Politik Islam

Tuesday 3 May 2011

MUHAMMADIYAH Vs. NU:
PEREBUTAN HEGEMONI DEPAG DAN PTAIN

 Ahmad Saifuddin


A.  PENGANTAR
Konflik adalah suatu gejala sosial yang wajar terjadi dalam masyarakat yang senantiasa dinamis. Oleh karena itu, sikap yang arif adalah bukan dengan menghindarinya sama sekali, tetapi justru dengan memanajnya menjadi sesuatu yang positif.
Konflik biasanya didefiniskan sebagai pertentangan atau perjuangan yang bersifat langsung dan disadari antarindividu atau kelompok untuk memperoleh pengakuan status, kekuasaan, pengaruh, dan sumber daya.[1]
Dengan demikian, konflik bisa terjadi antarindividu dan juga antar kelompok. Dalam hal ini, penulis akan menggunakan teori ini untuk melihat konflik politik yang terjadi antara dua organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah dengan membatasi area konflik pada wilayah Departemen Agama dan PTAIN.
Sebenarnya untuk mendeskripsikan konflik yang terjadi antara kedua institusi tersebut ada kesulitan tersendiri mengingat tidak banyak peneliti yang memfokuskan penelitiannya pada objek kajian di atas[2]. Barangkali mereka (para peneliti) lebih berpegang pada teori stabilitas atau barangkali karena dianggapnya kurang etis untuk memaparkan konflik yang terjadi antara dua instusi keagamaan tersebut.
Di samping kesulitan di atas, penulis juga dituntut untuk mendeskripsikan (meskipun sekilas) tiga atau empat institusi, yaitu Depag, PTAIN, NU, dan Muhammadiyah. Deskripsi ini penting untuk bisa memahami dan memetakannya secara komprehensif.

B.  DEPAG dan PTAIN
§     DEPAG RI
Depag (Departemen Agama) sebetulnya merupakan kelanjutan dari instansi yang bernama Shumubu (kantor urusan agama) pada masa pendudukan Jepang, yang mengambil preseden dari Het Kantoor Voor Inlandsche Zaken (kantor untuk urusan pribumi Islam) pada masa kolonial Belanda.
Tidak begitu jelas sebenarnya bagaimana kronologi rinci pembentukan kementrian agama. Azra yang mengutip Deliar Noer menyatakan bahwa proposal atau usulan pembentukan kementerian agama pertama kali diajukan kepada BP-KNIP pada tanggal 11 Nopember 1945 oleh KH. Abudardiri, KH. Saleh Su’aidy, dan M. Sukoso Wirjosaputro. Mereka adalah anggota KNIP dari karesidenan Banyumas. Usulan ini mendapat dukungan dari Mohammad Natsir, Muwardi, Marzuki Mahdi, dan Kartosudarmo yang semuanya juga merupakan anggota KNIP untuk kemudian memperoleh persetujuan BP-KNIP.[3]
Usulan tersebut kembali dikukuhkan dalam sidang pleno BP-KNIP tanggal 25-28 Nopember 1945 bertempat di Fakultas Kedokteran UI Salemba. Usul tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang hadir dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa pemungutan suara, Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta, yang kemudian menyatakan bahwa adanya kementerian agama tersendiri mendapat perhatian pemerintah. Sebagai realisasinya, pemerintah mengeluarkan ketetapan Nomor 1/S.D. pada tanggal 3 Januari 1946 yang antara lain berbunyi: “Presiden RI, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Departemen Agama”. Keputusan dan penetapan pemerintah ini disiarkan oleh RRI ke seluruh dunia dan juga disiarkan oleh pers dalam dan luar negeri.[4]
Eksistensi departemen ini pada awalnya cukup kontroversial, sebagian orang terutama non-Muslim mempersoalkan keberadaannya. KH. Wahid Hasyim-lah orang yang mencoba menjelaskan dan kemudian memperkukuh eksistensi departemen ini.[5]
Tugas utama departemen ini adalah bekerja menyelenggarakan hidup keagamaannya masing-masing golongan agama yang berhubungan dengan negara dan antara satu golongan dengan golongan agama lainnya.[6]
Departemen ini telah seumur negara ini. Di bawah kepemimpinan para tokoh yang menjadi menteri-menterinya,[7] departemen ini telah banyak memberikan kontribusi bagi bangsa dan negara, khususnya dalam masalah keagamaan. Dengan adanya kementerian ini kehidupan keagamaan di Indonesia bisa lebih terjamin.
§     PTAIN
PTAIN adalah sebuah institusi pendidikan tinggi Islam yang berada di bawah Depag RI. Hasrat untuk mendirikan semacam lembaga pendidikan tinggi Islam sebenarnya sudah dirintis sejak zaman penjajahan. Dr. Satiman Wirjosandjojo di Pedoman Masyarakat Nomor 15 Tahun IV (1938) pernah melontarkan gagasan pentingnya sebuah lembaga pendidikan tinggi Islam dalam upaya mengangkat harga diri kaum Muslim di tanah Hindia Belanda yang terjajah itu.
Gagasan ini baru terealisasi pada tanggal 8 Juli 1945 ketika Sekolah Tinggi Islam (STI) berdiri di Jakarta di bawah pimpinan Prof. Abdul Kahar Muzakkir, sebagai realisasi kerja sebuah Panitia Perencanaan Sekolah Tinggi Islam (PPSTI) yang diketuai Drs. Mohammad Hatta.[8]
Setelah proklamasi dan ibu kota RI pindah ke Yogyakarta, STI juga hijrah ke kota tersebut dan berubah namanya menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan empat fakultas, yaitu Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Fakultas agama UII ini kemudian dinegerikan dan menjelma menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang diatur dengan peraturan pmerintah Nomor 34 Tahun 1950 dan pelaksanaannya diatur dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Nomor K/I/14641 Tahun 1951 (Agama) dan Nomor 28665/kab. Tahun 1951 (pendidikan) tanggal 1 September 1951.[9]
PTAIN memiliki tiga jurusan, yaitu Qadla, Tarbiyah, dan Dakwah. Pada tahun 1960, PTAIN dilebur dan digabungkan dengan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) milik Depag yang didirikan di Jakarta dan berubah namanya menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Al-Jami’ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah yang berkedudukan di Yogyakarta.[10]

