Potret Islam Fundamental dan Islam Radikal di Indonesia.
(Studi Atas Eksistensi HTI dan MMI di Indonesia)
Zusiana Ely Triantini
Pengantar
Belum lepas dari ingatan kita tragedi yang sangat memilukan pada 11 September 2001, kejadian yang sulit untuk dilupakan begitu saja, tragedi ini disusul dengan globalnya isu terorisme dan serangan Amerika terhadap dua negara Muslim, Irak[1] dan Afganistan[2]. Diakui atau tidak, hal ini berpengaruh besar terhadap citra Islam di kalangan non-Muslim, terutama di dunia Barat yang nota bene banyak penduduknya yang memeluk agama selain Islam. Al-Qaidah dan Al-Jama’ah Islamiyah, merupakan dua organisasi Islam yang dituduh sebagai “dalang” penyerangan gedung WTC dan Pentangon[3] serta pengeboman di Bali, tuduhan ini dengan sangat cepat merubah citra Islam di mata dunia.
Perubahan citra ini ditandai dengan dua hal: pertama, meningkatnya keinginan para peneliti serta pemikir untuk mengkaji Islam secara lebih mendalam. Setelah sekian lama Islam diasumsikan sebagai agama yang identik dengan kekerasan masyarakat Arab, maka kini Barat mulai memandang keragaman Islam yang menonjolkan tradisi Islam yang moderat, akomodasionis dan non-kekerasan. Kedua, meningkatnya kekhawatiran terhadap fundamentalisme Islam. Pandangan yang menggeneralisasi Islam sebagai agama “pedang” kini telah memudar, dan tuduhan kekerasan secara spesifik lebih diarahkan kepada fundamentalisme Islam yang dianggap mempunyai ideologi ekstrem dan cenderung melegitimasi kekerasan dalam mencapai tujuan.[4] Legitimasi ini lahir karena adanya beberapa kalangan yang tergolong radikal dalam menerapkan ajarannya.
Kekhawatiran terhadap fundamentalisme Islam tidak hanya berasal dari kalangan non-Muslim, tetapi juga dari kalangan Muslim sendiri, terutama Muslim yang liberal dan akomodasionis, mereka mengkhawatirkan akan kekerasan yang potensial dilakukan oleh kelompok-kelompok Muslim Radikal yang berimbas terhadap citra Islam di mata dunia.
Di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, kekhawatiran ini menjadi kenyataan, misalnya, dengan kegiatan beberapa organisasi Islam yang menyerang berbagai bar, diskotik, tempat pelacuran, fatwa mati yang ditujukan kepada seorang aktifis Islam liberal dan upaya menggalang mujahid untuk dikirim ke wilayah konflik.[5] Hal ini berdampak negatif terhadap masyarakat Muslim, ketika keberadaan mereka dicurigai, hal yang terjadi kemudian adalah sulitnya masyarakat Muslim untuk melakukan hubungan atau akses ke negara-negara Barat. Dampak dari permasalahan tersebut adalah tertinggalnya masyarakat Muslim dari perkembangan dunia secara global, selain itu terancamnya masyarakat Muslim yang tinggal di luar negeri.[6]
Hal yang patut untuk dipikirkan bersama oleh kita, bahwa sekali gerakan keagamaan, termasuk gerakan Islam, terutama yang radikal memutuskan untuk mengemukakan pikiran-pikiran alternatif terhadap apa yang di jalankan pemerintah, biasanya mereka pantang mundur dari ketetapan tersebut, walaupun besar resiko yang harus mereka hadapi dalam bentuk persekusi dan penindasan atas aspirasi yang mereka kemukakan,[7] selain itu mereka memiliki kekuatan mobilisasi masa dan persatuan yang cukup tangguh yang berasal dari rasa kesepemahaman yang mereka miliki, walaupun terkadang apabila dihitung secara matematis kapasitas mereka cenderung tidak banyak.
Gerakan Islam fundamental dan radikal merupakan salah satu fenomena yang patut kita kaji lebih jauh berkaitan dengan konsep negara Islam khususnya di Indonesia, gerakan ini lebih cenderung tidak sepaham dengan sekularisme ala Barat, karena mereka menganggap bahwa kepemimpinan yang sekuler adalah wujud dari peminggiran syari’at Islam yang harusnya ditegakkan.
Telah membuminya golongan Islam Fundamental dan Radikal di berbagai negara di dunia menjadi hal yang terkadang cukup mengkhawatirkan bagi masa depan Islam. Hizbut Tahrir merupakan salah satu gerakan keagaman yang tergolong fundamental, hal ini tampak dari misi yang dibawa oleh kelompok oleh Hizbut Tahrir. Cita-cita mereka untuk mendirikan negara Islam telah menjadi perbincangan yang cukup pelik terutama di kalangan umat Islam sendiri. Penegakan syari’at Islam merupakan preoritas utama Hizbut Tahrir, dan kini perjuangan mereka telah terbaca dari berbagai kalangan dan hal tersebut menjadikan kaum Islam tidak leluasa untuk bergerak kemana pun karena takut dicurigai termasuk salah satu dari golongan Islam yang membawa misi perjuangan tersebut. Selain Hizbut Tahrir Indonesia, kelompok yang juga tergolong fundamental dan radikal di Indonesia yang baru-baru ini lahir adalah Majelis Mujahidin Indonesia.
