Gerakan Islam dalam Lipatan Asas Tunggal

Monday, 2 May 2011

Gerakan Islam dalam Lipatan Asas Tunggal 
(Studi atas NU di Era 1970-1980-an: dari Radikalisasi hingga Deradikalisasi)

M. Zaenal Anwar 


      A.  Pendahuluan


Salah satu dampak penetrasi Barat ke Dunia Islam adalah menyangkut konsep dan sistem politik kenegaraan. Konsep dari Barat, misalnya nation-state, tidak saja asing, tapi juga a-historis bagi sebagian muslim.[1] Pada gilirannya, hal ini memunculkan problem tersendiri ketika hendak memasuki wilayah konsep dan praksis penyelenggaraan negara. Problem ini menjadi kian kentara karena memunculkan dilema kepatuhan di level masyarakat, kepada negara dan atau agama. Sebagai warga negara, ia harus mematuhi konstitusi yang digariskan. Di sisi lain, sebagai umat beragama, ia memanggul mandat menjalankan dan meyakini agamanya dalam kondisi apapun.

Dalam konteks dilema kepatuhan tersebut, menjadi kian runcing persoalannya ketika negara mengharuskan adanya ideologi atau asas tunggal[2] bagi warga negaranya, terutama dalam berorganisasi. Indonesia misalnya. Pada tahun 1983, Pancasila ditetapkan oleh MPR sebagai satu-satunya asas untuk semua organisasi sosial dan politik. Tak pelak, keputusan ini menjadi babak baru dunia ke-ormas-an bagi masyarakat Indonesia. Konsekwensinya, semua organisasi sosial-politik di Indonesia, tak terkecuali NU, harus bersiap diri menyesuaikan kebijakan tersebut.[3]

Keputusan ini menjadi kian kuat ketika tahun 1985, Pemerintahan Soeharto mengesahkan UU No. 8/1985 tentang Ormas dan diikuti dengan PP No. 18/1986, yang menyatakan bahwa semua organisasi sosial, agama, dan politik harus menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologis dan filosofis mereka. Bagi organisasi yang menolak memasukkan Pancasila dalam AD/ART atau piagam, akan dilarang oleh pemerintah.[4]

Dalam konteks Islam dan Negara-Bangsa, menjadi menarik untuk membahas pergolakan NU dalam merespon kebijakan pemerintah khususnya pemberlakuan asas tunggal (disingkat astung) bagi semua organisasi, dan bagaimana gerakan NU pasca Khittah dan menerima astung. Pilihan terhadap NU, karena organisasi inilah yang pertama kali menerima Pancasila sebagai astung.[5] Dengan begitu, ia memengaruhi dan menjadi cermin organisasi lain ketika menyikapi Pancasila sebagai astung.  



B. Negara Orde Baru, NU, dan Pancasila; Konteks Sosial-Politik

1. Orde Baru dan NU: Persinggungan Awal

Pada tahun-tahun awal orde baru, NU diperlakukan dengan penuh kecurigaan. Hal ini karena partisipasi aktifnya dalam Demokrasi Terpimpin. Yang penting dicatat adalah terjadinya perubahan pemimpin di dalam PBNU, terutama antara yang pro dan anti-Soekarnois. Dalam hal ini, nama Subchan ZE jelas tidak bisa ditinggalkan. Ia adalah pemimpin NU yang mengambil peranan penting dalam mengorganisir serangkaian demonstrasi yang mengantarkan kelahiran orde baru. Dalam analisa Martin van Bruinessen, dibalik perubahan ditubuh NU, tidak diragukan lagi adanya rekayasa penguasa baru, walaupun sulit untuk mengatakannya.[6]

Masa-masa awal orba, bisa dikatakan NU merupakan pendukung bahkan termasuk aktor yang mendorong berdirinya orba. Tapi sejak tahun 1970-an, NU sepertinya “menjaga jarak” dengan pemerintah. Gejala yang demikian, bisa dilihat dari kritisnya NU terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga NU berubah menjadi sosok “oposisi loyal” atau dalam terminologi Mitsuo Nakamura adalah tradisionalisme radikal. Hal ini, dalam analisa Kacung Marijan, disebabkan dua hal. Pertama, NU menjadi kekuatan politik Islam terkemuka. Setelah dibubarkannya Masyumi oleh Soekarno pada tahun 1960 dan kegagalan tokoh-tokohnya untuk merehabilitasi kembali pada masa awal Orba, bisa dikatakan NU-lah organisasi Islam yang paling besar. Kedua, tampilnya tokoh-tokoh idealis di dalam NU yang berupaya “menjaga jarak” dengan pemerintah. Aktor utama dari kelompok ini adalah Subhan ZE dan K.H. Bisri Syansuri. Sikap Subhan yang kritis terhadap pemerintah dilandasi oleh nilai-nilai liberal, sedangkan Kyai Bisri dilandasi oleh nila-nilai fiqh.[7] 

Sebagai gerakan Islam, keterlibatan NU dalam politik praktis semakin dicurigai sebagai penentang rejim dan anggotanya sering mendapat perlakuan diskriminatif. Pada tahun 1973, misalnya, NU terpaksa bergabung dengan tiga partai muslim lainnya menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Bagi NU, hal ini seperti ke masa dimana ia menjadi bagian Masyumi.[8]  

Konfrontasi serius yang pernah dilakukan para politisi NU terhadap pemerintah bisa dilihat pada SU MPR tahun 1978 ketika membicarakan GBHN. Salah satu item yang ditolak adalah usulan pemerintah untuk melakukan indoktrinasi ideologi negara, Pancasila, secara massal. Oleh Kyai Bisri, ini dianggap sebagai ancaman terhadap status Islam sebagai agama. Ketika dilangsungkan voting atas hal tersebut, para politisi NU, secara demonstratif meninggalkan sidang (Walk Out).[9]

Salah satu figur penting dibalik konfrontasi NU adalah Kyai Bisri. Pasca wafatnya beliau, NU tidak lagi memiliki kepemimpinan moral yang kuat. Satu tahun setelah meinggalnya Kyai Bisri, NU menggelar musyawarah nasional (Munas) untuk memilih rois am ad interim, yaitu K.H. Ali Maksum dari Krapyak, Yogayakrta. Yang menarik, munas kali ini melakukan tindakan diluar pakem, yakni tidak menyatakan “kebulatan tekad” yang mengharapkan Soeharto bersedia menjabat kembali sebagai presiden. Penolakan eksplisit NU dipandang sebagai sikap melawan oleh pemerintah, dan bisa ditebak, tindakan balasan yang diambil pemerintah mulai keras.[10]

Pada awal 1980-an, rejim Orba memaksa NU mengambil pilihan antara oposisi atau akomodasi. Dalam pidato yang keras pada 1980, Soeharto menyerang semua kelompok yang memusuhi Pancasila, dan justru berpegang teguh pada ideologi saingannya, seperti Komunisme, Marhaenisme, atau agama, dan dia mengancam akan menurunkan militer untuk memukul mereka. Pada tahun-tahun berikutnya, Soeharto berulang kali mengulangi tema pembicaraan yang sama: kesetiaan kepada ideologi lain selain Pancasila adalah tindakan subversi. Konsekwensi logis dari pandangan ini diumumkan pada 1983 dan diundangkan tahun 1985: semua partai politik dan organisasi kemasyarakatan diharuskan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologis (astung), yakni dengan mengesampingkan Islam atau pandangan-pandangan dunia lainnya.[11]

Kali ini, NU adalah organisasi besar pertama yang mengikuti tuntutan pemerintah, yang secara eksplisit mengakhiri peran oposisional yang dimainkannya sejak dasawarsa sebelumnya. Munas alim ulama NU di Situbondo pada 1983 menelorkan dua keputusan penting: menarik diri dari politik praktis, (dan karenanya keluar dari PPP), dan mengikuti tuntutan astung. Muktamar NU ke-27 di tempat yang sama pada tahun 1984 memperteguh keputusan ini dan melakukan perubahan dalam anggaran dasar NU. Keputusan ini menandai depolitisasi dan deradikalisasi di NU.[12] Bisa dikatakan, jalan menuju penerimaan Pancasila sebagai astung telah dirintis.



