Politik Islam

Wednesday 4 May 2011


Respon Islam Terhadap Komunis
  
Sulaiman Kurdi


A. Sebuah Pengantar Awal: Munculnya paham komunis di Indonesia
 Secara teoritis, paham komunisme diilhami dua filosof Jerman. Karl Marx (1818-1883) [1] ide komunisme Marx dan Friedrick Engels (1820-1895) [2] . Ide komunisme Marx dan Engels diwujudkan didalam bentuk negara komunis pertama kali oleh Vladimir Ilyich Ulyanov Lenin (1870-1924) di Rusia pada 1917. Melalui kudeta berdarah yang menumbangkan kekuasaan Tsar Dinasti Romanov, Lenin berhasil mendirikan negara Republik Komunis terbesar di dunia yang bernama Uni Sovyet. Untuk menjaga kelangsungan sistem komunis tersebut – sebagaimana teori Marx – Lenin menerapkan kediktatoran dan kekerasan terhadap lawan politiknya. Lenin berkuasa hingga 1922, lalu meninggal dunia dua (2) tahun kemudian.Penggantinya adalah Josept Stalin (1879-1953) yang memimpin Uni Sovyet sejak 1929 hingga 1953. Kebijakan Stalin dalam upaya menciptakan kepemilikan kekayaan secara kolektif meliputi antara lain penghapusan kepemilikan tanah secara individual. Dengan kekuatan tentara, ia memaksa petani menggabungkan lahan mereka menjadi milik kolektif pemerintah.[3]
Dalam perkembangannya, komunisme merambat ke berbagai negara, seperi Cina, Polandia, Hongaria, Cekoslawakia, Bulgaria, Rumania, Italia, Lebanon dan beberapa negara lain, tidak terkecuali ke negara yang mayoritas  penduduknya muslim, seperti Mesir, Irak, Yordania, Tunisia dan Indonesia.[4]
Marxisme atau kemudian dikenal dalam baju komunisme pertama kali diperkenalkan oleh tokoh-tokoh Marxis Belanda yang diketuai oleh H.J.F. Sneevliet. Pada tahun 1914 kelompok Marxis mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging, Organisasi Demokrat Hindia Belanda) dan lewat organisasi-organisasi inilah kemudian gagasan-gagasan dan slogan-slogan Marxis “diekspor” ke dalam tubuh SI (Sarikat Islam). Pemimpin-pemimpin pergerakan Islam pada waktu itu belum siap untuk suatu perjuangan ideologi bila dihadapkan kepada ideologi Marxis yang agresif. Pada waktu itu juga, dunia Islam lemah secara politik dan militer, sementara Marxisme pada 1917 baru saja memperoleh kemenangan di Rusia.[5]
Kemenangan Revolusi Oktober di Rusia membuat ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging, Organisasi Demokrat Hindia Belanda) gencar menyebarkan Marxisme dalam politik Indonesia dan SI [6] adalah sasarannya yang utama karena pada saat itu SI satu-satunya gerakan massa yang terkuat. Dengan menginfiltrasi SI diharapkan  ISDV dapat mengusai massa. Pada tahun 1920, ISDV berhasil mempengaruhi orang-orang dalam SI, seperti Sama’un (dari Surabaya pindah ke Semarang cabang. SI), Alimin, Prawirodirdjo dan Darsono dengan ideologi  Marxisme[7]. Pada tahun 1918 Sneevliet diusir dari Indonesia, sebab kegiatan-kegiatannya membahayakan hari depan kekuasaan kolonial, karena Marxisme dikatakan sebagai antitesis terhadap kolonialisme dan kapitalisme.
Pada tanggal 23 Mei 1920, ISDV diubah menjadi PKI, (Belanda:Partij der Kommunisten in Indie, Partai Komunis Indonesia), dengan SI cabang. Semarang (kemudian di sebut SI Merah) sebagai pusatnya  dan Samaun sebagai ketuanya yang pertama. Strategi dasar PKI ialah mempengaruhi SI yang lain untuk melebur ke dalam komunis, sehingga cabang-cabang SI jatuh ke bawah dominasi komunis. Adapun nama SI tetap digunakan untuk mengalabui massa muslim. Dalam waktu satu dekade, PKI telah muncul sebagai Partai Komunis terkenal di Asia.[8]
Pemberontakan lokal tahun 1926 di Banten dan di Silungkung pada tahun 1927, menjadikan PKI terjebak dalam “blunder politik” dengan memperalat massa muslim. Pemerintah kolonial dapat menumpas pemberontakan tersebut. Akibatnya banyak pemimpinnya dibuang ke Tanah Merah di Boven Digul, New Guinea dan PKI dinyatakan partai terlarang.Samaun dan Darsono lari ke Moskwo, sampai tahun 1945, kegiatan-kegiatan komunis boleh dikatakan absent dalam politik Indonesia, tapi pemikiran Marxisme mempengaruhi dalam intelektual Indonesia dan Soekarno adalah seorang diantaranya.[9]
Adapun isu-isu yang diperdebatkan antara pimpinan SI dan komunis, setidaknya ada dua isu penting yaitu: Sosialisme dan anti kolonialisme. Manakala kedua isu ini dilemparkan komunis, SI tidaklah tinggal diam, melainkan bekerja keras untuk menandinginya, [10] tetapi kini SI  sudah berada pada posisi defensif, sedangkan yang ofensif dilakukan pihak komunis. Pihak komunis tidak saja berhasil memikat rakyat banyak, tapi juga kelompok intelektual juga dipengaruhinya.
Tokoh seperti Tjokroamonoto maupun Agus Salim berusaha keras mempertahankan posisi sosio-politik SI, nampaknya situasi intelektual menuntut lebih dari itu dari mereka agar tantangan Marxisme yang agresif dapat dihadapi dengan berhasil.