Makalah ini akan mencoba “memotret” eksistensi kedua kelompok tersebut. Dimulai dari membahas profil kemudian pemikiran dan dilanjutkan dengan pembahasan strategi gerakan. Selain hal tersebut makalah ini juga menyajikan berbagai pergolakan wacana Islam fundamental dan Islam radikal khususnya yang berkembang di Indonesia dalam beberapa dekade belakangan ini.
Hizbut Tahrir Indonesia
- Profil dan Gambaran Akar Gerakan
Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik Islam di Palestina yang da’wahnya berpijak di atas keharusan mengembalikan Khilafah Islamiyah dengan bertompang kepada fikrah (ide) sebagai sarana paling pokok dalam perubahan. Partai ini telah mengeluarkan ijtihad-ijtihad syar’i yang kontroversial dan mengundang kecaman ulama-ulama Islam.
Partai ini didirikan oleh Syaikh Taqiyuddin Nabhani (1909-1979), beliau terlahir di kota Ijzim, sebuah kampung di daerah Haifa Palestina. Setelah belajar di kampung halamannya, beliau melanjutkan studinya di al-Azar dan Dar al-Ulum Kairo. Beliau pernah beberapa kali menjadi dosen dan hakim di kota Palestina. Setelah peristiwa tahun 1948, beliau bersama keluarga meninggalkan kampung halaman menuju Beirut. Kemudian beliau diangkat menjadi anggota di Makamah Banding Bait al-Maqdis (Yerusalem). Beliau mendirikan partai dan konsentrasi penuh terhadap partai pada tahun 1952. [8]
Sepeninggal Nahbani, Hizbut Tahrir dipimpin oleh Abdul Qadim Zallum, kelahiran kota Khalil Palestina. Beliau adalah penulis buku Hakadza Hudimat al-Khilafah. Atas permohonan Ali Fahruddin, Thalal Bisath, Musthafa Nahhas, Mushthafa Shalih dan Manshur Haidar, cabang Hizbut Tahrir Libanon didirikan. Pada saat itu pimpinan cabang Hizbut Tahrir Yordania dijabat oleh Syaikh Ahmad Da’ur. Pada tahun 1969 beliau ditangkap setelah percobaan kudetanya yang gagal. Beliau sempat dijatuhi hukuman mati akan tetapi hukuman tersebut dicabut kembali.[9]
Pada bulan Agustus 1984, sebanyak 32 aktifis Hizbut Tahrir Mesir diajukan ke meja hijau dengan tuduhan merencanakan kudeta. Namun dalam sejarahnya permasalahan ini tidak disebutkan secara terperinci sehingga kebenarannya terkadang diragukan oleh banyak pihak.
Pengembangan sayap gerakan Islam ini berkembang pesat dan kini dakwah yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir telah merambah ke berbagai negara di dunia termasuk salah satunya adalah Indonesia. Masuknya Hizbut Tahrir ke Indonesia bermula dari Ustadz Mama Abdullah bin Nuh. Pengelola Ponpes Al-Ghazali Bogor yang juga dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, beliau kemudian mengajak Ustadz Abdurrahman al-Baghdadi yang merupakan aktifis Hizbut Tahrir yang tinggal di Australia untuk menetap di Bogor. Kesempatan ini digunakan oleh Abdurrahman untuk berinteraksi dengan aktifis Islam di Masjid Al-Ghifari IPB, Bogor. Pemikiran Abdurrahman teryata mendapat tanggapan yang sangat baik dari para aktifis masjid tersebut, dari sinilah mulai dibentuk halaqah-halaqah kecil untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan Hizbut Tahrir. Melalui lembaga-lembaga dakwah kampus gagasan Hizbut Tahrir mulai menyebar ke luar Bogor dan akhirnya ke seluruh Indonesia. [10]
Ustadz Mama Abdullah Bin Nuh wafat pada tahun 1987, kepemimpinan selanjutnya dipercayakan kepada KH Muhammad al-Khaththath dan sebagai juru bicaranya adalah Muhammad Ismail Yusanto. Keanggotaanya serta penyebarannya mulai terus berkembang sampai saat ini. Jumlah anggotanya hingga sekarang mencapai kurang lebih 10.000 orang. [11]
Mengenai struktur kepengurusan HTI, penulis tidak banyak menemukan referensi yang membahas tentang itu. Namun HTI dalam dataran organisasi telah mengembangkan sayapnya, sehingga anggota HTI menjadi cukup beragam atau dari berbagai kalangan, namun yang paling mencolok dari kalangan tersebut adalah kalangan terpelajar yang berarti tergolong kelas menengah.[12]
Perjalanan historis di atas telah memberikan gambaran tentang akar gerakan HTI. Salah satu unsur penting dalam pandangan dunia kaum fundamentalis Muslim ialah bahwa dunia Islam sedang berada dalam keadaan mundur yang disebabkan oleh invasi dan serangan kultural, politik dan ekonomi dari Barat. Ini merupakan argumen yang selalu hadir dalam penafsiran mengenai kemunduran Umat Islam. Berangkat dari pemahaman terhadap perlunya penegakan khilafah Islamiyah dan pelaksanaan syari’at Islam mereka bergerak sebagai pandega penerapan Islam secara ”kaffah” di Indonesia.
