Wednesday, 23 December 2009


Republik Turki
Dari Khilafah Islamiyah Menuju Negara Bangsa

Abu Bakar




Pendahuluan
Turki merupakan negara berpenduduk mayoritas muslim yang berdiri setelah kemerdekaan Mesir atau seusai Perang Dunia Pertama. Mendahului negara-negara muslim di pelbagai kawasan lain di Asia dan Afrika. Republik Turki adalah satu fenomena yang unik, bahkan dalam batas tertentu merupakan sebuah kasus yang cukup “kontroversial”. Hal tersebut, lebih dikarenakan oleh latar belakang sejarah Turki sebagai bagian terpenting dari alur cerita peradaban Dunia Islam. Dalam lintasan Dunia Islam, Turki telah merepresentasikan sebuah entitas sosio-politik ummat muslim yang mendunia. Berbeda dengan masa lalu, Turki di awal abad ke dua puluh dan hingga dewasa ini, telah berdiri sebagai sebuah negara bangsa yang justru melihat agama sebagai kategori yang meski dipisahkan dari kehidupan ruang publik.
Dalam usaha kemerdekaan Turki dari pendudukan bangsa asing, Islam sebagai agama memiliki peran-fungsional yang tidak terbantahkan, namun dengan segera berakhir setelah Istanbul mendeklarasikan kemerdekaan. Perolehan kemerdekaan tersebut sekaligus menjadi masa peralihan dan sekaligus mengakhiri khilafah Utsmaniyah menuju negara bangsa–republik Turki. Fenomena ini pun segera mengundang perhatian serta reaksi muslim di pelbagai pelosok kawasan.
Di masa kekhilafahan, agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tatanan institusional dan struktural rezim Ustmaniyah. Otoritas khalifah merupakan representasi kekuasaan Tuhan dari langit, sehingga agama harus dipahami sebagai dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut berbeda, ketika Turki berdiri sebagai negara bangsa, sumber otoritas tidak lagi berasal dari Tuhan melainkan dari rakyat. Logika teoritik inilah yang dijadikan dasar bagi Republik Turki untuk memisahkan diri dari otoritas agama dan beralih pada kehidupan yang berorientasi pada kultur negara moderen, terutama meniru model Eropa.




