Wednesday 31 December 2008

Sekolahkehidupan.com

Tatap Muka Ketujuh

Tuesday 30 December 2008

Potret Gerakan Islam Mesir: Ikhwanul Muslimin


Pokok Bahasan : Potret Gerakan Islam Mesir: Ikhwanul Muslimin
Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa mengetahui latar Belakang Sosial Politik, munculnya Gerakan Politik Islam Di Mesir yaitu Ikhwanul Muslimin dan Tokoh-Tokoh Penggeraknya.
A. Pengantar
Islam memiliki peradaban yang diakui dunia sebagai peradaban yang kuat dan tegar. Terdapat beberapa fakta yang menjadikan peradaban Islam dianggap sebagai peradaban yang kuat dan tegar. Jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Mongolia ternyata tidak memadamkan semangat umat Islam. Pada waktu yang bersamaan, kebangkitan Islam muncul di belahan barat, Andalusia. Saat Andalusia hancur Islam-pun tumbuh kembali di Turki (Utsmani). Dan ketika runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyah, negara-negara Islam memerdekakan diri dari cengkeraman komunis hingga sekarang.
Pasca runtuhnya komunis Uni Soviet wacana yang berkembang kemudian adalah Islam melawan Barat. Muncul berbagai gerakan yang mengatasnamakan Islam yang anti terhadap Barat. Salah satu dari gerakan yang berkembang pesat pada beberapa tahun belakangan adalah Ikwanul Muslimin. Gerakan ini cukup berhasil menggulirkan panji-panji keIslaman. Dengan semangat juang yang tinggi di bawah komando pendirinya yaitu Hassan Al-Banna, gerakan ini mulai mewarnai geliat gerakan Islam di Dunia khususnya di Mesir.
Hasan Al-Banna merupakan tokoh yang terbilang paling sukses melakukan institusionalisasi, ideologisasi dan organisasi dari pemikiran fundamentalisme modern, setelah runtuhnya khilafah pada 1924. Berangkat dari kegelisahan yang mendalam tentang lemahnya kondisi masyarakat di bawah koloni Inggris, Hassan Al-Banna berniat untuk mencari jalan perubahan bagi bangsanya serta menghindarkan masyarakat dari arus sekulerisme dan kristenisasi yang ada pada saat itu.
Tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang profil Ikhwanul Muslimin, dengan membahas eksistensi Ikhwanul Muslimin dan berbagai pergolakan politik yang pernah dialaminya, dengan terlebih dahulu memunculkan biografi 2 (dua) tokoh besar yang ada di dalamnya, yaitu Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutb karena penulis berpandangan bahwa tidak bijak kiranya, apabila membahas suatu gerakan tanpa terlebih dahulu mengenalkan tokoh yang ada di dalamnya.
B. Tokoh Besar di balik Ikhwanul Muslimin
Dalam lintasan sejarah pergerakannya, IM memiliki beberapa tokoh yang berperan penting dalam pendirian serta pengembangan pergerakannya. Tokoh-tokoh IM tersebut antara lain: Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Hasan Al-Hudhaibi, Abdul Qadir Audah, Muhammad Ash-Shawwaf, Musthafa As-Siba’i, Umar At-Tilmasani, Muhammad Hamid Abu Nashr, Yusuf Qardhawi, Muhammad Al-Ghazali, Fathi Yakan, Hasan At-Turabi, Abul A’la Al-Maududi, Al-Ghanusyi, dan Sa’id Hawa.
Diantara beberapa tokoh dan pemikir yang dimiliki oleh IM, seperti tersebut diatas, yang paling banyak mendapat sorotan ketika membincangkan eksistensi, sejarah, maupun pemikiran IM adalah Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutb. Oleh karena itu, penulis dalam pembahasan ini hanya menampilkan 2 (dua) tokoh yang paling sering disebut dalam perbincangan IM tersebut.
1. Hasan Al-Banna
a. Biografi Hasan Al-Banna
Adalah Hasan Al-Banna (untuk selanjutnya disebut dengan Banna) pendiri Ikhwanul Muslimin (untuk selanjutnya disingkat IM), sosok yang tidak dapat dipisahkan dari pemikiran-pemikiran gerakan tersebut (IM). Ia lahir pada 17 Oktober 1906 M di wilayah Buhairah, Distrik Mahmudiyyah, 90 mil dari arah barat daya Cairo. Ayahnya, Ahmad Abdurahman Al-Banna al Saati, seorang guru, imam, tukang jam, sekaligus pengarang buku hadis dan pernah mengenyam pendidikan di al Azhar.
Latar belakang pendidikan Banna dimulai dari pendidikan dasar agama dari ayahnya dan Ustadz Syaikh Mahmud Zahran, kemudian Madrasah Diniyah al Rasyad, Madrasah I’dadiyah, dan selanjutnya Madrasah Mualimin al Awaliah. Banna aktif mengikuti Jamaah Suluk Akhlaqi, ia juga bergabung dengan tarekat al Ikhwan al Hafashiyah, Jamiah Makarim al Akhlaq dan ia tercatat sebagai mahasiswa Universitas Darul Ulum Cairo yang lulus dengan predikat Summa Cumlaude.
Banna kecil membiaskan diri dengan pola hidup Zuhud, rajin bertahajud, serta menjalankan amalan-amalan sunnah lainnya. Pengalaman pendidikan agama telah membentuk kepribadiannya menjadi muslim yang taat dan pengalaman organisasi semasa mudanya menambah matang pola pikir Banna. Ia berprinsip bahwa untuk membebaskan umat Islam dari keterpurukan karena kolonialisme dan sekulerisme, umat Islam harus meneladani dan meniru hidup Nabi Muhammad SAW lengkap dengan sabda, perbuatan dan karakternya
Setelah menyelesaikan studinya di Dar al-Ulum, Banna oleh pemerintah ditugaskan menjadi Guru Madrasah di Ismailiyyah. Di sinilah ia menemukan pemandangan kondisi masyarakat yang dianggap cukup mengerikan. Budaya-budaya barat yang menjadikan adanya dekadensi moral membangunkan kesadaran Banna untuk mencari jalan keluar terbaik bagi masyarakat di sekitar terusan zues tersebut. Hal inilah yang kemudian memunculkan pemikiran-pemikiran politik Banna.
Dalam perjalanan perjuanganya, Banna mengalami cukup banyak rintangan terutama dari kalangan pemerintahan pada masa itu (Mahmud Fahmi Al-Nurqasyi). Namun Banna tergolong peribadi yang tidak pernah gentar sehingga ia meneruskan perjuanggannya. Iklhwanul Muslimin yang diketuai oleh Banna dituduh telah melakukan berbagai tindakan terorisme. Hal inilah yang akhirnya menjadikan Banna wafat di tangan intelejen pemerintah pada 12 februari 1949.
b. Pemikiran Politik Hasan Al-Banna
Pemikiran politik Banna banyak dipengaruhi oleh semangat pembaharuan Al-Afgani, Abduh dan Rasyid Ridha, tetapi yang paling memberikan pengaruh terhadap pandangan Banna adalah karya-karya tulis Rasyid Ridha tentang aspek-aspek politik dan social, pembaharuan Islam, serta pendirian pemerintahan Islam yang melaksanakan Hukum Islam. Banna berupaya memperbaharui gerakan salafiyah sebagaimana yang telah diraih oleh Rasyid Ridha, tetapi dalam kerangka cita-cita proyek utama Afgani: Islam melawan segala bentuk imperialisme dari luar dan keterbelakangan di dalam tubuh umat.
Banna berpandangan bahwa Islam tidak dapat dilepaskan dari politik, karena Islam merupakan agama yang sempurna dan lengkap dengan sistem yang dibutuhkan bagi kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya sistem politik, ekonomi dan social. Pandangan inilah yang meyakinkan Banna bahwa umat Islam tidak perlu mengkonsumsi sistem barat dalam hal politik dan pemerintahan.
Bentuk pemerintahan yang paling dekat dengan Islam menurut Banna adalah bentuk pemerintahan konstitusional dengan menggunakan pijakan sistem Syura (musyawarah). Dan ia menolak sistem multi partai, karena ia berkeyakinan bahwa partai-partai politik tertentu dalam banyak hal memiliki kepentingan dan motif untuk mendahulukan atau mementingkan kepentingan pribadi. Banna sangat mementingkan pondasi dakwah untuk menegakkan negara Islam. Selain itu Banna juga menggunakan konsep kontrak sosial dalam hal mengatur hubungan antara pemimpin dengan rakyatnya.
Kriteria pemimpim menurut Banna harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: muslim, laki-laki, dewasa, cerdas, sehat jasmani dan rohani, adil, saleh, mempunyai kapabilitas untuk memimpin, dan tidak harus dari kalangan Quraisy. Pemimpin yang tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik dapat diturunkan dari jabatanya.