C.  MUHAMMADIYAH
§     Sejarah Lahir dan Paham Muhammadiyah
Muhammadiyah  didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 Nopember 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah menurut Weinata Sairin, MTh. yang mengutip James L. Peacock, merupakan gerakan reformasi Islam yang terkuat yang ada di kalangan Islam di Asia Tenggara, bahkan mungkin di seluruh dunia[11]. Gerakan ini adalah gerakan yang dilakukan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.[12]
Faktor-faktor lahirnya gerakan ini menurut Deliar Noer adalah adanya tantangan dari kekuatan-kekuatan kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen dan perjuangan untuk maju setara dengan kekuatan-kekuatan asing tersebut.[13] Syafi'i Maarif menyebut lima faktor yang mendorong kelahiran Muhammadiyah, yaitu 1) keterbelakangan serta kebodohan umat Islam Indonesia di hampir semua aspek kehidupan, 2) kemiskinan yang sangat parah yang diderita umat Islam justru dalam suatu negeri yang kaya seperti Indonesia, 3) keadaan pendidikan Islam yang sudah sangat kuno, sebagaimana yang bisa dilihat melalui pesantren, 4) adanya pengaruh penetrasi dari bangsa-bangsa Eropa, dan 5) adanya kegiatan misi Katolik dan Protestan.[14] Sementara Alwi Shihab menyebut 7 faktor yang melatarbelakangi kelahiran Muhammadiyah, yaitu 1) gagasan pembaruan Islam Timur Tengah, 2) Pembaruan 'Abduh, 3) pertentangan internal dalam masyarakat Jawa, 4) penetrasi Kristen, 5) Ordonansi guru, 6) pelanggaran Belanda terhadap kebudayaan lokal, dan 7) pembentukan Freemasonry.[15]
Adapun paham keagamaan Muhammadiyah adalah paham yang menginginkan "kembali kepada al-Qur'an dan sunnah".[16] Dengan paham purifikasi (pemurnian) ini Muhammadiyah getol memperjuangkan kemurnian aqidah Islam dari terkontaminasi oleh apa yang mereka sebut tahayul, bid'ah dan khurafat (TBC).
Untuk mencapai pembaruan keagamaan tersebut, Muhammadiyah melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya, 2) memperteguh iman, menggembirakan dan memperkuat ibadah serta mempertinggi akhlak, 3) memajukan dan memperbarui pendidikan dan kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan, tekhnologi dan penelitian menurut tuntunan Islam, 4) mempergiat dan menggembirakan tabligh, 5) menggembirakan dan membimbing masyarakat untuk membangun dan memelihara tempat ibadah dan wakaf, 6) meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita menurut tuntunan Islam, 7) membina dan menggerakkan angkatan muda sehingga menjadi manusia Muslim yang berjasa bagi agama, nusa dan bangsa, 8) membimbing masyarakat ke arah perbaikan kehidupan dan penghidupan ekonomi sesuai dengan ajaran Islam dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya, 9) menggerakkan dan menghidup-suburkan amal tolong menolong dalam kebajikan dan taqwa dalam bidang kesehatan, sosial, pengembangan masyarakat dan keluarga sejahtera, 10) menanam kesadaran agar tuntunan dan peraturan Islam diamalkan dalam masyarakat, 11) menumbuhkan dan meningkatkan kekeluargaan Muhammadiyah dan ukhuwah Islamiyah, 12) pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan peran serta dalam pembangunan nasional, 13) usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan persyarikatan.[17]
§     Landasan Ideologis Sikap dan Perilaku Politik Muhammadiyah
Menurut Alfian, Muhammadiyah memiliki tiga peran, yaitu sebagai gerakan reformasi keagamaan, sebagai agent of social change, dan sebagai kekuatan politik.[18]
Sebagai kekuatan politik, Muhammadiyah cukup diperhitungkan dan diperebutkan oleh banyak pihak termasuk negara. Dengan demikian sangat dimungkinkan para aktifis dan pemimpin organisasi ini untuk 'tergoda' terjun ke dunia politik. Hal itu memang sah-sah saja karena meskipun Muhammadiyah bukan partai politik tapi tidak mungkin Muhammadiyah lepas sama sekali dari politik. Karena dimungkinnya para aktifis dan pimpinan Muhammadiyah terjun ke politik dan mau tidak mau mereka membawa nama Muhammadiyah, maka seharusnya mereka menjunjung norma-norma yang menjadi landasan perilaku politik Muhammadiyah. Landasan perilaku politik Muhammadiyah adalah sebagaimana yang tercantum di dalam Anggaran Dasar yakni Amar Ma'ruf Nahi Munkar.
Sementara untuk menemukan karakter utama tindakan politik Muhammadiyah memang tidak mudah karena bisa berubah-rubah dari waktu ke waktu dan dari suatu daerah ke daerah lainnya. Tetapi paling tidak menurut Alfian terdapat tiga variasi tindakan politik Muhammadiyah, yaitu pertama: Antikekerasan/antikolonialisme. Kedua, tindakan politiknya dalam bingkai gerakan nasionalisme Indonesia, dan Ketiga, kemunculan Muhammadiyah adalah untuk turut serta aktif dalam mempejuangkan kemerdekaan menjadi suatu komunitas Muslim Indonesia.[19]