2. Pemikiran Politik
Ajaran yang dimiliki oleh Hizbut Tahrir tergolong salah satu dari Jama’ah Islamiyah yang membawa pemikiran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah. Tujuan mereka terfokus pada penerapan kehidupan Islami dengan jalan terlebih dahulu menegakkan negara Islam di negeri-negeri Arab, kemudian di negara-negara Islam lainnya, dan setelah itu tugas dakwah dilancarkan ke negara-negara bukan Islam melalui umat Islam yang sudah terbentuk.[13]
Ciri utama Hizbut Tahrir adalah konsentrasinya sangat besar kepada aspek tsaqafah (keilmuan) dan menjadikannya sebagai landasan pembentukan pribadi Muslim dan umat Islam. Selain itu Hizbut Tahrir juga berupaya keras mengembalikan kepercayaan terhadap Islam melalui aktifitas keilmuan di satu sisi dan melalui jalur politik di sisi lain. Melalui jalur politik mereka merumuskan dengan cara merekam dan menginvertarisasi segala kejadian atau peristiwa yang kemudian dijadikan pembicaraan yang mengacu kepada kebenaran pemikiran dan hukum-hukum Islam[14] dalam rangka meraih kepercayaan serta simpati yang akan menjadikan semakin banyaknya masa yang bergabung.
Menurut Hizbut Tahrir menegakkan Khilafah Islamiyah adalah kewajiban karena syari’at tidak akan tegak tanpa ada khilafah[15], dengan adanya khilafah maka syari’at akan tegak karena akan ada yang bertanggung jawab untuk menyebarkan ajaran yang berkaitan dengan syari’at Islam ke seluruh pelosok negeri.
Hizbut Tahrir tidak sepakat terhadap demokrasi yang selama ini dianut oleh negara sekuler. Pandangan Hizbut Tahrir terhadap demokrasi adalah sebagai berikut :
1. Demokrasi bukan merupakan sistem pemerintahan yang berdasarkan wahyu Allah SWT, melainkan hanya berasal dari akal pikir manusia, hal tersebut sangat bertentangan dengan sistem Islam yang pasti berasal dari Allah SWT, “terpuji dan tercelanya suatu perbuatan diputuskan oleh Allah SWT”.
2. Demokrasi berdasarkan akidah sekuler yang memisahkan agama dengan kehidupan, sekularisme menurutnya bermula dari kompromi gereja dengan kaum intelektual yang menentang otoritas gereja di Eropa pada masa abad pertengahan, maka dari itu sekulerisme yang menjadi dasar demokrasi sangat bertentangan dengan Islam yang akidahnya adalah dua kalimat Syahadat.
3. Demokrasi berdasar pada dua hal yaitu kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan, sedangkan menurut Hizbut Tahrir kedaulatan ada di tangan syara’ bukan umat.
4. Demokrasi selalu meyandarkan pada keputusan mayoritas. Padahal dalam Islam menurutnya, tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan menggunakan jalan suara terbanyak. Masalah-masalah yang terkait dengan hukum tidak bersandar pada pendapat mayoritas, tapi berdasarkan nash-nash syara’.
5. Demokrasi berbeda dengan Islam dalam membahas kebebasan individu berkaitan dengan kebebasan beragama, berpendapat, tingkah laku, dan kepemilikan.[16]
Hizbut Tahrir mengharamkan parlemen yang tidak menjunjung tinggi syari’at Islam, dan memilih wakil rakyat dengan menggunakan pemilihan umum olehnya dikatakan sebagai sesuatu yang mubah dan dapat berubah menjadi haram apabila ada perkara yang mengantarkannya.[17] Demokrasi di Indonesia merupakan salah satu contoh paling nyata bobroknya demokrasi karena dalam pemerintahan yang berdasarkan pada demokrasi terdapat persaingan untuk mengunggulkan kepentingan golongan masing-masing.
Pemberlakuan syariat Islam merupakan penunjuk jalan bagi tersesatnya negara dari sekulerisme yang telah dianut beberapa tahun, namun perjuangan untuk menegakkan syari’at Islam membutuhkan kerja maksimal, selain dukungan mental bantuan yang dibutuhkan adalah dana serta dorongan dari negara-negara Islam yang berpihak. Berbagai hambatan dan tantangan harus dihadapi guna mewujudkan cita-cita tersebut.
3. Strategi Gerakan
HTI melakukan berbagai hal untuk mengembangkan pemikiran serta gerakannya, antara lain dengan membentuk halaqah-halaqah, mengomentari dan menanggapi berbagai isu kontemporer dengan menggunakan berbagai media, serta menyuarakan aspirasi mereka dengan melakukan aksi-aksi turun ke jalan. Selain itu, proses pengenalan cita-cita mereka kepada masyarakat bukan hanya dilakukan melalui organisasi, melainkan juga dilakukan melalui perorangan[18].
Berbicara tentang HTI tidak dapat dilepaskan dari HT, dan HT memiliki beberapa tahapan dalam menetapkan langkah operasionalnya ;
- Tahapan pembinaan dan pengkaderan (tatsqif) untuk melahirkan orang-orang yang meyakini fikrah HT dan membentuk kerangka sebuah partai.