Pada bulan Oktober 1921, dalam Kongres Nasional VI SI, Samaun dan Tan Malaka (pemimpin komunis yang lan dari Sumatera Barat) menuduh pimpinan  SI, “sebagai bersifat kapitalis dan anti sosialis”. Hal ini disebabkan penolakannya untuk mengakui prinsip perjuangan kelas sebagaimana diajarkan Karl Marx. Tuduhan ini ditolak Salim dengan mengatakan bahwa “Muhammad telah membela dengan keras ekonomi sosialis dua belas abad sebelum Marx lahir”. Setelah  kongres tahun 1921 dalam rangka disiplin partai, semua unsur komunis mengundurkan diri dari SI. Hal ini menyebabkan SI mengalami kemunduran. Dari kenyataan ini, massa SI yang besar dalam pembentukannya belum tentu karena faktor Islam semata-mata, tapi lantaran sikap anti kolonial yang ditujukan SI, sedangkan Islam dijadikan simbol nasional. Pemahaman mereka terhadap Islam sungguh sangat terbatas. Islam belum lagi menjadi ideologi politik mereka.[11]
Kevakuman politik intelektual –yang ditinggalkan PKI setelah tahun 1927-  segera diisi oleh nasionalisme sekuler yang dipelopori Soekarno dan kawan-kawan. Pada tanggal 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Partai ini dari permukaan  mengambil sikap radikal dan non-koperatif dengan pemerintah kolonial. Tuntutannya jelas-jelas “kemerdekaan Indonesia”. Pada saat itu SI tidak lagi menjual isu-isu yang menarik. Tahun 1927-1930, politik Indonesia lebih kurang dikuasai kelompok nasionalis sekuler. Akhir tahun 1929 Soekarno dan tokoh nasionalis lainnya ditangkap oleh polisi kolonial karena kegiatan politiknya. Tidak lama setelah  itu PNI dibubarkan  oleh tokohnya, Mr. Sartono dan pembubaran ini menyebabkan kelompok nasionalis terpecah menjadi dua: kelompok pro dan anti pembubaran.[12]
Tampaknya dalam perjalanan gerakan politik Indonesia ada tiga ideologi politik yang saling bersaing dalam panggung sejarah modern Indonesia yaitu: Islam, Marxisme dan Nasionalisme sekuler. Dari tahun 1930-1942, yaitu pada saat Jepang mendarat di Indonesia, tidak ada satu ideologi politik yang dominan dalam sejarah Indonesia. Gerakan nasionalis menjadi pecah, SI setelah wafat Tjokroaminoto tahun 1934 mengalami perpecahan, yaitu lahirnya Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun 1938 dibawah pimpinan  Dr. Sukiman Wirjosandjojo, M. Natsir, Abd Kahar Muzakkar, H.A. Salim membentuk Partai Penyadar (ikut bergabung pula Muhammad Roem), setelah berselisih dengan Abikusno Tjokrosujoso, pengganti Tjokroaminoto sebagai  ketua SI (sejak 1930 SI berganti nama: Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII),  sesudah kemerdekaan, mantan tokoh-tokoh pecahan SI inilah umumnya yang menguasai Partai Masyumi (Majelis Syura  Muslimin Indonesia)[13] yang dibentuk bulan Nopember 1945 melalui Kongres Umat Islam di Yogyakarta. Dalam perkembangannya yang terjadi adalah “gesekan-gesekan” antara Masyumi –yang mewakili Islam- dengan komunis dikemudian hari.[14]

B. Keterlibatan Islam Dalam Politik: Pergulatan ideologi Islam, Nasionalisme dan Komunisme
Perjuangan  Masyumi menghadapi gerakan komunisme yang diperjuangkan oleh PKI pada era Demokrasi Liberal (1950-1957) tidak dapat dilepaskan dari faksi-faksi didalam Masyumi.[15] Pada masa revolusi,[16] perjuangan  Masyumi menghadapi komunis didominasi oleh kalangan senior pergerakan seperti Sukiman Wirjosandjojo dan Samsuddin. Pada masa Demokrasi Liberal, Masyumi didominasi oleh kalangan muda seperti M. Natsir dan Syafruddin Prawiranegara.[17]
Kiprah Masyumi pada era Demokrasi Liberal merupakan konsekuensi logis untuk mewujudkan cita-cita yang menjadi tujuannya, seperti disebutkan dalam Anggaran Dasar Masyumi. Dari rumusan tujuan Masyumi sejak dibentuk pada 7 Nopember 1945, secara garis besar terdapat tiga lapangan kiprah Masyumi, yaitu: lapangan parlementer (badan legeslatif), lapangan pemerintahan (badan eksekutif), dan lapangan pembinaan umat.[18]
Dalam pandangan Modernisme Masyumi tentang pluralisme dan pandangannya bahwa hikmah (kebijaksanaan) adalah sesuatu yang juga dimiliki oleh golongan lain, telah mendorong Masyumi untuk bersikap terbuka. Keterbukaan itu jelas tampak dalam kesediaannya untuk bekerja sama dengan golongan lain dalam perjuangan menyatakan kedaulatan negara. Kerja sama ini pada awalnya dilakukan secara luas dan tanpa batas, karena di zaman revolusi itu Masyumi bersedia juga bekerja sama dengan golongan komunis beraliran Trotskis di bawah pimpinan Tan Malaka.[19]
Tetapi kerja sama dengan golongan komunis itu memburuk sejak golongan komunis beraliran Stalinis di bawah pimpiman Muso memberontak dan mencoba merebut kekuasaan, yang dimulai dari Madiun pada tahun 1948. Pemberontakan itu diawali dengan agitasi-agitasi dalam rapat-rapat umum yang mendesak untuk menentang “Kabinet Masyumi yang dipimpin Perdana Menteri Hatta”. Komunis menuduh bahwa Hatta dan tokoh-tokoh Masyumi adalah “borjouis” dan “antek imperalisme Amerika” menurut tokoh-tokoh Komunis, terlalu banyak berharap kepada “kemurahan hati Amerika” dalam menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda adalah “harapan sia-sia” karena Amerika juga “imperialis”. Satu-satunya jalan bagi Indonesia untuk menang melawan Belanda adalah “jika Indonesia bersekutu dengan Uni Sovyet”, negara komunis ini menurut Muso telah jelas “anti imperialisme dan kolonialisme”.[20]
Perang pamplet dan perkelahian antara pendukung Masyumi dan pendukung FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang beraliran komunis dan dipimpin Muso itu terjadi diberbagai pelosok di Jawa. Akhirnya meletuslah “pemberontakan komunis di Madiun” pada 18 September 1948. Dalam pemberontakan itu korbanpun berjatuhan. Dan Masyumi menuduh bahwa pemberontakan komunis sengaja menghalalkan pembunuhan kepada anggota-anggotanya dan masyarakat lainnya.