Negara Islam dapat dicapai melalui beberapa tahap yakni: ta’rif, takwin, dan tanfidz dan hal tersebut dapat terlaksana apabila di dorong oleh setiap masyarakat Muslim. Dan ia menegaskan bahwa setiap muslim berdosa apabila belum tegak negara Islam. Hal lainnya yang cukup menarik dari pemikiran Banna adalah tentang demokrasi, ia mengungkapkan bahwa demokrasi harus memperhatikan kalangan minoritas, kiprah perempuan dalam politik, dan hak azasi manusia.
Dalam pandangan Banna khilafah sebagai agenda utama IM merupakan lambang persatuan umat Islam dan pijakan bagi pemberlakuan hukum Islam. Tegaknya khilafah dapat ditempuh melalui beberapa tahapan sebagai berikut:
1. meningkatkan kerjasama kebudayaan, ekonomi, dan sosial antar seluruh negara Islam
2. membentuk koalisi, membuat perjanjian, mendirikan lembaga-lembaga, dan konferensi antar negara Islam
3. membentuk persekutuan negara-negara muslim dan memilih imam yang satu
2. Sayyid Qutb
a. Biografi Sayyid Qutb
Sayyid Qutb (selanjutnya dusebut dengan Qutb), lahir pada 9 Oktober 1906 di Desa Musya dekat Kota Asyut, Mesir Atas. Ayahnya adalah al Hajj Qutb Ibrahim anggota Hizb al Wathani. Pada usia 13 tahun ia mampu menghafal al-Qur’an. Seperti halnya Banna, ia juga masuk sekolah guru dan mengenyam pendidikan tinggi di Universitas Darul Ulum Cairo. Ia kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan.
Berikut penulis mencoba untuk memetakan perjalanan hidup Qutb dimulai dari ketika ia menginjak usia 24 tahun hingga akhir hayatnya. Pada tahun 1930, Qutb menulis beberapa karya fiksi, kritik sastra, dan puisi. Kemudian pada tahun 1948, Qutb dikirim ke Amerika untuk mempelajari sistem pendidikan Barat dan pada tahun 1950 ia mengunjungi beberapa negara diantaranya Inggris, Swiss, dan Italia. Tahun 1951 Qutb kembali ke Mesir dan menjadi seorang penulis. Dan baru pada tahun 1953 Qutb bergabung dengan IM, dan ia ditunjuk sebagai penyunting surat kabar, kemudian menjadi direktur bagian propaganda, jajaran komite kerja dan dewan pembimbing. Satu tahun setelah ia bergabung dengan IM tepatnya pada tahun 1954 Qutb berselisih dengan Gamal Abdul Nasser, mengecam perjanjian dengan Inggris, dan hal tersebut menjadikan ia dipenjara. Pada tahun 1955 Qutb divonis hukuman 15 tahun penjara. Semasa ia berada dalam tahanan, ia banyak membaca pemikiran Maududi yang nantinya mempengaruhi pemikirannya. Tahun 1964 Qutb dibebaskan dari penjara akibat intervensi Presiden Irak, Abd Salam Arief dan pada tahun 1965 ia kembali ditangkap dengan dakwaan terorisme. Dan akhirnya pada 29 Agustus 1966 Qutb divonis hukuman mati.
b. Pemikiran Politik Sayyid Qutb
Pemikiran Qutb dapat dilihat dalam tulisannya Ma’alim fi al Tariq terdiri dari 12 bab yang memuat serangan tajam terhadap jahiliyah modern. Pemikiran Qutb inilah yang kemudian menjadi salah satu doktrin sentral yang digunakan oleh IM. Menurut Qutb dunia sedang berada dalam kondisi Jahiliyah dan harus diperangi dengan manhaj Rabbani (jihad dan tarbiyah). Pemikiran lainnya dapat di lihat dalam tafsir fi zilal al Qur’an yang memuat keteguhan komitmenya kepada kitab suci. Mencerminkan gagasan Maududi, Qutb memusatkan perhatian kepada ayat-ayat al-Qur’an yang disebut Hakimiyah (QS al-Maidah: 44, 45, 47). Qutb menafsirkan ulang ayat ini dengan mengubah makna yahkumu dari “memutuskan” menjadi “memerintah”. Qutb juga menegaskan bahwa sebuah pemerintahan wajib menerapkan hukum Allah. Qutb memiliki konsep pemerintahan supra nasional, yaitu pemerintahan Islam yang meliputi seluruh dunia Islam dengan sentralisasi kekuasaan tanpa adanya fanatisme. Hal lain yang juga di tegaskan Qutb adalah persoalan persamaan hak antar berbagai pemeluk agama. Selain itu, ia juga mengungkapkan tentang tiga asas politik pemerintahan Islam: keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan musyawarah antar penguasa dan rakyat. Ia juga membahas tentang perlawanan senjata
Ada beberapa hal yang dilupakan oleh Qutb tentang politik dan pemerintahan. Dalam pemikiran politiknya Qutb tidak menjelaskan tentang pemilihan kepala negara, dipilih secara langsung atau tidak langsung. Selain itu ia juga tidak mengungkapkan berapa lama masa jabatan kepala negara.
C. Potret Ikhwanul Muslimin Mesir.
1. Perjalanan Ikhwanul Muslimin dari tahun ke tahun
1928 : Deklarasi Ikhwanul Muslimin (IM) oleh Hasan Al-Banna di Ismailiyyah
1932 : Pusat IM pindah ke Cairo bersama dengan kepindahan Hasan Al-Banna
1933 : Muktamar I IM dan IM menerbitkan Majalah mingguan
1936 : Muktmar II IM
1938 : IM menerbitkan Majalah al Nadzir
1939 : Muktamar V IM
1940 : IM membentuk sayap Tanzim al Khas (Korp Pasukan Khusus)
1941 : Muktamar ke VI IM.
1945 : Berdiri cabang IM Suriah ( dengan Muraqib ‘Am Mustafa al-Siba’i)
1946 :Berdiri Cabang IM di Palestina dan di Sudan (yang pada 1985 diubah menjadi Fron Nasional Islam).
1947 : IM menerbitkan Majalah Al-Syihab
1948 : IM memasok relawan Perang Palestina melawan Israel (Tanzim al Khass). Pada bulan November Muhammad Fahmi Nuqrasyi membekukan Gerakan IM dan menyita harta mereka serta menangkap tokoh-tokohnya. Pada bulan Desember Muhammad Fahmi Nuqrasyi diculik, IM dituduh sebagai dalang penculikan.
1949 : Hasan Al-Banna terbunuh oleh pembunuh misterius.
1950 : IM direhabilitasi. Dan Hasan Al Hudaibi terpilih menjadi Mursyid 'Am IM.
1951 : IM konflik dengan Inggris, dengan melancarkan perang di Terusan Zues
1952 : IM berkoalisi dengan Muhammad Najib melancarkan Revolusi Juli
1953 : Berdiri cabang IM di Yordania
1954 : Penangkapan besar-besaran para aktivis IM, vonis mati 6 anggotanya
1965-66 : Bentrok IM dan pemerintah kembali terulang, 3 anggotanya dihukum
gantung yakni Sayyid Qutb, Yusuf Hawasi, dan Abdul Fatah Ismail
1966-70 : IM menjadi gerakan rahasia
1970 : Anwar Sadat gantikan Gamal Abdul Nasser
1971 : Sadat bebaskan para tapol IM, termasuk Tilimsani namun Sadat menolak memberikan status legal tanpa syarat. IM di bawah kepemimpinan Tilimsani berubah menjadi organisasi tanpa kekerasan, menerima demokrasi politik, dan parlementer
1984 : IM beraliansi dengan Partai Wafd saat pemilu parlemen tahun ini. mereka berhasil mendapat 7 kursi di parlemen dan menjadi kelompok oposisi melawan Partai Demokrat Nasional, Partai Hosni Mubarak
1987 : Koalisi dengan Partai Wafd runtuh, IM berkoalisi dengan Partai Buruh Sosialis dan Partai Liberal dengan semboyan “al Islam huwa al hall”
1990-an : IM terpecah menjadi beberapa gerakan yang sangat radikal (Qutbism) yang bertujuan untuk mereformasi Islam dan penerapan syariat Islam
2. Ikhwanul Muslimin : Pemikiran dan Doktrin
IM adalah pergerakan Islam yang didirikan oleh Banna di Mesir, tepatnya di wilayah Ismailiyyah pada tahun 1928, kemudian Banna memboyong pusat organisasi ini ke Cairo bersamaan dengan kepindahan tugasnya menjadi Guru Madrasah. IM merupakan gerakan terpenting abad ke-20 dan menjadi prototype bagi gerakan Islam lainnya di berbagai negeri.
Pada awalnya IM adalah sebuah gerakan dakwah yang banyak dipengaruhi gerakan dakwah yang dibawa oleh generasi salafus shalih. Pendirinya tetap terbuka dengan perkembangan zaman dan menggabungkan kebaikan-kebaikan yang ada pada di dalamnya. Pada umumnya dakwah tersebut mengambil metode-metode dakwah yang di bawa oleh Rasulullah yang melandasi gerakan dakwah ini. Dakwah IM pada saat itu, ditujukan bagi lapisan masyarakat paling bawah, dengan sebagian besar pendukung dari kalangan buruh di sekitar Terusan Zues, bahkan pada saat itu IM sangat disegani oleh semua elemen bangsa karena ia lahir sebagai gerakan dakwah yang besih dan suci di tengah-tengah keberadaan partai-partai politik yang telah memperoleh predikat bobrok dan korup. Akan tetapi, setelah menyaksikan penderitan masyarakat buruh yang tak berujung, serta dekadensi moral akibat sekulerisasi, Banna kemudian mengubahnya menjadi gerakan politik.
