. Pada tahun 2006, kasus kejahatan yang terjadi di wilayah itu mencapai 565 kasus. Tahun itu, tercatat enam kasus pemerkosaan. Tahun 2007, angka kriminalitas di wilayah hukum Polresta Tasikmalaya meningkat menjadi 691 kasus. Setahun kemudian, kasus kejahatan tercatat sebanyak 568 kasus[15]. Kemudian ada apa dengan Kota Santri ini? Tidak bisa dipungkiri bahwa dengan adanya penetrasi budaya yang secara massif terjadi, telah membawa perubahan atau pergeseran budaya di wilayah kota Taskmalaya

Pergeseran budaya itu telah mengusik kalangan ulama dan tokoh masyarakat. Tidak heran, bila kemudian para ulama di Kota Tasikmalaya menggulirkan sebuah gagasan untuk memperbaiki dan melindungi masyarakatnya. Untuk itu maka lahirlah Peraturan Daerah (Perda) sebagai upaya Penegakan Syariat Islam di kota Tasikmalaya ini. Peraturan itu kemudian di tuangkan dalam perda no 12 Tahun 2009 tentang Pembangunan Tata nilai Kehidupan dan Kemayarakatan yang Berlandaskan pada Ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya. Dilatarbelakangi bahwa sebagian besar masyarakat Kota Tasikmalaya beragama Islam dan stempel "Kota Santri" serta visi Kota Tasikmalaya "Kesejahteraan Masyarakat Dalam Bingkai Iman dan Taqwa” maka disahkanlah Perda Kota Tasikmalaya Nomor 12 Tahun ini. Acep Mubarok menjelaskan

“Perda ini diusulkan oleh Presidium Komite Persiapan Penegakan Syari'at Islam Kota Tasikmalaya dan pembahasannya melibatkan MUI, Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Pemuda, Tokoh Agama Lain, Unsur Perguruan Tinggi dan para Tokoh Masyarakat. Dari Hasil Pengkajian dan Pembahasan, Kota Tasikmalaya sebagai daerah otonom, namun pelimpahan kewenangannya bukan otonomi khusus maka perda yang terdiri dari 8 BAB dan 17 pasal ini diberi judul Pembangunan Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan yang berlandaskan pada ajaran Agama Islam dan Norma-Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya. Selain itu lahirnya perda ini juga merupakan sarana untuk mencegah pergaulan yang tidak baik antar sesama di Kota Tasikmalaya ini”[16].

Pengesahan Perda ini tidak bias lepas dari peran ulama dan ormas islam yang mengusung tema politik Islam ini. Acep Mubarok juga mengatakan bahwa:

“Dibuatnya perda syariat Islam ini adalah untuk memerangi berbagai kegiatan yang menjurus pada kemaksiatan.Gejala-gejala kemaksiyatan di Kota Tasikmalaya sudah sangat memprihatinkan. Dia menambahkan, kondisi yang seperti itu harus direspons dengan aturan yang tegas. Ia berharap dengan aturan tegas seperti penggunaan jlbab bagi muslim dan larangan hiburan malam, akan mengatasi kondisi memprihatinkan itu”[17].

Tokoh lain yang juga semangat dalam memperjuangkan Perda Islam ini adalah Asep Maosul. Menurut dia, penerapan perda syariat ini merupakan harga mati yang tidak bias ditawar-tawar lagi. Mengingat jumlah populasi masyarakat Tasikmalaya yang muslim ini. Dia mengatakan bahwa:

“Perda Syariat Islam adalah harga mati untuk mengatur kota ini. Mau bagaimana nasibnya kalau kondisi saat ini terus dibiarkan, masyarakat justru harus menyambut perjuangan para ulama yang telah berhasil meng hadirkan Perda Syariat Islam. Perda ini, insya Allah bisa mengubah wajah Tasikmalaya menjadi lebih tertib, aman dan nyaman”[18]

Penguatan identitas ini, dengan mengedepankan salah satu jadi diri keagamaan, terjadi karena penguasa yang bar lahir dari proses politik pasca Orde Baru tentu saja membutuhkan legitimasi untuk mendesakkan agenda-agenda politiknya. Tetapi jelas legitimasi itu tidak hanya menyangkut aturan-aturan formal. Yang lebih penting justru mencari legitimasi dalam wacana dominan yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakata Tasikmalaya sendiri. Agama, etnisitas, dan pengalaman sejarah adalah tiga wacana penting yang menjadi kontestasi wacana kekuasaan dalam kehidupan politik di Tasikmalaya. Akan tetapi, pembentukan wacana tersebut telah berlangsung lama, dinegosiasikan oleh berbagai kalangan, dan tidak pernah mencapai pengertian yang disepakati bersama. Tentang hal ini dikatakan oleh Agus Wahyudin bahwa:

Masing-masing kelompok selalu menginterpretasi masing-masing wacana tersebut dari sudut pandangnya sendiri-sendiri, dinegosiasikan dalam proses politik formal, dan terlebih-lebih dalam praktik kehidupan sehari-hari. Termasuk yang terakhir adalah perebutan interpretasi dalam simbol-simbol Islam yang coba diformalisasikan dalam ruang-ruang urban”. [19].

