Republik Turki
Dari Khilafah Islamiyah Menuju Negara Bangsa
Abu Bakar
Pendahuluan
Turki merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim yang berdiri setelah kemerdekaan Mesir atau seusai Perang Dunia Pertama. Mendahului negara-negara muslim di pelbagai kawasan lain di Asia dan Afrika. Republik Turki adalah satu fenomena yang unik, bahkan dalam batas tertentu merupakan sebuah kasus yang cukup “kontroversial”. Hal tersebut, lebih dikarenakan oleh latar belakang sejarah Turki sebagai bagian terpenting dari alur cerita peradaban Dunia Islam. Dalam lintasan Dunia Islam, Turki telah merepresentasikan sebuah entitas sosio-politik ummat muslim yang mendunia. Berbeda dengan masa lalu, Turki di awal abad ke dua puluh dan hingga dewasa ini, telah berdiri sebagai sebuah negara bangsa yang justru melihat agama sebagai kategori yang meski dipisahkan dari kehidupan ruang publik.
Dalam usaha kemerdekaan Turki dari pendudukan bangsa asing, Islam sebagai agama memiliki peran-fungsional yang tidak terbantahkan, namun dengan segera berakhir setelah Istanbul mendeklarasikan kemerdekaan. Perolehan kemerdekaan tersebut sekaligus menjadi masa peralihan dan sekaligus mengakhiri khilafah Utsmaniyah menuju negara bangsa–republik Turki. Fenomena ini pun segera mengundang perhatian serta reaksi muslim di pelbagai pelosok kawasan.
Di masa kekhilafahan, agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan institusional dan struktural rezim Ustmaniyah. Otoritas khalifah merupakan representasi kekuasaan Tuhan dari langit, sehingga agama harus dipahami sebagai dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut berbeda, ketika Turki berdiri sebagai negara bangsa, sumber otoritas tidak lagi berasal dari Tuhan melainkan dari rakyat. Logika teoritik inilah yang dijadikan dasar bagi Republik Turki untuk memisahkan diri dari otoritas agama dan beralih pada kehidupan yang berorientasi pada kultur negara moderen, terutama meniru model Eropa.
TURKI UTSMANI DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM
Geneologi kebangsaan Turki Utsmani berasal dari sebuah suku Oghuz di sebelah Utara Cina. Mereka merupakan sebuah rumpun keluarga yang gemar mengadakan pengembaraan ke daerah lain untuk mendapatkan sumber daya kehidupan. Di abad ke XIII Masehi – ketika kekuatan militer bangsa Mongol mengadakan serangkaian ekspedisi militer dan penaklukkan ke pelbagai penjuru kawasan – leluhur bangsa Turki Utsmani ini, merasa terdesak dan berimigrasi ke wilayah Barat meminta perlindungan kepada saudara serumpun mereka Bani Saljuk yang sedang berkuasa di Baghdad, meliputi pula daerah sekitar.
Setelah keruntuhan pemerintahan Bani Saljuk sebagai akibat ekspedisi militer bangsa Mongol ke Baghdad, Utsman – pemimpin mereka yang kelak dianggap sebagai bapak pendiri dinasti kekhilafahan Utsmaniyah – dalam waktu singkat telah berhasil mengonsolidasikan kekuatan politik serta mengorganisir sebuah kesatuan militer. Mereka pun dengan segera bergerak dan menaklukkan satu per satu kerajaan-kerajaan kecil semi otonom di Asia Tengah dan sekitarnya, hingga mencapai wilayah perbatasan imperium Bezantium. Mereka seolah-olah tampil sebagai pengganti dan pembangun kembali puing-puing reruntuhan Bani Saljuk serta penerus kekhalifahan Islam-Sunni, mengisi masa transisi periode sejarah kekhalifahan Islam pasca keruntuhan Dinasti Abasiyah.
Semangat militer, ekonomi, politik yang diselaraskan dengan tafsir agama telah menjadikan mereka sebagai mesin penakluk dan sekaligus mampu menghantarkan dinasti Utsmani mendunia dan sampai pada puncak kejayaan. Dalam rentang masa satu abad kemudian, dinasti Utsmani telah berdiri menancapkan kekuasaan di Afrika Utara dan Mesir, Somalia, Sudan, Jazirah Arab, serta Asia Tengah, negara-negara Balkan dan sebagian daratan Eropa hingga berbatasan dengan Wina,. Pada abad ke XVI, dinasti Utsmani telah mendunia mewarisi kebesaran imperium Bezantium Timur dan dinasti-dinasti Islam pendahulu mereka. Dinasti Ustmani pun mengklaim dan sekaligus memposisikan diri sebagai pelindung kelompok muslim sunni di pelbagai kawasan, termasuk di nusantara adalah kesultanan Aceh.
Menjelang akhir abad ke XVII – periode ini dipercepat pula oleh gerakan kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa ke Asia dan Afrika. Semangat dan gerakan nasionalisme bangsa-bangsa Eropa di beberapa wilayah propinsial yang berada di kawasan Balkan semakin mempercepat masa kemunduran dinasti Utsmani. Pada masa tersebut, dinasti Utsmani terus mengalami kekalahan dan secara terpaksa harus kehilangan banyak wilayah propinsial.
Kekalahan dinasti Utsmani di Wina yang diakhiri dengan kesepakatan–perjanjian Carlowiz, mengakibatkan Istanbul menyerahkan Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Podolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia ke Habsburg dan Venesia. Memasuki abad ke XVIII, dinasti Utsmani pun meski kehilangan wilayahnya di Eropa Timur sebagai akibat dari kekalahan dalam perang Crimea melawan Rusia. Sementara, bangsa Yunani secara terus menerus mengobarkan perang kemerdekaan untuk melepaskan diri dari otoritas rezim dinasti Utsmani.
Di kawasan lain, Afrika Utara lepas dari kekuasaan Utsmani dan membentuk blok kekuatan tersendiri. Hal ini disusul oleh Mesir, sebagai akibat hegemoni kolonial Inggris yang menjadikan Mesir sebagai negara protektorat. Aljazair dan Tunisia pun terpisah serta diklaim sebagai bagian dari wilayah Perancis, sedangkan kekuatan Italia memperoleh kawasan Tripoli. Kondisi dinasti Utsmani terus memburuk ketika serangkaian gerakan separatis berkembang di semenanjung Arab. Hal ini direpresentasikan oleh gerakan Muhammad Abdulwahab di Hijaz. Di per-empat awal abad ke XX, dinasti Utsmani hanya berdiri di atas Asia Tengah–Anatolia sedangkan wilayah propinsial telah memisahkan diri dan berada dalam kekuasaan rezim kolonial bangsa-bangsa Eropa.
DINASTI UTSMANI SEBAGAI PEWARIS KEKHALIFAHAN ISLAM
Sejak masa khalifah ke VIII dinasti Abasiyah–Mu`tashim Billah, hingga akhir dinasti Utsmani, seorang khalifah diartikan sebagai wakil Tuhan di bumi dengan bergelar “bayangan Tuhan di muka bumi”. Dalam konsepsi tersebut, seorang khalifah bukan hanya pemegang otoritas agama sebagaimana Tahta Suci Rumawi, tetapi meliputi pula sebagai pemegang otoritas keduniaan. Meskipun dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan, otoritas keduniaan seorang khalifah bersifat nominal. Seorang sultan justru penguasa otoritas keduniaan yang sesungguhnya, seperti kasus dinasti Abasiyah di masa rezim Buwaihi dan Seljuk.
Sejarah kekhalifahan Islam berakhir ketika M. Kemal Attaturk menjadi penguasa politik atas puing-puing reruntuhan dinasti Utsmani. Dalam kasus tersebut, ia tidak hanya memperoleh kecaman dari komunitas muslim–konservatif Turki melainkan dari muslim di pelbagai kawasan. Gerakan Khilafah di India yang mendesak perdana menteri Turki untuk mempertahankan institusi khalifah Utsmaniyah. Hal ini sekaligus merupakan sebuah bukti bahwa khalifah di Istanbul memiliki pengaruh yang cukup besar. Di tahun 1924, Syarief Husin di Makkah membentuk dewan khalifah. Satu tahun kemudian di Kairo, raja Fuad merencanakan kongres Dunia Islam untuk mendiskusikan masalah khalifah. Di tahun 1926 di Makkah, raja Saud pun ikut mengadakan Kongres Khilafah. Isu-isu tentang Kongres Khilafah tersebut sempat melibatkan muslim di Indonesia. Isu khilafah islamiyah hingga sekarang pun masih menjadi agenda utama dari beberapa gerakan kelompok muslim, seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Beberapa kasus di atas, dapat memberikan sebuah kesan balik atau gambaran bahwa institusi khalifah – pada masa Utsmani – adalah milik dan persoalan Dunia Muslim.
Dalam sejarah dinasti Utsmani, Sultan Salim merupakan raja pertama yang memperoleh gelar khalifah atau sebagai wakil Tuhan di bumi. Sejak masa tersebut, seorang khalifah Utsmani memiliki kewajiban untuk menegakkan dakwah Islam, memperluas dan memepertahankan wilayah muslim, sekaligus sebagai pelindung dua tempat suci muslim. Sebuah ancaman politik-militer atas kawasan muslim berarti menjadi urusan dan bagian tanggung jawab dari kekhalifahan, sehingga dinasti Utsmani seolah-olah sebagai benteng bagi muslim dari serangan musuh dari luar Islam. Rumusan teoritis ini, menempatkan otoritas kekhalifahan Utsmaniyah meliputi entitas masyarakat muslim di pelbagai kawasan.