D.    NAHDLATUL ULAMA
§     Sejarah Lahir dan Paham Keagamaan NU
NU didirikan di Surabaya pada tahun 1926 oleh sejumlah tokoh ulama tradisional. Berawal dari undangan yang disampaikan Komite Hijaz, maka berkumpullah para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 di kampung Kertopaten, Surabaya, yaitu rumah KH. Abdul Wahab Hasbullah.[20]
Kelahiran NU seringkali dijelaskan sebagai reaksi defensif terhadap berbagai aktifitas kelompok reformis, Muhammadiyah, dan kelompok modernis moderat yang aktif dalam gerakan politik, Sarekat Islam (SI).[21] Menurut argumen ini, pengaruh Muhammadiyah dan Sarekat Islam yang semakin meluas telah memarginalisasikan kiai yang sebelumnya merupakan satu-satunya pemimpin dan juru bicara komunitas Muslim, dan ajaran kaum pembaru sangat melemahkan legitimasi mereka. Tesis ini memang mengandung kebenaran tetapi menurut Bruinessen ia telah gagal menjelaskan kenapa NU didirikan pada 1926 dan tidak lima atau sepuluh tahun lebih awal ketika Sarekat Islam sedang giat-giatnya dan ketika banyak keluhan terhadap pembaru yang agresif menyebarkan ajarannya di Jawa.[22] Lebih lanjut Bruinessen mengatakan bahwa di samping faktor-faktor tersebut ada faktor lain yang turut melatarbelakangi berdirinya NU, yaitu perkembangan internasional berupa penghapusan jabatan khalifah, serbuan kaum Wahabi atas Makkah dan pencarian suatu internasionalisme Islam yang baru.[23]
Adapun paham keagamaan NU mengikuti paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah yaitu paham yang berpegang teguh kepada tradisi pemikiran dan menggunakan jalan pendekatan sebagai berikut: 1) Dalam bidang hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu imam madzhab empat yang dalam praktek para kiai adalah penganut kuat madzhab Syafi’i. 2) Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran imam Abu Hasan al-Asy’ari dan imam Abu Mansur al-Maturidi, dan 3) Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran imam Abu Qasim al-Junaid dan imam al-Ghazali.[24]
Jadi madzhab ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang dianut NU merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gugusan konfigurasi aspek-aspek kalam, fikih, dan tasawuf. Ketiganya merupakan kesatuan yang utuh, masing-masing tidak dipilah dan trikotomi yang satu  berbeda atau berlawanan dengan yang lain. Meskipun demikian tidak  seluruh perilaku NU mampu mengapresiasikan kesatuan ini.[25]
§     Landasan Ideologis Sikap dan Perilaku Politik NU
Nilai-nilai dasar perjuangan yang menjadi landasan setiap perilaku kemasyarakatan dan politik NU adalah bercirikan hal-hal sebagai berikut: 1) Tawasuth dan i’tidal, 2) sikap tasamuh, 3) sikap tawazun, dan 4) amar ma’ruf nahi munkar.
Di samping itu, NU juga mendasarkan segala perilaku sosial politiknya kepada pertimbangan beberapa kaidah fikih. Kaidah-kaidah itu adalah: 1) Ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh, 2) Dar’ al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-masalih, 3) Idza ta’arada mafsadatani ru’iya a’zamuha dararan bi irtikabi akhaffihima, dan 4) Al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman.[26]

E.                  