Di luar perdebatan teoritis tentang relasi yang terbentuk antara penguasa dan identitas Kota Tasikmalaya, temuan penulis tertumpu pada perjuangan sekelompok masyarakat untuk menolak “Islamisasi” versi penguasa terhadap ruang urban di Kota Tasikmalaya. Mereka adalah anak-anak muda yang terdidik dalam tradisi pendidikan pesantren dan sekolah yang memadai. Sambil mempromosikan ide-ide yang dipulung dari tradisi Barat, seperti demokrasi dan HAM, mereka juga berusaha mencari akar-akar yang memadai dalam tradisi Islam klasik untuk melegitimasi perjuangan mereka. Wacana Islam versi penguasa dilawan dengan wacana Islam tandingan. Mereka bergerak pada tataran yang lebih kultural, melibatkan partisipasi dari masyarakat bawah, terutama dari masyarakat pesantren yang menjadi basis sosial mereka

Salah satu tokoh terkemuka dari kalangan terakhir ini adalah Acep Zamzam Noor. Dia putra KH Ilyas Ruhiyat, seorang kyai paling dihormati di Tasikmalaya yang juga mantan Rois Aam Suriyah PBNU. Bersama rekan-rekannya dari Sanggar Sastra Tasik, dia melakukan perlawanan simbolis terhadap wacana Islam versi penguasa. Selain menggelar berbagai diskusi publik, kelompok ini memasang berpuluh-puluh spanduk yang berisi mimikri terhadap idiom-idiom Islam penguasa. Spanduk-spanduk itu, misalnya, bertuliskan “Dengan Syari’at Islam Kita Budayakan Poligami”. Spanduk ini jelas menyindir Bupati Tasikmalaya sekarang, Tatang Farhanul Hakim, yang diketahui beristri empat orang. Juga ada banyak spanduk bertuliskan “Tasikmalaya Kota Puisi” dan “Tasikmalaya Kota Dangdut” untuk menandingi konstruksi “Tasikmalaya Kota Santri”. Atau ketika belakangan pihak kepolisian dan kelompok Islam militan gencar menggembar-gemborkan gerakan anti-maksiyat, Acep dengan lantang memasang spanduk di beberapa titik di pusat kota dengan tulisan “Gerakan Anti Pidato”. Selain apa yang dilakukan Acep dan kelompoknya, terdapat juga berbagai LSM dan gerakan mahasiswa Islam moderat yang menolak wacana Islam versi penguasa. Di antara yang sempat muncul ke permukaan adalah Lembaga Kajian Agama dan HAM (LKaHAM) yang awalnya berafiliasi dengan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) di Jogja. LKaHAM sempat secara intens melakukan kajian dan menerbitkan sebuah laporan yang berisi counter terhadap Renstra Tasikmalaya.

Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh Acep Zamzam Noor dan yang lain seringkali hanya bersifat sesaat, belum menjadi tradisi yang berakar dalam kehidupan masyarakat. Tetapi inilah kondisi riil gerakan-gerakan sosial di Indonesia. Sementara masyarakat sipil (civil society) masih lemah, mereka harus berhadapan dengan kekuatan negara dan modal yang menggurita. Apa yang terjadi di Tasikmalaya hanyalah satu contoh dari gambaran kehidupan masyarakat Indonesia yang sedang menghadapi problem sama: sebuah usaha pencarian identitas di tengah transisi politik dan krisis ekonomi yang mentransformasikan identitas kita[20]. Fenomena perlawanan terhadap “nuansa Islam” yang terjadi di Kota Tasikmalaya sungguh sangat menarik. Disatu sisi mereka (para elit dan ulamanya” dengan sangat gencar menyuarakan perda-perda syariah, tapi disisi lain sekelompok orang justru menolak tentang nuasa Islam tersebut di kota Tasikmalaya.