2. Pancasila sebagai Astung: Konteks Awal dan Respon Organisasi Sosial-Politik

Ketika stabilitas politik diterima sebagai prasyarat pembangunan ekonomi, maka rejim Orba sangat intens menciptakan semua pra-kondisi yang diperlukan untuk pemantapan stabilitas itu, serta mengeliminasi, setidaknya meminimalkan kemungkinan ke arah sebaliknya.[13] Salah satu proyek utamanya adalah dengan penyeragaman ideologi dengan Pancasila sebagai astung. Menurut Bahtiar Effendy, inilah serangan paling akhir terhadap konstruk lama Islam politik, terutama dalam kerangka simbolisme ideologisnya.[14]

Hikam, mengutip Ali Moertopo, menjelaskan, maksud penyeragaman ideologi atau menjadikan Pancasila sebagai persatuan ideologi, untuk membuat konflik-konflik ideologi dalam politik Indonesia di masa-masa mendatang sebagai irrelevan dan usang.[15] Sejak berdiri, Andrée Feillard menegaskan, Orba memang bermaksud menempatkan pemerintahan negara Indonesia di luar perpecahan ideologis. Upaya pemerintah membujuk NU, yang memimpin Islam radikal di DPR, dengan sangat gencar dan tampak menuai keberhasilan, menimbulkan banyak perdebatan.[16] 

Dalam konteks politik, Orba melancarkan Demokrasi Pancasila, antitesis dari Demokrasi Terpimpin yang dinilai telah menyimpang dari UUD 1945. Menyadari usaha penyeragaman tersebut tidak mudah, pemerintah menjalankan secara betahap. Namun demikian, titik perhatiannya adalah pada dua hal, agar jangan terulang kebebasan tanpa batas seperti dalam demokrasi liberal, dan jangan mematikan kebebasan seperti dalam Demokrasi Terpimpin.[17]  

Andrée, dalam bukunya NU vis a vis Negara, mengungkap rencana penyeragaman ideologi dengan menarik. Menurut intelektual asal Perancis ini, sulit menjelaskan mengapa pemerintah gencar mempromosikan Pancasila sebagai astung. Dalam analisanya, Pancasila bukan hanya benteng yang kokoh untuk mencegah pembentukan negara Islam, tapi juga merupakan persamaan terkecil dari masyarakat majemuk, hingga menjadi alat penjaga kedamaian sosial yang terpenting.[18]

Dalam konteks Pancasila sebagai instrumen penjaga kedamaian sosial, menjadi cukup relevan untuk mengungkap seberapa jauh peran militer dalam perdebatan Pancasila sebagai astung. Pada seminar kedua tahun 1966 di Bandung, Angkatan Bersenjata menyarankan pengajaran ideologi nasional sebagai alat pemersatu rakyat. Seminar itu mengusulkan pembuatan undang-undang mengenai partai, organisasi sosial-keagamaan dan administrasi pemerintahan. Pancasila juga diusulkan menjadi asas ideologis, tanpa ditegaskan sebagai astung atau bukan.[19]

Jika dianggap ABRI merupakan unsur penting dalam formasi negara Orba, bisa jadi, hasil seminar tersebut menjadi tonggak awal rencana astung di Indonesia. Kegagalan dalam upaya menjalankan Pancasila sebagai astung pada tahun 1975 dan 1978 tidak menyurutkan langkah pemerintahan yang dipimpin Soeharto.[20] Dalam pidatonya yang terkenal di Pekanbaru pada 27 Maret 1980, Presiden mengumumkan rencana penyeragaman ideologi. Menurutnya, sejak awal berdirinya Orba, sudah ada konsensus untuk memperjuangkan agar semua partai politik dan golongan karya mendasarkan diri pada satu ideologi, yaitu Pancasila. Presiden menegaskan:



“Kita tidak bermaksud memusuhi partai, golongan yang belum 100% percaya kepada Pancasila. Tidak! Akan tetapi kita wajib uuntuk membawanya sedemikian rupa sehingga benar-benar keseluruhan daripada kekuatan sosial-politiik hanya berdasarkan ideologi nasional kita, Pancasila”.[21]



Dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan bahwa “seluruh kekuatan sosial dan politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila.”[22] Pernyataan ini makin menegaskan adanya proses hegemoni ideologi, sesuatu yang belum pernah ada dalam sejarah Indonesia sebelumnya, dimana negara mampu menggunakan hegemoni ideologi seefektif yang dilakukan orba.[23]

Reaksi pun segera menyeruak. Pada 6 November 1982, kelima organisasi yang mewakili kelima agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha) mengeluarkan pernyataan bersama untuk tetap mempertahankan asas keagamaan masing-masing, dan tidak setuju terhadap rencana pemberlakukan astung. Namun demikian, mereka akan membuat umat menjadi orang yang beragama dan Pancasilais.[24]

Reaksi paling keras datang dari Islam modernis radikal seperti Dewan Dakwah Islamiyyah Indonesia (DDII). Elit pemimpinnya, M. Natsir, menerbitkan sebuah pamflet yang menolak keras astung tersebut. Ia menyatakan:



“Biarkan asas ini menduduki tempat yang sudah dimilikinya selama ini. Ia tidak mengganggu. Malah membantu. Ia bukan lawan. Ia kawan. Buat apa diganggu! Memang, ia mudah saja dibuldozerkan dengan suara terbanyak di DPR, umpamanya. Hanya, kalau-kalau ceritanya takkan hingga kesana saja. Contoh-contoh sejarah sudah cukup banyak. Akibatnya berat!”.



Bagi pendukung Islam politik, proyek astung ini merupakan lanjutan dari proyek sekularisasi dan depolitisasi Islam Indonesia.[25] Kebijakan ini mengakibatkan depolitisasi Islam. Pertama, karena kata “Islam” tidak lagi dipakai sebagai nama partai. Kedua, kebijakan tersebut diikuti dengan konsep massa mengambang di tingkat daerah, yang secara tidak langsung meniadakan komunikasi politik antara pemimpin partai Islam dengan para pengikutnya.[26]

Bagi organisasi politik, karena terpojokkan oleh desakan ideologis ini, baik PPP atau PDI tampaknya juga tidak punya pilihan lain kecuali menerima Pancasila sebagai asas ideologi mereka. Dalam kongresnya Agustus 1984, PPP mengganti asas Islam dengan Pancasila sebagai dasar ideologi mereka.[27]

Kelompok Islam modernis merumuskan keberatan mereka melalui penerbitan. Deliar Noer, sejarawan berbobot dari kalangan modernis menulis buku yang menjelaskan hal ini dari sudut pandang kaum pembaharu. Baginya, jika PPP menerima rencana astung, maka sama saja dengan mengakui; pertama, dalam Islam ada pemisahan antara agama dan politik, dan menempatkan Islam sama dengan posisi agama-agama kain dalam hubungannya dengan politik. Kedua, dalam bidang politik, agama, khususnya Islam, tidak relevan dengan tuntutan zaman. Ketiga, Islam seakan-akan pernah menimbulkan kekacauan pada masa lalu, minimal bertolak belakang dengan Pancasila dalam bidang politik. Dan keempat, kekacauan dalam kampanye Pemilu yang lalu disebabkan oleh asas PPP yang masih Islam, disamping Pancasila.[28]  