Misi perubahan politik IM bagi masyarakat Mesir khususnya dan dunia pada umumnya, tertuang dalam perjuangannnya ketika menuntut reformasi hubungan kekuasaan dalam tubuh umat Islam serta hubungan umat Islam dengan kalangan diluar umat Islam.
IM memiliki karakteristik gerakan yang berorientasi ketuhanan (rabbaniyyah) yang berarti berdiri di atas fondasi yang berusaha mendekatkan manusia kepada Tuhannya, bersifat internasional (alamiyyah) yang berarti IM didakwahkan kepada manusia secara keseluruhan dan Islami (Islamiyyah) yang berarti IM besandarkan pada sendi-sendi Islam.
Hasan Al-Banna menegaskan bahwa ciri gerakan IM adalah:
1. Jauh dari sumber pertentangan.
2. Jauh dari pengaruh riya dan kesombongan.
3. Jauh dari partai politik dan lembaga-lembaga politik.
4. Memperhatikan kaderisasi dan bertahap dalam melangkah.
5. Lebih mengutamakan aspek amaliyah produktif daripada propaganda dan reklame.
6. Memberi perhatian sangat serius kepada para pemuda.
7. Cepat tersebar di kampung-kampung dan di kota-kota.
IM memiliki Lambang Organisasi berupa dua pedang melintang menyangga al-Quran terdapat lafaz واعدوا , حق, قوة , حرية. Dua pedang tersebut melambangkan bahwa gerakan ini siap mengangkat senjata untuk berjihad kapan saja dan di mana saja demi berdirinya negara Islam
IM Memiliki beberapa konsepsi politik. Pertama, dunia Islam merupakan suatu kesatuan politik, di bawah satu pemerintahan supra nasional, dengan sistem sentralisasi kekuasaan, dan tidak mengenal batas-batas kebangsaan. Kedua, imamah (kepemimpinan negara) berfungsi sebagai pengganti kenabian, namun hal tersebut bukan berarti bahwa kepala negara atau imam memiliki kekuasaan keagamaan yang diterimanya dari Allah SWT, kepala negara dipilih oleh masyarakat muslim dan masyarakat mempunyai hak untuk mengawasinya dan menurunkannya bila ternyata tidak melaksankan syari’at Islam. Ketiga, dalam negara Islam dijamin kebebasan serta persamaan hak bagi golongan-golongan non Islam, tetapi hak untuk dipilih menjadi kepala negara dan memilih kepala negara merupakan hak-hak ekslusif orang-orang Islam saja. Keempat, pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang menerima Islam sebagai agamanya dan melaksanakan syariat Islam. Kelima, hal yang tidak jelas dari IM adalah persoalan pemilihan kepala negara oleh rakyat, IM tidak menjelaskannya secara terperinci.
Sasaran pokok perjuangan politik IM adalah memerdekakan Mesir dan negara Islam lainnya dari kekuasaan asing dan mendirikan pemerintahan Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dengan contoh model khilafah pada masa Khulafa ar Rasyidin. Dalam hal ini IM dengan tegas menentang konsep negara sekuler yang pada masa itu diperjuangkan oleh sebagian pembaharu di Mesir.
Untuk mmewujudkan konsep khilafah, IM menerapkan beberapa tahapan perjuangan. Pertama, membentuk pribadi muslim (ar–rajul al-muslim); kedua, membentuk rumah tangga muslim (al-bait al-muslim); ketiga, membentuk bangsa muslim (asy-syab al-muslim) dan keempat, membentuk pemerintahan muslim (al-hukumah al-muslimah) mulai dari tingkat lokal, dan berujung pada seluruh negeri muslim yang bersatu sebagai satu kesatuan, yaitu khilafah.
Selain kegiatan politik, IM juga mengembangkan usaha di bidang kemanusiaan dan perekonomian sebagai sarananya. IM mendirikan rumah sakit, lembaga pendidikan, penerbitan, percetakan, pabrik dan perusahaan dibidang pertanian. Melalui lembaga yang dimilikinya, IM mampu menjadikan Islam sebagai dasar dalam bergerak di segala aspek kehidupan. Pada dasarnya IM tidak anti terhadap kemodernan, terbukti dengan berbagai hal yang dilakukan oleh IM untuk meningkatkan perekonomian masyarakat. Ajaran utama yang diusung oleh IM dalam hal ini adalah bahwa untuk menjadi modern tidak harus menjadi Barat, tetapi menjadi orang Islam yang sungguh-sungguh dengan mengakui ajaran dan kewajiban Islam pada setiap lini kehidupan.
3. IM tentang Pemerintahan
Sikap IM terhadap pemerintahan berkaitan erat dengan pemehaman mereka terhadap esensi Islam dan aqidahnya. Pemerintahan oleh IM dipandang sebagai pilar operasional dalam negara. Islam adalah kedaulatan dan pemerintahan, selain sebagai peraturan, pengajaran, dan salah satu dari diantaranya tidak dapat dipisahkan.
IM menolak pemisahan antara agama dengan negara, atau dengan politik. Pemikiran ini seolah telah menjadi aksioma, atau urusan besar agama yang harus diketahui dan benar-benar dipahami. Hal ini terlihat dalam ungkapan bahwa Islam adalah aqidan dan sistem, agama dan negara, sehingga penegakan pemerintahan Islam merupakan salah satu prinsip aqidah dan kewajiban dalam Islam.
Tegaknya pemerintahan Islam adalah kewajiban karena Islam adalah agama dan negara. Islam datang dengan menbawa nash-nash yang mengatur berbagai hubungan individu dengan pemerintah, dan pemerintah dengan individu, mengatur tindakan, interaksi, manajemen dan ekonomi, memutuskan perkara internal dan internasional, perang dan damai, perjanjian dan perdamaian, menentukan hukum semua urusan pribadi dan sosial, menegakkan jamaah atas dasar persamaan, tolong menolong, dan saling menanggung. Abdul Qadir Audah menyebut semua itu sebagai undang-undang dasar pemerintahan dan syari'at yang menentukan hukum berbagai tindakan.
IM berusaha menegakkan pemerintahan Islam di Mesir. Dalam beberapa kesempatan mereka pernah melayangkan surat kepada para pemimpin dan para menteri Mesir yang berisi tentang tuntutan dan kewajiban yang harus dilakukan pemerintah agar berjalan sesuai dengan koridor Islam. Dalam hal ini Al-Bana perna menulis surat kepada Raja Faruq, Musthafa An-Nuhas, Muhammad Mahmud, dan juga kepada Ali Mahir. Hal ini dilakukan karena mereka berpandangan bahwa sistem pemerintahan yang ada pada saat itu tidak sesuai dengan konsep yang semestinya dijalankan, bahkan menurut mereka, dari sudut pandang Islam pemerintah tidak mencerminkan sistem pemerintahan Islam yang menjalankan pesan-pesan Allah.
4. Pendidikan Politik IM
Pendidikan memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk pribadi maupun karakter seseorang. Karena fungsinya dapat menggabungkan berbagai cabang keilmuan maka pendidikan merupakan salah satu kunci sukses yang dimiliki oleh IM dalam mendidik anggotanya, terutama dalam hal pendidikan politik.
Pendidikan politik IM merupakan upaya yang dilakukan oleh IM untuk membangun dan menumbuhkan keyakinan, nilai, dan orientasi pada para anggotanya, sehingga mereka dapat menerima prinsip Islam dan tujuan Islam, juga untuk menghapuskan pengaruh imperialisme dalam segala bentuknya, membangun pola pikir yang sesuai dengan Islam, khususnya yang berkaitan dengan persoalan politik, baik regional, nasional, maupun internasional, tentang berbagai hal yang terjadi untuk menetukan sikap politik.
Pendidikan politik ini secara tidak langsung juga membangun kesadaran beraqidah hingga para anggotanya siap untuk berjihad di jalan Islam, di mana setiap muslim adalah senjata untuk membela hak-haknya sebagai anak bangsa, serta untuk menunaikan berbagai kewajiban, yang kemudian dari masing-masing anggota tersebut dapat menjadi aktifis di lapangan kerja sosial dalam berbagai bentuknya, serta berpartisipasi dalam kehidupan politik secara memadai.
Metode pendidikan yang digunakan oleh IM terbagi menjadi dua poros yaitu:: pendidikan kepribadian Islam dan pembinaannya secara politik dan reformasi. Hal ini tampak dalam kewajiban yang harus diemban oleh setiap anggota IM sebagai tingkatan amal yang merupakan konsekwensi logis setiap anggota, yaitu :
  1. Memperbaiki diri, sehingga menjadi pribadi yang kuat fisik, teguh dalam berakhlaq, luas dalam berfikir, mampu mencari nafqah, lurus beraqidah dan benar dalam beribadah.