B. Analisis Hasil Penelitian

Islam politik di Indonesia menemukan menemukan ruang ekspresinya kembali pada awal tahun 1990-an. Selain mengambil inspirasi dari, setelah dipengaruhi oleh, gejala serupa di tingkat global, politik Islam pada periode ini merupakan konsekuensi dari dinamika politik domestik. Bagaimanapun sulit untuk disangkal bahwa ruang revitalisasi bagi ekspresi politik Muslim Indonesia ketika itu disediakan oleh Soeharto demi melanggengkan kekuasaan di tengah kemerosotan dukungan politik sekutu-sekutu lamanya. Soeharto menyadari bahwa ketika itu telah lahir kelas menengah Muslim baru yang bisa dieksploitasi kesetiannya di tengah arus revitalisasi yang terkotak-kotak. Meski demikian, harus pula diingat bahwa di sisi lain pada saat yang bersamaan kesadaran publik Indonesia mengenai isu demokratisasi sedang meningkat. Ini merupakan bagian dari transnasionalisasi gerakan demokrasi yang melintas batas, sehingga bahkan rezim paling otoriter sekalipun dan dimanapun sulit untuk mengelak dari gelombang ini. Dalam perkembangannya, pertemuan antara dua arus gelombang dari arah yang berbeda ini akan dihadapi secara kompleks oleh kelompok-kelompok Muslim. Hasil akhirnya, seperti akan ditunjukan nanti, adalah berbagai variasi ekspresi Muslim dalam mendefinisikan makna kehadirannya dalam politik.

Oleh karena itu, akar dari ekspresi politik Muslim tidak pernah hanya berdasar pada alasan keagamaan. Sebagai bagian dari wacana politik identitas, penafsiran terhadap simbol-simbol keagamaan dan penguasaan atas institusi yang menyokong simbol itu selalu bekerja dalam sebuah sistem yang kompleks. Dalam kondisi ini, kemampuan memobilisasi sentimen yang diungkapkan dalam bahasa simbolis memegang peranan penting dalam memenangkan persaingan. Menyadari hal ini, Soeharto pada masa akhir kekuasaannya menciptakan apa yang oleh Hefner disebut sebagai wacana ‘Islam rezimis’. Wacana ini menjadi bagian dari proyek pencitraan Soeharto sebagai seorang Muslim yang sebenar-benarnya. Dengan menonjolkan peran dirinya yang besar dalam pendirian sebuah organisasi intelektual Muslim dan berbagai kegiatan dakwah lainnya, Soeharto seperti hendak menghapus kesan dirinya di masa lalu yang represif terhadap Islam dan lebih khusus lagi terhadap ekspresi politik Muslim. Lebih lanjut, Soeharto kemudian mengakomodasi politik Muslim dengan merekrut sejumlah elit Muslim ke dalam kabinetnya. Strategi politik Soeharto ini membuat kalangan Muslim yang telah terkotak-kotak itu ke dalam kelompok-kelompok yang saling berseberangan secara politis. Sayangnya, kelompok-kelompok Muslim yang telah terkotak-kotak itu terjebak ke dalam perseteruan identitas yang semata-mata berangkat dari perbedaan penafsiran atas simbol-simbol keagamaan.

Perseteruan politik identitas pasca Soeharto akhirnya meledak menjadi konflik komunal. Dari semua konflik itu, isu mengenai etnisitas dan agama menempati porsi terbesar. Belakangan, isu mengenai etnisitas mulai menemukan kanalisasinya melalui ajang kontestasi politik lokal yang semakin ekspresif pasca pemberlakuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Hal yang berbeda terjadi dalam isu agama. Sampai sekarang, kanalisasi untuk isu ini belum ditemukan, atau kalaupun ada, belum cukup meyakinkan. Arus demokratisasi yang berlangsung intensif pasca Soeharto belum mampu menciptakan sebuah sistem kenegaraan yang mampu mengakomodasi dan memediasi berbagai perbedaan afiliasi agama. Batas dan irisan antara wilayah negara dan agama masih sangat kabur, sehingga praktik interpenetrasi antara keduanya terjadi dalam skala yang sangat massif.

Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya perbedaan penafsiran di kalangan sendiri terhapus dengan adanya semangat kebersamaan dalam membangun identitas politik mereka secara lebih umu, ISLAM. Politik identitas ini merupakan tuntutan yang harus segera direspon oleh elit Islam untuk menjaga eksistensi umat di tengah terjangan badai globalisasi. Politik identitas dapat dimaknai sebagai gerakan politik kekuasaan yang membawa-bawa simbol agama, etnis, atau pun adat. Bukan bermaksud mengulang polemik "Partai Islam No, Islam Yes!"; jargon Cak Nur, namun hanya sekedar melihat bagaimana identitas masih ampuh untuk memenangkan pertarungan kepentingan di ruang urban. Politik identitas adalah keniscayaan atas maraknya klise ideologi dalam politik. Jika ideologi nasionalis telah diklaim oleh partai-partai besar yang tumbuh tatkala rezim Orde Baru mengukuhkan satu ideologi politik, maka kini Islam menjadi pilihan partai-partai diluar partai mainstream.