- Tahap interaksi (ta’faul) dengan umat agar mampu menegmban dakwah Islam sehingga umat akan menjadikanya sebagai perkara utama dalam kehidupan serba berusaha menerapkan dalam realitas kehidupan.
- Tahap penerimaaan kekuasaan (istila al hukm), untuk menerapkan Islam secara praktis dan menyeluruh, sekaligus mnyebarluaskan risalah Islam ke seluruh dunia.
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI)
1. Profil dan Gambaran Akar Gerakan
Sebagai awal pembahasan profil MMI, penulis akan mengutarakan sedikit tentang akar gerakan MMI. Gerakan ini lahir berawal dari keprihatinan para tokoh gerakan Islam yang pernah digembleng di “pesantren Orde Baru” seperti Irfan Suryahardi, Deliar Noer, Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, Mawardi Noor dan lain-lain yang terdorong untuk mengadakan forum kecil, berdiskusi dan berujung pada gagasan untuk melahirkan suatu lembaga yang dapat menyatukan visi kaum muslimin yang hendak memperjuangkan tegaknya syariat Islam.[19]
Pendapat lain yang juga sering dijadikan rujukan bagi para peneliti mengatakan bahwa Majelis Mujahidin Indonesia didirikan pada bulan agustus 2000 sebagai hasil dari pertemuan para aktifis Muslim dari berbagai daerah di Indonesia dan beberapa delegasi dari luar negeri dalam “Kongres Mujahidin Muslim”. Tokoh yang sering disebut sebagai pembesar MMI adalah Abu Bakar Ba’asyir dan Irfan S Awwas. Kelompok ini hadir di tengah situasi pergolakan politik yang sedang membangkitkan semangat demokrasi dan reformasi di Indonesia. Ia hadir sebagai “reinkarnasi” dengan bentuk lain dari DI[20] yang telah memperjuangkan berdirinya negara Islam di Indonesia, bahkan kelompok ini pernah mencetuskan tegaknya Khilafah Islamiyyah Nusantara.
M. Nursalim mencatat bahwa MMI merupakan kelanjutan dari gerakan Darul Islam Faksi Abdullah Sungkar, yang kepemimpinannya dilanjutkan oleh Abu Bakar Ba’asyir. Selain itu MMI tidak hanya mendapatkan dukungan dari faksi Abdullah Sungkat, tetapi juga dari faksi-faksi lain yang memiliki kesamaan agenda perjuangan penegakan Syari’at Islam. [21]
Struktur kepengurusan Majelis Mujahidin dibagi menjadi dua komponen, yaitu Ahlul Halli wal Aqdi yang disingkat dengan AHWA dan Lajnah Tanfidziyah. AHWA berfungsi sebagai lembaga legislatif bagi Majelis Mujahidin. Ia memiliki beberapa tugas, antara lain; menetapkan kodifikasi hukum Islam dalam seluruh bidang kehidupan, memfatwakan pelaksanaan syariat Islam, memilih badan pelaksana (Lajnah Tanfidzi), mengawasi, mengontrol dan meminta pertanggungjawaban Lajnah Tanfidzi. Aktifitas AHWA dikoordinasikan oleh seorang ketua yang dinamakan dengan Amirul Mujahidin. Dalam pelaksanaannya, Amirul Mujahidin ini dibantu oleh beberapa anggota AHWA. Sedangkan Lajnah Tanfidziyah berfungsi sebagai lembaga eksekutif Majelis Mujahidin. Sebagai lembaga eksekutif, ia bertugas untuk menjalankan segala keputusan musyawarah AHWA baik ke dalam maupun ke luar, mengajukan saran dan usulan kepada AHWA dan dalam menjalankan fungsinya ini ia bertanggung jawab kepada AHWA. Selain dari dua tingkat kepengurusan tersebut, majelis Mujahidin bisa membentuk di masing-masing daerah dan wilayah. Kepengurusan di tingkat wilayah dinamakan Lajnah Perwakilan Wilayah, dan kepengurusan di tingkat kota/kabupaten dinamakan Lajnah Perwakilan Daerah. Seorang pemimpin MMI mengaku telah memiliki perwakilan di beberapa propinsi di Indonesia, seperti di Sumatra Utara, Jakarta, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara Barat.[22] Kemungkinan mereka untuk melebarkan sayap sangat besar, dan secara otomatis hal tersebut berindikasi bahwa wilayah perwakilan MMI di Indonesia akan lebih luas lagi.
Tidak seperti HTI yang secara gambalng berkiblat pada HT di libanon, MMI masih tergolong organisasi yang kecil, namun ia lebih banyak mendapatkan sorotan karena ditengarai sebagai salah satu organisasi “tempat kumpulnya” para “teroris” yang melakukan bom bunuh diri di beberapa kota di Indonesia. Hal inilah yang menjadikan Abu Bakar Ba’asyir ditangkap paksa oleh aparat, namun tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan dan akhirnya Kyai Pondok Pesantren Ngruki Solo tersebut dibebaskan.