Masykuri menjelaskan, setelah pemerintah menjamin bahwa astung tidak berarti memperkenalkan negara sekuler, umat Islam dapat menerima dan bahkan mendukungnya. Bisa dikatakan, seluruh organisasi Islam menerima Pancasila sebagai astung kecuali PII (Pelajar Islam Indonesia). PII memilih membubarkan diri ketimbang menghapus asas Islam dari organisasinya.[29]

Dalam lebatnya pro-kontra penerimaan Pancasila sebagai astung, seperti disinggung di awal, NU bersikap moderat dan mengikuti kebijakan pemerintah. Lantas, bagaimana proses penerimaan astung di NU? Apa basis argumentasinya? Dan, bagaimana prospek NU pasca khittah 1926?     

  

C. NU; Menerima Pancasila dan Kembali ke Khittah 1926

Retrospeksi terhadap pergulatan politik NU telah lama dilakukan oleh internal NU. Secara resmin ini terungkap pada muktamar ke-22 di Jakarta, 13-18 Desember 1959. Hal ini dilakukan oleh K.H Achyat Chalimi, seorang juru bicara dari Mojokerto. Ia antara lain mengatakan bahwa peranan politik dari Partai NU telah hilang dan peranan ini justru dipegang oleh perorangan, hingga partai sebagai alat sudah hilang. Oleh karena itu, diusulkan agar NU kembali pada tahun 1926.[30]

Gagasan kembali ke khittah 1926 kembli muncul pada Muktamar ke-25 di Surabaya. Dalam pidato iftitah-nya, K.H. Wahab Hasbullah, rois am PBNU, mengajak para muktamirin untuk kembali ke Khittah 1926. Dia menegaskan, hendaknya kaum nahdliyyin kembali pada NU sebagaimana tahun 1926. maksudnya, sekalipun NU berjuang di tahun 1971, tapi jiwanya adalah mewarisi NU tahun 1926, dan tetap setia pada aqidah himmah ahl as-sunnah wa al-jama’ah.[31]

Gelombang gagasan ini makin menguat pada Muktamar NU di Semarang (1979). Muktamar yang ke-26 di Semarang ini memutuskan bahwa NU kembali sebagai jam’iyyah seperti pada tahun 1926. Namun demikian, aspirasi politiknya tetap disalurkan pada PPP. Yang patut dicatat, dalam fase ini, kepengurusan rangkap banyak terjadi. Misalnya saja K.H. Idham Chalid sebagai sebagai Ketua Umum PBNU, juga sebagai Presiden PPP. Momentum gagasan ini kemudian memuncak pada muktamar NU di Situbondo (1984). Muktamar ke-27 ini, mengacu pada pernyataan Gus Dur, merupakan fase baru perjuangan NU dalam perjuangan kemasyarakatan. Artinya, NU akan menjadi pelayan ummat, dan tidak terbatas pada PPP. Selain itu, pengurus NU harus dipisahkan dengan organisasi politik manapun.[32]  

Salah satu fase penting dari ide kembali ke Khittah ini adalah persitiwa pada bulan Mei 1983. Pada saat itu, kalangan yang mendambakan kembali ke khittah ini mengadakan pertemuan yang dihadiri 24 tokoh NU, yang lantas dikenal dengan nama Majelis 24. Mereka yang hadir antara lain adalah, K.H. Sahal mahfudh, H. Mustofa Bisri, H. Mahbub Junaidi, dan H. Abdurrahman Wahid. Pertemuan ini bertujuan melakukan refleksi atau mengadakan evaluasi terhadap laju perkembangan NU selama ini. Salah satu capaian penting dalam pertemuan tersebut adalah dibentuknya tim tujuh untuk pemulihan Khittah NU 1926. dinamakan tim tujuh karena terdiri dari tujuh orang yakni, Ketua Abdurrahman Wahid, Wakil ketua H. M. Zamroni, Sekretaris Said Budairy, dengan anggota-anggota H. Mahbub Junaidi, dr. Fahmi Saifuddin, H.M. daniel Tanjung, dam A. Bagdja. Tugas pokok tim tujuh adalah merumuskan konsep pembenahan dan pengembangan NU yang selaras dengan prinsip khittah 1926. Dalam arus perjalanan NU, tim tujuh ini sangat berperan. Sebab, konsepsi hasil rumusannya inilah yang pada akhirnya menjadi bahan bagi munas alim ulama tahun 1984 dan muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.[33]

Muktamar NU ke-27 merupakan titik balik dari kegiatan NU selama ini. Arena politik praktis segera ditinggalkan dan memasuki gelanggang sosial keagamaan yang sebelumnya relatif terbengkalai. Di muktamar ini, titik balik itu terjadi. Kalau sebelumnya, NU “menjaga jarak” dengan pemerintah, maka pada Muktamart ini, Presiden bersedia hadir membuka Muktamar dan diikuti sejumlah menteri yang juga memberi sambutan.[34]

Bagi pemerintah, kesediannya berdekatan dengan NU, tidak lepas karena kebijakan NU sesuai dengan rekayasa politik yang dilakukan. Kacung mencatat minimal ada dua rekayasa. Pertama, dalam muktamar ini NU menegaskan dirinya sebagai organisasi kemasyarakatan dan melepaskan ikatannya dari PPP. Kedua, dalam muktamar ini, NU akan membuat penegasan kembali tentang diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas. Ini sejalan dengan langkah pemerintah yang hendak menetapkan Pancasila sebagai astung (mono-normativisme).[35] 

Terkait proses penerimaan Pancasila sebagai astung, pada dasarnya bisa dilacak mulai awal 1982. Dalam sebuah rapat pleno PB Syuriah NU di Jakarta pada 29 januari 1982, telah disimpulkan bahwa pada dasarnya umat Islam senantiasa pada kebaikan. Jika akhirnya terjadi kemelut, semua itu terjadi karena terjadinya kelemahan pada pemimpinnya. Sebagai tindak lanjutnya, para Kiai terkemuka menggelar pertemuan di rumah K.H. Mudjib Ridlwan di Surabaya yang terkenal dengan pertemuan Kawatan pada 1 Mei 1982. Salah satu kesimpulan penting dari pertemuan tersebut adalah, salah satu penyebab kelemahan kepengurusan NU selama ini adalah lemahnya kepemimpinan NU dibawah K.H. Idham Cholid. Para Kiai pun memutuskan untuk menemui Idham Cholid di Jakarta. Dalam pertemuan antara rombongan kiai, diantaranya K.H. As’ad Syamsul Arifin, K.H. Machrus Ali dan K.H. Ali Maksum, dengan Idham Cholid, disimpulkan, Idham bersedia memundurkan diri dengan penuh keikhlasan dan tanpa paksaan dari pihak manapun. Idham bergarap pernyataan tersebut diumumkan tanggal 6 Mei 1984. Ini mengingat pengunduran tersebut ditandatangi pada 2 Mei 1982, sedangkan Pemilu akan dilangsungkan pada 4 Mei 1982. Pasca pernyataan pengunduran tersebut, suasana ditubuh NU tetap diselimuti kericuhan. Ini terutama disebabkan pada 14 Mei 1982, Idham Cholid mencabut kembali surat pernyataan pengunduran diri yang pernah diberikan dihadapan ulama tersebut. Disinilah bibit-bibit persaingan memunculkan dua kubu, Situbondo yang menjadi representasi K.H. As’ad dan ulama lainnya dan Cipete yang dikomandoi Idham Cholid. Perpecahan yang demikian ini berlangsung sekitar 2 tahun. Konflik ini mulai mengendor ketika kubu Situbondo berhasil menyelenggarakan Munas Alim Ulama pada tanggal 18-21 Desember 1983. Ini juga dikuatkan dengan pertemuan K.H. As’ad Syamsul Arifin dengan Presiden Soeharto pada 19 Februari 1984. Diantara kesimpulan inti dari pertemuan tersebut adalah penerimaan Pancasila sebagai astung.[36]  