Salah satu jalan untuk memasang identitas islam ini adalah dengan mengusung Perda-perda syariat. Sehingga wacana perda syariah menjadii wacana yang sangat digandrungi dalam pentas perpolitikan Indonesia dewasa ini. Bahkan, beberapa partai politik mengangkat wacana ini sebagai agenda utama. Tapi, anehnya, dalam tataran aplikasi, hal yang dinamakan perda syariat hanya terbatas pada hal-hal simbolis. Seperti peraturan wajib memakai jilbab, perda minumann keras dan aturan pergaulan yang sedikit diatur dalam perda syariah itu. Apakah memang syariat hanya terbatas pada simbol? Mengapa sama sekali tidak ada suara yang mengangkat bahwa syariat juga mencakup pemberantasan korupsi, pembasmian suap (money politik) dalam pemilihan kepala daerah, dan pengentasan kemiskinan.

Tampaknya, ada reduksi besar-besaran terhadap cakupan makna syariat di dalam dunia politik Indonesia. Memfokuskan syariat hanya pada tataran simbolis jelas merupakan pengebirian makna syariat. Terlebih secara politis, syariat simbolis ini kerap kali dijadikan alat pembisuan massal bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat lupa akan masalah yang sebenarnya sangat merugikan, seperti korupsi di berbagai instansi pemerintah maupun partai politik. Masyarakat dibawa kepada kesadaran semu tentang syariat dalam makna dangkal, untuk melupakan inti syariat yang menjunjung maslahat umat. Sehingga konsentrasi formalisasi syariat cenderung memperbanyak simbol yang dianggap Islami, namun melupakan maqashid (tujuan utama) syariahnya.

Padahal, syariat yang diterapkan Rasulullah mempunyai cakupan makna yang sangat luas. Bahkan, lebih memprioritaskan hal-hal yang langsung mengena pada kebaikan umat. Seperti upaya Rasul untuk menghapus perbedaan kelas antara budak dan tuan, mengangkat derajat perempuan di tengah budaya patriarki, persaudaraan antarumat Islam, komitmen hubungan baik antara kaum muslim dan non-muslim, serta pemerataan ekonomi umat. Dalam perjalanan dakwahnya, Rasul lebih mendahulukan syariat yang memperjuangkan maslahat umat daripada syariat yang bersifat pribadi seperti mengenakan baju muslim, menghormati hari Jumat, bahkan larangan meminum khamr (minuman keras).

Pengebirian makna syariat sebagaimana dilakukan kelompok tertentu, disebabkan wacana syariat dalam perpolitikan Indonesia telah menjadi komoditas politik. Sehingga syariat yang langsung berkenaan dengan kebaikan umat, tapi merugikan kepentingan partai dan kepentingan politik, terpaksa disembunyikan. Tidak dijadikan wacana utama. Partai-partai yang mengaku Islam terus mengkampanyekan syariat simbolis, tanpa mewacanakan syariat yang benar-benar memperjuangkan kemaslahatan rakyat. Akibatnya, maslahat umat ditelantarkan, bahkan eksistensi negara juga dipertanyakan hanya karena tidak memakai simbol Islam. Indonesia dituding menganut sistem kafir (nidlam al-kufr). Kritik terhadap pemerintah dan konsep negara Indonesia lebih diarahkan pada hal yang simbolis. Wacana yang berkembang justru ingin merubah simbol negara, sedangkan kebijakan pemerintah dan negara Indonesia yang sesuai dengan inti syariat tidak pernah dilegitimasi, bahkan dipandang sebelah mata. Undang-undang negara Indonesia yang berkenaan dengan pemberantasan korupsi, subsidi untuk fakir miskin, dan subisidi untuk pendidikan, tidak dianggap sebagai bagian dari ajaran syariat Islam. Sehingga wacana perubahan lebih bersifat struktural dan simbolis, bukan menusuk pada jantung maslahat umat. Para pengusung syariat simbolis ini hanya menunggu sebuah momen untuk merubah simbol kenegaraan dengan simbol yang mereka anggap Islami. Imajinasi politik yang ingin merubah secara struktural dan simbol ini adalah karakter masyarakat organisatoris. Secara sosiologis, kebanyakan pemahaman ini muncul dari masyarakat kota. Kenyataannya, para pengusung syariat simbolis ini kebanyakan berasal dari kota.