Masyumi mengutuk keras pemberontakan FDR, dan menuduh komunis sebagai “pengkhianat terhadap bangsa dan negara”. Sejak peristiwa itu, Masyumi mulai mengganti sikapnya dalam bekerja sama dengan komunis kearah yang sangat rigid. Mereka berdalih bahwa bekerja sama dengan “kaum anti tuhan, anti agama dan anti demokrasi” tidak boleh lagi dilakukan untuk selama-selamanya. Dalam pandangan ini terlihat bahwa motif perubahan sikap Masyumi kepada golongan komunis, selain didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan ideologi, juga didasarkan kepada kekhawatiran terhadap semakin kuatnya pengaruh golongan itu, khususnya di Pulau Jawa. Dengan demikian, meskipun partai modernis pada umunya positif memandang pluralisme, sikap positif itu tidak dapat dilakukan terhadap golongan komunis yang menurut keyakinan tokoh-tokoh modernis adalah golongan yang memusuhi pluralisme itu sendiri.[21]
Sesuai dengan pandangan dasar modernismenya, Masyumi menegaskan bahwa cita-cita itu akan dicapai melalui cara-cara yang “sah dan demokrasi”, serta “mengikuti hukum yang berlaku di dalam negara RI”. Tetapi sikap moderat dan demokratis ini ditentang oleh kelompok yang lebih cenderung kearah radikalisme di dalam partai, seperti yang ditunjukkan oleh S.M. Kartosuwiryo. Ia di zaman revolusi salah seorang anggota Pimpinan Partai Masyumi, Ia memilih keluar dari Masyumi untuk membangun gerakannya sendiri, yaitu “Darul Islam”. S.M. Kartosuwiryo selanjutnya memproklamasikan “Negara Islam Indonesia” di jawa Barat. Masyumi menentang cara yang ditempuh oleh tokoh itu, dan menegaskan sikapnya bahwa Masyumi tidak akan menggunakan “cara kekerasan” atau “membentuk negara di dalam negara‘ untuk mencapai tujuannya.[22]

C. Respon Islam Terhadap Komunis
C.1. Kebijakan Politik Anti Komunis
Peran Masyumi sesungguhnya sudah dimulai sejak didirikan pada 7 Nopember 1945 dalam sebuah Kongres Umat Islam di Yogyakarta, baik dalam bentuk Laskar Hizbullah dan Sabilillah maupun diplomasi yang dilakukan dengan pihak Belanda, sehingga tercapai pengakuan kedaulatan negara pada tanggal 27 Desember 1949. Selain itu, Masyumi juga berperan dibidang pemerintahan dalam beberapa kabinet, Kabinet Syahrir, Kabinet Amir Syarifuddin dan Kabinet Hatta dan lainnya.
Peran besar Masyumi dalam percaturan politik Indonesia meningkat setelah kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 17 Agustus 1950 melalui penerimaan mosi integral sebagai formatur kabinet. Natsir berhasil membentuk sebuah kabinet, walaupun tanpa mendapat dukungan PNI. PNI tidak ikut dalam kabinet setelah permintaannya mengenai sejumlah pos jabatan menteri ditolak Natsir. Natsir kemudian dapat membentuk sebuah zaken cabinet yang bertanggung jawab kepada parlemen.[23]  
Meskipun ada perbedaan[24] di kalangan Masyumi sendiri terhadap Kabinet Natsir, justru DPP Masyumi menyetujui sifat zaken cabinet (kabinet ahli) bentukan Natsir tersebut. Selain itu, DPP Masyumi juga menyetujui program cabinet dan memberi kesempatan kepada kabinet tersebut untuk bekerja keras sampai terbentuknya konstituente.
Keberhasilan politik luar negeri masa Kabinet Natsir ditandai dengan keberhasilan Indonesia diterima sebagai anggota PBB ke-60 pada tanggal 29Desember 1950. Menurut Muhammad Roem, keberhasilan Indonesia diterima sebagai anggota PBB juga mencerminkan “pengakuan kedaulatan” RI oleh masyarakat Internasional.
Dalam hal pemilu program Kabinet Natsir belum berhasil karena perhatian tercurahkan pada pengambalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia sebelum akhir 1950 dan pemulihan paska penyerahan kedaulatan berdasar keputusan KMB. Pada bulan Nopember dan Desember 1950 Presiden Soekarno mendesak agar Irian Barat kembali kepangkuan Indonesia sebelum tanggal 1 Januari 1951, ini menyulitkan bagi Kabinet Natsir (yang mengutamakan politik diplomasi) sehingga kelemahan ini digunakan oleh partai oposisi PNI dan PKI dengan slogan boikot kepada orang Belanda yang berada di Indonesia, jika Irian Barat belum dikembalikan seperti diserukan Soekarno. Namun, Masyumi (sebagai partai penguasa) menolak seruan boikot tersebut.