PERTARUNGAN NU-MUHAMMADIYAH di DEPAG dan PTAIN
Barangkali fenomena perselisihan antara NU dan Muhammadiyah (jika bisa disederhanakan demikian) adalah bisa dilacak misalnya pada peristiwa keluarnya NU dari Masyumi, 8 April 1952 dan keputusan keluarnya NU dari PPP pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo, Desember 1983. Dua fenomena ini akan penulis ulas lebih panjang nanti.
Konflik ini (keluarnya NU dari Masyumi) awalnya terjadi ketika menteri agama yang dipimpin KH. Wahid Hasyim (1949-1952) berselisih dengan Natsir, seorang modernis dari organisasi puritan. Natsir menuduh KH. Wahid Hasyim tidak becus mengurus masalah transportasi jama'ah haji ke Makkah. Oleh karena itu, Natsir meminta KH. Wahid Hasyim mengundurkan diri. Perselisihan ini semakin memuncak dan akhirnya harus diserahkan kepada Perdana Menteri Wilopo. Wilopo diminta untuk memilih calon menteri agama antara yang berafiliasi dengan NU dan Muhammadiyah dan ternyata Wilopo memilih Fakih Usman dari Muhammadiyah.[27]
Menurut Bruinessen, kehilangan Departemen Agama—yang penting baik karena alasan-alasan ideologis maupun kesempatan kerja yang disediakannya bagi anggota NU—merupakan sebab paling langsung dari penarikan diri NU dari Masyumi. Meskipun menurut Bruinessen hal itu bukan sebab satu-satunya. Sebab yang lebih banyak adalah ketimpangan antara kekuatan pendukung massa NU di satu pihak dan bobot suara yang hampir tak berarti yang diperoleh di dalam Masyumi di pihak lain.[28]
Kasus mufaraqahnya NU dari PPP sebenarnya hampir mirip dengan kasus ketika NU keluar dari Masyumi.menjelang pemilu 1982, J. Naro mengusulkan agar pembagian kursi dihitung berdasarkan hasil pemilu 1955. Ini berarti membuat MI, yang mewakili Parmusi, menjadi pewaris sah Masyumi dan secara tidak langsung Muhammadiyah. Sedangkan NU minta agar pembagian kursi didasarkan pada hasil pemilu 1971 saat Parmusi tampak sangat lemah dibanding Masyumi.[29] Konflik ini semakin memuncak ketika Naro pada tanggal 27 Oktober 1981 menyerahkan daftar caleg PPP kepada pemerintah di mana 29 caleg NU ditempatkan pada urutan terbawah hingga kemungkinan untuk terpilih bisa dikatakan tidak ada. Dan memang benar, setelah kabinet diumumkan ternyata Presiden Soeharto memilih Munawir Sjadzali, seorang Muhammadiyah, sebagai Menteri Agama yang baru.
Mengingat sangat strategisnya Departemen Agama[30] bagi kepentingan NU dan anggotanya yang banyak tersebar di pedesaan mengharuskan para pemimpin NU mempertahankan dan berusaha menghegemoni departemen ini.[31] Pada masa Saifuddin Zuhri menjabat sebagai Menteri Agama dengan alasan soliditas, ia mengangkat sejumlah pembantu dalam pos-pos administratif dari orang-orang NU. Langkah ini ternyata menjadi bumerang dengan timbulnya ganjalan psikologis bahkan politis. Bagi sebagian orang barangkali wajar kalau seorang pemimpin mengangkat pembantunya dari orang yang paling dipercayainya[32], tetapi tidak demikian dengan orang lain, karena hal ini dipandang sebagai upaya NU-nisasi secara sistematis dan menyeluruh. Hal yang demikian ini tidak jarang membuat NU harus berhadapan dengan kelompok kepentingan lain yang memiliki maksud dan bidang garapan yang sama misalnya Muhammadiyah. Dampak dari salah pengertian ini adalah terjadinya huru-hara kecil tak terhindarkan. Mula-mula timbul di Yogyakarta kemudian di Jakarta.[33]
Selama Orde Lama sampai Orde Baru hingga tahun 1970-an, memang Departemen Agama sangat didominasi kepentingan-kepentingan politis NU. Partai NU menguasai hampir semua posisi penting, dan menentukan kebijakan-kebijakan yang dibuat Departemen Agama. Nepotisme partai menggejala di hampir seluruh jenjang dan jajaran Departemen Agama. Akibatnya, sejumlah orang di Departemen Agama yang dipandang tidak memiliki afiliasi politik dengan NU terdepak dari posisi mereka.[34]
Perebutan hegemoni antara NU-Muhammadiyah di Departemen Agama tidak hanya terjadi di tingkatan elit dalam arti hanya jabatan menteri, tetapi telah menjalar ke jajaran birokrasi sampai di tingkat yang paling bawah. Salah satu institusi di bawah Depag yang sangat nampak perebutan hegemoni NU-Muhammadiyah adalah IAIN khususnya dalam hal ini penulis ingin meng-close up IAIN (UIN) Sunan Kalijaga. Sebagaimana digambarkan oleh Newsletter bahwa friksi kelompok di IAIN Sunan Kalijaga sudah sangat akut sehingga nyaris melumpuhkan kehidupan akademis dan memerosotkan kualitas kampus yang pernah berjaya ini[35]. Memang persaingan 'politis' lebih banyak mendominasi kampus putih ini daripada persaingan 'akademis'. Pertikaian memperebutkan jabatan akhirnya harus dijembatani oleh Menteri Agama Tarmizi Taher yang kemudian mengirimkan Atho Mudzhar, seorang akademisi dan ahli administrasi baik tingkat nasional maupun internasional, untuk menjadi pejabat sementara Rektor.[36]