Di Tasikmalaya, kebutuhan akan identitas itu menjadi latar belakang yang rumit ketika harus menjelaskan peran Islam dalam kehidupan politik. Penerimaan dan penggunaan wacana Islam lebih banyak didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan pragmatis ketika terjadi perubahan-perubahan besar dari luar. Akan tetapi, pragmatisme itu tetap berakar pada praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Tasikmalaya itu sendiri. Sebagai seorang Sunda dan Muslim, mereka memiliki ingatan kolektif tentang sejarah. Argumentasi esensialis ini memang rapuh, sebab jelas mengeluarkan wacana di luar Islam dan Sunda dalam narasi sejarah masyarakat Tasikmalaya. Yang lebih tepat adalah menempatkan masing-masing wacana tersebut sebagai satu atau dua faktor yang kesemuanya berkontestasi secara longgar[21]. Kalaupun pada akhirnya masing-masing wacana tersebut mencapai tingkat konsolidasi tertentu, itu terjadi sebagai akibat dari proses politik yang dipaksakan oleh penguasa. Hal ini bias dilihat dari pemakaian perda-perda syariah di lingkungan Kota Tasikmalaya. Hal ini merupakan bentuk kemenangan elit politik di Tasikmalaya tentang wacana keislaman.

Yang mengherankan, isu etnisitas, dalam hal ini Sunda atau ke-Sunda-an, hampir tidak dimainkan sama sekali dalam identitas Kota Tasikmalaya. Identitas ‘Islam’ yang muncul seakan tidak ada referensinya secara kultural dengan ‘Sunda’ sebagai sebuah identitas budaya[22]. Hal ini setidaknya pernah dikemukakan oleh Amartya Sen[23] yang mengatakan bahwa suatu identitas akan bergantung pada konteks sosial. Hal ini setidaknya mengguratkan, bahwa identitas tidaklah bersipat universal melekat pada diri seorang individu ataupun kelompok. Dalam konteks ini, identitas yang diusung dalam politik tidak serta merta deterministik mendorong popularitas. Terlebih lagi hari ini, rasionalitas masyarakat menentukan pilihan lebih deterministik dengan alasan-alasan diluar pertimbangan identitas.

Lihat saja misalnya perjalanan politik umat Islam dari waktu ke waktu, partai Islam pun luntur berbarengan dengan melunturkan sakralitas politik identitas di Indonesia. Sehingga pada 1977, perolehan suara Golkar mengungguli PPP dengan perbedaan sekitar 10 persen suara. Golkar menguasai 50,2 persen, sedangkan PPP mengantongi 40,7 persen suara. Bagaimana pada tahun 2010 ini? Diandaikan jika politik identitas yang diusung oleh partai politik hanya sekedar lips service, dan sama sekali tidak merepresentasikan ideologi partai, maka dapat diduga identitas, entah itu primodialitas agama atau adat tidak akan mampu menjadi senjata pamungkas untuk menarik para konstituens politik. Kini, banyak rakyat bertumpu pada pertimbangan rill dalam menentukan pilihan, kalau tidak track record, maka itu adalah kejelasan visi, dan program yang dilemparkan ke publik.

Akan tetapi, bagaimanapun, identitas kota Tasikmalaya merupakan wacana yang terus menerus dinegosiasikan oleh berbagai macam episteme. Masing-masing sebenarnya tidak akan pernah secara sepenuhnya mendominasi, tanpa melewati perlawanan-perlawanan dari yang lain. Kadang perlawanan itu berlangsung pada tataran simbolis, tidak secara frontal saling berhadap-hadapan. Perebutan makna ketika melakukan interpretasi terhadap sebuah simbol tertentu adalah keniscayaan pada sebuah masyarakat yang tidak mungkin tunggal. Praktik kekuasaan dalam ruang urban bukan semata melibatkan agen-agen yang binner, seperti negara vis-a-vis masyarakat, atau penguasa vis-a-vis rakyat, tetapi bahkan pada diri agen-agen tersebut memiliki kompleksitasnya masing-masing, yang kadang sulit sekali dikategorisasikan secara hitam-putih.

Akan tetapi, Islam di Kota Tasikmalaya bukan hanya milik penguasa, tetapi juga milik masyarakat. Ketika orang-orang pribumi melawan penguasa kolonial, pada saat yang sama penguasa memainkan sentimen-sentimen Islam untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini, misalnya, dapat dilihat dari kontribusi Bupati RAA Wiratanuningrat untuk mendukung pendirian sebuah organisasi ulama “resmi” di Tasikmalaya. Organisasi itu bernama Idharu Bi’atil Muluki wal Umara atau disingkat Idhar. Secara kebahasaan, Idhar berarti turut ka ratu, tumut ka pamarentah nagara, taat kepada raja, ikut kepada pemerintah negara. Pada awal didirikannya pada 1926, anggota Idhar diklaim berjumlah 1350 kyai. Dalam perkembangannya, para pemimpin Idhar tak lebih dari kepanjangan bupati untuk menghadapi kyai-kyai kritis terhadap kepemimpinan bupati. Suara-suara kelompok kyai yang terakhir dibungkam, gerakannya diawasi, akses terhadap sumberdaya ekonomi dan politiknya dihambat[24].