Melalui pembacaan di atas – perspektif teoritis – kehadiran dan eksistensi kemegahan dinasti Utsmaniyah di dalam sejarah peradaban Islam berakar kuat dari doktrin khilafah islamiyah yang terlembaga dalam tradisi Islam-sunni. Hal tersebut berarti pula, bahwa dinasti Utsmani merupakan pewaris otoritas kekhalifahan Abasiyah dan Umayyah serta al-Rasyidun. Seorang khalifah Utsmani menganggap diri mereka sebagai pemimpin muslim yang memiliki hak untuk menuntut sebuah ketaatan muslim. Di masa Sultan Abdul Hamid – setelah menegaskan klaim sebagai khalifah dilitimasi konstitusi 1876 – tercatat pernah mengirim utusan ke pelbagai daerah muslim, seperti Mesir, Tunisia, India, Afganistan, Cina, Nusantara (kerajaan Islam di Indonesia) untuk mencari pengakuan status sultan sebagai khalifah. Dalam kasus lain, kesultanan Aceh tercatat pernah menerima bantuan militer serta memiliki hubungan diplomatik dengan rezim Utsmani, sekaligus mengklaim sebagai bagian dari wilayah propinsial Istanbul. Melalui saluran inilah dinasti Utsmani memperoleh dukungan dan legitimasi politik–kekuasaan dari Dunia Muslim. Hal ini menuntut para raja di pelbagai kawasan muslim untuk memberikan sebuah penghormatan kepada khalifah–sultan di Istanbul.
Fenomena demikian nampak semakin menguat di tahun 1914, ketika Panitia Nasional Pembekaan Khalifah di Istanbul mengeluarkan sebuah himbauan. Dalam selebaran tersebut, dihimbaukan agar semua muslim melibatkan diri melawan bangsa-bangsa imperialis-kolonilis Eropa. Maksud Khalifah adalah untuk memunculkan rasa solidaritas muslim internasional, sehingga akan membantu Istanbul dalam Perang Dunia Pertama. Kebijakan luar negeri khalifah Utsmani ini, direspon tidak hanya oleh masyarakat Timur Tengah dan Arab, tetapi juga oleh kerajaan-kerajaan di kawasan nusantara dan cukup menggelisahkan pemerintah kolonial Belanda.
KEMUNCULAN IDE NASIONALISME DALAM DINASTI TURKI UTSMANI
Di masa lalu dinasti Utsmani, seluruh wilayah kekuasaan tidak terikat oleh satu basis ideologi politik yang berpijak pada realitas empiris, seperti sejarah, etnisitas dan sosio–kultural, kecuali oleh doktrin muslim sunni–khilafah islamiyah. Oleh sebab itu, di masa rezim Utsmani Muda agama Islam memperoleh rumusan baru dan diletakkan sebagai supra–identitas bagi dinasti Utsmani. Tujuan utama perumusan tersebut adalah untuk mentransendensikan batasan-batasan alamiah dan sosio–kultural sehingga membentuk sebuah entitas masyarakat politik–muslim di bawah institusi khalifah–islamiyah.
Rumusan teologi-politis di atas tidak lain adalah sebagai sebuah usaha untuk mengatasi kemunduran dinasti Utsmani yang semakin tampak di depan mata. Hal ini sebagai akibat pergolakan sosial-politik di pelbagai wilayah propinsial dan semakin meningkatnya gerakan kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa ke Asia dan Afrika. Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan, di Eropa muncul ide dan gerakan nasionalisme yang terus memasuki negara-negara Balkan, sebuah kawasan propinsial dinasti Utsmani. Dinasti Utsmani dalam format dan konstalasi politik demikian, sangatlah tidak diuntungkan dan merasa terancam sehingga meski bergeliat mencari sebuah jalan keselamatan. Usaha-usaha mempertahankan dan mengembalikan kejayaan dinasti Utsmani pun semakin mendesak ketika bendera negara-negara Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Itali, Perancis, Jerman, dan Rusia terus menjarah ke pelbagai kawasan Asia dan Afrika.
Masyarakat Kristen Utsmani merupakan kelompok pertama yang menghidupkan semangat dan tujuan-tujuan nasionalisme serta mengusulkan bahwa sekumpulan individu yang memiliki kebersamaan etnis, linguistik serta keagamaan sudah seharusnya memiliki negara teritorial tersendiri. Ide dan gerakan tersebut muncul dan terus menguat di kawasan negara-negara Balkan dan Yunani. Kasus yang sama terjadi pula di Mesir, perkembangan ilmu Egyptologi dan kebudayaan Mesir telah merangsang ide serta pembentukan identitas kebangsaan, sehingga mereka berkeinginan untuk memisahkan diri dari Istanbul. Sementara bangsa-bangsa Arab pun terus bergolak menentang kekuasaan Istanbul yang dirasa tidak membawa mereka kepada suatu kesejahteraan, sehingga mendorong mereka merumuskan gagasan nasionalisme. Kekesalan bangsa-bangsa Arab tersebut nampak pula pada sikap para pemuda mereka di Paris yang mengumumkan sebuah nasionalisme Arab yang didukung Inggris dan Perancis dalam suatu konggres. Kecenderungan umum dalam imperium Utsmani semakin diperparah dengan kemunculan gerakan kebangsaan, seperti Pan–Kurdisme; sebuah gerakan yang bercita-cita untuk menyatukan bangsa Kurdi di Iran, Syiria, Turki serta di negara-negara Balkan.
Merespon fenomena tersebut, para sarjana dan elit dinasti Utsmani dengan segera merumuskan sebuah ideologi besar yang diharapkan mampu menjaga kelanggengan imperium dinasti Utsmani yang telah mendunia. Dalam waktu yang relatif singkat muncullah beberapa gagasan tentang ideologi pemersatu. Pertama adalah Utsmanisme, seperangkat ideologi yang dibangun untuk mengatasi kecenderungan disintegrasi dan separatisme imperium. Ideologi ini menggagas sebuah ikatan kebersamaan dan kesamaan sebagai rakyat Utsmani dan mengesampingkan perbedaan agama, etnisitas, dan sosio-kultural. Kedua muncul ideologi Islamisme yang lebih bersifat universal, melintasi klaim geografis dan batas territori wilayah kesultanan Utsmaniyah, menggagas khilafah islamiyah. Ideologi menekankan sebuah kesamaan identitas keagamaan–Islam sebagai sebuah nasionalitas. Ketiga adalah Pan–Turkisme yang lebih berorientasi kepada unsur etnisitas dan kultur Turki secara umum. Ideologi ini mengatakan bahwa semua etnis Turki di mana pun mereka adalah bangsa tunggal dan meski bersatu dan membentuk entitas sosio-politik di bawah imperium Utsmani di Anatolia. Dalam perkembangan selanjutnya, Islamisme merupakan ideologi yang cukup berpengaruh dan menjadi kebijakan politik luar negeri khalifah-sultan Utsmani di kemudian hari.
Ideologi Islamisme menguat di tahun 1914, ketika sultan dalam kebijakan luar negerinya menekankan isu-isu seputar kepentingan agama Islam dan eksistensi khilafah islamiyah. Sebuah gagasan tentang solidaritas muslim internasional dalam rangka menghadapi kekuatan bangsa-bangsa Eropa di hampir semua wilayah propinsial Utsmani. Dalam masa tersebut, Istanbul mengalami serangkaian kekalahan perang dan persaingan politik-ekonomi. Dalam konteks di atas, universalisme Islam dalam konstruk ideologi khilafah islamiyah telah menimbulkan serangkaian masalah yang besar. Hal ini lebih dikarenakan oleh kesibukan Istanbul dalam urusan internasional – sebagai konsekuensi logis dari peran pemimpin spiritual Dunia Muslim atau khilafah islamiyah – secara otomatis masalah dalam negeri agak terabaikan.
Setelah Utsmanisme, Turkisme dan Islamisme muncul sebuah ideologi nasionalisme lain yang diusung Zia Gokalp, seorang sarjana Turki. Nasionalisme Gokalp lebih bersifat realistik-empirik, menurutnya nasionalisme meski didasarkan pada ikatan dan persamaan identitas kultural yang bersifat unik, subjektif, muncul dalam lingkungan suatu masyarakat. Dalam pandangan Gokalp, sebuah nasionalitas bukan suatu komunitas religius yang diikat oleh persamaan agama serta kekeluargaan etnis yang diikat oleh adat-istiadat lama atau bukan pula sebuah ikatan suatu usaha-usaha di bidang sosial-ekonomi-politik. Dalam konteks ini, Gokalp menolak westernisasi yang berambisi meniru bangsa Eropa, Turkisme yang berupaya menghidupkan kembali adat etnis Turki pra-Islam, Islamisme yang menghidupkan Islam di masa lalu. Secara definitif, nasionalisme Gokalp adalah sebuah kolektivitas sosial yang meliputi keragaman pendidikan, memiliki bahasa, emosi, ideal-ideal, agama, moralitas, dan rasa estetika..
Dalam relatif waktu yang bersamaan, muncul usaha-usaha untuk mewujudkan agenda nasionalisasi dinasti Utsmani, di mana para ahli bahasa Turki terus berkonsentrasi terhadap reformasi bahasa. Di lain sisi, sarjana-sarjana Eropa telah berhasil mendalami bahasa dan kultur Turki dengan memperkenalkan gagasan tentang “Masyarakat Turki”, sehingga semakin mendorong serangkaian gerakan kampanye tentang tema-tema identitas kebangsaan di tingkat masyarakat bawah. Fenomena tersebut, merepresentasikan sebuah kesadaran kebangsaan Turki di tengah kegelisahan politik dan sekaligus sebagai respon masyarakat Turki terhadap marak dan menjamurnya gagasan nasionalisme di pelbagai kawasan. Ide tentang bangsa Turki merupakan usaha pembentukan identitas kewargaan baru yang berakar pada nilai-nilai kesejarahan Turki – Utsmani, bukan identitas kesejarahan Islam ataupun Turki pra–Islam.