TURKI UTSMANI DALAM SEJARAH PERADABAN ISLAM
Geneologi kebangsaan Turki Utsmani berasal dari sebuah suku Oghuz di sebelah Utara Cina. Mereka merupakan sebuah rumpun keluarga yang gemar mengadakan pengembaraan ke daerah lain untuk mendapatkan sumber daya kehidupan. Di abad ke XIII Masehi – ketika kekuatan militer bangsa Mongol mengadakan serangkaian ekspedisi militer dan penaklukkan ke pelbagai penjuru kawasan – leluhur bangsa Turki Utsmani ini, merasa terdesak dan berimigrasi ke wilayah Barat meminta perlindungan kepada saudara serumpun mereka Bani Saljuk yang sedang berkuasa di Baghdad, meliputi pula daerah sekitar.
Setelah keruntuhan pemerintahan Bani Saljuk sebagai akibat ekspedisi militer bangsa Mongol ke Baghdad, Utsman – pemimpin mereka yang kelak dianggap sebagai bapak pendiri dinasti kekhilafahan Utsmaniyah – dalam waktu singkat telah berhasil mengonsolidasikan kekuatan politik serta mengorganisir sebuah kesatuan militer. Mereka pun dengan segera bergerak dan menaklukkan satu per satu kerajaan-kerajaan kecil semi otonom di Asia Tengah dan sekitarnya, hingga mencapai wilayah perbatasan imperium Bezantium. Mereka seolah-olah tampil sebagai pengganti dan pembangun kembali puing-puing reruntuhan Bani Saljuk serta penerus kekhalifahan Islam-Sunni, mengisi masa transisi periode sejarah kekhalifahan Islam pasca keruntuhan Dinasti Abasiyah.
Semangat militer, ekonomi, politik yang diselaraskan dengan tafsir agama telah menjadikan mereka sebagai mesin penakluk dan sekaligus mampu menghantarkan dinasti Utsmani mendunia dan sampai pada puncak kejayaan. Dalam rentang masa satu abad kemudian, dinasti Utsmani telah berdiri menancapkan kekuasaan di Afrika Utara dan Mesir, Somalia, Sudan, Jazirah Arab, serta Asia Tengah, negara-negara Balkan dan sebagian daratan Eropa hingga berbatasan dengan Wina,. Pada abad ke XVI, dinasti Utsmani telah mendunia mewarisi kebesaran imperium Bezantium Timur dan dinasti-dinasti Islam pendahulu mereka. Dinasti Ustmani pun mengklaim dan sekaligus memposisikan diri sebagai pelindung kelompok muslim sunni di pelbagai kawasan, termasuk di nusantara adalah kesultanan Aceh.
Menjelang akhir abad ke XVII – periode ini dipercepat pula oleh gerakan kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa ke Asia dan Afrika. Semangat dan gerakan nasionalisme bangsa-bangsa Eropa di beberapa wilayah propinsial yang berada di kawasan Balkan semakin mempercepat masa kemunduran dinasti Utsmani. Pada masa tersebut, dinasti Utsmani terus mengalami kekalahan dan secara terpaksa harus kehilangan banyak wilayah propinsial.
Kekalahan dinasti Utsmani di Wina yang diakhiri dengan kesepakatan–perjanjian Carlowiz, mengakibatkan Istanbul menyerahkan Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Podolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia ke Habsburg dan Venesia. Memasuki abad ke XVIII, dinasti Utsmani pun meski kehilangan wilayahnya di Eropa Timur sebagai akibat dari kekalahan dalam perang Crimea melawan Rusia. Sementara, bangsa Yunani secara terus menerus mengobarkan perang kemerdekaan untuk melepaskan diri dari otoritas rezim dinasti Utsmani.
Di kawasan lain, Afrika Utara lepas dari kekuasaan Utsmani dan membentuk blok kekuatan tersendiri. Hal ini disusul oleh Mesir, sebagai akibat hegemoni kolonial Inggris yang menjadikan Mesir sebagai negara protektorat. Aljazair dan Tunisia pun terpisah serta diklaim sebagai bagian dari wilayah Perancis, sedangkan kekuatan Italia memperoleh kawasan Tripoli. Kondisi dinasti Utsmani terus memburuk ketika serangkaian gerakan separatis berkembang di semenanjung Arab. Hal ini direpresentasikan oleh gerakan Muhammad Abdulwahab di Hijaz. Di per-empat awal abad ke XX, dinasti Utsmani hanya berdiri di atas Asia Tengah–Anatolia sedangkan wilayah propinsial telah memisahkan diri dan berada dalam kekuasaan rezim kolonial bangsa-bangsa Eropa.
DINASTI UTSMANI SEBAGAI PEWARIS KEKHALIFAHAN ISLAM
Sejak masa khalifah ke VIII dinasti Abasiyah–Mu`tashim Billah, hingga akhir dinasti Utsmani, seorang khalifah diartikan sebagai wakil Tuhan di bumi dengan bergelar “bayangan Tuhan di muka bumi”. Dalam konsepsi tersebut, seorang khalifah bukan hanya pemegang otoritas agama sebagaimana Tahta Suci Rumawi, tetapi meliputi pula sebagai pemegang otoritas keduniaan. Meskipun dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan, otoritas keduniaan seorang khalifah bersifat nominal. Seorang sultan justru penguasa otoritas keduniaan yang sesungguhnya, seperti kasus dinasti Abasiyah di masa rezim Buwaihi dan Seljuk.