1.      Basis Argumentasi

Salah satu ijtihad politik kenegaraan yang pernah dikeluarkan NU adalah menyangkut asas Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final bangsa Indonesia. Ijtihad ini keluar pada waktu Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984. Konteks politik saat itu menunjukkan, pemerintah Orba menginginkan setiap orsospol berasaskan Pancasila. Pemikiran ini bermula dari adanya konsep massa mengambang atau floating mass. Dalam konsep ini, setiap organisasi diharapkan lebih berorientasi pada program, tidak terkotak-kotak dalam ideologi yang berbeda-beda. Terkait dengan perkembangan politik saat itu, NU memberikan dukungan penuh dan realisasinya adalah ketika Muktamar ke-27 tersebut. Keputusan penting pada muktamar tersebut adalah NU berasaskan Pancasila. Sedangkan dalam aqidahnya, NU tetap sebagai jam’iyyah diniyyah Islamiyyah dan beraqidah Islam dengan paham ahl as-sunnah wa al-jama’ah.[37]

Berfungsinya kembali NU sebagai organisasi sosial keagamaan jelas didukung pemerintah. Peran seperti ini sekaligus mempertegas bahwa NU merupakan bagian sistemik dari sistem politik Indonesia, meskioun dirinya memiliki subkultur tersendiri.[38] Dalam hubungannya dengan ideologi negara, NU telah membuat deklarai mengenai hubungan Pancasila dengan Islam yang sebelumnya dianut sebagai asas organisasi. Deklarasi ini ada lima butir, sebagai berikut:

1.      Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak bisa digunakan untuk kedudukan agama;

2.      Sila pertama dari Pancasila mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam;

3.      Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah, meliputi hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia;

4.      Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk manjalankan syariat agamanya;

5.      Sebagai konsekwensinya, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.[39]

Penerimaan NU terhadap Pancasila bukan karena semata-mata situasi, tapi karena memang dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan, dan pemahaman NU terhadap sejarah. Secara singkat, dasar-dasar penerimaan NU terhadap Pancasila bisa dilihat dari tiga hal. Pertama, konsep fitrah. Dalam muktamar ke-27 tersebut, NU benar-benar memahami ulang dasar keagamaannya. NU memandang bahwa Pancasila adalah falsafah bangsa dan agama adalah wahyu. Kedua, konsep ketuhanan. NU menilai rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 (ayat 1) UUD 1945 – yang menjiwai silai-sila lainnya- mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam. Dan ketiga, pemahaman sejarah.[40]

Dalam pandangan NU, Islam bersifat menyempurnakan, sehingga bila ada sesuatu yang bertentangan dengan Islam, maka ia masuk kategori islami. Dan Pancasila, merupakan ideologi negara yang dilihat tidak bertentangan dengan Islam. Di pihak lain, Pancasila digali dari nilai luhur kebudayaan Indonesia, termasuk kebudayaan Islam.[41] 

Bagi Wahid, penerimaan NU terhadap Pancasila sebagai astung juga dilandasi pendekatan fiqh. Dalam pandangan fiqh, asas Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal itu pun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan orgnisasi yang bersangkutan. Islam, tulis Gus Dur, pada suatu saat bisa dijadikan asas, dan di waktu lain bisa dijadikan landasan keimanan, karena masalahnya “hanya sekedar pencapaian legitimasi” dalam pandangan fiqh.[42] Pada kesempatan lain, Abdurrahman Wahid menegaskan, dirinya mau menerima astung karena ia yakin itu tidak akan mengubah apapun bagi peran ormas.[43]

Dalam konteks ini, perlu dipahami bahwa kaidah fiqh dan ushul fiqh merupakan salah satu pendekatan NU dalam berpolitik. M. Ali Haidar, menyitir Jalal ad-Din as-Suyuti dalam kitab al-Asybah wa an-Nadhair, menjelaskan lima kaidah pokok yang lazim disebut al-Qowaid al-Fiqhiyyah (lima kaidah fikih) yang serig disinggung kalangan kyai NU. Kelima kaidah tersebut adalah;[44]

1.

 Artinya, setiap perbuatan tergantung kepada niatnya (tujuan)

2.

Artinya, keyakinan tidak hilang karena keraguan

3.

Artinya, tidak ada bahaya dan sesuatu yang membahayakan harus dihilangkan

4.

Artinya, kesulitan dapat memberikan kemudahan

5.

Artinya, sesuatu yang menjadi kebiasaan diakui.

Kaidah lain yang terkait adalah:

1.

Artinya, menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan

2.

Artinya, jika terjadi pertentangan beberapa bahaya dipertimbangkan bahaya yang paling besar akibatnya dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya.

3.

Artinya, kewajiban yang tidak lengkap kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu pun wajib.

4.

Artinya, kemudahan tidak gugur karena kesulitan.

Kaidah-kaidah tersebut merupakan generalisasi masalah baik yang bersumber dari dasar-dasar hukum syariat maupun dari kesamaan-kesamaan hukum fiqh yang beraneka ragam. Dengan memahami prinsip-prinsip pokok berupa kaidah fiqh tersebut akan memudahkan memahami hukum fiqh yang beranka ragam dan kompleks sehingga akan mempermudah pula mengambil keputusan hukum terhadap problematika yang muncul. Dinamika dan perubahan yang terjadi di dalam NU sebagian dapat dipahami melalui prinsip-prinsip dalam kaidah fiqh tersebut.[45]    

Secara lebih mendalam, disamping bersandar pada kaidah fiqh, prilaku politik NU, salah satunya bisa dilihat ketika merespon Pancasila, adalah adanya ciri khas organisasi. Ciri tersebut adalah:

1. Tawasuth dan i’tidal, yakni sikap tengah yang berintikan tentang prinsip    hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama.

2.  Tasamuh, yakni sikap toleran terhadap perbedaan-perbedaan pandangan, baik dalam soal keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi khilafat atau perbedaan, serta dalam soal kemasyarakatan dan kebudayaan.

3.  Tawazun, yakni sikap seimbang dalam berkhidmah kepada Allah ta’ala, kepada manusia serta kepada lingkungan hidupnya, menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa datang.

4.  Amar ma’ruf nahi munkar, sikap selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama, serta menolak dan mencegah semua hal yang menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.[46]



Bagi Kyai Ahmad Shiddiq, seperti ditulis Andrée Feillard, Pancasila dan Islam merupakan satu kesatuan yang terpisah namun tidak bertentangan; Pancasila adalah ideologi, sedangkan Islam adalah agama. Ia mengatakan;                   

                Memang Islam (dalam Partai NU) tidak dimaksudkan untuk membuat Islam menjadi ideologi politik, sebab Islam  tidak boleh disamakan dengan ideologi politik. Islam adalah agama yang diwahyukan, sedangkan ideologi adalah hasil pemikiran manusia.