Oleh karena itu, Islam bukanlah sebuah wacana tunggal, tetapi diperebutkan secara terus menerus oleh penguasa dan para pengkritiknya. Keadaan ini tidak hanya berlaku pada masa kolonial, tetapi berlanjut dan bahkan lebih rumit lagi pada masa pasca kolonial. Kolonialisme telah mewariskan jejaknya pada wacana Islam pasca-kolonial, melalui peran yang dimainkan birokrasi agama dan pranata-pranata lain yang memudahkan Islam untuk ditertibkan. Wacana Islam di luar kontrol penguasa dianggap “yang lain” dan oleh karena itu harus dipinggirkan. Kalau pada Tasikmalaya kolonial dikenal Idhar, maka pada Tasikmalaya pasca kolonial dikenal Majelis Ulama Indonesia (MUI). Yang kedua hanyalah salin nama dari yang pertama, keduanya tak lebih dari instrumen kekuasaan untuk mengeluarkan wacana-wacana subversif atau “yang lain” dalam Islam.

Akibatnya, simbol-simbol Islam yang secara formal melekat pada bagian-bagian tertentu dari ruang dan kehidupan urban, seperti jalan, kampung, partai politik, dan bahkan masjid, menjadi kehilangan elan vital-nya dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat. Oleh karena itu, kemenangan partai Islam di Tasikmalaya, terutama di wilayah kota, pada tahun Pemilu 1955, Pemilu 1999, dan terakhir Pemilu 2009, hanya dapat dipahami sebagai hasil dari pertarungan politik praktis kalangan elit Islam dengan non Islam. Di luar itu, masyarakat tetaplah entitas yang fragmentatif, termasuk ketika mereka dihadapkan pada wacana Islam dalam ruang urban di kota mereka.

Pada sisi lain, penguasa dengan aparatus birokrasinya berhasil memonopoli interpretasi terhadap makna simbol-simbol Islam yang dikonstruksikan di ruang publik. Pembangunan masjid dan gedung-gedung Islam menjadi wujud pembuktian kepada masyarakat, bahwa mereka peduli terhadap Islam. Ini terlihat pada 1980. Pada waktu itu, Bupati mengundang para ulama untuk bersepakat membangun masjid agung dan gedung dakwah. Sebelumnya memang telah ada sebuah masjid di pusat kota, tetapi dipandang tidak memadai lagi, terlebih-lebih dengan kenyataan bahwa Tasikmalaya adalah “kota santri”. Pada 1983, di kota ini terdapat 325 pesantren yang diklaim sebagai terbanyak di Indonesia. Sebuah buku resmi terbitan Pemda Tasikmalaya menyebut bahwa masyarakat Tasikmalaya akan malu kalau tidak memiliki masjid yang megah. Akhirnya, pada 22 Februari 1982, masjid itu diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Macmud. Dalam sambutannya, Amir Machmud memuji keberhasilan masyarakat Islam di Tasikmalaya yang telah berhasil membangun masjid dengan sebuah menara setinggi 25 meter melalui pengumpulan uang secara swadaya

Monopoli interpretasi terhadap simbol-simbol Islam oleh penguasa dapat dipahami juga sebagai bentuk politisasi identitas di Kota Tasikmalaya. Kota Tasikmalaya dikonstruksikan sedemikian rupa agar sesuai dengan hasrat kekuasaan, sementara pada saat yang sama penguasa berusaha menutup rapat berbagai mekanisme agar tidak muncul interpretasi lain di luar kontrol dirinya. “Kota santri” adalah idiom yang sepenuhnya milik penguasa. Ini tentu saja didapatkan setelah sebelumnya mengabaikan berbagai macam fragmentasi dan kompleksitas masyarakat Tasikmalaya itu sendiri. Masyarakat, terutama ummat Islam, dipandang sesuatu yang sepenuhnya organis. Akibatnya, masyarakat kehilangan hak untuk turut berpartisipasi dalam perebutan makna terhadap identitas kota mereka. Masyarakat menjadi bagian “yang lain” dalam peta identitas yang telah disusun oleh penguasa.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Agama dan politik adalah sepasang identitas yang hampir tak bisa dipisahkan secara sendiri-sendiri dalam perjalanan sejarah kaum Muslim Priangan. Pada masa kolonial, kecemasan negara terhadap potensi politik Muslim membuat mereka didefinisikan sebagai kelompok radikal yang harus terus menerus diawasi. Kondisi ini ternyata berlanjut pada masa pasca kolonial. Berbagai potensi politik Muslim, apalagi yang mengambil sikap beroposisi dengan negara, diamputasi dengan segala cara. DI/TII dan Partai Masyumi adalah dua representasi Islam politik yang harus menerima kenyataan itu. Berbagai usaha untuk merevitalisasi pengaruh dari dua gerakan itu pada periode belakangan tampaknya mengalami kegagalan.