Kebijakan anti komunis pemerintahan Natsir ditandai oleh adanya larangan rapat-rapat umum dan pengibaran setengah tiang bendera merah putih untuk menghormati pemakaman Amir Syarifuddin dan kawan-kawannya dari FDR/PKI yang dihukum mati karena keterlibatan mereka dalam pemberontakan Madiun. Pemberontakan Madiun telah melemahkan perjuangan nasional, justru pada saat bangsa Indonesia harus menghadapi musuh dari luar (agresi Belanda).[25]
Dalam perjalanan sejarah, Kabinet Natsir tidak berumur lama, hanya bertahan sampai tanggal 21 Maret 1951. Jatuhnya Kabinet Natsir disikapi oleh PKI sebagai bukti bahwa pemerintahan Natsir tidak didasarkan persatuan dan kesatuan  dan menghambakan pada kepentingan imperialis. Sehingga PKI mengusulkan satu-satunya untuk mengatasi persoalan dalam parlemen membentuk kabinet nasional  bersifat koalisi.
Setelah Kabinet Natsir jatuh digantikan Kabinet Sukiman Wirjosandjojo (Presiden Partai Masyumi) membentuk kabinet pada tanggal 26 April 1951 setelah Mr. Sartono dari PNI gagal membentuk kabinet baru (koalisi antara PNI dan Masyumi).
PKI menyikapi pemerintahan baru itu dengan kesediaannya untuk menghentikan politik oposisi dengan persyaratan pemerintah betul-betul menjalankan  politik bebas. Namun tawaran PKI tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah Sukman. Pada bulan Juni, Juli dan awal Agustus 1951 terjadi pemogokan  para buruh menentang Peraturan Militer anti mogok ada tanggal 13 Februari 1951 dan menuntut bonus lebaran. Situasi pemogokan ini sangat mencekam sehingga pemerintah Sukiman melakukan “razia Agustus 1951” razia berbentuk penangkapan anggota-anggota parlemen dan para tokoh PKI, seperti: D.N. Aidit, Lukman, Nyoto, Alimin dll termasuk juga beberapa tokoh Masyumi yaitu: M. Isa Anshary, K.H. Abdul Halim dan K.  Hassan karena diduga gerakan pengacau DI/TII di Jawa barat.[26]  
Cara yang dilakukan Kabinet Sukiman menuai kritik di sana sini, sampai akhirnya Kabinet Sukiman jatuh dengan disetujuinya Mosi dari Mr. Djodi Gondokusumo oleh parlemen yang menolak MSA (Matual Security Act: Pemerintahan Sukiman mendapatkan bantuan militer oleh Amerika Serikat ketika terjadi pemogokan dan kerusuhan).
Kabinet Sukiman digantikan oleh Kabinet Wilopo (dari PNI)  yang berhasil dibentuk pada tanggal 30 Maret 1952 dalam Kabinet ini Masyumi menduduki Mendagri (Muhammad Roem), Menpan (M. Sardjan) dan Menag (K.H. Faqih Usman). Meskipun tidak mendapatkan posisi Perdana Menteri, ternyata Masyumi mempunyai posisi tawar yang sangat kuat di kabinet. Namun dalam “tubuh” Masyumi  ini terjadi konflik internal  partai dari unsur Anggota Istimewa, yaitu: NU, yang tidak puas menempatkan pos kementerian Agama untuk kelompok mereka modernis (Muhammadiyah). Tidak seorangpun  dari kabinet Wilopo berasal dari kalangan NU. Pada tanggal 6 April 1952, NU menarik diri sebagai anggota Istimewa Masyumi. Selanjutnya, NU menjadi partai politik tersendiri dan ikut berperan dalam kabinet Ali I dan II dan pemilu 1955, serta berjalan terus sebagai partai hingga pemilu 1971 pada era Orde Baru.[27]
Pada periode Kabinet Wilopo ini pula, PKI mulai menerapkan strategi baru, yakni mendekati PNI untuk mendepak Masyumi dari percaturan politik parlementer dengan memecah belah satu sama lan di kabinet tersebut. Selain itu, PKI juga “membersihkan” sejarah kelabunya pada peristiwa Madiun 1948. PKI pun mendekati Presiden Soekarno yang telah mengecam peristiwa tersebut dengan pernyataan “memilih Soekarno ataupun Muso”. Presiden mulai mengakui peran kaum komunis yang peduli terhadap persatuan nasinal.[28]
Akhirnya dalam perjalanan sejarah, Kabinet Wilopo menghadapi sandungan hebat terjadi “peritiwa Tanjung Morawa” yang mengakibatkan penentuan tersebut jatuh. Penggantian Kabinet Wilopo usai kejatuhannya, ada dua pendapat yang berkembang pertama: wakil Presiden Muhammad Hatta (yang didukung Masyumi dan PSI) memimpin tugas formatur untuk memimpin kabinet presidential, kedua, usulan dari pimpinan PKI Aidit mengusulkan agar dibentuk Pemerintahan Front Persatuan dengan tidak memasukan  Masyumi dan PSI dalam kabinet karena menurut PKI mereka mengutamakan asing. Anggota parlemen dari Parti dan Parindra serta PNI mengusulkan dengan yang berbeda, yaitu “Kabinet Perdamaina Nasional”, tetapi Masyumi dan PNI tetap dapat membentuk kabinet yang disebut sebagai “Kabinet Inti”.Kesepahaman mengenai susunan dan posisi jabatan yang harus diberikan satu sama lain.[29] 
Di dalam Kabinet Ali I Masyumi tidak ikut dan menyatakan diri sebagai partai oposisi. Pada kabinet ini masuk menteri-menteri kelompok komunis atau dibawah pengaruh PKI seperti Iwa Kususumantri sebagai Menteri Pertahanan (Fraksi Progresif) dan Sadjarwo (BTI), dari kalangan Islam, adalah partai-partai yang bergabung dalam liga Muslimin Indonesia, yaitu NU dan PSII.