  2. Membentuk rumah tangga Islami. Sehingga keluarganya menjadi pendukung fikrah, menghormatinya dan memelihara tatakrama Islam dalam segala aspek kehidupan rumah tangganya sehari-hari.
  3. Memotivasi masyarakat untuk menyebarkan kebaikan, memerangi kemungkaran dan kerusakan.
  4. Memerdekakan negara dengan membersihkan rakyatnya dari berbagai bentuk kekuasaan asing kuffar di bidang politik, ekonomi ataupun mental spiritual.
  5. Memperbaiki pemerintahan sehingga benar-benar menjadi pemerintahan yang Islami.
  6. Mengembalikan eksistensi negara-negara Islam dengan memerdekakan negerinya dan menghidupkan kembali keagungannya.
  7. Menjadi guru dunia dengan menyebarkan Islam ke tengah-tengah ummat manusia, sehingga tidak ada fitnah lagi dan Dien benar-benar hanya milik Allah.
5. IM tentang Perempuan
Hal yang cukup menarik bagi penulis dari IM ini, mereka juga memperhatikan kedudukan perempuan. Beberapa hal yang menjadi perhatian IM tentang perempuan antara lain ;
1. Persamaan penuh antara laki-laki dan perempuan dalam hak-hak asasi
2. Seorang perempuan (ikhwah) diperbolehkan keluar rumah atau menghadapi masyarakat dengan wajah dan dua telapak tangan terbuka.
3. Seorang ikhwah boleh berperan dan memberikan kontribusi dalam kegiatan kemasyarakatan, dengan catatan semua pelaksana kegiatannya adalah perempuan.
4. Perempuan boleh berhias hanya untuk suaminya saja.
5. Perempuan mempunyai hak untuk belajar dalam segala tingkatan pendidikan., dan hendaknya memprioritaskan pendidikan yang berhubungan dengan tugasnya sebagai ibu rumah tangga.
6. seorang laki-laki boleh berjalan-jalan bersama istrinya ke tempat-tempat wisata umum untuk menghilangkan kejenuhan (refreshing), maupun menonton film-film kebudayaan dan sejarah, namun tidak diperbolehkan menonton film yang dapat merusak moral dan aqidah.
7. Perempuan diperbolehkan bekerja di luar rumah bila dalam keadaan mendesak
8. Seorang istri boleh mengikuti program keluarga berencana untuk menjaga kesehatannya atau karena alasan-alasan ekonomis.
9. Perempuan mempunyai hak –hak dalam berpolitik (akan tetapi tidak dalam kepemimpinan politik).
Meskipun IM memberikan ruang yang khusus bagi pembahasan perempuan, tetapi penulis tidak melihat kecenderungan IM untuk memperbolehkan kepemimpinan perempuan. Perhatian IM terhadap perempuan masih pada tingkatan relasi sosial dan politik yang terbatas, dalam artian perempuan masih belum dapat leluasa untuk bergerak dalam ruang-ruang publik.
6. Konflik Internal IM
Kendati dalam struktur orgaisasi IM mengenal unsur senioritas, konflik yang terjadi di dalam organisasi tersebut tidak dapat dihindari. Semasa Banna IM pernah mengalami pertikaian internal. Setelah Banna terbunuh, perbedaan muncul menyangkut kelompok yang lebih mengedepankan IM sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang sosial atau sebagai gerakan sosial, dakwah dan pendidikan dengan kelompok yang ingin melancarkan konfrontasi, termasuk dengan bersenjata, terhadap rezim yang berkuasa pada saat itu.
Pada tahun 1960-an IM juga terbelah antara yang ingin menegakkan negara Islam dengan cara konfrontasi karena terpengaruh oleh Sayid Qutb dan sayap radikal, dengan kelompok lain yang ingin terus menekankan fungsi dakwah dan pembinaan masyarakat yang dipelopori oleh Ghazali. Kelompok yang ingin menekankan fungsi dakwah mengganggap diri mereka sebagai pengikut Banna.
Kendati demikian hal tersebut di atas tidak menjadikan sayap radikal kendor, pemikiran Qutb terus menjadi inspirasi bagi munculnya gerakan dan organisasi Islam sempalan IM yang radikal dan revolusioner dalam politik Mesir yang semakin lama cenderung lebih represif terhadap oposisi gerakan Islam.
Konflik internal dalam suatu organisasi baik itu dalam organisasi tradisional maupun organisasi moderrn adalah hal yang tidak mudah dihindari. Perbedaan cara pandang masing-masing anggota organisasi menjadikan konflik tersebut terkadang dianggap sebagai satu sisi negatif dari pertumbuhan organisasi, padahal apabila kita dapat mengatur konflik tersebut dengan baik, maka konflik tersebut akan menjadikan organisasi lebih dewasa dan lebih matang dalam memecahkan suatu permasalahan.
D. Gambaran Singkat Interaksi IM Pasca Revolusi dengan Pemerintah Mesir
Era Gamal Abdul Nasser. Pada awalnya IM memberikan dukungannya kepada Gamal Abdul Nasser, tetapi setelah terbukti bahwa sebenarnya Nasser tidak memiliki niat untuk mendirikan negara Islam, akan tetapi justru mempopulerkan nasionalisme dan sosialisme Arab sekuler maka IM berbalik arah memusuhi Nasser. Bahkan ketika hubungan dengan IM semakin memburuk, yang timbul kemudian adalah peperangan yang berakhir dengan kekerasan. Hal ini berujung pada tindakan tegas Nasser dengan menumpas IM hingga ke akar-akarnya, menghukum Qutb dan tokoh-tokoh lainnya dalam IM dengan hukuman mati, memenjarakan banyak orang yang terlibat dengan IM. Pada detik-detik terakhir kepemimpinan Nasser, negara menekan, dan membelenggu lembaga keagamaan serta oposisi Islam, yang termasuk di dalamnya adalah IM.
Era Anwar Sadat. Berangkat dari pengalaman Nasser, Anwar Sadat tersadarkan dari mimpi buruk yang telah terjadi pada masa Nasser. Ia berusaha membentuk dan meligitimasi politiknya sendiri, memanfaatkan Islam untuk menghilangkan pengaruh kekuasaan sebelumnya. Akan tetapi, hal ini tidak berlangsung lama, otoritarianisme kembali mengelilingi Sadat, selain itu penentangan yang dilakukan terhadap para penentangnya semakin kuat dan keras. Tindakan kekeransan yang dilakukan oleh Sadat ini mencapai puncaknya pada saat Sadat memenjarakan hampir 1500 orang dari berbagai lapisan masyarakat (dosen, wartawan, aktivis Islam, dokter, mantan menteri, dan para pengamat politik yang dianggap menentangnya) pada tahun 1981. Kebijakan Sadat ini menyulut pertentangan yang semakin kuat dan radikal dari para aktivis Islam yang tidak ditahan, sehingga berujung pada peristiwa pembunuhan terhadap dirinya, ketika ia melakukan parade militer pada bulan November 1981.
Era Nasser dan Sadat secara politis menindas lembaga dan kelompok Islam, dan tidak memberikan peranan politik yang berarti kepada orang-orang agama, hal ini dilakukan karena ketakutan akan adanya politik keagamaan yang akan menghancurkan keeimbangan yang rapuh di ddalam masyarakat Mesir, atau memberikan kekuasaan politik kepada kelompok-kelompok fundamentalis.
Era Husni Mubarok. Pengalaman pada era sebelumnya menjadikan Mubarok lebih hati-hati dalam mengambil kebijakan, dengan mengupayakan langkah liberalisasi politik dan toleransi, sementara pada saat yang sama dia mengambil tindakan cepat dan tegas terhadap pihak-pihak yang ingin kembali menggunakan kekerasan untuk menentang otoritas pemerintah. Secara lebih hati-hati dia memisahkan antara pembangkang agama, pembangkang politik dan ancaman-ancaman langsung bagi negara. Pemerintahan Mubarak lebih akomodatif dalam menghadapi para oposisinya, memberikan ruang kepada mereka untuk menyalurkan aspirasinya. Ia menilai bahwa Ikhwanul Muslimin dan para oposisi agama lain merupakan bukti kebangkitan Islam, sekaligus sebuah pencarian format relasi mereka dengan negara
E. Beberapa Catatan Kritis Hasan Hanafi Terhadap IM
Beberapa aspek negatif dari pergerakan serta pemikiran IM diungkap oleh Hasan Hanafi. Beberapa aspek tersebut antara lain : Pertama, eduksi peran akal dan aspek keimanan yang melekat pada IM menjadikan IM sebagai sebuah gerakan religius daripada sebuah gerakan rasional yang selalu mendahulukan aksioma yang tidak bisa didiskusikan dan diotak atik. Maka yang berkembang kemudian adalah intuisi bukan rasio.