2. Pemikiran Politik
MMI menganggap bahwa syari’at Islam merupakan satu-satunya solusi yang dapat mengatasi kerusakan multidimensial yang telah terjadi, terutama pada kerusakan moral. Sebagai akibat dari penegkakan syari’at Islam nantinya MMI mengungkapkan bahwa masyarakat non Muslim tidak perlu merasa terdiskriditkan atau terancam keberadaannya. Karena akan dijamin adanya toleransi sesuai dengan ajaran al-Qur’an.
MMI memberikan dua alasan[23] mengapa penegakan Syari’at Islam diperlukan. Pertama, sebagai kewajiban yang tidak dapat ditawar lagi, dengan kata lain Umat Islam harus melaksanakan hukum Islam mulai dari level individu, kemudian keluarganya, sampai tetangganya, kedua, Umat Islam sebagai mayoritas, terlepas dari kualitas masing-masing individunya.
Tentang Demokrasi MMI menganggapa bahwa demokrasi adalah system terburuk dari system yang paling buruk, karena Islam hanya ditempatkan dalam kehidupan individual, dan sebatas pada kegiatan ritual. Lebih lanjut diungkapkan bahwa terdapat tiga perbedaan antara demokrasi dan Islam. Pertama, di dalam Islam, kedaulatan tertinggi ada di tangan Tuhan, sedangkan dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan rakyat. Kedua, di dalam Islam, kebenaran itu datang dari Allah, sedangkan dalam demokrasi kebenaran itu berdasarkan suara mayoritas. Ketiga, di dalam demokrasi semua orang itu sama, baik pelacur maupun ulama, tetapi dalam Islam , semua orang posisinya tidak sama. [24]
3.Strategi Gerakan
Sasaran gerakan MMI adalah terlaksananya Syari’at Islam dalam lembaga negara. Untuk menegakkan Syariat Islam MMI menetapkan dua cara yaitu dengan da’wah dan jihad seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dua cara tersebut dilakukan dengan cara mensoialisasilan Syari’at Islam dari tingkatan Presiden sebagai kepala negara hingga lapisan masyarakat paling bawah (akar rumput).[25]
Tuntutan formalisasi syari’ah di Indonesia bagi Majelis Mujahidin adalah final. Dalam sejarah perjuangan umat Islam, usaha menegakkan syariah ini telah ditempuh beberapa metode. Pertama, adalah metode konstitusional yaitu perjuangan dengan masuk ke dalam lembaga seperti MPR dan DPR. Kedua, dilakukan dengan da’wah, seperti yang dilakukan oleh DDII. Ketiga, dengan pendidikan, seperti yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Keempat, dengan bersenjata seperti yang dilakukan oleh Kartosuwiryo.
Sejauh ini Majelis Mujahidin berusaha mewujudkan cita-citanya dengan menggunakan metode da’wah, baik da’wah secara politik, ataupun dakwah kemasyarakatan. Da’wah politik dilakukan dengan mengirimkan surat kepada pejabat-pejabat dan lembaga-lembaga tinggi negara. Beberapa jenis surat yang dikirim kepada pejabat dan instansi bisa dilihat dalam buku Da’wah dan jihad Abu Bakar Ba’asyir. Selain mengirim surat, Mujahidin juga mengadakan audiens dengan pejabat tinggi, DPR atau organisasi massa untuk merealisasikan visi dan misinya itu. Kadang-kadang dilakukan juga demontrasi untuk sosialisasi penegakan syari’ah Islam. Dan da’wah social kemasyarakatan dilakukan dengan menyelenggarakan pesantren kilat, I’tikaf, pengajian dan lain-lain. Khusus untuk menghadapi kaum cendekiawan Majelis Mujahidin juga mengambil langkah jidal (diskusi), baik dengan sesama kaum Muslimin maupun dengan non-Muslim.[26]
Selain program-program penegakan syari’ah secara langsung di atas, Majelis Mujahidin memiliki program sosial. Program sosial ini yang paling akhir dilakukan adalah pengiriman relawan ke Aceh dalam upaya pembinaan rohani. Di sini ada dua tugas yang dilakukan pertama mengembalikan mental dan gairah hidup masyarakat aceh yang sedang tertimpa musibah dan kedua, memompakan semangat untuk hidup di bawah naungan syari’at. Terlebih Aceh adalah satu-satunya wilayah yang sudah mendapatkan izin memberlakukan syariat Islam. Mereka yang dikirim ke aceh ini kebanyakan adalah dari anggota laskar Mujahidin. Dan di sinilah peran lascar dalam majelis Mujahidin bisa disamakan dengan peran barisan Anshar di NU.[27]
Fenomena Gerakan Fundamentalisme dan Radikalisme Islam di Indonesia
Fundamentalisme adalah istilah yang relative baru dalam kamus peristilahan Islam. Istilah Fundamentalisme Islam mulai populer di Barat berbarengan dengan terjadinya Revolusi Islam Iran pada 1979, yang memunculkan kekuatan Muslim Syi’ah radikal dan fanatik yang siap mati melawan Amerika Serikat.[28] Meski istilah fundamentalisme Islam ini baru populer setelah peristiwa historis ini, namun jika kita melihat pada prinsip dasar serta karakteristik dari Islam fundamentalis tersebut maka akan didapatkan kesimpulan bahwa Fundamentalisme Islam telah muncul jauh sebelumnya.