Kaum Muslim di Kota Tasikmalaya adalah entitas yang tidak secara ekslusif mempunyai karakter kultural yang khas. Dinamika yang terjadi dalam tubuh internal mereka adalah respon terhadap berbagai perubahan di tingkat yang lebih besar. Jika di Jawa kita mengenal secara streotipikal apa yang disebut ‘Islam Jawa’, hal yang sama akan sulit ditemukan dalam realitas Muslim Kota Tasikmalaya. Afinitas dan afiliasi mereka terhadap ‘Islam’ tampaknya telah menempati posisi primer dalam dunia mental mereka. Sunda atau ke-Sunda-an sebagai sebagai sebuah identitas kultural, sebaliknya, tampak kurang menonjol. Makna dari menjadi orang Sunda, dengan kata lain, tidak mempunyai resonansi politik, berbeda dengan makna dari menjadi Muslim. Meskipun dalam kenyataannya dua ragam identitas ini tidak bisa pertentangkan secara hitam putih, dalam kenyataanya kaum Muslim Kota Tasikmalaya tidak memiliki preseden konfliktual yang berakar pada wacana kultural.

Dalam kenyataannya, tidak semua gerakan Islam di Kota Tasikmalaya mengusung ide Islam politik. Hal ini bias dilihat dari adanya perlawanan simbolis dari Acep Zamzam Noor dan orang yang seideologi dngan mereka. Lebih jauh dri itu, kemenangann Islam di Kota Tasikmalaya bias dipandang sebagai kemenangan politik praktis atas simbol-simbol keislmanan di Kota Tasikmalaya. Akan tetapi, harus diakui, kiprah gerakan-gerakan yang lebih berorientasi sosial dan kultural kurang memiliki gaung yang cukup kuat jika dibanding gerakan-gerakan yang berorientasi politik. Sampai tingkat tertentu, kondisi ini pararel dengan kondisi wacana akademis mengenai gerakan-gerakan Islam. Perhatian yang berlebihan terhadap fenomena Islam politik membuat kesan seolah gerakan Islam itu hanya gerakan politik.

Saran

Di akui atau tidak, hukum Islam sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga kehadirannya dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat luas, pada sisi lain sosioantropologis juga mempengaruhi fenomena maraknya upaya formalisasi pemberlakuan syari'at Islam di berbagai wilayah di Indonesia. Bila kita melihat kondisi politik bangsa dewasa ini dimana munculnya tuntutan sebagian kelompok fundamentalis Islam atau partai – partai berazaskan Islam tentang penerapan syariat Islam lebih disebabkan oleh faktor kepentingan kelompok dan unsur politik. Ketika syariat Islam, maka dengan jelas aturan – aturan hukum Islam akan diterapkan.

Namun, segi multikulturalisme di kota Tasikmalaya ini perlu mndapat perhatian lebih dari kalangan elit Islam dan para penguasanya. Jangan sampai dengan menerapkan symbol-simbol keislaman melalui perda syariah, maka masyarakat dan golongan minoritas jadi terabaikan. Negara, dalam hal ini direpresentasikan oleh pemerintah daerah, perlu dengan seksama melihat perbedaan kultur yang ada di Kota Tasikmalaya. Negara harus memiliki jarak yang sama terhadap setiap warganya. Oleh karena itu multikulturalisme adalah bahwa keragaman bukan saja diakui akan tetapi harus diberikan kebebasan karena dengan keragaman maka akan saling melengkapi satu dengan yang lain. Sekarang, keragaman identitas menjadi persoalan yang serius dalam perjalanan bangsa Indonesia. Berbagai unjuk rasa yang marak belakangan ini terutama setelah reformasi menjadi indikator betapa setiap orang ingin menunjukkan identitasnya. Padahal kemajemukan adalah kondisi hidup bangsa Indonesia yang tidak bisa disangkal, dan persis pada titik itulah kita menemukan kesamaan platform bangsa di tengah simpang siurnya aneka macam politik identitas.