Begitu pula yang terjadi di tingkat Fakultas. Sudah bisa dipastikan kalau ada pemilihan sebuah jabatan, apalagi dipandang strategis, polarisasinya pasti antara NU dan Muhammadiyah. Sebagai contoh di Fakultas Syari'ah pemilihan Dekan diikuti oleh Drs. KH. Malik Madaniy, MA (NU) dan Dr. H. Syamsul Anwar, MA (Muhammadiyah), di Fakultas Tarbiyah calonnya adalah Drs. Nizar Ali, MA (NU) dan Drs. Rahmat Suyud, M.Pd. (Muhammadiyah), dan begitu seterusnya. Fenomena terakhir adalah pemilihan rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di mana calon rektornya adalah Prof. Dr. HM. Amin Abdullah (Muhammadiyah) dan Prof. Dr. H. Machasin, MA (NU). Meskipun ada calon lain di luar calon utama tersebut―misalnya untuk pemilihan Dekan Fakultas Syari'ah terdapat dua calon lainnya, yaitu Makhrus Munajat dan Fuad Zein, untuk pemilihan Rektor terdapat nama Munir Mulkhan―tapi mereka hanya sebagai 'penggembira'[37]. Dua polarisasi kandidat yang penulis sebutkan di atas itulah yang merupakan the real candidates dalam perebutan jabatan-jabatan strategis.
Ketika sebuah jabatan diperebutkan berdasarkan polarisasi kepentingan ideologisnya, maka implikasinya adalah setiap kebijakan yang diambil tidak lagi didasarkan pada pertimbangan profesionalisme, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan like and dislike, minna aw minhum.[38]
Apa yang terjadi di kalangan birokrasi juga hampir sama terjadi pada kalangan mahasiswa meskipun dengan sedikit perbedaan. Perebutan pimpinan lembaga-lembaga kemahasiswaan juga kurang lebih sama didasarkan pada bendera dan warna ideologinya bukan berdasarkan kapasitas dan kapabilitasnya.
Di UIN Sunan Kalijaga semua lembaga intra kemahasiswaan (kecuali BEMPS KUI di Fakultas Syari'ah dan BEMPS Matematika di Fakultas Tarbiyah) dikuasai oleh satu partai mahasiswa (PRM) yang berafiliasi kepada PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Sebuah organisasi kemahasiswaan yang meskipun secara struktural tidak memiliki hubungan dengan NU tetapi secara kultural dan emosional tidak bisa dibantah memiliki kaitan yang sangat dekat dengan NU.
Dominasi NU-nisme yang sangat luar biasa dalam lembaga kemahasiswaan ini pada satu sisi sering menyebabkan konflik antar lembaga ekstra kampus untuk memperebutkan kekuasaan di dalam lembaga kemahasiswaan, pada sisi yang lain dominasi yang sangat kuat ini menyebabkan lembaga kemahasiswaan kurang bisa berjalan dengan efektif, transparan dan akuntabel karena tidak adanya kekuatan penyeimbang (check and balances) di dalam internal lembaga kemahasiswaan itu sendiri.
Sebetulnya tanpa berusaha memihak kepada dua kelompok kepentingan ini, penulis melihat mahasiswa jauh lebih demokratis daripada birokrat karena pemilihan pimpinan lembaga kemahasiswaan dihasilkan melalui sebuah mekanisme pemilwa[39] yang transparan, bebas, tertutup, memenuhi asas jurdil dan telah melibatkan semua mahasiswa tanpa memandang warna benderanya. Sementara pemilihan pejabat di lingkungan UIN Sunan Kalijaga hanya melibatkan segelintir orang sesuai dengan pasal-pasal yang tercantum dalam statuta UIN Sunan Kalijaga.
Dengan demikian, dominasi Muhammadiyah-nisme di kalangan birokrasi terutama tingkat universitas pada satu sisi dan dominasi NU-nisme di kalangan mahasiswa pada sisi yang lain juga sering menyebabkan ketegangan antara pihak mahasiswa dan birokrasi. Oleh sebab itu, dalam rangka meredam gejolak mahasiswa, pimpinan universitas biasanya menunjuk salah satu kader NU untuk menjabat sebagai Purek III yang membidangi kemahasiswaan dan alumni. Strategi ini cukup ampuh karena ketika mahasiswa yang mayoritas berbendera NU melakukan kritik, demonstrasi, dan gerakan-gerakan politik lainnya yang akan mengancam kebijakan dan kepentingan rektorat, mereka akan berhadapan dengan purek III untuk tingkat universitas dan PD III untuk tingkat Fakultas yang notabene adalah senior mereka sendiri. Kondisi seperti ini menyebabkan dilema politis (political dilemma) di kalangan mahasiswa NU.