Pada akhir dua dasa warsa pertama abad ke XX, dinasti Utsmani telah kehilangan seluruh daerah kekuasaan dan hanya menguasai Anatolia, dengan mayoritas warga Turki dan sebagian kecil warga keturunan Yunani, Kurdi, serta Armenian. Keterlibatan Istanbul dalam blok German pada Perang Dunia Pertama dengan kemenangan di pihak sekutu, semakin mempermudah pintu masuk kekuatan militer dan politik bangsa Barat, seperti Inggris, Perancis, dan disusul Amerika serta ambisi Yunani tentang romantisme di masa lalu terhadap wilayah kekuasaan Utsmani.
Pada bulan November 1918, armada kapal perang dan militer sekutu memasuki Istanbul. Kabinet Utsmani Muda – rezim yang sedang berkuasa – membubarkan serta mengundurkan diri, sebagian di antara mereka seperti Enver Pasya dan Jamal Pasya melarikan diri ke luar neger. Sementara Perdana Menteri baru terpilih langsung mengadakan perdamaian dengan sekutu. Cerita akhir dari Perang Dunia Pertama seolah-olah telah menunjukkan kegagalan Islamisme sebagai basis ideologi untuk mempertahankan eksistensi dinasti Utsmani. Dalam konteks tersebut, nasionalisme semakin menemukan bentuk dan momentum untuk menunjukkan peran fungsionalnya sebagai sebuah basis ideologi negara.
TRANSFORMASI DINASTI TURKI UTSMANI MENJADI SEBUAH NEGARA BANGSA REPUBLIK TURKI
Dalam kondisi sosial politik yang telah sangat terpuruk sebagai pendudukan sekutu atas wilayah Utsmani, Musthafa Kemal Attaturk tampil sebagai pahlawan bagi bangsa Turki. Attaturk bersama K. Karabiker berhasil membangkitkan identitas dan semangat kebangsaan dengan memposisikan ancaman militer sekutu sebagai antitesis. Karakiber dan Attaturk pun berhasil pula menyatukan pelbagai elemen masyarakat yang ingin merdeka dan menggerakkan mereka kepada gagasan nasionalisme yang lebih realistik setelah diilhami dari konsep nasionalisme Gokalp. Strategi Attaturk bersama kelompok nasionalis seperti Fuad, Refat, dan Rauf selanjutnya adalah mengobarkan Perang Kemerdekaan. Attaturk pun mendirikan pemerintahan baru di Ankara-Anatolia demi kepentingan politik dan pemerintahan yang serba darurat. Ia berdalih bahwa Sultan di Istanbul berada dalam kekuasaan Sekutu. Demi kepentingan kemerdekaan maka dibentuk “Himpunan Untuk Mempertahankan Hak-Hak Anatolia dan Rumelia” serta Majelis Nasional Agung. Dalam waktu yang relati singkat, kelompok nasionalis berhasil memenangkan serangkaian perang dan memaksa sekutu mengakui kedaulatan Turki di bawah rezim nasionalis di Ankara–Anatolia.
Fenomena di atas dengan segera direspon oleh para elit politik, birokrat dan militer serta intelejensia dari kubu nasionalis Turki yang untuk menstranformasikan dinasti Turki Utsmani dari rezim multi-nasional menjadi sebuah negara bangsa–Republik Turki. Dalam format di atas, elemen-elemen teori nasionalisme Gokalp menjadi landasan ideologis bagi perwujudan negara bangsa Turki, meskipun terdapat beberapa penyimpangan dalam kasus posisi agama Islam. Perubahan-perubahan pun dengan segera digulirkan, mulai Undang-Undang Dasar, Sistem Pemerintahan, Militer, Tata Negara, hingga Kewarganegaraan. Perombakan besar-besaran terjadi pada tahun 1922, di mana kesultanan Turki Utsmani dihapuskan dan dua tahun kemudian kekhalifahan Utsmani dibubarkan. Pada tahun yang sama, Undang-Undang Dasar Turki disyahkan, dengan tegas dinyatakan dalam pasal 1, bahwa negara Turki adalah Republik, Nasionalis, Kerakyatan, Kenegaraan, Sekularis, Revolusionis, dan dinyatakan pula dalam pasal 3 bahwa Kedaulatan dengan tanpa syarat berada di tangan bangsa.
Nasionalisme yang muncul dan tumbuh subur di Turki nampak telah dijembatani oleh serangkaian peristiwa sosial-politik dalam sebuah dialektika sejarah yang dilakukan dengan kesadaran rasionalitas. Hal ini dilakukan dengan merumuskan ciri-ciri objektif akan identitas kebangsaan yang meliputi bahasa, asal-usul geneologi, sejarah sehingga memungkinkan individu sebagai satuan rakyat memberikan dasar pembenaran rasional dari tuntutan untuk menentukan nasib sendiri dalam sebuah kesadaran bernegara. Namun dalam perkembangan sejarah Turki, paham kebangsaan dalam ide nation model Turki ini tumbuh dalam sebuah kontradiksi ketika pemimpin berlaku otoriter – bukan berlaku demokratis – sebagaimana nampak dalam kepemimpinan Kemal Ataturk. Ghia Nodia mengatakan bahwa bangsa adalah sebutan lain dari untuk “kami sang rakyat”, sehingga nasionalisme harus bersinergi dengan demokrasi, bukan pemberlakuan sebuah otoritarianisme penguasa.
MASALAH REPUBLIK TURKI DAN AGAMA ISLAM
Secara teoritik, ideologi nasionalisme Gokalp dan Attaturk telah memberikan saluran bagi proses transformasi khilafah dinasti Utsmani menjadi republik Turki. Kasus di atas merupakan sebuah fakta yang sangat mengejutkan musuh-musuh Turki dan terlebih lagi Dunia Muslim, akan tetapi mengingat kontekstualitas dan kompleksitas masalah yang mengitari dinasti Utsmani, ketetapan tersebut cukup realistik. Meskipun demikian, republik Turki masih menghadapi pelbagai persoalan yang meski diselesaikan demi mempertahankan eksistensi Turki sebagai negara bangsa. Masalah ini terkait dengan Islam sebagai sebuah institusi agama yang telah mengakar kuat dalam sistem sosial dan budaya masyarakat Utsmani.
Di masa kekhalifahan, agama Islam merupakan basis dasar bagi pembentukan tatanan institusional dan struktural dinasti Utsmani. Dalam Konstitusi 1876 disebutkan bahwa dinasti Utsmani adalah Kerajaan Islam. Merujuk pada konstitusi tersebut maka syari`at meski menjadi landasan hukum dan perundang-undangan bagi pelaksanaan kehidupan Negara dan pemerintahan. Dalam konteks ini – terkait dengan kebutuhan interpretatif terhadap teks – ulama memiliki peran dan fungsi utama dalam Kerajaan Utsmani. Di lain sisi, konsep agama dan negara menjadi tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Hal ini tidak selaras dengan ide nasionalisme yang menjadi fondasi utama republik Turki, sehingga mengharuskan Attaturk untuk mengakhiri institusi sultan–khalifah Utsmani melalui agenda sekulerisme serta revolusionisme. Dalam nasionalisme model Gokalp dan Attaturk, rakyat lah sebagai pemegang kedaulatan dan penguasa bertanggungjawab kepada rakyat melalui parlemen.
Institusi Syaikh al-Islam merupakan satu kasus lain yang tidak dapat dipertahankan dalam konteks negara republik Turki. Dalam format Utsmaniyah, Syaikh al-Islam berada pada fungsi eksekutif akan tetapi dengan kapasitasnya sebagai institusi agama, ia dapat memberikan fungsi kontrol terhadap institusi yudikatif dan legislatif. Secara struktural–konstitusional, produk hukum Syaikh al-Islam menjadi kerangka acuan normatif bagi kebijakan politik dan pemerintahan yang dijalankan perdana menteri atau shadr al-a`dham dan bahkan sultan sekalipun.
Pada dataran sosial politik, rezim Turki mengeliminasi UU Pidana dan Perdata, serta Perdagangan yang berasaskan Islam dan sebagai ganti diadopsi UU dari Eropa, seperti UU Pidana Itali, UU Pidana Swis, serta UU Perdagangan Jerman. Sekolah-sekolah agama ditutup diganti sekolah moderen dengan tanpa pelajaran ilmu agama. Secara kultural, simbol-simbol Islam pun dilarang diganti dengan simbol-simbol dari budaya masyarakat Eropa. Alfabet dari Arab dan Persi diganti dengan Latin, sementara kosa kata Arab dan Persi diganti Turki. Secara keras pemerintah pun melarang pelbagai aktivitas kelompok keagamaan atau ketharikatan. Secara keseluruhan, kebijakan ini diarahkan untuk melenyapkan tatanan simbol kultural–Islam, membentuk identitas nasional Turki yang moderen konstruk rezim Attaturk. Dalam kasus ini, Attaturk banyak berbeda dengan Z. Gokalp yang tetap mengatakan bahwa nasionalisme Turki bukan pembaratan, terlebih membuang Islam.