Fundamentalisme Islam dapat dikatakan sebagai bentuk ekstrem dari gejala ”revivalisme”. Jika revivalisme dalam bentuk keIslaman lebih berorientasi ke dalam (kerena itu lebih sering bersifat individual), maka pada fundamentalisme, intensifikasi itu diarahkan ke luar. Dengan kata lain, intensifikasi tersebut bisa berupa peningkatan attachment pribadi terhadap Islam (sehingga mengandung dimensi esoteris), tetapi fundamentalisme menjelma dengan komitmen yang tinggi, tidak hanya pada tingkatan individu namun juga pada tingkatan kehidupan sosial dan komunal.[29]
Membuat batas-batas fundamentalisme Islam bukanlah hal yang mudah. Banyak di antara ahli dan kalangan Muslim yang menolak menggunakan kata fundamentalisme untuk menyebut gejala intesifikasi Islam, karena akar kata dari fundamentalime berkaitan erat dengan bangkitnya fundamentalisme di kalangan gereja Protestan, khususnya di amerika serikat.
1. Kesadaran sempit yang menciptakan oposisi simetris “kita” dan “mereka”
2. Karakter defensive yang memandang dunia di luar mereka sebagai musuh
3. Kesadaran konspiratif yang melihat dunia luar sebagai kelompok yang terorganisir secara rapi untuk menghancurkan Islam di bawah kendali Yahudi.
Paham yang dianggap sebagai musuh karena anti-Islam oleh mereka antara lain adalah; salibisme, kapitalisme, liberalisme, sekularisme, Zionisme, komunisme, atheisme, anarkisme, materialisme, fasisme, demokrasi liberal, nasionalisme dan sinkretisme. Kemudian mereka juga menentang 4 F (fun, Fasion, Fod, Faith) serta 4 S ( Song, sex, sport dan Smoke).[31]
Beralih kepada radikalisme, secara etimologi radikalisme berarti faham politik kenegaraan yang mengehendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan.[32] Ada pula yang memahami radikalisme sebagai sebuah kecenderungan suatu aliran untuk mengadakan perubahan yang cepat dan menyeluruh serta sistematis untuk mencapai kedaan atau cita-cita yang lebih baik dalam bidang ekonomi, politik dan social.[33]
Pasca runtuhnya Orde Baru merupakan momentum paling berarti bagi bangkitnya Islam Radikal di Indonesia. Mereka melakukan akselerasi secara kultural (ormas Islam) dan struktural (partai Islam). Dua gerakan ini menjadi penting ketika rezim baru yang berkuasa memberikan kebebasan kepada mereka setelah sekian lama dipinggirkan secara politik oleh rezim Orde Baru.[34]
Sisi positif dari cirri gerakan Islam fundamental dan radikal yang dapat diambil sebagai sebuah semangat bagi organisasi lain adalah militansi mereka terhadap organisasi, dan rasa persaudaraan yang menjadikan mereka merasa saling terikat antara satu anggota dengan anggota lainnya. Cirri khas tersebutlah yang terkadang tidak nampak dalam organisasi-organisasi yang memiliki karakter lain, seperti organisasi Islam liberal dan organisasi Islam lainnya.
Sisi positif lain yang juga cukup menarik dari organisasi-organisasi tersebut adalah dalam hal pembinaan kader perempuan. Dalam HTI misalnnya, perempuan HTI memiliki konsep politik yang berbeda, mereka memahami peran politik dari sudut pandang yang berlawanan dengan aktifis-aktifis perempuan yang selalu memperjuangkan peran perempuan dalam parlemen selama ini. Perempuan HTI menjadikan media dakwah sebagai wujud peran politik mereka. Pengakuan eksistensi perempuan dalam perpolitikan HTI tidak menjadi permasalahan yang signifikan bagi mereka. Mereka lebih mementingkan partisipasi dalam perjuangan organisasi dan hal inilah yang disebut sebagai peran politik yang sesungguhnya bagi perempuan HTI.
Militansi perempuan-perempuan HTI dan MMI dibuktikan dengan keikutsertaan mereka dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi organisasi baik melalui demonstrasi maupun melalui media. Organisasi ini memiliki forum-forum khusus bagi perempuan yang sering disebut dengan halaqah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi Islam seperti HTI dan MMI telah berhasil menanamkan kesadaran politik bagi perempuan, kesadaran tersebut tidak diwujudkan dengan perjuangan politik perempuan dalam dataran prosentase kursi parlemen maupun kedudukan dalam organisasi melainkan pada dataran kualitas perjuangan yang mereka lakukan (bukan hanya perjuangan untuk perempuan).[35]
Watak transendental dari ajaran agama yang banyak dipegang oleh kalangan Islam fundamental dan Islam radikal mengharuskan gerakan-gerakan keagamaan untuk mengutamakan pembatasan atas kekuasaan manusia di hadapan keagungan Tuhan, pembatasan tersebut tentu dirasakan tidak praktis bagi pemegang kekuasaan pemerintahan. Sebaliknya penetapan atribut-atribut formal untuk mengokohkan ideologi negara dalam jangka panjang akan mengangkat kedudukan ideologi negara itu, hingga menjadi sejajar dengan ajaran-ajaran agama yang sudah diterima sebagai hal yang sakral. Sakralisasi ideologi negara melalui pemantapan atribut-atribut formalnya adalah bahaya sangat besar terhadap kemurnian keimanan agama bagi gerakan–gerakan alternatif.[36] Gerakan alternatif tersebut lebih cenderung bersifat fundamental dan radikal, sehingga hal ini menjadikan kekhawatiran tersendiri.