F.  PENUTUP
Nampaknya perebutan hegemoni antara Muhammadiyah vs.  NU di Depag dan PTAIN belum akan berakhir. Barangkali harapan untuk bisa keluar dari bayang-bayang perselisihan ini terletak di pundak kaum muda. Hanya saja harapan tersebut juga perlu dipertanyakan ketika melihat sistem pengkaderan kaum muda yang sarat dengan muatan ideologis dan dari awal seakan sudah di-design untuk bersikap eksklusif dan tanpa kompromi ketika sudah masuk wilayah political interest. Seorang yang dianggap sangat pluralis sekalipun ketika sudah masuk political interest dia akan bersikap eksklusif


DAFTAR PUSTAKA
A. Saifuddin, The Struggle Strategies of Post New Order Islamic Politic in Indonesia: A Comparative Study of PKB and PK, Yogyakarta: Skripsi Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga, 2004.
Aceh, H. Aboebakar, Sejarah Hidup KHA. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Buku Peringatan alm. KHA. Wahid Hasyim, 1957.
Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989.
Anam, Chairul (ed), KHR. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994.
Azra, Azyumardi, Umam, Saiful (ed), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, Jakarta: PPIM, 1998.
Bruinessen, Martin van, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Coser, Lewis A., The Functions of Social Conflict, New York: The Free Press, 1956.
Daman, H. Rozikin, Membidik NU Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah, Yogyakarta: Gama Media, 2001.
Feillard, Andree, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta: LKiS, 1999.
Haidar, M. Ali, Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994.
Harun, Lukman, Muhammadiyah dan Pancasila, Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1986.
Hasyim, Wahid, “Sekitar Pembentukan Kementrian Agama RIS”, Mimbar Agama, Nomor 3-4 Maret-April 1951.
Laporan Rektor IAIN Sunan Kalijaga pada rapat senat terbuka dalam rangka mensyukuri kelahiran IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Dies Natalis ke-51) ttanggal 26 September 2002.
Maarif, Syafi'i, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1986.
Newsletter IAIN Sunan Kalijaga Nomor. 06, Agustus-September 1999.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1982.
-----------, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta: Penerbit Grafiti, 1987.
Sairin, Weinata, Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.
Shihab, Alwi Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah  Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.
Wahid, Marzuki dkk., Fakultas Syari’ah Menatap Masa Depan, Yogyakarta: KAFASYA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004.