Secara keseluruhan di masa dinasti Utsmaniyah, agama tidak memiliki batas ruang dan hampir selalu menelusup dan memberikan dasar legitimatif terhadap konsep-konsep politik dan normatifitas tatanan institusional dan struktural rezim Utsmani. Logika tersebut, berbeda ketika dinasti Utsmani berdiri sebagai negara Republik Turki, dalam kasus ini logika sekuler menjadi dominan menggeser peran–fungsional agama. Sebagai konsekuensi logis, maka Perang Saudara pun tidak terelakkan antara pro sultan–khalifah yang merepresentasikan kelompok islamisme menghadapi kubu pro negara–bangsa yang merepresentasikan kelompok sekuleris.
Fenomena perlawanan kelompok islamisme sebagai tandingan begi rezim Attaturk pun terus berlangsung mengiringi sejarah awal republik Turki. Serangkaian pemberontakan muncul di tahun 1930, 1933, dan 1935 yang dilancarkan oleh kelompok keagamaan tharikat Naqsabandi, terutama pimpinan Said Nursi. Dalam batas tertentu, Attaturk telah bertindak terlalu jauh terhadap agama Islam, sehingga memunculkan kekecewaan masyarakat muslim. Secara umum, kekacauan sosial politik yang dilatarbelakangi isu agama sepanjang kepemimpinan Attaturk merepresentasikan sebuah perlawanan terhadap rezim nasionalis sekuler yang telah mendomestisasikan atau mengasingkan agama dari ranah publik dalam sebuah masyarakat relijius.
Dalam rangka mengatasi kekacauan politik dalam negeri, Dewan Nasional Agung mengesahkan sebuah Undang-Undang untuk memelihara ketertiban nasional. Sebuah Undang-Undang yang membolehkan rezim Attaturk untuk berlaku diktaktor terhadap segala sesuatu yang menghambat cita-cita nasionalisme. Tindakan serba militer pun segera dipraktikkan terhadap pelbagai gangguan nasional. Dalam format demikian, rezim Attaturk menjadi kebal terhadap perselisihan internal dan relatif stabil. Meskipun ketetapan Dewan Nasional tersebut bertentangan dengan sistem pemerintahan Turki yang menganut demokrasi dan parlemen, Attaturk hampir berkuasa tanpa pihak oposisi yang efektif hingga akhir kekuasaannya. Dalam masa itu, hampir dipastikan muslim Turki mengalami keterputusan generasi dan Islam seolah-olah terlupakan.
Setelah Attaturk meninggal di tahun 1938, Ismet Inonu – koleganya yang setia – memegang kepemimpinan Turki, terjadi sebuah perubahan iklim politik baru. Pergeseran iklim politik tersebut semakin menguat seusai Perang Dunia Kedua dengan ditandai berakhirnya pemerintahan sistem satu partai menuju multi partai. Amerika Serikat – setelah Perang Dunia Kedua berperan sebagai pengaman politik dan pembangunan ekonomi Turki – mulai mengurangi politik model kultur paternalistik. Angin segar demokrasi ini memberikan keuntungan bagi gerakan-gerakan muslim di tingkat masyarakat bawah. Di tahun 1950, kubu pro Attaturk berhasil dikalahkan dalam sebuah pemilu oleh partai Demokrat. Rezim partai Demokrat masa kepemimpinan Adnan Menderes mengawali sejarah baru bagi kehidupan demokrasi negara Turki. Pelbagai isu sosial politik pun secara terus menerus mengalami pengendoran dari kontrol pemerintah. Kehidupan keagamaan masyarakat muslim dengan segera memperoleh kembali beberapa hak dan kebebasan mereka walaupun elit sekuler Turki selalu menaruh sikap curiga.
PENUTUP
Dinasti Utsmani dengan khilafah islamiyahnya merupakan simbol kesatuan serta kekuatan politik muslim yang terakhir dan mungkin institusi tersebut tidak akan muncul kembali dalam sejarah peradaban muslim. Dalam masa Utsmani – secara ideologis – telah meletakkan agama Islam sebagai supra–identitas yang mentransendensikan pelbagai perbedaan dan batasan-batasan alamiah, sejarah dan sosio–kultural membentuk sebuah entitas masyarakat politik–muslim di bawah institusi khalifah–islamiyah. Memasuki abad moderen, kemegahan Dinasti Utsmani pun berakhir ketika tekhnologi dan ilmu pengetahuan terus berkembang, merangsang kebangkitan ekonomi dan militer, diikuti persaingan politik dan semangat nasionalisme di pelbagai kawasan.
Dalam batas tertentu – sebagaimana di atas – seolah-olah sejarah republik Turki telah menggambarkan sebuah ketegangan antara agama dan ide negara bangsa. Islam dalam tafsir ideologi mereka dianggap tidak berhasil menyelesaikan pelbagai persoalan sosial politik yang tumbuh di dalam masyarakat moderen. Ideologi Islamisme model Utsmani Muda telah gagal memenangkan Dinasti Utsmani dalam percaturan politik lokal dan global, sehingga memetik kehancuran. Dalam format demikian, transformasi menuju sebuah negara bangsa untuk mempertahankan eksistensi masyarakat Turki yang merdeka adalah sebuah jawaban .
Nasionalisme merupakan sebuah jawaban terhadap pelbagai persoalan Dinasti Utsmani, meski dengan sadar Islam ditinggalkan. Melalui nasionalisme diharapkan muncul suatu kristalisasi identitas yang diarahkan untuk membangun masyarakat dan sekaligus menghadapi ancaman dari luar dan dalam negeri. Hal ini dilakukan dengan merumuskan ciri-ciri objektif akan identitas kebangsaan yang meliputi bahasa, asal-usul geneologi, sejarah, dan sosio-kultural sehingga memungkinkan individu sebagai satuan masyarakat memberikan dasar pembenaran rasional dari tuntutan untuk menentukan nasib sendiri terkait di masa mendatang dalam sebuah kesadaran bangsa yang bernegara. Ide dan gagasan islamisme yang bersifat universal telah merepotkan dan membawa masyarakat Turki dalam masalah yang serius, sehingga Dunia Muslim pun harus memaklumi permasalahan dan kepentingan bangsa Turki.
DAFTAR PUSTAKA
`Abd al-Raziq, Ali. al-Islam wa Ushul al-Hukm; Bahs fi al-Khilafah wa al Hukumah fi Islam. Mesir: tt.p., 1925.
Arif, Abd. Salam. “Politik Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara” dalam Negara Tuhan. Yogyakarta: SR-Ins Publissing, 2004.
Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara. Bandung: Risdakarya, 2000.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Moderenisme, hingga Psot Moderenisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
van, Dijk. “Ketakutan Penjajah, 1890-1918 Pan Islamisme dan Persekongkolan Jerman-India” dalam Tiga Kekacauan dan Kerusuhan, terj. Lilian D. T. Jakarta: INIS, 2003.
Geerts, Clifford. Ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara Baru, edt. Juwono S. Jakarta: Yayasan Obor, 1985.
Nasution, Harun. Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Pergerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.Hitti,
Philip K. History of Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
H. Davidson, Roderic. Turkey.New Jersey: Prentice Hall, ttt. dan Demokrasi, terj. Somardi.Bandung: ITB Press, 1998.
Hourani, Albert. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terj. Irfan Abu Bakar. Bandung: Mizan, 2004.
Ibrahim Hasan, Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam.Yogyakarta: Kota Kembang, 1989
Khairuddin, Nasution. Fadhlurrahman tentang Wanita. Yogyakarta: Tazzafa&Academia, 2002.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. M. Ghufran jilid tiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah. Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1996.
Morgan, Kenneth W. Islam Jalan Lurus, terj. Abu Salam. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Morgenthau, Hans J. Politik antar Bangsa, terj. A.M. Fatwan. Jakarta: Yayasan Obor, 1991.
Mukti Ali, H.A. Islam dan sekulerisme di Turki Moderen. Jakarta: Djembatan, 1994.
Naquib al-Attas, Syed Muhammad. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan, 1990.
Nodia, Ghia. “Nasionalisme dan Demokrasi” dalam Nasionalisme, Konflik Etnik, Rauf, Mas`udi. Konsensus Politik. Jakarta: Dep. Pendidikan Nasional, 2002.
Sartono, E. Kus Eddy. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press, 2002.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1993.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Kencana, 2003.
Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam, terj. S, Gazalba dkk. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Tim Redaksi, Islam, Negara dan Hukum, terj. Syamsul Anwar. Jakarta: INIS, 1993.
Toprak, Binnaz. Islam dan Perkembangan Politik di Turki, terj. Karsidi Diningrat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Yatim, Badri. Sejarah Pradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Watt, W. Mongomery. Islamic Political Thought. Edinburg: Edinburg University Press, 1968
W. Arnold, Thomas. The Caliphate. London: Routledge, 1965.
W. Morgan, Kenneth. Islam Jalan Lurus, terj. Abu Salam. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Biografis Penulis
Abu Bakar lahir di Magelang Jawa Tengah, 29 Oktober 1978. menyelesaikan studi S1 pada fakultas Adab Jurusan Sejarah Peradaban Islam di UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2004. Sekarang sedang menyelesaikan studi S2 di pada fakultas Hukum Islam Konsentrasi Ilmu Politik dan Pemerintahan dalam Islam di kampus yang sama. Pada tahun 2001 aktif sebagai pengurus di BEMJ untuk bidang Penelitian Sejarah. Di tahun 2003, terpilih sebagai Ketua Organisasi Mahasiswa Keturunan Arab-ba`Alawi di Jogjakarta (AL-AMIN) dan sampai sekarang menjadi Penasehat. Di tahun yang sama aktif sebagai Ketua Mahasiswa Jogjakarta Alumni MAN Kab. Magelang. Sejak tahun 2005 sampai sekarang menjadi Penasehat-Luar untuk Rukun Rencang – sebuah organisasi keagamaan Mahasiswa UII Jogjakarta.