Ada tuduhan bahwa Kabinet Ali I telah menjadi “alat” PKI meskipun kalangan PNI menolak anggapan demikian. Yusuf Wibosono mengkritik “Manifest Pemilihan Umum” PKI yang menyatakan bahwa rakyat sudah tidak suka lagi terhadap Masyumi dan PSI.
Pada awal berdiri Kabinet Ali I “santer” ide pembentukan “barisan sukarela” untuk mengatasi gangguan keamanan di daerah-daerah oleh gerombolan bersenjata seperti DI/TII, MMC dan bambo runtjing.
Ketika Yusuf Wibosono mengajukan Mosi tidak percaya terhadap kebijakan pemerintah tentang Irian Barat, Aidit mengejek Masyumi (dan PSI) dengan menyatakan bahwa Kabinet Ali (1) itu 10 kali lebih baik dari Kabinet Masyumi-PSI. Keburukan Kabinet Masyumi menurut Aidit ditunjukan dengan adanya kebijakan anti komunis yang didukung oleh sayap Masyumi Jawa Barat dan Muhammad Roem telah memerintahkan bahwasanya untuk mentraktor kaum petani demi kepentingan perkebunan asing di Tanjung Morawa.
Pada akhirnya Kabinet Ali I pun bubar bukan karena oposisi parlemen  karena pertentangannya dengan pimpinan Angkatan Darat. Pejabat Angkatan Darat menolak  campur tangan politik dari pemerntah terhadap angkatan perang, terutama dari Iwa Kusumasumantri selaku Menhan. Partai oposisi melihat Iwa Kusumasumantri sebagai kawan dekat Soekarno dan komunis. Ketika Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) mundur. Iwa tanpa berkonsultasi dengan petinggi angkatan Darat lainnya telah menunjukan Kolonel Bambang Utojo sebagai KSAD Baru. Ketidaksukaan terhadap Bambang Utojo adalah kalangan pejabat Angkatan Darat lainnya adalah karena ia diyakini tidak memiliki kualifikasi profesional untuk menduduki jabatan tertinggi di Angkatan Darat. PKI menyambut penunjukan itu dengan pernyataan di Harian Rakyat (22 Juni 1955) sebagai “taktik kelompok 17 Oktober kembali kalah”, dan partai meminta Kolonel Zulkifli Lubis (Wakil KSAD) dipecat karena anti komunis.Saat pelantikan Bambang Utojo sebagai KSAD pada tanggal 27 Juni 1955, para perwira memboikot tidak hadir, sebagai bentuk penolakan pengangkatan tersebut. Zulkifli Lubis sebagai salah seorang yang menolak penunjukan Bambang Utojo menyebut “peristiwa 27 Juni” rongrongan terhadap TNI.[30]
Krisis ditubuh Angkatan Darat itu pada gilirannya membawa krisis kepercayaan terhadap pemerintah.Pada 29Juni 1955 Zainal Burhanuddin, ketua Seksi Pertahanan Di parlemen, mengajukan mosi tidak percaya kepada kebijakan Iwa Kusumasumantri, dan mosi itu ditanda tangani oleh seorang anggota dari partai pemerintah yaitu Hadjarati dari Parindra. Pada 12 Juli 1955 Parindra menyerukan menterinya di kabinet untuk mundur, kemudian diikuti oleh  PSII (13 Juli 1955) , NU (20Juli 1955). Partai Rakyat Nasional dan Partai Buruh (20 Juli 1955). Iwa Kusumasumantri jauh sebelumnya, pada tanggal 13 Juli 1955, sudah menundurkan diri dari kabinet. Kemudian pada tanggal 24 Juli 1955 Ali Sastroamidjojo mengembalikan mandat kabinet kepada Wakil Presiden Hatta.
Selanjutnya, Hatta menunjuk Burhanuddin Harahap sebagai formatur tunggal. Dan iapun menyusun kabinet dengan PNI dan Masyumi. Dalam perjalanannya pemerintah Burhanuddin membuat prestasi besar dalam memulihkan kepercayaan Angkatan Darat, melalui pengangkatan kembali Abdul Haris Nasution sebagai KSAD baru setelah sebelumnya dipecat karena peristiwa 17 Oktober 1952. Namun, hal ini memberikan kenyataan tentara  dalam dunia politik. Dalam kabinet ini terselenggaranya Pemilu untuk anggota DPR dan konstituente pada 29 September dan 15 Desember 1955. Dengan hasil pemenang antara lain: PNI, Masyumi, NU dan PKI.
Seusai pengumuman hasil Pemilu dan pembagian kursi DPR, kabinet Burhanuddin pada 2 Maret 1956 mengundurkan diri dan menyerahkan  mandat kepada Presiden Soekarno, selanjutnya untuk membentuk kabinet bersatu baru dari hasil Pemilu. Namun, tiadanya pemenang mayoritas dalam Pemelihan Umum 1955 menjadi kesulitan tersendiri dalam proses pembentukan kabinet.Masyumi jelas-jelas tidak mau bekerja sama dengan PKI (sehingga menjadi PNI-Masyumi-NU) dengan alasan PKI tidak menghormati paham agama. Hal ini ditegaskan unutk menolak pernyataan bahwa PKI menerima Pancasila.