Daftar Pustaka

A.A. Said Gatara dan Dzulkiah Said, SosiologiPolitik. Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Bandung, CV Pustaka Setia, 2007

Al Anshari, Mahmud, Penegakan Syariat Islam. Dilema Keumatan di Indeonesia., Depok Inisiasi Press, 2005

Boland, B.J, Pergumulan Islam Di Indonesia, Jakarta, Gratifi Pers, 1985

Harrison, Lisa Metodologi Penelitian Politik, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007

Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Pancasila sbagai Dasar Negara, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2006

Muhajir, Noeng “Metodologi Peneltian Kualitatif Edisi IV, Jogjakarta, Rake Sarasin, 2000

Ruslan, Rosadi “Metode Peneltian. Public Relatios dan Komunikasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004

Sumber Lain

Artikel Islam Priangan: Pergulatan Identitas dan Politik Kekuasaan, amin mudzakkir http//penelitianku.wordpress.com/ Diakses tanggal 1/02/10. Jam 11.00

Prof.Dr. Thomas Mayer ”Politik Identitas. Tantangan Terhadap Fundamentalisme Modern”, http://ihsansetiadilatief.blogdetik.com/2009/04/15/perda-berbasis-syariah-%EF%80%AA/. Diakses tanggal 28/01/10 jam 11.05

Amin Mudzakkir, “Menjadi Kota Santri: Wacana Islam dalam Ruang Urban di Tasikmalaya”, http://penelitianku.wordpress.com/. Diakses tanggal 14/01/10. Jam 09.10

Miftahul falah “Sejarah Kota Tasikmalaya”, http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/02/sejarah- kota-tasikmalaya-1820-1942.html. diakses tanggal 28/01/10 Jama 10.35

Muhammad Solihin “Senjakala Politik Identitias 2009”, http://www.psik-indonesia.org/home.php?page=fullnews&id=32, diakses tanggal 3/02/2010 jam 10.15

Tulisan Tedi Akhmad Al Ghifari, http://khabarislam.wordpress.com/2009/02/15/menanti-perda-syariat-islam-di-kota-santri/



[2] Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Administrasi Negara

1 -2.Staf Pengajar Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya

[3]Pergumulan Islam Indonesia”, B.J Boland, hal 56

[4] Artikel Islam Priangan: Pergulatan Identitas dan Politik Kekuasaan, amin mudzakkir http//penelitianku.wordpress.com/. Diakses tanggal 1/02/10. Jam 11.00

[5] op.cit

[8] Noeng Muhajir, “metodologi peneltian kualitatif” hal 19

[10] wawancara dengan Acep Mubarok tanggal 19 Januari 2010

[11] Wawancara yang dilakukan penulis dengan salah satu perangkat pemerintahan Kota Tasikmalaya, Nung Sudrajat tanggal 25 Januari 2010

[12] Amin Mudzakkir “Islam Priangan: Pergulatan Identitas dan Politik Kekuasaan”, http://penelitianku.wordpress.com/. Diakses tanggal 1/02/10. Jam 11.00

[13] Ibid

[14] Miftahul falah “Sejarah Kota Tasikmalaya”, http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/02/sejarah- kota-tasikmalaya-1820-1942.html. diakses tanggal 28/01/10 Jama 10.35

[15] Dikutip dalam tulisan Muhammad Solihin “Senjakala Politik Identitias 2009”, http://www.psik-indonesia.org/home.php?page=fullnews&id=32, diakses tanggal 3/02/2010 jam 10.15

[16] Wawancara dengan penulis tanggal 19 Januari 2010

[17] Wawancara dengan penulis tanggal 19 Januari 2010

[19] Wawancara tanggal 25 Januari 2010

[20] Amin Mudzakkir, “Menjadi Kota Santri: Wacana Islam dalam Ruang Urban di Tasikmalaya”, http://penelitianku.wordpress.com/. Diakses tanggal 14/01/10. Jam 09.10

[21] Amin Mudzakkir, “Menjadi Kota Santri: Wacana Islam dalam Ruang Urban di Tasikmalaya”. http://penelitianku.wordpress.com/2008/10/21/menjadi-kota-santri-wacana-islam-dalam-ruang-urban-di-tasikmalaya/. Diakses tanggal 14/01/10. Jam 09.10

[22] Amin Mudzakkir “Islam Priangan: Pergulatan Identitas dan Politik Kekuasaan”, http://penelitianku.wordpress.com/. Diakses tanggal 1/02/10. Jam 11.00

[23] Dikutip dalam tulisan Muhammad Solihin “Senjakala Politik Identitias 2009”, http://www.psik-indonesia.org/home.php?page=fullnews&id=32, diakses tanggal 3/02/2010 jam 10.15

[24] Amin Mudzakkir, “Menjadi Kota Santri: Wacana Islam dalam Ruang Urban di Tasikmalaya”. http://penelitianku.wordpress.com/2008/10/21/menjadi-kota-santri-wacana-islam-dalam-ruang-urban-di-tasikmalaya/. Diakses tanggal 14/01/10. Jam 09.10

 

Most Reading