Dari Khilafah Islamiyah Menuju Negara Bangsa
Abu Bakar
Pendahuluan
Turki merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim yang berdiri setelah kemerdekaan Mesir atau seusai Perang Dunia Pertama. Mendahului negara-negara muslim di pelbagai kawasan lain di Asia dan Afrika. Republik Turki adalah satu fenomena yang unik, bahkan dalam batas tertentu merupakan sebuah kasus yang cukup “kontroversial”. Hal tersebut, lebih dikarenakan oleh latar belakang sejarah Turki sebagai bagian terpenting dari alur cerita peradaban Dunia Islam. Dalam lintasan Dunia Islam, Turki telah merepresentasikan sebuah entitas sosio-politik ummat muslim yang mendunia. Berbeda dengan masa lalu, Turki di awal abad ke dua puluh dan hingga dewasa ini, telah berdiri sebagai sebuah negara bangsa yang justru melihat agama sebagai kategori yang meski dipisahkan dari kehidupan ruang publik.
Dalam usaha kemerdekaan Turki dari pendudukan bangsa asing, Islam sebagai agama memiliki peran-fungsional yang tidak terbantahkan, namun dengan segera berakhir setelah Istanbul mendeklarasikan kemerdekaan. Perolehan kemerdekaan tersebut sekaligus menjadi masa peralihan dan sekaligus mengakhiri khilafah Utsmaniyah menuju negara bangsa–republik Turki. Fenomena ini pun segera mengundang perhatian serta reaksi muslim di pelbagai pelosok kawasan.
Di masa kekhilafahan, agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan institusional dan struktural rezim Ustmaniyah. Otoritas khalifah merupakan representasi kekuasaan Tuhan dari langit, sehingga agama harus dipahami sebagai dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut berbeda, ketika Turki berdiri sebagai negara bangsa, sumber otoritas tidak lagi berasal dari Tuhan melainkan dari rakyat. Logika teoritik inilah yang dijadikan dasar bagi Republik Turki untuk memisahkan diri dari otoritas agama dan beralih pada kehidupan yang berorientasi pada kultur negara moderen, terutama meniru model Eropa.
TURKI UTSMANI DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM
Geneologi kebangsaan Turki Utsmani berasal dari sebuah suku Oghuz di sebelah Utara Cina. Mereka merupakan sebuah rumpun keluarga yang gemar mengadakan pengembaraan ke daerah lain untuk mendapatkan sumber daya kehidupan. Di abad ke XIII Masehi – ketika kekuatan militer bangsa Mongol mengadakan serangkaian ekspedisi militer dan penaklukkan ke pelbagai penjuru kawasan – leluhur bangsa Turki Utsmani ini, merasa terdesak dan berimigrasi ke wilayah Barat meminta perlindungan kepada saudara serumpun mereka Bani Saljuk yang sedang berkuasa di Baghdad, meliputi pula daerah sekitar.
Setelah keruntuhan pemerintahan Bani Saljuk sebagai akibat ekspedisi militer bangsa Mongol ke Baghdad, Utsman – pemimpin mereka yang kelak dianggap sebagai bapak pendiri dinasti kekhilafahan Utsmaniyah – dalam waktu singkat telah berhasil mengonsolidasikan kekuatan politik serta mengorganisir sebuah kesatuan militer. Mereka pun dengan segera bergerak dan menaklukkan satu per satu kerajaan-kerajaan kecil semi otonom di Asia Tengah dan sekitarnya, hingga mencapai wilayah perbatasan imperium Bezantium. Mereka seolah-olah tampil sebagai pengganti dan pembangun kembali puing-puing reruntuhan Bani Saljuk serta penerus kekhalifahan Islam-Sunni, mengisi masa transisi periode sejarah kekhalifahan Islam pasca keruntuhan Dinasti Abasiyah.
Semangat militer, ekonomi, politik yang diselaraskan dengan tafsir agama telah menjadikan mereka sebagai mesin penakluk dan sekaligus mampu menghantarkan dinasti Utsmani mendunia dan sampai pada puncak kejayaan. Dalam rentang masa satu abad kemudian, dinasti Utsmani telah berdiri menancapkan kekuasaan di Afrika Utara dan Mesir, Somalia, Sudan, Jazirah Arab, serta Asia Tengah, negara-negara Balkan dan sebagian daratan Eropa hingga berbatasan dengan Wina,. Pada abad ke XVI, dinasti Utsmani telah mendunia mewarisi kebesaran imperium Bezantium Timur dan dinasti-dinasti Islam pendahulu mereka. Dinasti Ustmani pun mengklaim dan sekaligus memposisikan diri sebagai pelindung kelompok muslim sunni di pelbagai kawasan, termasuk di nusantara adalah kesultanan Aceh.
Menjelang akhir abad ke XVII – periode ini dipercepat pula oleh gerakan kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa ke Asia dan Afrika. Semangat dan gerakan nasionalisme bangsa-bangsa Eropa di beberapa wilayah propinsial yang berada di kawasan Balkan semakin mempercepat masa kemunduran dinasti Utsmani. Pada masa tersebut, dinasti Utsmani terus mengalami kekalahan dan secara terpaksa harus kehilangan banyak wilayah propinsial.
Kekalahan dinasti Utsmani di Wina yang diakhiri dengan kesepakatan–perjanjian Carlowiz, mengakibatkan Istanbul menyerahkan Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Podolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia ke Habsburg dan Venesia. Memasuki abad ke XVIII, dinasti Utsmani pun meski kehilangan wilayahnya di Eropa Timur sebagai akibat dari kekalahan dalam perang Crimea melawan Rusia. Sementara, bangsa Yunani secara terus menerus mengobarkan perang kemerdekaan untuk melepaskan diri dari otoritas rezim dinasti Utsmani.
Di kawasan lain, Afrika Utara lepas dari kekuasaan Utsmani dan membentuk blok kekuatan tersendiri. Hal ini disusul oleh Mesir, sebagai akibat hegemoni kolonial Inggris yang menjadikan Mesir sebagai negara protektorat. Aljazair dan Tunisia pun terpisah serta diklaim sebagai bagian dari wilayah Perancis, sedangkan kekuatan Italia memperoleh kawasan Tripoli. Kondisi dinasti Utsmani terus memburuk ketika serangkaian gerakan separatis berkembang di semenanjung Arab. Hal ini direpresentasikan oleh gerakan Muhammad Abdulwahab di Hijaz. Di per-empat awal abad ke XX, dinasti Utsmani hanya berdiri di atas Asia Tengah–Anatolia sedangkan wilayah propinsial telah memisahkan diri dan berada dalam kekuasaan rezim kolonial bangsa-bangsa Eropa.
DINASTI UTSMANI SEBAGAI PEWARIS KEKHALIFAHAN ISLAM
Sejak masa khalifah ke VIII dinasti Abasiyah–Mu`tashim Billah, hingga akhir dinasti Utsmani, seorang khalifah diartikan sebagai wakil Tuhan di bumi dengan bergelar “bayangan Tuhan di muka bumi”. Dalam konsepsi tersebut, seorang khalifah bukan hanya pemegang otoritas agama sebagaimana Tahta Suci Rumawi, tetapi meliputi pula sebagai pemegang otoritas keduniaan. Meskipun dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan, otoritas keduniaan seorang khalifah bersifat nominal. Seorang sultan justru penguasa otoritas keduniaan yang sesungguhnya, seperti kasus dinasti Abasiyah di masa rezim Buwaihi dan Seljuk.
Sejarah kekhalifahan Islam berakhir ketika M. Kemal Attaturk menjadi penguasa politik atas puing-puing reruntuhan dinasti Utsmani. Dalam kasus tersebut, ia tidak hanya memperoleh kecaman dari komunitas muslim–konservatif Turki melainkan dari muslim di pelbagai kawasan. Gerakan Khilafah di India yang mendesak perdana menteri Turki untuk mempertahankan institusi khalifah Utsmaniyah. Hal ini sekaligus merupakan sebuah bukti bahwa khalifah di Istanbul memiliki pengaruh yang cukup besar. Di tahun 1924, Syarief Husin di Makkah membentuk dewan khalifah. Satu tahun kemudian di Kairo, raja Fuad merencanakan kongres Dunia Islam untuk mendiskusikan masalah khalifah. Di tahun 1926 di Makkah, raja Saud pun ikut mengadakan Kongres Khilafah. Isu-isu tentang Kongres Khilafah tersebut sempat melibatkan muslim di Indonesia. Isu khilafah islamiyah hingga sekarang pun masih menjadi agenda utama dari beberapa gerakan kelompok muslim, seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Beberapa kasus di atas, dapat memberikan sebuah kesan balik atau gambaran bahwa institusi khalifah – pada masa Utsmani – adalah milik dan persoalan Dunia Muslim.
Dalam sejarah dinasti Utsmani, Sultan Salim merupakan raja pertama yang memperoleh gelar khalifah atau sebagai wakil Tuhan di bumi. Sejak masa tersebut, seorang khalifah Utsmani memiliki kewajiban untuk menegakkan dakwah Islam, memperluas dan memepertahankan wilayah muslim, sekaligus sebagai pelindung dua tempat suci muslim. Sebuah ancaman politik-militer atas kawasan muslim berarti menjadi urusan dan bagian tanggung jawab dari kekhalifahan, sehingga dinasti Utsmani seolah-olah sebagai benteng bagi muslim dari serangan musuh dari luar Islam. Rumusan teoritis ini, menempatkan otoritas kekhalifahan Utsmaniyah meliputi entitas masyarakat muslim di pelbagai kawasan.