Kedua, dogma yang tertanam pada IM menjadikannya memandang buruk sistem pemerintahan yang ada. IM memandang bahwa sistem yang berasal dari Barat harus dihapuskan tanpa memandang secara obyektif terlebih dahulu sistem tersebut.
Ketiga, ambisi yang kuat untuk mendirikan negara Islam dan menerapkan syari’at Islam sebagai realisasi hukum Tuhan menjadikan IM tidak memperhatikan aspek-aspek kemaslahatan umum yang merupakan dasar yuresprudensi hukum.
Keempat, aksi perubahan sosial dengan jalan menggulingkan rezim penguasa dan merebut kekuasan politik dilakukan secara sepihak tanpa memperhatikan atau mempertimbangkan aspirasi rakyat, hal ini menjadikan permasalahan yang seharusnya dipikul bersama beralih menjadi beban bagi rakyat.
Kelima, usaha-usaha militeristik yang dilakukan oleh IM untuk melawan pemerintah mengakibatkan korban di kalangan rakyat. Selain itu label bahwa orang Islam sebagai warga negara yang tidak baik melekat pada orang-orang Islam. Dalam hal ini IM telah maju selangkah namun mundur dua langkah.
Keenam, keterjebakan dalam perdebatan totalitas atau nihilitas dengan menerima sistem Islam secara utuh dan menolak sama sekali sistem sekuler menjadikan IM sebagai sebuah gerakan yang eksklusif dan menutup diri. Dan hal ini pulalah yang menjadikan eksistensi IM tidak dapat bertahan lama.
Ketujuh, citra pemberontak dan pembangkang melekat pada gerakan ini. Gerak-gerik mereka selalu diawasi oleh pihak keamanan pemerintah seperti halnya seorang penjahat, padahal mereka adalah tokoh panutan dan da’i. hal awal –dakwah- yang sebnarnya menjadi pondasi gerakan menjadi tidak terlaksana seutuhnya karena mereka dikucilkan dan dimusuhi. Masyarakat menjadi takut dan khawatir terhadap keberadaan da’i-da’i tersebut.
Kedelapan, meski pada mulanya terbangun sebuah jalinan kerjasama antara kekuatan IM dan nasional, namun penolakan dan konflik kepentingan lebih menghiasi hubungan mereka daripada menerima perdebatan. Padahal sebenarnya kelompok Islam merupakan wadah yang paling akomodatif dan tempat pertemuan seluruh elemen nasional.
Kesembilan, pola piramida yang diterapkan dalam struktur organisasi IM menjadikan organisasi tersebut rawan konflik dan terkadang memunculkan perpecahan intern. Dan yang terakhir, kesepuluh, meskipun IM antipati terhadap imperialisme Barat, dan materialisme, namun dalam pemikiran dan pelaksanaan ekonomi mereka menggunakan sistem kapitalistik dengan menekan ekonomi pasar bebas, laba, perdagangan.
F. Penutup
Sebagai epilog, IM dapat dikatakan merupakan kulminasi dari neo-salafisme, ia seolah berupaya untuk merekonsiliasi Islam dengan dunia modern. Akan tetapi karena keberadaanya berasama dengan IM dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah maka eksistensinya menjadi terancam dan tidak dapat bertahan lama.
Satu hal yang harus dipertimbangkan oleh pergerakan-pergerakan baru dari IM adalah sistem sel (penulis tidalk banyak menyinggung tentang hal ini) untuk menarik dukungan masa. Dalam sejarah pergerakan, sistem ini cukup memberikan sumbangan besar bagi perkembangan sebuah gerakan. Hal ini dapat kita lihat dari keberhasilan IM di Mesir dan PKI di Indonesia dalam menarik dukungan masa. Hal lain yang juga perlu diingat bahwa suatu pergerakan apabila ia lebih cenderung pada gerakan garis keras, maka gerakan itu sulit untuk bertahan lama.

DAFTAR PUSTAKA

Abegebril, Maftuh dkk. Negara Tuhan: the Thematic Encyclopaedia. Yogyakarta: SR Ins Publishing, 2004.
Armstrong, Karen. Islam: a Short History. Terj. Ira Puspo Rini. Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002.
Armando, Nina M (ed), Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Postmodernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 1999.
Esposito, John L.(ed), Identitas Islam Pada Perubahan Sosial dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang, 1986.
Furqon, Aay Muhammad. Partai Keadilan Sejahtera. Jakarta: Teraju, 2004.
Hanafi, Hasan, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, Yogyakarta: Islamika, 2003.
Mahmud, Ali Abdul Halim, Ikhwanul Muslimin Konsep Gerakan Islam Terpadu, Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Marbun, B.N, Kamus Politik, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Osman, Fathi, Ikhwan Demokrasi Ikhwanul Muslimin Memnbedah Demokrasi, edisi revisi Yogyakarta : Titian Wacana, 2005.
Panggabean, Samsu Rizal, ”Organisasi dan Gerakan Islam” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta :Pt Ichtiar Baru van Hoeve, t.t.
Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 1996.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1993.
Shah, M. Aunul Abied, et all (eds). Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung, Mizan, 2001.
Ruslan, Utsman Abdul Mu'iz, Tarbiyah Siyasiyah, Pendidikan Politik Ikhwanul Muslimin, Solo: Era Intermedia, 2000.
WAMY. Gerakan Keagamaan dan Pemikira: Akar Ideologis dan Penyebarannya. Terj. A. Najiyullah. Jakarta: I’tishom Cahaya, 2002.
www.psktti-ui.com/indonesia/

Tatap Muka Keenam

Konsep Ibnu Khaldun Tentang Pemerintah dan Negara

Pokok Bahasan : Konsep Ibnu Khaldun Tentang Pemerintah dan Negara
Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa mengetahui latar Belakang Sosial Politik, Biografi, dan Pemikiran Politik Islam Ibnu Khaldun dan konsepnya tentang Negara
A. Pendahuluan
Ibnu Khaldun adalah seorang ahli pikir Islam yang jenius dan termasyhur dikalangan intelektual modern. Dalam karya-karya Ibnu Khaldun dapat dilihat penguasaanya terhadap berbagai disiplin Ilmu Pengetahuan, seperti sejarah, sosiologi, dan Politik, sehingga tidak mengherankan apabila Ibnu Khaldun dikategorikan menjadi ahli sejarah, sosiologi dan politik. Bahkan banyak orang yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah makhluk yang paling penting dan paling terhormat dalam alam semesta.
Dalam mengemukakan konsep politiknya Ibnu Khaldun tidak dapat lepas dari kenyataan yang dihadapi dan dialaminya. Disatu pihak ia melihat ikatan-ikatan bermasyarakat, bernegara dan berperadaban pada umumnya sebagai sesuatu yang berkembang terlepas dari agama, tetapi dipihak lain Ibnu Khaldun adalah seorang muslim dan tentu saja sangat mempengaruhi sikapnya dalam memandang masalah Tuhan, manusia dan masyarakat. Walaupun begitu dalam catatan Deliar Noer, Ibnu Khaldun cukup objektif dalam mengemukakan pemikiran-pemikirannya.
Tulisan ini akan mencoba memberikan deskripsi mengenai konsep yang ditawarkan oleh Ibnu Khaldun mengenai Negara dan pemerintah, dengan fokus kajian thesis utamanya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Kemudian pada bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba melihat dan mencermati lebih mendalam relevansi teori dan pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun terhadap perkembangan negara modern.
B. Biografi dan Setting Sosial Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliudin Abdurrahman bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin Khaldun al-Hadrami, lahir di Tunisia, 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M. Ia berasal dari Hadramaut (Yaman), dan silsilahnya sampai kepada salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW, Wali bin Hujr dari Kabilah Kindah. Cucu Wali bernama Khalid bin Usman memasuki daerah Andalusia pada abad ke-3 H. Anak cucu Khalid bin Usman ini kelak membentuk keluarga bani Khaldun, asal nama Ibu Khaldun. Bani Khaldun ini tumbuh dan berkembang di kota Qarmunah (Carmona) di Andalusia (Spanyol), selanjutnya hijrah ke Isybilia (Sevilla), tempat banyak anak cucu Bani Khaldun menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.
Pada masa kecilnya di Tunisia, ia belajar berbagai cabang Ilmu Pengetahuan, seperti mantik, filsafat, fiqih, dan sejarah. Ia juga menghafal al-Qur’an serta mempelajari ilmu bahasa dan tajwid. Guru pertamanya adalah ayahnya sendiri, dan selanjutnya ulama Andalusia yang karena kemelut di Andalusia hijrah ke Tunisia, bersamaan dengan naiknya Abu al-Hasan, Pemimpin Bani Marin (1347). Studinya terhenti ketika tiba-tiba sebagian belahan dunia timur terjangkit wabah pes, pada 797 H/ 1348 M, sehingga banyak tokoh politik dan ulama yang hijrah ke Andalusia.
