Kala Islam Bersua Negara-Bangsa:
Sebuah Pergulatan
Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia merupakan diskursus yang tak kunjung habis. Dalam konteks ini, Islam bisa dilihat sebagai organisasi atau gerakan Islam hingga individu muslim. Mulai dari zaman pergerakan hingga sekarang, tema tersebut menyita perhatian khalayak ramai. Mengapa? Ibarat dongeng, ia tak pernah habis untuk dikupas, digali dan dikaji. Pun secara turun temurun dari generasi ke generasi, ia selalu menyisakan wacana, perdebatan dan ketegangan yang “asyik” dinikmati dan diteliti.
Harus diakui, perjumpaan Islam dan wacana Negara-Bangsa (Nation-State) berjalan penuh liku. Azyumardi Azra (1996) menulis, ketegangan Islam dan Negara-Bangsa dalam ruang politik modern kenegaraan modern merupakan salah satu dampak terbesar penetrasi Barat ke dunia Islam. Konsep nation-state dianggap a-historis bagi sebagian masyarakat muslim yang menolaknya.
Menariknya, ketegangan (tension) ini hampir menjadi “lagu wajib” ketika Islam bersua wacana-wacana yang berkembang seputar negara-bangsa. Di satu sisi, kalangan Islam melihat negara dengan penuh kecurigaan dan penuh tipu daya. Di sisi lain, pihak negara memandang golongan Islam sebagai pesaing potensial yang bisa merombak tatanan (baca: struktur) politik yang telah ada.
Turki merupakan fenomena yang unik. Dengan latar belakangnya sebagai wilayah yang pernah menjadi bagian penting dalam sejarah peradaban Islam dan sekaligus “benteng terakhir” khilafah Islam, Turki justru memproklamirkan berdirinya Republik Turki. Dengan kata lain, ia telah berubah dari sistem khilafah menjadi negara-bangsa.
Apa yang terjadi di Turki tesebut, boleh jadi merembet ke Indonesia. Ketegangan ini bisa dinikmati, misalnya, ketika parlemen bersidang pada tahun 1956-1959. Perdebatan tentang negara Islam pada sidang konstituante saat itu menghadirkan suasana mencekam hampir sepanjang berlangsung persidangan, terutama terkait dasar negara yang akan dipakai, apakah Islam atau Pancasila.
Tak habis sampai di situ, ketika Soeharto dengan Orde Baru-nya hendak mempertegas hegemoninya terhadap masyarakat sipil pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, ketegangan tersebut kembali menyeruak. Aktor utamanya bernama NU. Temanya kali ini adalah tentang keharusan Pancasila sebagai asas semua organisasi di Indonesia. Sontak, hal ini menuai protes keras, terutama yang dilakukan politisi NU di parlemen. Diawali dari sikap walk out (suatu prilaku yang “diharamkan” pada waktu Orde Baru) oleh para politisi NU di parlemen, hingga akhirnya NU memilih jalan kompromi dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Ironinya, upaya sakralisasi ideologi Pancasila sebagai asas tunggal “memakan” korban manusia yang tidak sedikit. Boleh jadi, pemaksaan asas tunggal di aras lokal bisa diwakili oleh tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984. Upaya masyarakat untuk “menawar” ideologi Pancasila membuahkan hasil stigmatisasi gerakan pengacau keamanan (GPK) hingga anggota PKI pada mereka yang mencoba menolak Pancasila sebagai satu-satunya ideologi.
Ketegangan Islam dan negara-bangsa ini disinyalir telah hadir cukup lama di Indonesia. Jika ditelusuri lebih jauh, pergumulan ini bisa dilihat sejak zaman pergerakan dengan munculnya organisasi Sarekat Islam (SI), pertentangan golongan Islam dan Komunis pada era Soekarno, hingga perjuangan Kartosuwiryo yang hendak mendirikan negara Islam.
Dalam konteks sekarang, ketegangan ini boleh jadi diwakili “kelompok radikal” seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Yang paling hangat tentu kasus terorisme yang sering disematkan kepada orang-orang macam Amrozi cs. Tak ketinggalan, dan boleh jadi ini menjadi kisah bawah tanah, ketegangan yang merembet di tingkat lembaga Depag dan IAIN dengan aktor utamanya NU-Muhammadiyah. Ketegangan ini lebih dipicu soal perebutan hegemoni kuasa dalam lembaga negara dan institusi pendidikan tinggi.
No comments:
Post a Comment