Melalui pembacaan di atas – perspektif teoritis – kehadiran dan eksistensi kemegahan dinasti Utsmaniyah di dalam sejarah peradaban Islam berakar kuat dari doktrin khilafah islamiyah yang terlembaga dalam tradisi Islam-sunni. Hal tersebut berarti pula, bahwa dinasti Utsmani merupakan pewaris otoritas kekhalifahan Abasiyah dan Umayyah serta al-Rasyidun. Seorang khalifah Utsmani menganggap diri mereka sebagai pemimpin muslim yang memiliki hak untuk menuntut sebuah ketaatan muslim. Di masa Sultan Abdul Hamid – setelah menegaskan klaim sebagai khalifah dilitimasi konstitusi 1876 – tercatat pernah mengirim utusan ke pelbagai daerah muslim, seperti Mesir, Tunisia, India, Afganistan, Cina, Nusantara (kerajaan Islam di Indonesia) untuk mencari pengakuan status sultan sebagai khalifah. Dalam kasus lain, kesultanan Aceh tercatat pernah menerima bantuan militer serta memiliki hubungan diplomatik dengan rezim Utsmani, sekaligus mengklaim sebagai bagian dari wilayah propinsial Istanbul. Melalui saluran inilah dinasti Utsmani memperoleh dukungan dan legitimasi politik–kekuasaan dari Dunia Muslim. Hal ini menuntut para raja di pelbagai kawasan muslim untuk memberikan sebuah penghormatan kepada khalifah–sultan di Istanbul.
Fenomena demikian nampak semakin menguat di tahun 1914, ketika Panitia Nasional Pembekaan Khalifah di Istanbul mengeluarkan sebuah himbauan. Dalam selebaran tersebut, dihimbaukan agar semua muslim melibatkan diri melawan bangsa-bangsa imperialis-kolonilis Eropa. Maksud Khalifah adalah untuk memunculkan rasa solidaritas muslim internasional, sehingga akan membantu Istanbul dalam Perang Dunia Pertama. Kebijakan luar negeri khalifah Utsmani ini, direspon tidak hanya oleh masyarakat Timur Tengah dan Arab, tetapi juga oleh kerajaan-kerajaan di kawasan nusantara dan cukup menggelisahkan pemerintah kolonial Belanda.
KEMUNCULAN IDE NASIONALISME DALAM DINASTI TURKI UTSMANI
Di masa lalu dinasti Utsmani, seluruh wilayah kekuasaan tidak terikat oleh satu basis ideologi politik yang berpijak pada realitas empiris, seperti sejarah, etnisitas dan sosio–kultural, kecuali oleh doktrin muslim sunni–khilafah islamiyah. Oleh sebab itu, di masa rezim Utsmani Muda agama Islam memperoleh rumusan baru dan diletakkan sebagai supra–identitas bagi dinasti Utsmani. Tujuan utama perumusan tersebut adalah untuk mentransendensikan batasan-batasan alamiah dan sosio–kultural sehingga membentuk sebuah entitas masyarakat politik–muslim di bawah institusi khalifah–islamiyah.
Rumusan teologi-politis di atas tidak lain adalah sebagai sebuah usaha untuk mengatasi kemunduran dinasti Utsmani yang semakin tampak di depan mata. Hal ini sebagai akibat pergolakan sosial-politik di pelbagai wilayah propinsial dan semakin meningkatnya gerakan kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa ke Asia dan Afrika. Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan, di Eropa muncul ide dan gerakan nasionalisme yang terus memasuki negara-negara Balkan, sebuah kawasan propinsial dinasti Utsmani. Dinasti Utsmani dalam format dan konstalasi politik demikian, sangatlah tidak diuntungkan dan merasa terancam sehingga meski bergeliat mencari sebuah jalan keselamatan. Usaha-usaha mempertahankan dan mengembalikan kejayaan dinasti Utsmani pun semakin mendesak ketika bendera negara-negara Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Itali, Perancis, Jerman, dan Rusia terus menjarah ke pelbagai kawasan Asia dan Afrika.
Masyarakat Kristen Utsmani merupakan kelompok pertama yang menghidupkan semangat dan tujuan-tujuan nasionalisme serta mengusulkan bahwa sekumpulan individu yang memiliki kebersamaan etnis, linguistik serta keagamaan sudah seharusnya memiliki negara teritorial tersendiri. Ide dan gerakan tersebut muncul dan terus menguat di kawasan negara-negara Balkan dan Yunani. Kasus yang sama terjadi pula di Mesir, perkembangan ilmu Egyptologi dan kebudayaan Mesir telah merangsang ide serta pembentukan identitas kebangsaan, sehingga mereka berkeinginan untuk memisahkan diri dari Istanbul. Sementara bangsa-bangsa Arab pun terus bergolak menentang kekuasaan Istanbul yang dirasa tidak membawa mereka kepada suatu kesejahteraan, sehingga mendorong mereka merumuskan gagasan nasionalisme. Kekesalan bangsa-bangsa Arab tersebut nampak pula pada sikap para pemuda mereka di Paris yang mengumumkan sebuah nasionalisme Arab yang didukung Inggris dan Perancis dalam suatu konggres. Kecenderungan umum dalam imperium Utsmani semakin diperparah dengan kemunculan gerakan kebangsaan, seperti Pan–Kurdisme; sebuah gerakan yang bercita-cita untuk menyatukan bangsa Kurdi di Iran, Syiria, Turki serta di negara-negara Balkan.
Merespon fenomena tersebut, para sarjana dan elit dinasti Utsmani dengan segera merumuskan sebuah ideologi besar yang diharapkan mampu menjaga kelanggengan imperium dinasti Utsmani yang telah mendunia. Dalam waktu yang relatif singkat muncullah beberapa gagasan tentang ideologi pemersatu. Pertama adalah Utsmanisme, seperangkat ideologi yang dibangun untuk mengatasi kecenderungan disintegrasi dan separatisme imperium. Ideologi ini menggagas sebuah ikatan kebersamaan dan kesamaan sebagai rakyat Utsmani dan mengesampingkan perbedaan agama, etnisitas, dan sosio-kultural. Kedua muncul ideologi Islamisme yang lebih bersifat universal, melintasi klaim geografis dan batas territori wilayah kesultanan Utsmaniyah, menggagas khilafah islamiyah. Ideologi menekankan sebuah kesamaan identitas keagamaan–Islam sebagai sebuah nasionalitas. Ketiga adalah Pan–Turkisme yang lebih berorientasi kepada unsur etnisitas dan kultur Turki secara umum. Ideologi ini mengatakan bahwa semua etnis Turki di mana pun mereka adalah bangsa tunggal dan meski bersatu dan membentuk entitas sosio-politik di bawah imperium Utsmani di Anatolia. Dalam perkembangan selanjutnya, Islamisme merupakan ideologi yang cukup berpengaruh dan menjadi kebijakan politik luar negeri khalifah-sultan Utsmani di kemudian hari.
Ideologi Islamisme menguat di tahun 1914, ketika sultan dalam kebijakan luar negerinya menekankan isu-isu seputar kepentingan agama Islam dan eksistensi khilafah islamiyah. Sebuah gagasan tentang solidaritas muslim internasional dalam rangka menghadapi kekuatan bangsa-bangsa Eropa di hampir semua wilayah propinsial Utsmani. Dalam masa tersebut, Istanbul mengalami serangkaian kekalahan perang dan persaingan politik-ekonomi. Dalam konteks di atas, universalisme Islam dalam konstruk ideologi khilafah islamiyah telah menimbulkan serangkaian masalah yang besar. Hal ini lebih dikarenakan oleh kesibukan Istanbul dalam urusan internasional – sebagai konsekuensi logis dari peran pemimpin spiritual Dunia Muslim atau khilafah islamiyah – secara otomatis masalah dalam negeri agak terabaikan.
Setelah Utsmanisme, Turkisme dan Islamisme muncul sebuah ideologi nasionalisme lain yang diusung Zia Gokalp, seorang sarjana Turki. Nasionalisme Gokalp lebih bersifat realistik-empirik, menurutnya nasionalisme meski didasarkan pada ikatan dan persamaan identitas kultural yang bersifat unik, subjektif, muncul dalam lingkungan suatu masyarakat. Dalam pandangan Gokalp, sebuah nasionalitas bukan suatu komunitas religius yang diikat oleh persamaan agama serta kekeluargaan etnis yang diikat oleh adat-istiadat lama atau bukan pula sebuah ikatan suatu usaha-usaha di bidang sosial-ekonomi-politik. Dalam konteks ini, Gokalp menolak westernisasi yang berambisi meniru bangsa Eropa, Turkisme yang berupaya menghidupkan kembali adat etnis Turki pra-Islam, Islamisme yang menghidupkan Islam di masa lalu. Secara definitif, nasionalisme Gokalp adalah sebuah kolektivitas sosial yang meliputi keragaman pendidikan, memiliki bahasa, emosi, ideal-ideal, agama, moralitas, dan rasa estetika..
Dalam relatif waktu yang bersamaan, muncul usaha-usaha untuk mewujudkan agenda nasionalisasi dinasti Utsmani, di mana para ahli bahasa Turki terus berkonsentrasi terhadap reformasi bahasa. Di lain sisi, sarjana-sarjana Eropa telah berhasil mendalami bahasa dan kultur Turki dengan memperkenalkan gagasan tentang “Masyarakat Turki”, sehingga semakin mendorong serangkaian gerakan kampanye tentang tema-tema identitas kebangsaan di tingkat masyarakat bawah. Fenomena tersebut, merepresentasikan sebuah kesadaran kebangsaan Turki di tengah kegelisahan politik dan sekaligus sebagai respon masyarakat Turki terhadap marak dan menjamurnya gagasan nasionalisme di pelbagai kawasan. Ide tentang bangsa Turki merupakan usaha pembentukan identitas kewargaan baru yang berakar pada nilai-nilai kesejarahan Turki – Utsmani, bukan identitas kesejarahan Islam ataupun Turki pra–Islam.