Ibnu Khaldun menghabiskan lebih dari dua pertiga umurnya di kawasan Afrika Barat laut, yang sekarang ini berdiri negara-negara Tunisia, Aljazair dan Maroko serta Andalusia yang terletak di ujung selatan Spanyol. Pada zaman ini kawasan tersebut tidak pernah menikmati sebuah stabilitas dan ketenangan politik, sebaliknya merupakan kancah perebutan dan kekuasaan antar dinasti dan juga pemberontakan sehingga kawasan itu atau sebagian darinya sering berpindah tangan dari satu dinasti ke dinasti yang lain. Kenyataan tersebut sangat mewarnai hidup dan karir Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun meniti kariernya dibidang Pemerintahan dan politik di kawasan Afrika Barat dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam kurun waktu itu lebih dari sepuluh kali dia berpindah jabatan dan seringkali bergeser loyalitas dari satu dinasti ke dinasti yang lain dan dari satu pengusaha ke pengusaha yang lain pada dinasti yang sama. Pada usia 21 tahun (751 H/ 1350 M), ia diangkat sebagai sekretaris Sultan al-Fadl dari Dinasti Hafs, tetapi ia kemudian berhenti karena penguasa ini kalah perang (753 H/1352 M), dan Ibnu Khaldun pun terdampar di kota Baskara, Maghribi Tengah (Aljazair). Disini ia berusaha bertemu dengan Abu Anan dari Bani Marin, dan pada tahun 755 H/ 1354 ia diangkat menjadi anggota majelis Ilmu pengetahuan, dan kemudian menjadi sekretaris sultan. Jabatan ini di pegangnya sampai tahun 763 H/1361 M dengan dua kali sempat dipenjara sampai saat Wazir Usman bin Abdullah marah kepadanya dan memerintahkannya untuk meninggalkan Tunisia. Ia pin pergi ke Granada pada tahun 764 H/ 1363 M tempat sultan Bani Ahmar memerintah.
Ketika hubungannya dengan Sultan mengalami keretakan, ia berpindah haluan kepada Abu Abdillah Muhammad, pemimpin Bani Hafs yang kemudian mengangkatnya sebagai Perdana Menteri merangkap khatib negara, sampai Bijayah jatuh tangan Sultan Abu al-Abbas Ahmad. Pada masa ini, Ibnu Khaldun di angkat lagi sebagai perdana menteri, sampai ia pergi ke Baskarah. Di Baskarah ini ia berkirim surat untuk memberikan dukungan kepada Sultan Tilmisan dari Bani Abdil Wad, Abu Hammu. Sultan memberikan jabatan penting di dalam kesultanannya, tetapi ditolak oleh Ibnu Khaldun. Dan mengusulkan kakaknya yang bernama Yahya untuk menjadi pengganti posisinya. Namun demikian, Ibnu Khaldun tetap membantunya mengumpulkan beberapa suku untuk memihak kepada Abu Hammu melawan Abu Abbas.
Setelah mengabdi kepada pemerintah yang satu dengan yang lain, Ibnu Khaldun merasa lelah dalam petualangan politiknya. Ketika Abu Hamu memintanya untuk mencari dukungan politik dari para suku lebih banyak, dia memanfaatkan kesempatan ini untuk meninggalkan politik. Sekalipun usahanya tidak pernah lelah namun dia gagal membawa perdamaian diantara negara-negara kecil di Afrika dan memutuskan untuk mengasingkan diri di Oran, pinggiran kota Tunisia, disinilah selama empat tahun dia mencurahkan dirinya untuk meneliti sejarah dan menulis Muqaddimah.
Pada tahun 780 H/1378 M, Ibnu Khaldun kembali ketanah airnya, Tunisia. Disana ia merevisi kitab al-Ibar–nya. Kemudian pada tahun 784 H/1382 M a berangkat ke Iskandariyah, Mesir, untuk menghindari kekacauan politik di Maghribi, kemudian ia pergi ke Kairo. Di Kairo Ibnu Khaldun mengambil jalur di dunia pendidikan, selain sebagai seorang hakim di pengadilan. Disini ia sangat disukai karena penjelasannya yang mengesankan mengenai berbagai fenomena sosial. Ibnu Khaldun wafat pada tahun 808 H/ 1406 M, tak lama setelah ditunjuk keenam kalinya sebagai hakim. Dia dimakamkan dikawasan pemakaman orang sufi di Kairo.
C. Corak Pemikiran Ibnu Khaldun.
Berbicara mengenai pemikiran seorang tokoh, maka kita tidak bisa melepaskan diri dari dua hal yaitu epistimologi dan teori. Secara garis besar ada dua aliran pokok dalam epistemologi. Pertama adalah idealisme atau lebih populer dengan sebutan rasionalism, yaitu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya akal, idea sebagai sumber ilmu pengetahuan, peran panca indera dinomor duakan. Sedang aliran yang kedua adalah realism atau empiricism yang lebih menekankan pancaindera sebagai sumber sekaligus alat untuk memperoleh ilmu pengetahuan., sedang peran akal dinomorduakan Dalam sejarah filsafat, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara kedua aliran tersebut. Lalu dimanakan posisi Ibnu Khaldun diantara dua aliran tersebut?.
Idealisme dan realisme adalah bentuk–bentuk gaya berfikir atau dengan menggunakan istilah thougt style. Seringkali konsep tersebut dipertentangkan dan seakan akan keduanya tidak bisa didamaikan. Ibnu Khaldun menganggap kedua-duanya sama pentingnya. Baginya apa yang harus terjadi sebenarnya sama dengan apa yang ada. Namun keduanya harus dipisahkan, masing-masing harus ditempatkan pada tempatnya tersendiri dan dijaga dari percampuradukan oleh bidang lain.
Ibnu Khaldun hidup di abad ke-14, dalam setiap pemikiranya tidak bisa lepas dari keadaan masanya, ia dipandang sebagai pemikir yang realis dan rasionalis, pemikirannya begitu rasional disamping tidak mengabaikan naql. Pada dirinya terdapat perpaduan antara rasio dan naql yang serasi. Menurut beberapa penulis, ibnu khaldun adalah pengikut al-Ghazali, dan menurut sebagian yang lain ia merupakan pengikut Ibnu Rusyd. Dengan kombinasi untuk dari kedua corak pemikiran ini yang telah ada sebelumnya Ibnu Khaldun membangun teori yang sangat modern.
Dalam karyanya Muqaddimah, Ibnu Khaldun membangun logika-logika yang realistik, sebagaimana pengganti logika lama yang sangat idealistik. Ibnu Khaldun berbeda dengan Machiavelli, sekalipun mereka membedakan diri dari intelektual sezaman mereka, terutama dalam menghadapi peristiwa sosial sebagai kerangka acuan yang benar-benar realistis. Machaivelli menolak idealisme dan menerima realisme, sedangkan Ibnu Khaldun tidak meremehkan makna sesuatu yang ideal dan relegius. Yang paling tidak disukainya adalah campur tangan idealisme agama dalam masalah-masalah kehidupan yang nyata.
Dari sini terlihat dengan jelas karakteristik pemikirannya yang realistik dan melepaskan pengaruh idealistik dalam memahami fenomena kemasyarakatan.
D. Ashabiyah : Thesis Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat
Salah satu sumbangan yang genuine, dari Ibnu Khaldun adalah teorinya mengenai Ashabiyah dan perannya dalam pembentukan negara, kejayaan dan keruntuhannya. Konsep ashabiyah ini merupakan poros utama dalam teori-teori sosial Ibnu Khaldun. Menurut ibnu Khaldun ashabiyah lahir dari hubungan-hubungan darah (blood ties) dan ikatan yang menumbuhkannya. Ikatan darah memunculkan perasaan cinta terhadap saudara dan kewajiban untuk menolong dan melindungi mereka dari tindak kekerasan. Semakin dekat hubungan darah dan seringnya kontak diantara mereka, maka ikatan-ikatan dan solidaritas akan semakin kuat. Tetapi sebaliknya semakin renggang hubungan tersebut maka ikatan-ikatan tersebut akan semakin melemah.
Adapun tugas ashabiyah dalam kehidupan kemasyarakatan menurut Ibnu Khaldun sangat dominan. Ashabiyahlah yang telah menjadi motor dari kekuasaan dan karena itu dapat dikatakan yang menjadi penggerak utama dari sejarah manusia adalah ashabiyah. Ibnu Khaldun berpandangan tujuan ashabiyah adalah untuk mewujudkan al-mulk, karena ashabiyah mampu memberkan perlindungan, menumbuhkan pertahanan bersama, sanggup mendsarkan tuntutan-tuntutan dan kegiatan lain. Dengan kata lain bahwa tujuan dari ashabiyah adalah superioritas (at-taghalul al-mulk).
Dalam kehidupan bernegara (nation), Ibnu Khaldun melihat terdapat dua kekuatan dominan yang membentuk nasib-nasib mereka. Kekuatan pertama adalah kekuatan primitif dan utama yang oleh Ibnu Khaldun disebut dengan Ashabiyah, atau elemen-elemen pengikat masyarakat, solidaritas sosial atau perasaan kelompok yang mampu menyatukan masyarakat, sebuah negara maupun sebuah kerajaan dan dalam kelompok yang lebih luas, dapat disamakan dengan patriotisme. Akan tetapi patriotisme dan ashabiyah bukanlah merupakan sinonim meskipun dalam bentuk yang paling ekstrimnya, patriotisme adalah bentuk lain dari ashabiyah sebagaimana yang digambarkan oleh Ibnu Khaldun.