Usulan Masyumi menolak PKI diajak dalam kabinet bertentangan sama sekali dengan gagasan Presiden yang mengharapkan  kabinet hasil pemilu adalah “kabinet berkaki empat” yang ditopang oleh empat partai besar. Ternyata, desakan Masyumi berhasil ketika Ali Sosroamidjojo sebagai formatur kabinet menyusun kabinet tanpa PKI. Kabinet Ali II yang dilantik pada 24 Maret 1956 terdiri atas PNI, Masyumi, NU masing-masing 5 kursi, sedangkan Parkindo, PSII dan Partai Katolik masing-masing memperoleh dua kursi jabatan menteri . 
Pembentukan Kabinet Ali II tersebut mengundang kerisauan Presiden Soekarno, karena PKI sebagai satu empat besar pemenang pemilu tidak diikutkan dalam pemerintahan. Ia sangat tidak suka dengan “kuda kaki tiga” untuk menyindir Kabinet Ali II  itu. Menurut Muhammad Roem, pendirian Soekarno tersebut bertentangan dengan UUDS yang masih berlalu ketika itu. Alasanya, pertama, Soekarno adalah presiden konstitusional sehingga tidak bisa mencampuri urusaan pemerintahan begitu saja.kedua, secara biologis (fisik) kuda berkaki empat adalah benar, karena kuda kaki empat lebih baik dari kuda kaki tiga. Tetapi dari perempuan “kuda kaki tiga” menunjukan Soekarno tidak menginginkan sistem demokrasi parlementer, tetapi sistem totaliter yang tidak menghendaki oposisi, selain itu, ungkapan Soekarno itu juga dalam rangka mendapatkan dukungan PKI.[31]     
Pada peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1956, Presiden Soekarno mengajukan konsepsinya bahwa Indonesia lebih cocok dengan “Demokrasi Terpimpin” sebagai “Demokrasi Indonesia Asli” yang berdasarkan musyawarah dan gotong royong. Demokrasi Parlementer yang tengah diterapkan dianggap sebagai model barat, sehingga tidak cocok dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ide ini keinginan Soekarno untuk mengubur partai-partai  dan membentuk Kabinet Gotong Royong sebagai konsekuensi menuju Demokrasi terpimpin yang diucapkan ulang Presiden Soekarno pada 22 Februari 1957 ysng terkenal dengan sebutan “konsepsi Presiden”.[32]
Pemikiran Soekarno tentang Kabinet Gotong Royong mendapat kritikan seperti M. Natsir yang menyatakan sebagai intimidasi untuk menekan jiwa perjuangan demokrasi, M. Isa Anshari ia menyatakan konsepsi Bung Karno mengancam kehidupan agama, karena dalam konsepsi pembentukan Gotong Royong akan memasukan PKI di dalam kabinet. Pada hal  PKI adalah “Partai anti ketuhanan”. Di tengah-tengah pertarungan wacana “Demokrasi Terpimpin” itu, M. Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden pada akhir 1956. Sehingga Kabinet Ali II mengalami kegoncangan dan pemberontakan pada pemerintah pusat, akhirnya Kabinet Ali II jatuh pada 14 Maret 1957. Sejak Kabinet Ali II itu Masyumi tidak ikut konsepsi Presiden dalam Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Juanda (non-partai), sampai akhirnya Masyumi dipaksa bubar pada Agustus 1960 sebab ada sebagian pimpinan Masyumi yang ikut terlibat dalam PRRI di Sumatera Barat.[33]



C.2. Fatwa Anti Komunis
Muhamm Isa Anshary bersama pimpinan Masyumi Jawa barat, seperti Rusyad Nurdin, membentuk Front Anti Komunis (FAK) pada 12 September 1954 dan mendapat dukungan dari para pimpinan Masyumi di Jawa Barat, berdasarkan konferensi 23-24 Oktober 1954 para ulama di Majelis Syura Masyumi Jawa Barat, menganjurkan agar diseluruh  Indonesia dibentuk Front Anti Komunis sebagai pernyataan perdirian secara tegas dan tantangan perlawanan terhadap ideologi komunis.[34]
Front Anti Komunis (FAK) bertujuan membendung bahaya komunis dan menyelamatkan negara dari kebangkrutan dan perbudakan.Pendirian FAK bersamaan dengan peringatan peristiwa pemberontakan Madiun 1948. Melalui FAK M. Isa Anshari berupaya untuk memperluas dan memanfaatkan  isu anti komunisme sebagai senjata politik utama. Alasan mendesak perjuangan anti komunisme adalah pertumbuhan komunis yang pesat di masa Kabinet Ali I. Menurut Isa Anshari, PKI tumbuh pesat karena dua sebab. Pertama, Kabinet Ali Sostroamidjojo melindungi PKI. PKI memegang “posisi penggerak” di parlemen, sebab dukungannya mutlak diperlukan oleh cabinet; Kedua, dibukanya kedutaan oleh Moskow dan Peking di Jakarta, yang memberi nasehat dan dukungan kepada PKI.