                Memang Islam dapat (dan harus) membimbing orang-orang untuk merumuskan satu ideologi yang benar. Islam dapat dijadikan patokan untuk menilai apakah suatu ideologi itu baik atau buruk. NU menolak semua ideologi yang tidak sesuai dengan agama Islam.[47]   



Selain itu, Kiai Ahmad Shiddiq meyakinkan ia telah mendapat jaminan bahwa pemeirntah tidak akan membuat Pancasila menjadi sebuah “agama baru”, pemerintah hanya ingin mewariskan sebuah negara yang kuat dan bersatu bagi generasi muda. Penerimaaan Pancasila an sich, mestinya tidak menimbulkan persoalan, karena NU juga telah ikut menyusun UUD pada tahun 1945 dan dengan demikian berarti telah menerima Pancasila, bukan sebagai “taktik”, melainkan karena NU benar-benar percaya terhadap universalitas prinsip-prinsip ideologi ini. Kiai Ahmad menegaskan, penerimaan Pancasila merupakan “pelaksanaan secara nyata ajaran-ajaran syariat sesuai dengan cita-cita umat Islam.” Jadi, Kiai Ahmad menepis semua tuduhan yang mengatakan Pancasila adalah alat sekularisme yang anti-Islam.[48]  

Setelah Kyai Shiddiq berhasil meyakinkan ulama dan aktivis tentang penerimaan Pancasila sebagai atung, pekerjaan lainnya adalah bagaimana ia dirumuskan di anggaran dasar? Inilah pekerjaan yang sukar dan disini pula kecerdikan ulama diuji. Menurut Feillard, pengamatan teliti terhadap AD NU menunjukkan mahir para ulama dalam pekerjaan retoris ini.[49]

Pancasila dimasukkan sebagai asas, namun Islam tetap diletakkan di tempat utama didalam pasal 3 sebagai aqidah.[50]

                NU, sebagai jam’iyyah diniyyah islamiyyah, beraqidah Islam menurut faham ahlussunnah wal jamaah dan mengikuti slah stu madzhab empat; hanafi, maliki, syafii, dan hanbali.



Agama juga dicantumkan dalam pasal 4 yang berjudul “tujuan”:

                Berlakunya ajaran Islam yang berhaluan ahlussunnah wal jamaahdan mengikuti salah satu madzhab empat di tengah-tengah kehidupan, di dalam kestuan wadah negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.  



Sikap NU yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi, berdasarkan fakta yang ada yakni Pancasila adalah dasar falsafah negara RI, dan bukan agama. Bagi NU, Islam adalah aqidah dan syari’ah yang meliputi baik aspek hubungan manusia dengan Tuhan maupun antar sesama manusia. Hal ini kemudian membuat pemerintah bisa memahami keinginan ulama dan mendukung para ulama (kubu Situbondo). Begitu ada kejelasan sikap pemerintah ini, perpecahan di NU segera reda, apalagi setelah ada acara Tahlilan di rumah Hasyim Latif, salah seorang ketua PWNU Jatim, yang mempertemukan dua kubu yang sebelumnya berselisih. Mereka yang hadir kemudian menandatangani maklumat keakraban. Pertemuan ini dikenal dengan pertemuan Sepanjang.[51] 



2.      Respon Terhadap NU Pasca Penerimaan Pancasila

Keputusan NU untuk kembali ke khittah 1926, tampaknya mendapat tanggapan beragam dari berbagai kelompok yang ada di dalamnya. Pengelompokan ini menjadi kian wajar mengingat dampak ekonomi-politik dari keputusan khittah ini tidak sedikit.

         Pada dasarnya, suara NU tidak bulat mendukung astung. Sayap radikalnya, yang dipimpin Dr. Muhammad Tohir di Surabaya, misalnya, merupakan representasi kelompok yang paling keras menolak astung.[52] Sementara dalam kasus Tanjung Priok, salah seorang bekas aktivis NU yakni Salim Qadar ditengarai ikut bertanggungjawab. Tapi secara umum, kader-kader NU tidak terlibat dalam peristiwa yang dapat mengganggu hubungan yang sddang dijalin dengan pemerintah.[53]

         NU juga menerima pujian dari kaum oposan radikal seperti Syarifuddin Prawiranegara, anggota kelompok oposisi “Petisi 50” dan ketua Korps Muballigh Indonesia (KMI), sebuah kelompok dakwh yang menentang astung. Atas nama KMI, Syarifuddin memuji Munas NU yang berhasil mempertahankan asas aqidah Islam sebagai dasar aktivitasnya, smbil memasukkan sila-sila Pancasila dalam AD organisasinya, dengan tetap menginterpretasikan sila-sila ini sesuai dengan ajaran Islam.[54]

         Feillard mengakui, NU telah berhasil melakukan sesuatu yang canggih: meraih kembali kepercayaan pemerintah dengan menerima negara-bangsa, republik non-Islam tapi monoteis, sambil meyakinkan para  kyai dan aktivis bahwa identitas Islam mereka tidak akan tetap utuh. Dengan keluwesan yang merupakan ciri khas Islam tradisionalis, NU mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan bangunan politik Indonesia, sembari berusha agar aturan fiqh tetap dihormati. Inilah pentingnya Islamisasi dari bawah, bukan dari atas, telah disadar sejak awal Orba, tapi tidak pernah diutarakan dengan jelas.[55]

 Dalam konteks global, pers Islam radikal luar negeri mengritik tajam. Crescent International, sebuah majalah Islam terbitan Toronto, menulis bahwa penerimaan astung merupakan kemenangan Soeharto yang penting dalam upayanya menaklukkan Islam. Meskipun demikian, para pendukung Islam tidaklah sepesimis itu. NU justru menerima ucapan selamat dari kelompok radikal macam KMI. Di kemudian hari, NU tampak telah menemukan pintu keluar seklipun sempit, pintu yang digunakan pula ormas Islam lain seperti Muhammadiyah.[56]  



D. Negara Reformasi dan NU; Pasca Pudarnya Astung


Keputusan NU untuk kembali ke Khittah 1926 pada tahun 1983, dipandang para pengamat sebagai jawaban yang tepat dan berdampak strategis dalam jangka panjang. Dengan move tersebut, NU mampu menghindarkan diri dari keharusan melakukan berbagai kompromi berlebihan yang akan mempersulit perjuangannya dalam membela kepentingan kelembagaan dan kemslahatan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.[57]

Ide kembali ke Khittah 1926, sesungguhnya bukanlah ide baru yang muncul tiba-tiba pada akhir 1970-an. Jika ditanyakan, mana yang lebih dulu, ide kembali ke Khittah 1926 atau menerima Pancasila sebagai astung, penulis akan menjawab, ide khittah muncul lebih dulu. Namun demikian, perlu dipahami, ide kembali ke khittah ini menemukan momentumnya dan relevansinya dengan kebijakan pemerintah yang hendak menerapkan astung bagi semua organisasi sosial-politik. Disinilah, strategi politik NU memperlihatkan kecerdikannya.   

Di sisi lain, ada yang melihat bahwa ini bukan buah kecerdikan, tapi justru karena NU tidak siap menghadapi skenario terburuk, misalnya berhadapan langsung dengan militer karena senantiasa menentang kebijakan pemerintah. Menurut penulis, jika mengacu pada pendekatan politik NU dengan kaidah fiqh sebagaimana disinggung diatas, maka NU lebih mempertimbangkan masa depan warga NU yang jumlahnya jutaan. Dalam konteks ini, NU jelas memakai pendekatan mashlahah ‘ammah. Pengalaman NU bertahun-tahun yang berhadap-hadapan dengan militer dan aparat negara tentu menjadi pertimbangan utama.