Pada akhir dua dasa warsa pertama abad ke XX, dinasti Utsmani telah kehilangan seluruh daerah kekuasaan dan hanya menguasai Anatolia, dengan mayoritas warga Turki dan sebagian kecil warga keturunan Yunani, Kurdi, serta Armenian. Keterlibatan Istanbul dalam blok German pada Perang Dunia Pertama dengan kemenangan di pihak sekutu, semakin mempermudah pintu masuk kekuatan militer dan politik bangsa Barat, seperti Inggris, Perancis, dan disusul Amerika serta ambisi Yunani tentang romantisme di masa lalu terhadap wilayah kekuasaan Utsmani.
Pada bulan November 1918, armada kapal perang dan militer sekutu memasuki Istanbul. Kabinet Utsmani Muda – rezim yang sedang berkuasa – membubarkan serta mengundurkan diri, sebagian di antara mereka seperti Enver Pasya dan Jamal Pasya melarikan diri ke luar neger. Sementara Perdana Menteri baru terpilih langsung mengadakan perdamaian dengan sekutu. Cerita akhir dari Perang Dunia Pertama seolah-olah telah menunjukkan kegagalan Islamisme sebagai basis ideologi untuk mempertahankan eksistensi dinasti Utsmani. Dalam konteks tersebut, nasionalisme semakin menemukan bentuk dan momentum untuk menunjukkan peran fungsionalnya sebagai sebuah basis ideologi negara.
TRANSFORMASI DINASTI TURKI UTSMANI MENJADI SEBUAH NEGARA BANGSA REPUBLIK TURKI
Dalam kondisi sosial politik yang telah sangat terpuruk sebagai pendudukan sekutu atas wilayah Utsmani, Musthafa Kemal Attaturk tampil sebagai pahlawan bagi bangsa Turki. Attaturk bersama K. Karabiker berhasil membangkitkan identitas dan semangat kebangsaan dengan memposisikan ancaman militer sekutu sebagai antitesis. Karakiber dan Attaturk pun berhasil pula menyatukan pelbagai elemen masyarakat yang ingin merdeka dan menggerakkan mereka kepada gagasan nasionalisme yang lebih realistik setelah diilhami dari konsep nasionalisme Gokalp. Strategi Attaturk bersama kelompok nasionalis seperti Fuad, Refat, dan Rauf selanjutnya adalah mengobarkan Perang Kemerdekaan. Attaturk pun mendirikan pemerintahan baru di Ankara-Anatolia demi kepentingan politik dan pemerintahan yang serba darurat. Ia berdalih bahwa Sultan di Istanbul berada dalam kekuasaan Sekutu. Demi kepentingan kemerdekaan maka dibentuk “Himpunan Untuk Mempertahankan Hak-Hak Anatolia dan Rumelia” serta Majelis Nasional Agung. Dalam waktu yang relati singkat, kelompok nasionalis berhasil memenangkan serangkaian perang dan memaksa sekutu mengakui kedaulatan Turki di bawah rezim nasionalis di Ankara–Anatolia.
Fenomena di atas dengan segera direspon oleh para elit politik, birokrat dan militer serta intelejensia dari kubu nasionalis Turki yang untuk menstranformasikan dinasti Turki Utsmani dari rezim multi-nasional menjadi sebuah negara bangsa–Republik Turki. Dalam format di atas, elemen-elemen teori nasionalisme Gokalp menjadi landasan ideologis bagi perwujudan negara bangsa Turki, meskipun terdapat beberapa penyimpangan dalam kasus posisi agama Islam. Perubahan-perubahan pun dengan segera digulirkan, mulai Undang-Undang Dasar, Sistem Pemerintahan, Militer, Tata Negara, hingga Kewarganegaraan. Perombakan besar-besaran terjadi pada tahun 1922, di mana kesultanan Turki Utsmani dihapuskan dan dua tahun kemudian kekhalifahan Utsmani dibubarkan. Pada tahun yang sama, Undang-Undang Dasar Turki disyahkan, dengan tegas dinyatakan dalam pasal 1, bahwa negara Turki adalah Republik, Nasionalis, Kerakyatan, Kenegaraan, Sekularis, Revolusionis, dan dinyatakan pula dalam pasal 3 bahwa Kedaulatan dengan tanpa syarat berada di tangan bangsa.
Nasionalisme yang muncul dan tumbuh subur di Turki nampak telah dijembatani oleh serangkaian peristiwa sosial-politik dalam sebuah dialektika sejarah yang dilakukan dengan kesadaran rasionalitas. Hal ini dilakukan dengan merumuskan ciri-ciri objektif akan identitas kebangsaan yang meliputi bahasa, asal-usul geneologi, sejarah sehingga memungkinkan individu sebagai satuan rakyat memberikan dasar pembenaran rasional dari tuntutan untuk menentukan nasib sendiri dalam sebuah kesadaran bernegara. Namun dalam perkembangan sejarah Turki, paham kebangsaan dalam ide nation model Turki ini tumbuh dalam sebuah kontradiksi ketika pemimpin berlaku otoriter – bukan berlaku demokratis – sebagaimana nampak dalam kepemimpinan Kemal Ataturk. Ghia Nodia mengatakan bahwa bangsa adalah sebutan lain dari untuk “kami sang rakyat”, sehingga nasionalisme harus bersinergi dengan demokrasi, bukan pemberlakuan sebuah otoritarianisme penguasa.
MASALAH REPUBLIK TURKI DAN AGAMA ISLAM
Secara teoritik, ideologi nasionalisme Gokalp dan Attaturk telah memberikan saluran bagi proses transformasi khilafah dinasti Utsmani menjadi republik Turki. Kasus di atas merupakan sebuah fakta yang sangat mengejutkan musuh-musuh Turki dan terlebih lagi Dunia Muslim, akan tetapi mengingat kontekstualitas dan kompleksitas masalah yang mengitari dinasti Utsmani, ketetapan tersebut cukup realistik. Meskipun demikian, republik Turki masih menghadapi pelbagai persoalan yang meski diselesaikan demi mempertahankan eksistensi Turki sebagai negara bangsa. Masalah ini terkait dengan Islam sebagai sebuah institusi agama yang telah mengakar kuat dalam sistem sosial dan budaya masyarakat Utsmani.
Di masa kekhalifahan, agama Islam merupakan basis dasar bagi pembentukan tatanan institusional dan struktural dinasti Utsmani. Dalam Konstitusi 1876 disebutkan bahwa dinasti Utsmani adalah Kerajaan Islam. Merujuk pada konstitusi tersebut maka syari`at meski menjadi landasan hukum dan perundang-undangan bagi pelaksanaan kehidupan Negara dan pemerintahan. Dalam konteks ini – terkait dengan kebutuhan interpretatif terhadap teks – ulama memiliki peran dan fungsi utama dalam Kerajaan Utsmani. Di lain sisi, konsep agama dan negara menjadi tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Hal ini tidak selaras dengan ide nasionalisme yang menjadi fondasi utama republik Turki, sehingga mengharuskan Attaturk untuk mengakhiri institusi sultan–khalifah Utsmani melalui agenda sekulerisme serta revolusionisme. Dalam nasionalisme model Gokalp dan Attaturk, rakyat lah sebagai pemegang kedaulatan dan penguasa bertanggungjawab kepada rakyat melalui parlemen.
Institusi Syaikh al-Islam merupakan satu kasus lain yang tidak dapat dipertahankan dalam konteks negara republik Turki. Dalam format Utsmaniyah, Syaikh al-Islam berada pada fungsi eksekutif akan tetapi dengan kapasitasnya sebagai institusi agama, ia dapat memberikan fungsi kontrol terhadap institusi yudikatif dan legislatif. Secara struktural–konstitusional, produk hukum Syaikh al-Islam menjadi kerangka acuan normatif bagi kebijakan politik dan pemerintahan yang dijalankan perdana menteri atau shadr al-a`dham dan bahkan sultan sekalipun.
Pada dataran sosial politik, rezim Turki mengeliminasi UU Pidana dan Perdata, serta Perdagangan yang berasaskan Islam dan sebagai ganti diadopsi UU dari Eropa, seperti UU Pidana Itali, UU Pidana Swis, serta UU Perdagangan Jerman. Sekolah-sekolah agama ditutup diganti sekolah moderen dengan tanpa pelajaran ilmu agama. Secara kultural, simbol-simbol Islam pun dilarang diganti dengan simbol-simbol dari budaya masyarakat Eropa. Alfabet dari Arab dan Persi diganti dengan Latin, sementara kosa kata Arab dan Persi diganti Turki. Secara keras pemerintah pun melarang pelbagai aktivitas kelompok keagamaan atau ketharikatan. Secara keseluruhan, kebijakan ini diarahkan untuk melenyapkan tatanan simbol kultural–Islam, membentuk identitas nasional Turki yang moderen konstruk rezim Attaturk. Dalam kasus ini, Attaturk banyak berbeda dengan Z. Gokalp yang tetap mengatakan bahwa nasionalisme Turki bukan pembaratan, terlebih membuang Islam.