Pendapat Isa Anshari itu sejalan dengan apa yang disimpulkan Donald Hindley ketika ia mengamati pertumbuhan pesat PKI pada masa Kabinet Ali I. Sedikitpun ada tujuh keuntungan yang diperoleh PKI selama pemerintah Ali.Pertama, PKI dan ormas-ormasnya dibiarkan berjalan dengan larangan yang minim dari gangguan-gangguan pemerintah selama periode Ali tersebut; Kedua, keuntungan kerjasama antara kaum nasionalis dan komunis ditunjukan dengan suatu seksi penting PNI serta dengan Soekarno; Ketiga, kerja sama dengan kaum nasionalis membiarkan PKI mendapatkan kembali kehormatan nasionalisnya; Keempat, sebuah persetujuan dengan partai-partai pemerintah untuk tidak menyerang satu sama lain selama masa kampanye yang menuntut tugas kaum komunis untuk memperoleh kemenangan dukungan massa menjadi mudah; Kelima, dukungan komunis terhadap Kabinet Ali membiarkan kabinet, untuk menduduki masa jabatannya dengan bulan-bulan yang lebih lama dari pada yang akan dijalani, dan tiap-tiap bulan kabinet pimpinan PNI yang mengeluarkan telah meningkatkan kerenggangan di antara dua partai tersebut; Keenam dukungan komunis membiarkan kabinet untuk menduduki jabatan lebih lama, dan juga membiarkan PNI untuk mengkonsolidasikan jabatannya atas pegawai negara sipil, khususnya pegawai pemerintahan dipedesaan, hingga menjadikan PNI partai tunggal dalam pemilu September dan Desember 1955. Ini berarti bahwa masa depan keseimbangan parlementer akan dijauhkan dari Masyumi; Ketujuh, dukungan PKI terhadap pemerintah memberikan PKI kebebasan penuh untuk menyerang kaum anti komunis, khususnya Masyumi dan PSI. Dan ini terlihat, pada September 1953 mendorong demontrasi-demontrasi oleh kaum anti komunis atas peristiwa Madiun.[35]
PKI merasa terancam oleh serangan ofensif aktivis Masyumi di Front Anti Komunis, lewat Aidit, PKI menawarkan kepada Masyumi dan PSI untuk bekerja sama  dalam persatuan nasional. Usulan itu tidak mendapat sambutan dan bahkan menurut Masyumi akan merugikan mereka karena PKI bertentangan dengan ideologi dan cita-cita Masyumi. Masyumi menganggap PKI partainya orang kafir.
Pemikiran FAK di atas, tampaknya memiliki kaitan di masa revolusi fisik,di mana kalangan Masyumi mencurigai setiap upaya merangkul kelompok politik Islam oleh kalangan kiri. Hal ini bisa dirunut ketika Tan Malaka, tokoh komunis sejak masa pergerakan kemerdekaan sebelum perang dunia II dan ikut pula di dalam comintern, berusaha mempersatukan kelompok nasional, Islam dan komunis dalam persatuan perjuangan. Organisasi ini mengingatkan kita pada upaya Josep Broz Tito membentuk triplexplatform antara nasionalisme, Sosialisme dan Islam. Penolakan Masyumi terhadap uluran tangan Aidit tersebutpun, diwarnai oleh kekhawatiran seperti di masa revolusi.[36]

IV. Penutup  
Ada hal yang menarik membicarakan komunis dan Islam, uraian di atas menjelaskan kalangan Islam (parlemen) sendiri melihat “komunis” dengan cara pandang yang berbeda yang bersifat integrative seperti yang dilakukan oleh H.M. Misbach atau Tan Malaka, fakultatif seperti Tjokroaminoto bahkan konfrontatif (radikal) seperti yang dilakukan oleh M. Isa Anshari yang didukung oleh Partai Masyumi (ataupun dalam  parlemen) terhadap paham komunis, pendekatan konfrontatif inilah yang “melambung” dalam sejarah Indonesia antara Islam dan Komunis.
Pengelompokan yang terjadi seiring dengan pembentukan negara RI ada tiga ideologi yang berkembang yaitu Islam, Nasionlisme dan Komunisme, yang terjadi dalam perjalanan sejarah adalah adanya tarik menarik antara Islam dan Komunisme, sampai detik ini, walaupun ada permintaan maaf  Presiden Abdurrahman pada awal tahun 2002 terhadap orang-orang yang menjadi korban penumpasan G30S/PKI serta usulan agar larangan terhadap ajaran komunisme yang tercantum dalam TAP MPRS No. XXV tahun 1966 di cabut.
Yang jelas, pengalaman bangsa Indonesia, ini sangat berharga bagi generasi penerus dan memandang dengan arif tentang persoalan masa lalu. Kemudian mencari dan melacak persoalan-persoalan yang masih “remeng-remeng” agar terkuat permasalahan yang masih tersimpan oleh tangan-tangan atau sejarah itu sendiri.
Wallahu  a’lam

DAFTAR PUSTAKA
Budiman. Arief, Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan,Jakarta: Yayasan Padi dan Kapas.1991
Cholisin, Militer Dan Gerakan Pro Demokrasi: Studi Analisis tentang Respon Militer terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana. 2002.
Hiqmah.Nor, H.M. Misbach: Sosok dan Kontroversi Pemikirannya, Yogyakarta:Yayasan Litera Indonesia. 2000.
Kahin, George Mc. Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Solo: UNS Press dan Sinar Harapan. 1995.
Karl. Marx, Kapital:Sebuah Kritik Ekonomi Politik, Jakarta: Hasta Mitra.1992.
Mahendra. Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamat-i-Islami (Pakistan), Jakarta: Paramadina. 1999.
Noer. Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES. 1980.
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis: Pergumulan Masyumi dan PKI di Arena Demokrasi Liberal, Yogyakarta: Safiria Insania Press. 2004.
Syafii Maarif. Ahmad, Studi tentang Percaturandalm Konstituente: Islam dan Masdalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES. 1985.
---------------------------,Islam dan Politik di Indonesia: Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Jakarta: Suka Press. 1988.
Suryanegara. Ahmad Mansur, Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam di Indonesia,Bandung: Mizan.1988.
Yatim.Badri,Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos.1999.
Ensiklopedi
Dahlan.Abdul Aziz, Ensiklopedi Islam: Vol. I, III, V, VI,  Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.2005.
Esposito, L. John, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Vol. III & IV, Bandung: Mizan. 2001.