Pemahaman mereka yang selalu berkutat pada hitam dan putih terhadap pemecahan suatu masalah menjadikan mereka terkadang menghalalkan kekerasan sebagai sebuah pemecahan. Pengeneralisiran terhadap hal-hal yang ada dihadapannya atau terhadap lawannya terkadang menjadikan mereka cenderung bersifat “ekslusif”, bahkan dengan sesama pemeluk agama Islam.
Ada beberapa faktor yang menjadikan gerakan-gerakan Islam fundamental dan Islam radikal bermunculan kembali. Faktor yang pertama adalah faktor internal. Faktor ini banyak dipengaruhi oleh pemahaman mereka terhadap Islam, mereka ingin menerapkan Islam secara ”kaffah” dan mereka memahami Islam sebagai sebuah agama alternatif dari keterpurukan yang dianggap sebagai langkah mundur bagi umat Islam. Selain itu kebencian mereka terhadap Barat menjadikan mereka cenderung bersifat anti terhadap Barat dan menganggap Barat sebagai ”musuh” bagi umat Islam.
Faktor yang kedua yaitu faktor eksternal. Arus globalisasi yang didominasi dengan masuknya budaya-budaya Barat (yang banyak bertentangan dengan aqidah Islam), penguasaan ekonomi dan pasar yang merusak kondisi ekonomi lokal, serta kondisi politik di Indonesia yang mengkonsumsi sistem Barat yang ternyata tidak menghasilkan suasana politik yang lebih baik dianggap sebagai penyebab krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia saat ini.
Berangkat dari faktor eksternal dan internal tersebut, penulis beranggapan bahwa eksistensi Islam fundamental dan Islam radikal di Indonesia tidak hanya berasal dari pemahaman yang mereka miliki, namun juga berasal dari kondisi masyarakat yang membuat mereka gelisah dan merasa bertanggung jawab sebagai umat Islam. Hal yang juga patut dicatat bahwa keberadaan kedua faktor tersebut saling mendukung satu sama lain, sehingga sulit untuk memilahkan mana diantara keduannya yang lebih dominan.
Perlu juga disadari bahwa sikap apologetik mereka terhadap Islam bukan merupakan hal yang negatif, karena sikap apologetik pada batas tertentu diperlukan dalam upaya membangkitkan kembali rasa kebanggaan terhadap ajaran Islam dan sejarah peradaban Islam yang pernah mengalami kejayan. Opologi akan mendatangkan ”kenyamanan” secara psikologis, karena di dalamnya akan di dapatkan sebuah kepuasan dan ketenangan setra kebanggaan tersendiri. Apologisme pada gilirannya akan mendatangkan inspirasi terwujudnya dinamisme sosial, bahkan apologi yang dilakukan secara sistematis dapat menjadi sumbangan kultural dan spiritual untuk menyusun suatu sistem sosio-kultural yang memiliki semangat untuk maju.[37] Namun, apabila apologi tersebut diwujudkan dengan cara kekerasan yang menjadikan adanya radikalisme di masyarakat, sifat apologi tersebut tidak lagi dapat diindahkan, karena bagaimanapun kekerasan adalah tindakan yang melanggar ketentuan hukum, selain itu Islam tidak mengajarkan kekerasan dalam menyelesaikan suatu permasalahan, kecuali dalam keadaan tertentu seperti perang .
Penutup
Diperlukan pemikiran yang ”bijak” untuk menanggapi berbagai realitas-realitas gerakan Islam yang banyak bermunculan akhir-akhir ini. Seharusnya kita tidak selalu memandang mereka sebagai sebuah wujud gerakan yang ”kolot” maupun gerakan yang ”kaku”, sehingga tidak menjadikan mereka dipandang sebelah tangan dan dihujani dengan kebencian. Setidaknya kita harus memahami dan menghargai perjuangan mereka sebagai bentuk apresiasi yang bersifat ideologis atas sebuah kekecewaan panjang terhadap kondisi yang ada.
Megupas tentang fenomena dan eksistensi kelompok Islam fundamental dan radikal di Indonesia tidaklah cukup dengan pemaparan beberapa (sedikit) halaman. Diperlukan banyak lembaran untuk mengupas secara tuntas kelompok-kelompok ini. Dari berbagai uraian yang terdahulu, satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa ketika kelompok-kelompok tersebut dihadapkan pada system pemerintahan di Indonesia maka yang akan nampak adalah Islam berada pada posisi sebagai “lawan”. Namun sebaliknya Islam akan berada pada posisi sebagai “kawan” apabila kita melihat perkembangan partai-partai Islam di Indonesia. Dari kedua posisi tersebut mana yang akan lebih lama bertahan, hanya realitas “sejarah” yang akan datang yang mampu menjawabnya. Wallahua’lam.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post modernisme, Jakarta : Paramadina, 1996.
Abegebriel, A Maftuh dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, Jakarta: SR-Isa Pubishing, 2004.