Secara keseluruhan di masa dinasti Utsmaniyah, agama tidak memiliki batas ruang dan hampir selalu menelusup dan memberikan dasar legitimatif terhadap konsep-konsep politik dan normatifitas tatanan institusional dan struktural rezim Utsmani. Logika tersebut, berbeda ketika dinasti Utsmani berdiri sebagai negara Republik Turki, dalam kasus ini logika sekuler menjadi dominan menggeser peran–fungsional agama. Sebagai konsekuensi logis, maka Perang Saudara pun tidak terelakkan antara pro sultan–khalifah yang merepresentasikan kelompok islamisme menghadapi kubu pro negara–bangsa yang merepresentasikan kelompok sekuleris.
Fenomena perlawanan kelompok islamisme sebagai tandingan begi rezim Attaturk pun terus berlangsung mengiringi sejarah awal republik Turki. Serangkaian pemberontakan muncul di tahun 1930, 1933, dan 1935 yang dilancarkan oleh kelompok keagamaan tharikat Naqsabandi, terutama pimpinan Said Nursi. Dalam batas tertentu, Attaturk telah bertindak terlalu jauh terhadap agama Islam, sehingga memunculkan kekecewaan masyarakat muslim. Secara umum, kekacauan sosial politik yang dilatarbelakangi isu agama sepanjang kepemimpinan Attaturk merepresentasikan sebuah perlawanan terhadap rezim nasionalis sekuler yang telah mendomestisasikan atau mengasingkan agama dari ranah publik dalam sebuah masyarakat relijius.
Dalam rangka mengatasi kekacauan politik dalam negeri, Dewan Nasional Agung mengesahkan sebuah Undang-Undang untuk memelihara ketertiban nasional. Sebuah Undang-Undang yang membolehkan rezim Attaturk untuk berlaku diktaktor terhadap segala sesuatu yang menghambat cita-cita nasionalisme. Tindakan serba militer pun segera dipraktikkan terhadap pelbagai gangguan nasional. Dalam format demikian, rezim Attaturk menjadi kebal terhadap perselisihan internal dan relatif stabil. Meskipun ketetapan Dewan Nasional tersebut bertentangan dengan sistem pemerintahan Turki yang menganut demokrasi dan parlemen, Attaturk hampir berkuasa tanpa pihak oposisi yang efektif hingga akhir kekuasaannya. Dalam masa itu, hampir dipastikan muslim Turki mengalami keterputusan generasi dan Islam seolah-olah terlupakan.
Setelah Attaturk meninggal di tahun 1938, Ismet Inonu – koleganya yang setia – memegang kepemimpinan Turki, terjadi sebuah perubahan iklim politik baru. Pergeseran iklim politik tersebut semakin menguat seusai Perang Dunia Kedua dengan ditandai berakhirnya pemerintahan sistem satu partai menuju multi partai. Amerika Serikat – setelah Perang Dunia Kedua berperan sebagai pengaman politik dan pembangunan ekonomi Turki – mulai mengurangi politik model kultur paternalistik. Angin segar demokrasi ini memberikan keuntungan bagi gerakan-gerakan muslim di tingkat masyarakat bawah. Di tahun 1950, kubu pro Attaturk berhasil dikalahkan dalam sebuah pemilu oleh partai Demokrat. Rezim partai Demokrat masa kepemimpinan Adnan Menderes mengawali sejarah baru bagi kehidupan demokrasi negara Turki. Pelbagai isu sosial politik pun secara terus menerus mengalami pengendoran dari kontrol pemerintah. Kehidupan keagamaan masyarakat muslim dengan segera memperoleh kembali beberapa hak dan kebebasan mereka walaupun elit sekuler Turki selalu menaruh sikap curiga.
PENUTUP
Dinasti Utsmani dengan khilafah islamiyahnya merupakan simbol kesatuan serta kekuatan politik muslim yang terakhir dan mungkin institusi tersebut tidak akan muncul kembali dalam sejarah peradaban muslim. Dalam masa Utsmani – secara ideologis – telah meletakkan agama Islam sebagai supra–identitas yang mentransendensikan pelbagai perbedaan dan batasan-batasan alamiah, sejarah dan sosio–kultural membentuk sebuah entitas masyarakat politik–muslim di bawah institusi khalifah–islamiyah. Memasuki abad moderen, kemegahan Dinasti Utsmani pun berakhir ketika tekhnologi dan ilmu pengetahuan terus berkembang, merangsang kebangkitan ekonomi dan militer, diikuti persaingan politik dan semangat nasionalisme di pelbagai kawasan.
Dalam batas tertentu – sebagaimana di atas – seolah-olah sejarah republik Turki telah menggambarkan sebuah ketegangan antara agama dan ide negara bangsa. Islam dalam tafsir ideologi mereka dianggap tidak berhasil menyelesaikan pelbagai persoalan sosial politik yang tumbuh di dalam masyarakat moderen. Ideologi Islamisme model Utsmani Muda telah gagal memenangkan Dinasti Utsmani dalam percaturan politik lokal dan global, sehingga memetik kehancuran. Dalam format demikian, transformasi menuju sebuah negara bangsa untuk mempertahankan eksistensi masyarakat Turki yang merdeka adalah sebuah jawaban .
Nasionalisme merupakan sebuah jawaban terhadap pelbagai persoalan Dinasti Utsmani, meski dengan sadar Islam ditinggalkan. Melalui nasionalisme diharapkan muncul suatu kristalisasi identitas yang diarahkan untuk membangun masyarakat dan sekaligus menghadapi ancaman dari luar dan dalam negeri. Hal ini dilakukan dengan merumuskan ciri-ciri objektif akan identitas kebangsaan yang meliputi bahasa, asal-usul geneologi, sejarah, dan sosio-kultural sehingga memungkinkan individu sebagai satuan masyarakat memberikan dasar pembenaran rasional dari tuntutan untuk menentukan nasib sendiri terkait di masa mendatang dalam sebuah kesadaran bangsa yang bernegara. Ide dan gagasan islamisme yang bersifat universal telah merepotkan dan membawa masyarakat Turki dalam masalah yang serius, sehingga Dunia Muslim pun harus memaklumi permasalahan dan kepentingan bangsa Turki.
DAFTAR PUSTAKA
`Abd al-Raziq, Ali. al-Islam wa Ushul al-Hukm; Bahs fi al-Khilafah wa al Hukumah fi Islam. Mesir: tt.p., 1925.
Arif, Abd. Salam. “Politik Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara” dalam Negara Tuhan. Yogyakarta: SR-Ins Publissing, 2004.
Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara. Bandung: Risdakarya, 2000.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Moderenisme, hingga Psot Moderenisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
van, Dijk. “Ketakutan Penjajah, 1890-1918 Pan Islamisme dan Persekongkolan Jerman-India” dalam Tiga Kekacauan dan Kerusuhan, terj. Lilian D. T. Jakarta: INIS, 2003.
Geerts, Clifford. Ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara Baru, edt. Juwono S. Jakarta: Yayasan Obor, 1985.
Nasution, Harun. Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Pergerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.Hitti,
Philip K. History of Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
H. Davidson, Roderic. Turkey.New Jersey: Prentice Hall, ttt. dan Demokrasi, terj. Somardi.Bandung: ITB Press, 1998.
Hourani, Albert. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terj. Irfan Abu Bakar. Bandung: Mizan, 2004.
Ibrahim Hasan, Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam.Yogyakarta: Kota Kembang, 1989
Khairuddin, Nasution. Fadhlurrahman tentang Wanita. Yogyakarta: Tazzafa&Academia, 2002.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. M. Ghufran jilid tiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah. Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1996.
Morgan, Kenneth W. Islam Jalan Lurus, terj. Abu Salam. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Morgenthau, Hans J. Politik antar Bangsa, terj. A.M. Fatwan. Jakarta: Yayasan Obor, 1991.
Mukti Ali, H.A. Islam dan sekulerisme di Turki Moderen. Jakarta: Djembatan, 1994.
Naquib al-Attas, Syed Muhammad. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan, 1990.
Nodia, Ghia. “Nasionalisme dan Demokrasi” dalam Nasionalisme, Konflik Etnik, Rauf, Mas`udi. Konsensus Politik. Jakarta: Dep. Pendidikan Nasional, 2002.
Sartono, E. Kus Eddy. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press, 2002.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1993.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Kencana, 2003.
Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam, terj. S, Gazalba dkk. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Tim Redaksi, Islam, Negara dan Hukum, terj. Syamsul Anwar. Jakarta: INIS, 1993.
Toprak, Binnaz. Islam dan Perkembangan Politik di Turki, terj. Karsidi Diningrat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Yatim, Badri. Sejarah Pradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Watt, W. Mongomery. Islamic Political Thought. Edinburg: Edinburg University Press, 1968
W. Arnold, Thomas. The Caliphate. London: Routledge, 1965.
W. Morgan, Kenneth. Islam Jalan Lurus, terj. Abu Salam. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Biografis Penulis
Abu Bakar lahir di Magelang Jawa Tengah, 29 Oktober 1978. menyelesaikan studi S1 pada fakultas Adab Jurusan Sejarah Peradaban Islam di UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2004. Sekarang sedang menyelesaikan studi S2 di pada fakultas Hukum Islam Konsentrasi Ilmu Politik dan Pemerintahan dalam Islam di kampus yang sama. Pada tahun 2001 aktif sebagai pengurus di BEMJ untuk bidang Penelitian Sejarah. Di tahun 2003, terpilih sebagai Ketua Organisasi Mahasiswa Keturunan Arab-ba`Alawi di Jogjakarta (AL-AMIN) dan sampai sekarang menjadi Penasehat. Di tahun yang sama aktif sebagai Ketua Mahasiswa Jogjakarta Alumni MAN Kab. Magelang. Sejak tahun 2005 sampai sekarang menjadi Penasehat-Luar untuk Rukun Rencang – sebuah organisasi keagamaan Mahasiswa UII Jogjakarta.