[1] Marx mendefinisikan komunisme sebagai upaya penghapusan hak milik pribadi serta alienasi diri manusia dan upaya penemuan hakikat kemanusiaan yang  dilakukan oleh  dan untuk manusia. Makhluk sosial  tercipta hanya ketika manusia mampu menempatkan kekayaannya untuk manusia.
[2] Dalam Selected Works, Jilid 1 di Moskow (1969), disebutkan bahwa komunisme merupakan doktrin mengenai kemerdekaan bagi kaum proletariat. Proletariat yang dimaksud di sini adalah masyarakat yang hidup hanya dengan menjual tenaga kerjanya dan tidak mendapatkan keuntungan sedikitpun. Mereka sepenuhnya tergantung –pula pada pemilik modal- pada proses perniagaan yang selalu berubah.
[3] Abdul Aziz Dahlan dkk (ed), Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 142-143.
[4] Ibid., hlm. 143-144.
[5] Ahmad Syafii Ma’arif, Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante: ISLAM DAN MASALAH KENEGARAAN (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm.86.
[6] Lihat juga sosok pemikiran, H.M. Misbach tentang Islam dan Komunisme dalam Nor Hiqmah, H.M. Misbach: Sosok Kontroversi Pemikirannya (Yogyakarta: Yayasan Litera Indonesia, 2000)
[7] SI adalah Orpol yang paling menonjol awal abad ke 20 di Indonesia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 10 September 1912 yang sebelumnya bernama SDI (Sarikat Dagang Islam)  didirikan 16 Oktober 1905  oleh H. Samanhudi di Solo Jawa Tengah.
[8] Ibid., hlm. 87.
[9]Ibid., hlm.87-88, lihat pula George Mc. Turnan Kahin, RefleksiPergumulan Lahirnya Republik:NASIONALISME DAN REFLEKSI DAN REVOLUSI DI INDONESIA (Solo: UNS Press, 1995), hlm. 105-107
[10] Dalam hal sosialisme yang disuarakan pihak komunis, Tjokroaminoto, agak apologik mengatakan bahwa sosialisme Islam “lebih awal dan lebih baik dari sosialisme ciptaan Marx, baik  dalam teori maupun praktek”. Agus Salim menegaskan bahwa “semua keutamaan dalam prinsip-prinsip lain dapat dijumpai dalam Islam sementara semua cacat-cacat, kesalahan-kesalahan dan keburukan-keburukan prinsip-prinsip lain tidak terdapat dalam Islam
[11] Ibid., hlm. 90.
[12] Ibid., hlm. 91.
[13] Pendukung inti Masyumi adalah Muhammadiyah dan NU yang mempunyai massa terbesar dibandingkan organisasi-organissai Islam lainnya
[14] Ibid., hlm. 92. lihat pula Badri Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 88-108.
[15] Ada faksi Sukiman Wirjosandjojo berpendapat kewajiban umat Islam Indonesia untuk mengenal lebih dekat Marxian, diharapkan dengan pemahaman yang baik berguna dan dapat memperkaya pengetahuan kader politik Masyumi, faksi Natsir (sosialisme religius) perbedaan antara  sosialisme kaum komunis dengan sosialisme Masyumi yaitu: Sosialisme religius tidak didasarkan pada materialisme histories Karl Marx, tetapi  dasarnya kepada tugas manusia terhadap sesamanya dan tugas kepada tuhannya, sedangkan  faksi radikal ialah Muhammad Isa Anshary melihat komunisme  di Indonesia merisaukan sejak lama, ia menuntut sikap anti komunisme.
[16] Herbert Feith membagi 3 periode dalam masa dan setelah kemerdekaan antar lain: 1. Periode Revolusi Fisik (1945-1949), 2. Periode Demokrasi Liberal (1950-1959), munculnya penerapan sistem pemerintahan parlementer dalam UUDS 1950, tumbuhnya partai dengan aneka konflik antar partai, lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah konstituante dalam beberapa kali sidangnya tidak berhasil mencapai kesepakatan mengenai UUD baru, 3. Periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965), kebijakan diambil alih oleh Soekarno dan ia melontarkan ide-ide Nasakomnya.
[17] Samsuri, Politik Islam Anti Komunis (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. 39.
[18] Ibdi., hlm. 40. Bandingkan dengan Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’ati-Islami (Pakistan) (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 78-83.
[19] Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme, hlm. 82.
[20] Ibid., hlm. 83.
[21] Ibid., hlm. 83-84.
[22] Ibid., hlm. 85.
[23] Samsuri,Politik Islam., hlm. 40-41.
[24] Seperti kritik Yusuf Wibisono Masyumi tidak mengambil jatah Mendagri, Menhan dan Menteri Pengajaran, M. Rusyad Nurdin sehaluan dengan M. Isa Anshary berpendapat dalam Kabinet Natsir Masyumi tidak memberikan ruang  dalam pembangunan rohani.
[25] Samsuri,Politik Islam., hlm.45.
[26] Ibid., hlm. 47.
[27] Ibid., hlm. 50.

[29] Ibid., hlm. 56.
[30] Ibid., hlm.58.bisa juga dilihat dalam Arief Budiman, Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan. Dalamnya berisi tentang diagram kekuatan-kekuatan Sosial Politik yang berpolitik, dari Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin dan Negara Orde Baru samapai sekarang, hlm. 25-57.
[31] Ibid., hlm. 64 – 65.
[32] Ibid
[33] Ibid., hlm 66.
[34] Ibid., hlm. 54. Lihat pula Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme…, hlm. 142.
[35] Ibid., hlm. 54-56.
[36] Ibid., lihat juga Yusril Ihza Mahendra…, hlm. 82-83.

No comments:

 

Most Reading