Ashabiyah akan muncul dan berkembang ketika perasaan untuk melindungi diri membangkitkan sense of kindship (rasa kekeluargaan) yang kuat dan mendorong manusia untuk menciptakan hubungan antara yang satu dengan yang lain. Hal ini adalah kekuatan vital bagi suatu negara dimana dengannya, mereka akan tumbuh dan berkembang dan jika melemah, maka mereka akan mengalami kemunduran. Kekuatan kedua adalah agama, Ibnu Khaldun mengembangkan suatu solideritas yang tanpanya negara tidak akan bisa eksis. Agama merupakan pendukung ashabiyah dan pada dasarnya juga memperkuat ashabiyah, dengan kekuatan relegius ini bangsa arab dapat membangun suatu peradaban yang besar.
Sungguh demikian, menurut Ibnu Khaldun, apabila ashabiyah dan agama terhadap proses timbal balik, maka peranan ashabiyah dalam mendapatkan politik akan sangat besar dan memiliki kekuatan besar untuk menciptakan integritas kekuatan politik. Sebaliknya apabila ashabiyat dan agama tidak beriringan maka kekuatan besarnya akan sirna begitu saja.
D. Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Negara dan Pemerintahan
a. Asal Mula Negara
Ibnu Khaldun memulai pembicaraan mengenai negara berdasarkan pada kenyataan bahwa manusia adalah mahluk yang hidup berkelompok dan saling memerlukan bantuan. Hal ini dilakukan manusia untuk bisa bertahan hidup dan untuk mendapatkan rasa aman. Oleh karenanya diperlukan kerjasama antara sesama manusia. Kerjasama tersebut membentuk suatu organisasi kemasyarakatan. Dari sinilah Ibnu Khaldun mengatakan bahwa organisasi kemasyarakatan (al-itjma’ al-insani) adalah merupakan keharusan. Karenanya, peradaban umat manusia itu tidak lepas dari organisasi masyarakat tersebut.
Seperti yang telah di kemukakan diatas, Ibnu Khaldun berpandangan bahwa adanya organisasi kemasyarakatan merupakan suatu keharusan bagi hidup masyarakat, karena sesungguhnya manusia memiliki watak hidup bermasyarakat. Tatanan sosial akan berubah dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat yang lain senantiasa kemudian mengikuti faktor-faktor yang di miliki oleh masyarakat pertama, yaitu menyangkut iklim, cuaca, tanah, makanan, sumber tambang, kemampuan berfikir, jiwa dan emosi mereka.
Setelah organisasi kemasyarakatan terbentuk dan peradaban merupakan suatu kenyataan di duna ini, maka masyarakat membutuhkan seseorang dengan pengaruhya dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Menurutnya, peran sebagai penengah dan pemisah hanya dapat dilakukan oleh seseorang dari anggota masyarakat itu sendiri. Seseorang tersebut harus berpengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat, harus mempunyai kekuasaan dan otoritas atas mereka sehingga tidak seorangpun di antara anggota masyarakat dapat mengganggu atau menyerang sesama anggota masyarakat yang lain. Tokoh yang mempunyai kekuasaan, otoritas dan wibawa tersebut adalah raja, khalifah atau kepala negara.
b. Kedudukan dan Syarat-Syarat Kepala Negara
Berbicara tentang kedudukan kepala negara, seperti yang telah di kemukakan diatas. Ibnu Khaldun berpandangan bahwa kehadiran seorang pemimpin baik itu seorang raja atau kepala negara sebagai penengah, pemisah dan sekaligus pemegang otoritas itu merupakan suatu keharusan bagi kehidupan bersama dalam suatu masyarakat atau negara, hal ini didasarkan pada ajaran agama yang mengatakan bahwa tugas manusia adalah memelihara kelestarian dan kemakmuran alam semesta dan seisinya termasuk umat manusia selain itu manusia juga bertugas untuk melakukan perbuatan yang bersifat membangun dunia ini.
Namun demikian, pandangannya mengenai arti penting seorang pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat tidak hanya berdasarkan pada wahyu Tuhan atau ajaran agama, sebagaimana yang disebut diatas. Tetapi lebih di tekankan pada hasil pengamatannya terhadap perkembangan kehidupan. Dalam pandangannya seseorang yang dapat bertindak sebagai raja haruslah memiliki superioritas atau keunggulan, sehingga mempunyai otoritas untuk mengambil keputusan. Hal ini sangat berkaitan dengan syarat-syarat untuk menduduki sebagai kepala negara. lalu apakah syarat-syarat sebagai kepala negara tersebut?
Menurut Ibnu Khaldun, syarat-syarat kepala negara ialah: Pertama, ia harus berpengetahuan di sertai kesanggupan untuk mrengambil keputusan-keputusan sesuai syariat. Kedua, ia harus seorang yang adalah artinya bersifat jujur, berpegang pada keadilan, dan pada umumnya mempunyai sifat-sifat moral yang baik, sehingga kata-katanya dapat dipegang dan ucapannya dapat dipercaya. Adalah juga menunjukan tentang ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi sebagai seseorang yang tahu akan kewajibannya, misalnya dalam menjadi saksi. Ketiga, ia mempunyai kesanggupan dalam menjalankan tugas-tugas yang dituntut oleh seorang kepala negara, termasuk melaksanakan hukuman-hukuman yang diputuskan secara konsekuen. Ia harus menegakan hukum dan harus juga sanggup untuk, kalau perlu pergi dan memimpin perang. Keempat, ia secara fisik dan mental harus bebas dari cacat-cacat yang tidak memungkinkan ia menjalankan tugas sebagai kepala negara dengan baik.
Sebuah syarat lagi yang sering dikemukakan oleh banyak pihak dalam kalangan Islam pada masa Ibnu Khaldun dan masa sebelumnya ialah kepala negara itu haruslah seorang keturunan Quraisy, dari suku Muhammad. tentang ini Ibnu Khaldun berpendapat bahwa syarat tersebut bergantung pada sikap rasa golongan Arab sehingga syarat keturunan Quraisy itu tidak dapat dipertahankan lagi.
c. Pengangkatan Kepala Negara
Dalam pemikirannya mengenai negara, Ibnu Khaldun sebenarnya tidak menjelaskan secara terperinci mengenai mekhanisme pengangkatan kepala negara, namun seperti yang dijelaskan dalam Munawir Sadjali, Ibnu Khadun menyebutkan salah satu syarat untuk menduduki kepala negara, khalifah ataupun imam, menurutnya seorang calon harus dipilih oleh ahlul hal wa al-aqdi, yaitu orang-orang yang mempunyai kompetensi, di samping syarat-syarat lain seperti yang telah dijelaskan diatas.
Kemudian dalam menjalankan kekuasaannya seorang kepala negara akan sangat membutuhkan dukungan dari (1) Para professional di bidang birokrasi, termasuk didalamnya para cendekiawan atau kaum terpelajar, yang dapat menata dan menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, dan (2) kekuatan tentara yang dapat lebih efisien dalam menjaga negara dan kekuasaannya dari setiap ancaman atau gangguan dari luar.
d. Tipologi Negara
Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan. Ia membagi negara menjadi dua kelompok; pertama, negara dengan ciri kekuasaan alamiah (al-mulk al-thabiy), yang kedua negara dengan ciri kekuasaan politik (al-mulk al-siyasyi). Tipologi negara pertama ditandai dengan kekuasaan sewenang-wenang (depotisme) dan cenderung pada hukum rimba. Disini keunggulan dan kekuatan sangat berperan dan prinsip keadilan sangat diabaikan dan pada gilirannya akan membentuk suatu negara yang tidak berperadaban.
Tipe negara kedua yaitu Negara dengan ciri-ciri kekuasaan politik di kelompokan lagi menjadi tiga tipe yaitu ;
1. Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat),
2. Negara hukum sekuler (siyasat aqliyat), dan
3. Negara Republik ala Plato (siyasat madaniyat)
Negara hukum demokrasi Islam (siyasat diniyat) adalah negara yang menjadikan syariah (hukum Islam) sebagai fondasinya. Malcom Kerr, menamakannya dengan Istilah nomokrasi Islam. Karakteristik Siyasah Diniyah menurut Ibnu Khaldun ialah selain al-Qur'an dan al-Hadist, akal manusiapun sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan Negara.
Menurut Ibnu Khaldun, Tipe negara yang paling baik adalah nomokrasi Islam, karena siyasah aqliyah (negara sekuler) hanya, mendasarkan pada hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum dengan sumber wahyu. Sedangkan Siyasat Madaniyat (Republik Plato) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir orang dari golongan elit atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai kekuatan politik.