Gatra Edisi Khusus Nomor 1-2 tahun XI. 27 November 2004, “Hajatan Demokrasi Muslim Indonesia,”.
Marbun, BN, Kamus Politik, Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2002.
Prasetyo, Eko, Membela Negara Tuhan Potret Gerakan Pusaran Konflik Global, Insist Press, Yogyakarta, 2002.
Partanto, Pius A, dan Al Barry, M Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:Arkola, 1994.
Sabili No.9 th.X 2003, “Sejarah Emas Muslim Indonesia”
WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran Akar Ideologis dan Penyebarannya, Jakarta, Al-I’tishom Cahaya Umat, 2002.
Wahid, Abdurrahman, Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta : LKiS, 1999.
Yunanto, S, Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara, Jakarta: FES dan The Ridep Institute, 2005.
Zada, Khamami, Islam Radikal Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, Jakarta:Teraju, 2002.
[1] Amerika akhirnya dapat menumbangkan rezim Sadam Husain dan dapat “menguasai” Irak. Isu penegakan HAM menjadi salah alasan AS untuk menyerang Irak. Meskipun memperoleh banyak kecaman dari berbagai pihak, namun Amerika tetap melaksanakan serangan tersebut.
[2] Afganistan disinyalir sebagai gembong para teroris Dunia.
[3] Meskipun ada beberapa kalangan yang tidak serta merta mempercayai hal tersebut, bahkan oleh salah seorang peneliti Amerika sendiri hal ini dianggap sebagai bentuk konspirasi yang dilakukan oleh Amerika yang dibuktikan dengan penelitian terhadap kronologi terjadinya masing-masing peristiwa dengan menggunakan teknologi, namun tuduhan tersebut masih merekat pada kelompok Islam garis keras tersebut.
[4] A Maftuh Abegebriel dkk, Negara Tuhan The Thematic Encyclopaedia, (Jakarta: SR-Isa Pubishing, 2004), hlm 691-692.
[5] Ibid, A Maftuh, hlm 692.
[6] Namun dengan seiring bergulirnya waktu kekhawatiran tersebut tidak begitu tampak saat ini, masyarakat setidaknya sudah dapat memahami serta membedakan mana diatara masyarakat Muslim tersebut yang radikal. Hal tersebut biasanya dilihat dari pembawan serta chirikhas dari mereka. Akan tetapi sikap kehati-hatian luar negeri khususnya Barat dalam hal ini masih ada hingga saat ini.
[8] WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran Akar Ideologis dan Penyebarannya, (Jakarta, Al-I’tishom Cahaya Umat, 2002), hlm 88.
[9] Ibid, hlm 89.
[10] Lebih lanjut lihat Majalah Islam Sabili No.9 th.X 2003, “Sejarah Emas Muslim Indonesia”, hlm 143
[11] Ibid.,.
[12] Hal ini berdasarkan pengamatan secara general penulis, dan penulis belum melakukan penelitian mngenai prosentase jumlah dari masing-masing kalangan tersebut.
[14] Ibid.,
[15] Gatra Edisi Khusus Nomor 1-2 tahun XI. 27 November 2004, “Hajatan Demokrasi Muslim Indonesia”,hlm 120.
[17] Ibid., hlm 122.
[18] Hal ini berdasarkan pada pengalaman pribadi penulis ketika didatangi salah satu kader perempuan HTI di Yogyakarta.
[20] Hal ini juga berkaitan dengan pro-kontra persaudaraan antara JI dan MMI. Seperti yang dikatakan oleh Maftuh Abigebril dalam Negara Tuhan bahwa ada “pernikahan” antara JI dan MMI, namun hal ini dibantah oleh beberapa pihak yang menyatkan bahwa MMI berbeda dengan JI, dan hal ini pulalah yang digunakan sebagai “alasan” pembelaan terhaap Ustad Ba’asyir atas tuduhan keterlibatanya dengan aksi terorisme d Indonesia.
[21] S. Yunanto. Gerakan Militan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara, (Jakarta : FES dan The Ridep Institute, 2005),hlm 91
[24] Pandangan Majelis Mujahidin Indonesia ini diungkap oleh Irfan S Awwas. Lebih jelas lihat dalam Khamami Zada, Islam Radikal Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia, (Jakarta:Teraju, 2002), hlm 132.
[26] Dirangkum dari beberapa tulisan yang menjelaskan tentang MMI dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Mujahidin_Indonesia
[28] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post modernisme, (Jakarta : Paramadina, 1996), hlm 107.
[29] Ibid., hlm 108.
[30] Ungkapan ini dikutip dalam beberapa tulisan antara lain dalam Eko Prasrtyo, Membela Negara Tuhan potret Gerakan Pusaran Konflik Global, (Yogyakarta: Insist Press, 2002), hlm 275 dan dikutib kembali dalam buku Negara Tuhan , hlm 707.
[31] Ibid, A Maftuh, hlm 710.
[32] Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya:Arkola, 1994), hlm 648.
[33] BN Marbun, Kamus Politik, (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 2002), hlm 462.
[34] Ibid., Khamami Zada, Islam Radikal, hlm 88.
[37] Ibid., Azyumardi Azra, Pergolakan Politik....., hlm v.
No comments:
Post a Comment