Terkait tuduhan bahwa NU bersikap oportunis terkait penerimaan Pancasila sebagai dasar organisasi, Abdurrhman Wahid punya jawaban. Menurut cucu K.H. Hasyim Asy’arie ini, yang penting bagi NU bukanlah strategi perjuangan politik atau ideologi Islam, tetapi keabsahan di mata hukum fiqh. Sudah tentu penetuan sikap berdasarkan hukum fiqh bukanlah hal yang mudah seperti memilih sebuah buku dari perpustakaan, karena pemberlakuan hukum Islam dalam sejarah dapat berubah, berbeda, bahkan bertentangan antara yang satu dengan yang lain.[58]

Ketika kekuasaan bergeser dari Soeharto kepada Habibie pada 21 Mei 1998, hal ini menandai fase baru kehidupan politik di Indonesia. Masyarakat menyebut era transisi politik ini dengan masa reformasi, model yang sebenarnya tidak lazim dalam studi transisi politik.[59] Dampak dari peralihan tersebut telah membawa angin baru bagi dunia politik di Indonesia. Era liberalisasi politik ini ditandai oleh banyak hal, diantaranya adalah kebebasan pers dan ideologi organisasi yang tidak lagi tunggal.

Dalam konteks Islam politik, respon yang diberikan sebagian umat Islam adalah dengan membentuk kembali partai politik Islam.[60] Sebuah fenomena yang tentunya tidak lazim, bahkan mustahil, pada era orde baru. Setelah merasa terpinggirkan dan hanya berkutat pada wilayah kultural, Islam politik pun tampil ke publik dengan wajah yang lebih jelas; partai politik.

         Berbicara tentang partai Islam pasca-Soeharto memang suatu hal yang menarik. Bagi sebagian orang inilah lembaran berikut dari sejarah Islam politik di Indonesia, setelah sebelumnya pernah mengalami “tutup buku” ketika PPP dipaksa menanggalkan asas Islam-nya, dan diganti dengan asas Pancasila oleh penguasa orde baru.[61]

Lebih dari itu, kasus penerimaan Pancasila sebagai astung oleh NU, merupakan cermin arah baru gerakan Islam. Citra gerakan radikal yang begitu melekat kuat dan cukup akrab dalam tubuh NU pada awal 1970-an hingga awal 1980-an, setelah penerimaan astung lamat-lamat kian memudar. Ada yang berpendapat bahwa inilah penjinakan luar biasa yang dilakukan negara terhadap gerakan Islam.



E. Penutup: Refleksi Tentang Ormas Radikal dan Wacana Revisi UU No. 8/1985 tentang Ormas


Sebagai penutup makalah ini, penulis merasa tertarik untuk merefleksikan ulang merebaknya laskar jalanan atau Ormas radikal dan diskursus revisi tentang ormas. Lalu, bagaimana sebaiknya NU mengambil posisi di tengah isu revisi regulasi ormas?

Seperti diketahui, kabar pengusiran terhadap Gus Dur oleh sekelompok massa dalam diskusi di Purwakarta, Jawa Barat, akhir Mei lalu, telah memancing perdebatan serius seputar keberadaan laskar jalanan atau yang disebut juga dengan ormas radikal. Walau telah diklarifikasi Gus Dur bahwa isu pengusiran tersebut tidak benar, tapi wacana pembubaran laskar jalanan terlanjur bergulir dan menjadi diskursus publik.

Tentu masih hangat dalam ingatan, selama Soeharto berkuasa, kebebasan berserikat dan berkumpul sangat dibatasi dan dikekang. Hampir semua organisasi sosial-politik diharuskan mengikuti asas tunggal, dengan menempatkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi. NU bahkan menjadi lokomotif organisasi social keagamaan yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal paling awal. Hal ini kemudian ditandai dengan lahirnya UU No. 8/1985 tentang Ormas dan diikuti dengan PP No. 18/1986. 

Setelah Soeharto lengser tahun 1998, hak dasar masyarakat untuk berserikat dan berkumpul, sebagaimana diatur UUD pasal 28 tentang kebebasan berserikat, menemukan momentumnya. Asas tunggal yang dulu menjadi ancaman bagi sebuah organisasi tidak lagi dihiraukan. Bak jamur di musim hujan, masyarakat yang dulu dikebiri haknya dalam mendirikan organisasi, berlomba-lomba mendirikan organisasi sosial dan politik. Selama 8 tahun terakhir ini, kita disuguhi berbagai jenis organisasi, mulai partai politik, organisasi buruh, ormas, hingga laskar jalanan. Semua tumbuh dan berkembang secara subur di masyarakat.

Di satu sisi, dan sesuai dengan semangat reformasi, hal ini tentu menggembirakan. Mengapa? Karena masyarakat semakin memahami haknya dan mampu menggunakan dengan baik. Kebebasan mendirikan organisasi dan berserikat, idealnya, menjadikan reformasi lebih bermakna.

Di sisi lain, kebebasan berserikat ini telah memunculkan distorsi. Yang kentara, aktivitas laskar jalanan dengan berbagai bentuk aktivitasnya, telah memantik kecurigaan dan keresahan di kalangan publik. Ini tentu terkait dengan model kekerasan yang sering diambil sebagai bagian dari penyelesaian masalah. Selain itu, tiadanya regulasi yang jelas, minimnya kontrol Negara dan lemahnya penegakan hukum, menambah runyam persoalan laskar jalanan atau ormas radikal. Peran untuk menertibkan, menjaga keamanan serta kenyamanan masyarakat, yang seharusnya dijalankan Negara dan aparatusnya, ironinya, justru diambil alih oleh laskar jalanan tersebut.

Menurut hemat penulis, ormas radikal atau laskar jalanan yang sering meresahkan masyarakat, harus segera ditindak dengan tegas dan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam konteks ini, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, penegakan hukum harus segera dilakukan. Sebagai Negara berdasarkan hukum, Indonesia harus menjadikan hukum sebagai panglima. Yang perlu digarisbawahi, penegakan hukum ini tidak bertujuan untuk mengekang, mempersulit atau membubarkan suatu organisasi, jika kebetulan organisasi tersebut berseberangan pendapat dengan Negara. Tapi, semangat penegakan hukum disini, lebih sebagai bagian untuk menyelesaikan persoalan yang timbul di masyarakat.

Kedua, penulis setuju adanya ide revisi UU No. 8/1985 maupun PP No. 18/1986. Kedua regulasi tersebut sudah terbilang uzur dan tentu jauh dari semangat reformasi. Namun demikian, revisi ini seyogianya berpegang pada prinsip partisipatif. Masyarakat luas, Ormas dan semua pihak yang berkepentingan harus dijamin oleh Negara untuk dilibatkan dalam pembahasan revisi.   

Selain itu, revisi ini juga harus berpegang pada prinip hak berserikat dan berkumpul. Revisi yang akan dilakukan juga tidak hendak menempatkan Negara lebih otoriter pada ormas. Hal ini tentu tidak diinginkan.

Dengan adanya revisi ini, tentu masyarakat berharap bahwa hak berserikat tetap dijamin. Namun demikian, dalam implementasinya, Negara harus mengatur agar jangan sampai ada konflik atau bentrok antar ormas atau elemen-elemen masyarakat lainnya. Tapi, revisi saja tidaklah cukup, kata kunci yang lain yakni penegakan hukum, tentu harus dilakukan pada saat bersamaan. Disinilah, peran negara menjadi penting.