Yang menarik dari klasifikasi Ibnu Khaldun mengenai tipologi Negara ialah pendekatanya dengan menggunakan kekuasaan sebagai a generik term dan pembagian kekuasaan itu menurut krateria untuk menentukan tipe kelompok apa dari suatu siyasi. Disini bisa dipahami tampaknya Ibnu Khaldun berpegang pada suatu hipotesis makin tinggi tingkat peradaban manusia, makin baik tipe negaranya. Tetapi menurutnya ciri ideal suatu Negara adalah kombinasi antara syariat dengan kaidah-kaidah hokum yang diterapkan manusia berdasarkan atas akalnya. Tetapi penggunaan akal tersebut tetap merujuk pada syariat. Jadi suatu tingkat peradaban tinggi semata-mata bukan berarti ideal.
e. Tahap Perkembangan Negara
Adapun mengenai umur suatu negara, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa masyarakat manusia akan berjalan mengikuti tahap-tahap berjenjang, seperti halnya tahapan yang dilalui manusia sejak lahir hingga ia kemudian wafat. Begitu pula dengan negara, sama dengan individu memiliki umur yang alami. Umur suatu negara biasanya hanya tiga generasi dengan hitungan satu generasi sama dengan empat puluh tahun, maka dengan demikian umur suatu negara menurutnya adalah seratus dua puluh tahun. Umur tiga generasi tersebut dibagi menjadi empat tahapan, yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut.
Pertama, tahap primitive (al-badawah). Perhatian individu dalam tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang lain dengan kejam. Tanda lainya adalah fanatisme terhadap keturunannya. Kedua, tahap kepemilikan (al-mulk). Pada tahap ini, kekuasaan masyarakat terpusat pada tangan seseorang, keluarga atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan secara terang-terangan. Bahkan selalu melekat pada jiwa setiap manusia. Masyarakat pada tahap ini, beralih dari penghematan ke pemborosan, dari masyarakat yang primitive ke masyarakat yang beradab.
Ketiga, tahap beradab dan kemakmuran. Pada tahap ini, individu masyarakat telah melupakan makna kekarasannya. Mereka telah meninggalkan fanatisme dan kesukaan berperangnya. Dan mereka telah meninggalkan masa produktifnya, sehingga memberatkan negara. Kemampuan penguasa menurun, tetapi keterlibatan mereka dalam bersenang-senang meningkat. Keempat, adalah tahap kelemahan, kerusakan akhlak, dan kemunduran. Pada tahap ini, negara menjadi mangsa yang empuk untuk diserang musuh dari luar. Setelah mengalami keempat tahapan tersebut, maka pada akhirnya semua negara akan mengalami kehancuran. Kehancuran ini menurut Ibnu khaldun merupakan hal yang alamiah, pada akhirnya semua negara akan runtuh dan akan digantikan oleh negara lain.
E. Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun terhadap perkembangan Negara Modern
Seperti apa yang telah di uraikan diatas, Ibnu Khaldun menjelaskan persoalan jatuh bangunnya kekuasaan. Menurut pandangannya kekuasaan akan jatuh apabila melupakan solidaritas kelompok pendukungnya, sebaliknya akan tetap bertahan selama solidaritas tersebut tetap terjaga dengan baik. Solidaritas inilah yang menggerakan dan mendorong orang untuk terus maju dan mencapai tujuan.
Perspektif Ibnu Khaldun diatas penulis kira bisa digunakan sebagai tool of analysis runtuhnya kekuasaan rezim Orde Baru, dalam pandangannya, kekuasaan yang dijalankan oleh Orde Baru ini adalah tipe kekuasaan yang dominatif, dan refresif. Masyarakat di bawah kekuasaan seperti ini akan hidup dalam tekanan rasa takut. Kondisi seperti ini bisa menyebabkan hilangnya ashabiyah suatu kelompok masyarakat terhadap pemimpin yang sebelumnya didukung. Seiring dengan itu, kekuasaannya pun menjadi semakin terpusat, meninggalkan solidaritas rakyat sebagai modal politiknya dan menggantikan solidaritas tersebut dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukungnya. Selain itu kekusaan Orde Baru telah tenggelam dalam gaya hidup bermewah mewah, akibatnya kekuasaan kemudian tidak lagi berdiri atas mandat rakyat, tetapi melalui kekuatan tentara dan birokrasi yang merekayasa kekuasaan atas nama rakyat. Menurut Ibnu Khaldun, apabila sebuah kekuasaan telah tenggelam dalam hidup bermewah-mewah dengan melakukan korupsi dan penyitaan hak milik rakyat, maka 'ashabiyah yang semula mengantarkan nya kepuncak kekuasaan negara segera akan hancur.
Apabila ashabiyah yang dimiliki oleh penguasa telah melemah maka ia akan segera digantikan oleh ashabiyah lain yang lebih kuat. Sekalipun dalam memperebutkan kekuasaan Negara akan terjadi pertarungan antar tokoh dengan basis pendukung yang berbeda-beda. Namun hanya tokoh yang mempunyai ashabiyah yang kuatlah yang bisa merebut kekuasaan. Ashabiyah yang paling kuat terbentuk melalui penggabungan dari beberapa ashabiyah yang kecil. Atau, seorang pemimpin yang mempunyai ashabiyah lemah melakukan koalisi antar ashabiyah lemah yang lain membentuk ashabiyah yang lebih kuat.
Disini, dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada tiga hal dalam persfektif Ibnu Khaldun yang menyebabkan jatuhnya kekuasaan Orde Baru, yaitu pertama, karena kekuasaannya semakin terpusat; kedua, meninggalkan ashabiyah rakyat dan menggantikanya dengan tentara dan birokrasi sebagai basis utama pendukung kekuasaannya semakin terpusat; dan ketiga, karena kekuasaan Orde Baru tenggelam dalam kemewahan dengan melakukan korupsi dan merampas hak rakyat.
Tidaklah heran bila fenomena yang sekarang terjadi adalah maraknya gerakan separatisme yang ‘menggugat’ integrasi wilayah republik Indonesia. Lepasnya Timor Timur dari wilayah negara kesatuan , tuntutan merdeka di beberapa daerah, pengibaran bendera GAM, di Aceh, munculnya gerakan separatis Papua Merdeka di bumi Papua, dan berbagai gerakan separatis lainya, adalah bukti nyata betapa lemahnya solidaritas nasional kita.
F. Penutup
Ibnu Khaldun adalah seorang politisi yang sangat memahami dunia politik di dunia Islam pada abad keempat belas. Dengan melihat terjadinya keruntuhan dan kelemahan yang menimpa dunia Islam pada umumnya ketika itu, dan mengamati sendiri kemunduran kebudayaan Arab-Islam di Andalusia di bawah tekanan pasukan Spanyol, tidaklah mengherankan bila pemikirannya mengenai negara dan pemerintahan sangat realistik dan terpengaruh oleh setting sosial politik yang terjadi pada masa itu.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang perkembangan negara bisa menjadi contoh betapa ia sangat pesimistis melihat eksistensi negara, ia cenderung mengakui bahwa segala sesuatu itu pada akhirnya akan hancur, termasuk negara. Menurutnya pada akhirnya negara akan mengalami proses dialektika, hal ini bisa dilihat ketika Ibnu Khaldun menjelaskan mengenai kelima tahap perkembangan negara. Yang menarik adalah bila kita cermati lebih mendalam pemikiran-pemikiran yang dibangun oleh Ibnu Khaldun, kiranya bisa kita lihat relevansi teori-teori tersebut apabila di aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Karena itu kiranya pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun perlu lebih di elaborasi lebih mendalam dan diperdebatkan secara kritis.
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Aspek Epistemologis Filsafat Islam, dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam : Ontologis, Epistemologis, Aksiologis, Historis, Prosfektif, Yogyakarta : LESFI, 1992.
Afandi, Hakimul Ikhwan, Akar Konflik Sepanjang Zaman : wlaborasi Pemikiran Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pemikiran Islam, alih bahasa, Ahmad Thaha, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1989.
Jhon L. Esposito (ed), Ensiklopedi Dunia Islam Modern, Jilid I ( Bandung : Penerbit Mizan, 2001),
Khudhairi, Zainab, Filasafat Sejarah Ibnu Khaldun, alih bahasa Ahmad Rafi’. Cet.I; Bandung : Pustaka, 1987.
Myers, Eugene. A, Zaman Keemasan Islam : Para Ilmuwan Muslim dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Barat, alih bahasa, M. Maufur al-Khoiri, Yogyakarta : Fajar Pustaka Utama, 2003.
Noer, Deliar, Pemikiran Politik Barat. Cet. IV. Bandung : Mizan Pustaka, 2001
Raliby, Osman, Ibnu Khaldun Tentang Masyarakat dan Negara. Cet. IV. Jakarta : Bulan Bintang,1978.
Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990.
Suharto, Toto, Epistemologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Yogyakarta : Fajar Pustaka Baru, 2003.
Zainuddin, Rahman, Ilmu Sejarah, Sosial dan Politik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Edisi II; Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002.
---------- , Kekuasaan dan Negara : Pemikiran Politik Ibnu Khaldun, Jakarta : Gramedia Pustak Utama, 1992.
 

Most Reading