[1] Lewis A. Coser, The Functions of Social Conflict, (New York: The Free Press, 1956).
[2] Sejauh pengamatan penulis hanya Ahmad Fedyani Saifuddin dengan bukunya Konflik dan Integrasi Perbedaan Faham Dalam Agama Islam, khususnya pada bab tiga yang membahas konflik penganut NU dan Muhammadiyah, tapi itupun sebatas konflik keagamaan bukan konflik politik. Begitu pula Andree Feillard dalam buku NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna juga hanya memberikan porsi yang sangat sedikit mengenai konflik yang terjadi antara dua institusi keagamaan tersebut. Sementara Laode Ida dalam bukunya Anatomi Konflik: NU, Elit Islam dan Negara hanya membahas tentang konflik internal NU.
[3] Azyumardi Azra, Umam, Saiful (ed), Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, (Jakarta: PPIM, 1998), halm. 5.
[4] Ibid.,
[5] Menurut KH. Wahid Hasyim, dengan adanya kementerian agama, pemerintah merasa wajib melayani keperluan rakyat tentang agama, dengan dasar Pancasila. Pemisahan agama dan negara, menurtunya hanya terjadi dalam teori. Dalam kenyataannya, tak ada satupun yang betul-betul mempraktekkan pemisahan tersebut, kecuali negara ateis. Karena itu, meski penghapusan kementerian ini dapat saja dilakukan, dan berbagai fungsinya dilaksanakan berbagai kementerian lain, Wahid Hasyim mengingatkan bahwa hal itu akan menyinggung perasaan umat Islam Indonesia. Mengenai bahwa Depag lebih banyak memperhatikan umat Islam, Wahid Hasyim menunjukkan adanya fakta bahwa jumlah penganut Islam jauh lebih besar daripada non-Muslim. Jadi, wajar kalau Depag memberikan perhatian lebih besar kepada umat Islam. Tapi hal itu dilakukan bukan karena diskriminasi, melainkan semata karena jumlah umat Islam yang sangat besar itu. Ibid., halm. 91.
[6] Diambil dari tulisan Wahid Hasyim berjudul “Sekitar Pembentukan Kementrian Agama RIS”, yang dimuat pertama kali dalam Mimbar Agama, Nomor 3-4 Maret-April 1951, dan dimuat kembali dalam H. Aboebakar, Sejarah Hidup KHA. Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: Panitia Buku Peringatan alm. KHA. Wahid Hasyim, 1957), halm. 859.
[7] Kurang lebih sudah 17 orang yang memimpin departemen ini. Mereka adalah: HM. Rasjidi, BA., Prof. KH. Fathurrahman Kafrawi, KH. Masjkur, KH. Wahid Hasyim,KH. Fakih Usman, KH. Mohammad Ilyas, KH. Muhammad Wahib Wahab, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Muhammad Dachlan, Prof. Dr. A. Mukti Ali, Alamsjah Ratu Perwiranegara, Munawir Sjadzali, MA., Dr. H. Tarmizi Taher, Prof. Dr. Malik Fajar, KH. Tolchah Hasan, Prof. Dr. KH. Said Agil Husein al-Munawwar, dan sekarang Maftuh Basyuni.
[8] Laporan Rektor IAIN Sunan Kalijaga pada rapat senat terbuka dalam rangka mensyukuri kelahiran IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Dies Natalis ke-51) tanggal 26 September 2002, halm. 1-2.
[9] Marzuki Wahid dkk., Fakultas Syari’ah Menatap Masa Depan, (Yogyakarta: KAFASYA UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), halm. 162.
[10] Ibid., halm. 163. lihat juga Laporan Rektor IAIN Sunan Kalijaga, halm. 2.
[11] Weinata Sairin, MTh., Gerakan Pembaruan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), halm. 18.
[12] Ibid.,
[13] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1982), halm. 37.
[14] Syafi'i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1986), halm. 66.
[15] Lihat Alwi Shihab dalam bukunya Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah  Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), halm. 125-189.
[16] Lihat Anggaran Dasar Muhammadiyah Bab I pasal 1 ayat (1) yang menyatakan "Persyarikatan ini bernama Muhammadiyah, adalah gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur'an dan sunnah.
[17] Anggaran Dasar Bab I pasal 4. lihat juga Lukman Harun, Muhammadiyah dan Pancasila, (Jakarta: Penerbit Pustaka Panjimas, 1986), halm. 71-72.
[18] Alfian, Muhammadiyah: The Political Behavior of A Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989), halm. 134.
[19] Ibid., halm. 347-351.
[20] Di antara mereka yang hadir adalah: KHM. Hasyim Asy’ari (Tebuireng Jombang),  KH. Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas Jombang), KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH. Asnawi (Kudus), KH. Nawawi (Sidogiri Pasuruan), KH. Ridwan (Semarang), KH.Ma’sum (Lasem), KH. Nahrawi (Malang), KH. Munthaha (Bangkalan Madura menantu KHM. Khalil), KH. Abdul Hamid Faqih (Sedayu Gersik), KH. Abdul Halim (Lewimunding Cirebon), KH. Ridwan Abdullah (Surabaya), KH. Mas Alwi (Surabaya), KH. Abdullah Ubaid (Surabaya), Syekh Ahmad Ghana’im al-Mishri (Mesir), dan ulama-ulama lain yang tidak tercatat namanya. Periksa Chairul Anam (ed), KHR. As’ad Syamsul Arifin, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, (Surabaya: Sahabat Ilmu, 1994), halm. 33-38.
[21] Martin van Bruinessen, NU Tradisi Relasi-Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Yogyakarta: LKiS, 1994), halm. 17.
[22] Ibid., halm.26-27.
[23] Ibid., halm. 28.
[24] H. Rozikin Daman, Membidik NU Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), halm.59-60.
[25] M. Ali Haidar, Nahdhatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), halm. 78.
[26] Ibid., halm. 321-323. Kaidah-kaidah ini juga bisa dijumpai dalam kitab ushul fiqh yang sangat terkenal di kalangan NU yaitu al-Asybah wa an-Nadhoir.
[27] Bruinessen, NU Relasi, halm.64-65. Baik kelompok tradisionalis maupun modernis saling menyalahkan dalam kasus ini. Untuk mewakili mereka yang membela NU lihat M. Ali Haidar, Nahdhatul Ulama, halm. 101-110. dan untuk mewakili mereka yang menyalahkan NU lihat Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta: Penerbit Grafiti, 1987), halm.61-62.