Dalam konteks ini, menurut penulis, NU selayaknya menjadi aktor utama yang mendorong revisi UU tentang ormas. Hemat penulis, sebagai salah satu ormas terbesar di Indonesia, suara NU tentu akan dipertimbangkan pemerintah. Apalagi jika NU mau merangkul berbagai ormas yang lain, misalnya Muhammadiyah dan yang lainnya.

Jika NU, dan organisasi sosial yang lain, mampu menggulirkan, mendorong dan mengawal revisi ormas ini, harapannya, kehidupan ormas di Indonesia bisa semakin baik, demokratis, mampu memberdayakan warganya, serta mampu menjembatani kepentingan antara warga dan Negara.

  Dengan demikian, kehidupan ormas tidak lagi identik dengan langgam kekerasan, sebagaimana yang terjadi akhir-akhir ini. Memang, revisi UU ormas tidak akan menjamin hal tersebut akan otomatis terwujud. Setidaknya, dengan adanya revisi ini, jalan untuk memberdayakan masyarakat melalui ormas lebih terbuka. 













Daftar Pustaka

Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), terj. Wahib Wahab, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999



Abidin Amir, Zainal, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, Jakarta; LP3ES, 2003



Amin, M. Masyhur, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, Yogyakarta: Al-Amin, 1996



A.S. Hikam, Muhammad, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: Pustaka LP3ES, Cet. Kedua. 1999



Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996



E. Elson, Robert, Suharto, sebuah Biografi Politik, terj. Satrio W. dan IGH Bagoesoka, Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005



E. Ramage, Douglas, Percaturan Politik Di Indonesia; Demokrasi, Islam dan Ideologi Toleransi, terj: Hartono Hadikusumo, Yogyakarta: Matabangsa, 2002



Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: Paramadina, 1998



Fathoni, Khoirul, dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah; Prospek Ukhuwwah dengan Muhammadiyah, Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992



Feillard, Andrée, NU vis a vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, Yogykarta: LKiS, 1999



Haidar, M. Ali, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqh dalam Politik, Jakarta: Gramedia, 1998



Hiariej, Eriej, Materislisme Sejarah Kejatuhan Soeharto; Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme Orde Baru, terj. Bambang MBK, Yogyakarta: IRE Press, 2005



Karim, A. Gaffar, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LKiS, 1995



M. Sitompul, Einar, NU dan Pancasila, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989



Manan, Munafrizal, Pentas Politik Indonesia Pasca Orde baru, Yogyakarta: IRE Press, 2005



Marijan, Kacung, Quo Vadis NU setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992



Mudatsir, Arif, “Dari Situbondo Menuju NU baru: Sebuah Catatan Awal,” dalam Prisma, Jakarta nomor ekstra, 1984



P. Huntington, Samuel, Gelombang Demokratisasi Ketiga, terj. Asril Marjohan,Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995



Rahmat, M. Imdadun dkk.,Partai-Partai Islam; Transformasi Gerakan Islam dan Ruang Demokrasi,” dalam  Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No. 4 Tahun. 1999



Tim Penulis PBNU, Nahdlatul Ulama Kembali ke Khittah 1926, Bandung: Risalah, 1985



van Bruinessen, Martin, NU; Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terj. Farid Wajidi, Yogyakarta: LKiS, 1994



Wahid, Abdurrahman, “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini,” dalam Prisma, 4 April 1984



Majalah

Majalah Gatra, 21 Juni 2006



















Lampiran



Materi Revisi UU No. 8/1985 yang diajukan Pemerintah



1.      Redefinisi ormas dalam hal dasar pembentukannya

2.      Sistem akuntabilitas ormas, baik internal maupun eksternal

3.      Pengaturan hubungan antara ormas, masyarakat, dan pemerintah

4.      Pembagian jenis ormas

5.      Wilayah kerja ormas

6.      Tujuan pendirian ormas

7.      Pengaturan keanggotaan dan kepengurusan

8.      Pengaturan mengenai pajak

9.      Kode etik ormas terkait AD/ART, musyawarah organisasi, serta penyelesaian konflik dan perselisihan internal dan antar-ormas

10.  Lingkup dan mekanisme kerjasama program ormas.



Sumber: Majalah Gatra, 21 Juni 2006


















[1] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 10


[2] Asas tunggal merupakan prinsip yang terdapat dalam ideologi nasional, Pancasila, yang diberlakukan sebagai asas tunggal bagi semua partai politik dan organisasi massa pada tahun 1985. lihat Daftar Kata dalam Andrée Feillard, NU vis a vis Negara; Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, terj. Lesmana, (Yogykarta: LKiS, 1999), hal. 457 


[3] Keputusan ini dituangkan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 Tentang GBHN. Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal. 24


[4] Pengesahan UU ini melewati perdebatan panas. Berbagai organisasi, terutama organisasi agama, khawatir bahwa dengan mengambil Pancasila sebagai astung (satu-satunya dasar ideologis), akan mengurangi integritas, kebebasan organisasi mereka, dan bahkan mengganti raison d’etre dengan ideologi sekuler. Douglas E. Ramage, Percaturan Politik Di Indonesia; Demokrasi, Islam dan Ideologi Toleransi, terj: Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), hal. 5-6. Utusan NU di parlemen bahkan pernah walk out ketika DPR menyidangkan Pancasila sebagai indoktrinasi ideologi resmi. Martin van Bruinessen, NU; Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, terj. Farid Wajidi, (Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 4  


[5] Tentang hal ini Mahbub Junaidi menyatakan, NU justru punya daya lentur dan menyambut kedinamisan sebagai hukum obyektif yang tak perlu ditentang, tapi digandeng supaya lempang jalannya. Mahbub Junaidi, “Pengantar Penerbitan,” dalam PBNU, Nahdlatul Ulama Kembali ke Khittah 1926, (Bandung: Risalah, 1985), hal. 1


[6]  Martin van Bruinessen, NU; Tradisi, hal. 90-91


[7] Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah Kembali ke Khittah 1926, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992), hal. 127-128


[8]  Martin van Bruinessen, NU; Tradisi, hal. 101-103


[9] Dalam konteks politik Indonesia orba, yang menekankan konsensus, tindakan walk out adalah bentuk protes yang sangat radikal, yang sama artinya dengan delegitimasi. Dan, pemerintah memandangnya sebagai penghinaan terhadap dirinya dan ideologinya. Kejadian ini memperbesar kecurigaan Soeharto terhadap NU dan organisasi Islam lainnya, dan memperkuat tekadnya untuk melakukan depolitisasi terhadap Islam Indonesia. Martin van Bruinessen, NU; Tradisi, hal. 105-106


[10] Tindakan balasan yang bisa dipahami adalah pembersihan terhadap politisi NU yang vokal dan sikap penguasa militer dan sipil yang curiga atau marah kepada NU. Muaranya, para politisi yang “dibersihkan” dalam daftar calon legislatif pada Pemilu 1982 mengusulkan, karena berbagai alasan, agar NU keluar dari PPP dan meninggalkan politik praktis. Tahun 1984, keputusan ini diformalkan. Ibid.,  hal. 107-111


[11] Salah satu protes penting yang dilakukan umat Islam bisa dilihat pada peristiwa Tanjung Priok, September 1984. Peristiwa ini kemudian diikuti dengan pengadilan subversi, yang melibatkan pengritik paling vokal terhadap rejim ini. Kejadian ini juga dengan efektif membungkam perlawanan terhadap Pancasilaisasi, dan akhirnya memaksa semua organisasi besar mengikuti kebijakan astung. Martin van Bruinessen, NU; Tradisi,  hal. 112-113