[28] Ibid., halm. 65-66. Di pihak lain KH.Idham Chalid dalam sebuah pidatonya menyampaikan dua alasan keluarnya NU dari Masyumi. Pertama menurutnya, seorang lulusan MULO menyatakan bahwa lulusan Tsanawiyah dianggap lebih rendah dari alumni HIS. Mereka juga tidak lagi respek terhadap ulama. Kedua, secara malu-malu Idham Chalid mengakui bahwa persoalan jatah kursi kabinet menjadi pertimbangan NU keluar dari Masyumi, lihat A. Saifuddin, The Struggle Strategies of Post New Order Islamic Politic in Indonesia: A Comparative Study of PKB and PK, (Yogyakarta: Skripsi Fakultas Syari'ah UIN Sunan Kalijaga, 2004), halm. 27.
[29] Andree Feillard, NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, (Yogyakarta: LKiS, 1999), halm. 221-222.
[30] Melalui departemen ini NU bisa memberikan berbagai pelayanan dan menawarkan fasilitas tertentu kepada parapendukungnya di daerah luar kota. Melalui kekuasaannya atas departemen agama, NU mempunyai kesempatan kerja cukup banyak untuk didistribusikan, kesempatan yang syarat-syaratnya pada umumnya dimiliki para pengikut NU.Misalnya tersedia kesemptan menjadi staf Departemen agama mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling rendah. Selanjutnya Pengadilan Agamasebelum pindah dan disatu-atapkan dengan MA—merupakan wilayah yang kerja yang bisa dimasuki orang-orang pesantren yang berlatarbelakang hukum Islam. Di samping itu juga dunia pendidikan. Sekolah-sekolah agam seperti PGA, MA,MANPK, MTs., MI juga berada di bawah kekuasan departemen ini. Yang tidak kalah pentingnya adalah perguruan tinggi agama Islam (IAIN/UIN/STAIN) juga berada di bawah kontrol departemen ini. Lebih jelasnya baca Bruinessen, NU Tradisi, halm. 79-82.
[31] Dari 17 orang yang pernah menjadi menteri agama bisa kita lihat secara jumlah NU sangat mendominasi yaitu 10 orang, sementara Muhammadiyah hanya empat orang dan itupun kalau Munawir Sjadzali yang banyak belajar di pesantren dimasukkan. Kader-kader NU yang pernah menjadi menteri agama antara lain: Prof. KH. Fathurrahman Kafrawi, KH. Masjkur, KH. Wahid Hasyim, KH. Mohammad Ilyas, KH. Muhammad Wahib Wahab, KH. Saifuddin Zuhri, KH. Muhammad Dachlan, KH. Tolchah Hasan, Prof. Dr. KH. Said Agil Husein al-Munawwar, dan Maftuh Basyuni. Sementara yang berasal dari Muhammadiyah adalah KH. Fakih Usman, Prof. (Dr) A. Mukti Ali, Munawir Sjadzali, MA, dan Prof. Drs. Malik Fajar, M. Sc.
[32] Dalam hal ini misalnya Saifuddin Zuhri berdalih: "Aku menyadari bahwa orang-orang yang mendampingiku itu dapat menjadi faktor kesuksesan maupun kegagalan. Oleh karena itu, harus orang-orang yang benar-benar aku kenal kualitasnya. Sebagai warga NU tentulah aku lebih mengenal orang-orang NU daripada orang-orang Masyumi maupun Muhammadiyah. Sebab itu, apa salahnya aku menempatkan mereka di sampingku tanpa meninggalkan norma-norma yang berlaku dalam dunia kepegawaian. Dan orang-orang Muhammadiyah maupun Masyumi yang mempunyai konduite bagus, mengapa harus disingkirkan dari sekelilingku?" Lihat Azra dkk, Menteri-Menteri, halm. 229-230.
[33] Ibid.,
[34] Di antara orang yang terdepak itu adalah Dr. Harun Nasution, Dr. Muljanto Sumardi, Prof. Mr. Soenarjo dan beberapa tokoh yang secara umum berasal dari keluarga Masyumi. Ibid., halm. 289.
[35] Newsletter IAIN Sunan Kalijaga Nomor. 06 (Agustus-September 1999), halm. 21.
[36] Ibid.,
[37] Sebuah istilah yang sering digunakan Munir Mulkhan dalam rangka pencalonannya sebagai calon Rektor UIN Sunan Kalijaga dikarenakan secara politis dia tidak memiliki basis dukungan politik yang kuat. Pencalonannya hanya supaya pemilihan Rektor dinilai lebih demokratis dan tidak lebih.
[38] Lihat misalnya kasus penentuan pembantu Dekan. Di fakultas A, ketika dekannya dimenangkan oleh orang Muhammadiyah tak satupun jabatan pembantu dekan diberikan kepada orang NU. Begitu pula di fakultas B sehingga suatu ketika salah seorang pejabat pernah berkata kepada penulis "orang-orang kita disikat habis di Fakultas A dan B sehingga rencana awal bahwa kita hanya akan mengambil jatah Pembantu Dekan I sementara PD II dan III diberikan kepada 'orang 'lain' menjadi buyar". Contoh lainnya adalah 'pengusiran' beberapa orang-orang NU dari fakultas tertentu. Begitu pula sebaliknya.
[39] Pemilwa adalah sebuah mekanisme peralihan kekuasaan secara damai. Pemilwa ini dilaksanakan untuk memilih pimpinan lembaga kemahasiswaan mulai dari anggota senat universitas dan fakultas (lembaga legislatif), presiden dan wakil presiden mahasiswa, ketua-ketua BEMF, BEMJ, dan BEMPS (lembaga eksekutif). Pemilwa di UIN Sunan Kalijaga Ypgyakarta diikuti oleh beberapa partai mahasiswa (Parma) misalnya PRM (Partai Rakyat Merdeka) yang berafiliasi kepada PMII/NU, PAD (Partai Aliansi Demokrat) yang merupakan underbow IMM?Muhammadiyah, Partai Sinchan yang berafiliasi dengan HMI-Dipo, Partai Proletar yang meruapakan anak politik HMI-MPO, PAS (Partai Anak Sholeh), partai yang merupakan wadah anak-anak KAMMI,  dan PSI (Partai Solidaritas IAIN), sebuah partai dari anak-anak KeMPeD (Kelompok Mahasiswa Pencinta Demokrasi). Anak-anak KeMPeD pada awalnya adalah anak-anak PMII tapi belakangan mereka diisi oleh 'bekas' anggota PMII yang lebih memilih menyeberang ke KeMPed ketimbang bertahan di PMII. Secara ideologis mereka telah berubah dari  nasionalisme religius ke nasionalisme marhain.

No comments:

 

Most Reading