[12]   Ibid., hal.113


[13]  A. Gaffar karim, Metamorfosis NU dan Politisasi Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan LKiS, 1995), hal. 67. Tentang pembentukan dan karakteristik negara orde baru berikut teorinya, lihat Eriej Hiariej, Materislisme Sejarah Kejatuhan Soeharto; Pertumbuhan dan Kebangkrutan Kapitalisme Orde Baru, terj. Bambang MBK, (Yogyakarta: IRE Press, 2005), hal. 25-32


[14] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 120


[15] Muhammad A.S. Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta: Pustaka LP3ES, Cet. Kedua. 1999), hal. 138


[16]  Andrée Feillard, NU vis a vis Negara, hal. 233


[17]  Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila, hal. 146 


[18]  Andrée Feillard, NU vis a vis Negara, hal. 233


[19] Ibid., hal. 233-234. Seminar yang berlangsung akhir Agustus 1966 ini dimaksudkan sebagai forum bagi pemimpin ABRI untuk mendiskusikantuuan dan strategi bagi era baru politik Indonesia. Soeharto, dalam pembukaannya memberi dua tugas pada seminar itu; membuat strategi untuk stbilitas dan membuat metode pembangunan ekonomi. Seminar ini merupakan cikal bakal orba, dan memang, Soeharto menyatakan bahwa seminar itu merumuskan Orba didasarkan atas UU 1945 dan Pancasila. Robert E. Elson, Suharto, sebuah Biografi Politik, terj. Satrio W. dan IGH Bagoesoka, (Jakarta: Pustaka Minda Utama, 2005), hal. 281


[20] Pada tahun 1975 usaha memberlakukan astung ini gagal. Adapun tahun 1978, NU menyatakan penolakan terhadap penataran ideologi Pancasila (P4). Ibid. hal. 234


[21]  Ibid. hal. 235


[22]  Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 121


[23] Proses hegemoni ini baik secara legal, seperti regulasi maupun sistem pendidikan seperti penataran P4. M. A.S. Hikam, Demokrasi, hal. 140


[24]  Andrée Feillard, NU vis a vis Negara, hal. 235-236


[25]  Ibid., hal. 236


[26] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna; Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), terj. Wahib Wahab, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 48


[27]  Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 121


[28]  Andrée Feillard, NU vis a vis Negara, hal. 238


[29]  Masykuri Abdillah, Demokrasi, hal. 48-49


[30]  Kacung Marijan, Quo Vadis NU, hal. 132


[31]  Kacung Marijan, Quo Vadis NU, hal. 133-134


[32] M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik Kenegaraannya, (Yogyakarta: Al-Amin, 1996), hal. 75-76. Lihat pula Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah; Prospek Ukhuwwah dengan Muhammadiyah, (Yogyakarta: Media Widya Mandala, 1992), hal. 54-55. Dalam muktamar NU ke-26 tahun 1979 di Semarang, kalangan pendukung kembali ke khittah makin vokal dan mulai menyuarakan semboyan kembali ke khittah 1926. pihak ini makin hari makin bertambah pendukungnya. Mereka senantiasa melakukan komunikasi secara intens dan rutin. Mereka juga getol mendatangi tokoh-tokoh yang berpengaruh pada pesantren, kalangan intelektual NU serta melakukan dialog dengan kalangan muda NU dalam wadah diskusi 164. lihat, Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah, hal. 97. Lihat pula Arif Mudatsir, “Dari Situbondo Menuju NU baru: Sebuah Catatan Awal,” dalam Prisma, Jakarta nomor ekstra, 1984, hal. 140

  


[33]  Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah, hal. 97-98


[34]  Kacung Marijan, Quo Vadis NU, hal. 147-148


[35]  Ibid., hal. 148


[36]  Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah, hal. 69-79


[37] M. Masyhur Amin, NU dan Ijtihad Politik, hal. 114-115. tentang hasil Munas sebelum muktamar tentang deklarasi Islam dan Pancasila serta  pokok-pokok pikiran K.H. Ahmad Shiddiq mengenai hal tersebut, lihat PBNU, NU kembali ke Khittah 1926 (Hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo).


[38]  Kacung Marijan, Quo Vadis NU, hal. 149


[39] Lihat Kepuitusan Munas Alim Ulama NU No. II/MAUNU/1404/1983 tentang Pemulihan Khittah NU 1926. PBNU, NU Kembali ke Khittah, hal. 50-51


[40]  Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila, hal. 168-187


[41]  Kacung Marijan, Quo Vadis NU, hal. 151


[42] Abdurrahman Wahid, “Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini,” dalam Prisma, 4 April 1984, hal. 34-35


[43]  Andrée Feillard, NU vis a vis Negara, hal. 240


[44] M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia; Pendekatan Fiqh dalam Politik, (Jakarta; Gramedia, Cet. Kedua, Desember 1998), hal. 9-10.


[45]  M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama, hal. 10


[46]  PBNU, NU,  hal. 119


[47]  Andrée Feillard, NU vis a vis Negara, hal. 243-244


[48]  Ibid., hal. 244


[49]  Andrée Feillard, NU vis a vis Negara, hal. 254


[50]  PBNU, NU, hal. 126-127


[51]  Khoirul Fathoni dan Muhammad Zen, NU Pasca Khittah, hal. 80-81


[52]  Andrée Feillard, NU vis a vis Negara, hal. 237


[53]  Ibid., hal. 259-260


[54]  Andrée Feillard, NU vis a vis Negara, hal. 257


[55]  Ibid., hal. 257-258


[56]  Ibid., hal. 260-261


[57]  M.A.S. Hikam, Demokrasi, hal, 231


[58]  Einar M. Sitompul, NU dan Pancasila, hal. 138-139


[59] Dalam tahapan-tahapan transisi politik, konsep reformasi tidak dikenal. Tipe-tipe transisi sebagaimana sering dijelaskan ahli politik adalah; Transformation, Replacements, lalu Transplacements. Lihat Samuel P. Huntington Gelombang Demokratisasi Ketiga, terj. Asril Marjohan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hal. 158-203. Bila merujuk model Huntington tersebut, kondisi Indonesia sebenarnya lebih dekat dengan pola Transplacements. Lihat Munafrizal Manan, Pentas Politik Indonesia Pasca Orde baru, (Yogyakarta: IRE Press, 2005), hal. 18.  


[60]  Zainal Abidin Amir, Peta Islam Politik Pasca Soeharto, (Jakarta; LP3ES, 2003), hal. 20.  


[61] Dalam sebuah metafor yang menarik, Prof. Dr. Taufik Abdullah pernah berkomentar dengan nada bertanya ketika PPP diwajibkan mengganti asas Islam dengan Pancasila. Komentarnya kurang lebih begini, bila Syarikat Islam (SI) bisa dilihat sebagai “halaman pertama” sejarah partai politik Islam di indonesia, maka apakah dengan pergantian asas Islam, PPP telah memulai “halaman terakhir” sejarah partai politik Islam? Jawabannya jelas, setelah 14 tahun, “halaman berikut” dari sejarah tersebut dimulai lagi pasca Soeharto ini. M. Imdadun Rahmat, dkk., “Partai-Partai Islam; Transformasi Gerakan Islam dan Ruang Demokrasi,” dalam  Jurnal Tashwirul Afkar, edisi No. 4 Tahun.1999, hal. 4.

No comments:

 

Most Reading