Sejarah kekhalifahan Islam berakhir ketika M. Kemal Attaturk menjadi penguasa politik atas puing-puing reruntuhan dinasti Utsmani. Dalam kasus tersebut, ia tidak hanya memperoleh kecaman dari komunitas muslim–konservatif Turki melainkan dari muslim di pelbagai kawasan. Gerakan Khilafah di India yang mendesak perdana menteri Turki untuk mempertahankan institusi khalifah Utsmaniyah. Hal ini sekaligus merupakan sebuah bukti bahwa khalifah di Istanbul memiliki pengaruh yang cukup besar. Di tahun 1924, Syarief Husin di Makkah membentuk dewan khalifah. Satu tahun kemudian di Kairo, raja Fuad merencanakan kongres Dunia Islam untuk mendiskusikan masalah khalifah. Di tahun 1926 di Makkah, raja Saud pun ikut mengadakan Kongres Khilafah. Isu-isu tentang Kongres Khilafah tersebut sempat melibatkan muslim di Indonesia. Isu khilafah islamiyah hingga sekarang pun masih menjadi agenda utama dari beberapa gerakan kelompok muslim, seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Beberapa kasus di atas, dapat memberikan sebuah kesan balik atau gambaran bahwa institusi khalifah – pada masa Utsmani – adalah milik dan persoalan Dunia Muslim.
Dalam sejarah dinasti Utsmani, Sultan Salim merupakan raja pertama yang memperoleh gelar khalifah atau sebagai wakil Tuhan di bumi. Sejak masa tersebut, seorang khalifah Utsmani memiliki kewajiban untuk menegakkan dakwah Islam, memperluas dan memepertahankan wilayah muslim, sekaligus sebagai pelindung dua tempat suci muslim. Sebuah ancaman politik-militer atas kawasan muslim berarti menjadi urusan dan bagian tanggung jawab dari kekhalifahan, sehingga dinasti Utsmani seolah-olah sebagai benteng bagi muslim dari serangan musuh dari luar Islam. Rumusan teoritis ini, menempatkan otoritas kekhalifahan Utsmaniyah meliputi entitas masyarakat muslim di pelbagai kawasan.
Melalui pembacaan di atas – perspektif teoritis – kehadiran dan eksistensi kemegahan dinasti Utsmaniyah di dalam sejarah peradaban Islam berakar kuat dari doktrin khilafah islamiyah yang terlembaga dalam tradisi Islam-sunni. Hal tersebut berarti pula, bahwa dinasti Utsmani merupakan pewaris otoritas kekhalifahan Abasiyah dan Umayyah serta al-Rasyidun. Seorang khalifah Utsmani menganggap diri mereka sebagai pemimpin muslim yang memiliki hak untuk menuntut sebuah ketaatan muslim. Di masa Sultan Abdul Hamid – setelah menegaskan klaim sebagai khalifah dilitimasi konstitusi 1876 – tercatat pernah mengirim utusan ke pelbagai daerah muslim, seperti Mesir, Tunisia, India, Afganistan, Cina, Nusantara (kerajaan Islam di Indonesia) untuk mencari pengakuan status sultan sebagai khalifah. Dalam kasus lain, kesultanan Aceh tercatat pernah menerima bantuan militer serta memiliki hubungan diplomatik dengan rezim Utsmani, sekaligus mengklaim sebagai bagian dari wilayah propinsial Istanbul. Melalui saluran inilah dinasti Utsmani memperoleh dukungan dan legitimasi politik–kekuasaan dari Dunia Muslim. Hal ini menuntut para raja di pelbagai kawasan muslim untuk memberikan sebuah penghormatan kepada khalifah–sultan di Istanbul.
Fenomena demikian nampak semakin menguat di tahun 1914, ketika Panitia Nasional Pembekaan Khalifah di Istanbul mengeluarkan sebuah himbauan. Dalam selebaran tersebut, dihimbaukan agar semua muslim melibatkan diri melawan bangsa-bangsa imperialis-kolonilis Eropa. Maksud Khalifah adalah untuk memunculkan rasa solidaritas muslim internasional, sehingga akan membantu Istanbul dalam Perang Dunia Pertama. Kebijakan luar negeri khalifah Utsmani ini, direspon tidak hanya oleh masyarakat Timur Tengah dan Arab, tetapi juga oleh kerajaan-kerajaan di kawasan nusantara dan cukup menggelisahkan pemerintah kolonial Belanda.

KEMUNCULAN IDE NASIONALISME DALAM DINASTI TURKI UTSMANI
Di masa lalu dinasti Utsmani, seluruh wilayah kekuasaan tidak terikat oleh satu basis ideologi politik yang berpijak pada realitas empiris, seperti sejarah, etnisitas dan sosio–kultural, kecuali oleh doktrin muslim sunni–khilafah islamiyah. Oleh sebab itu, di masa rezim Utsmani Muda agama Islam memperoleh rumusan baru dan diletakkan sebagai supra–identitas bagi dinasti Utsmani. Tujuan utama perumusan tersebut adalah untuk mentransendensikan batasan-batasan alamiah dan sosio–kultural sehingga membentuk sebuah entitas masyarakat politik–muslim di bawah institusi khalifah–islamiyah.
Rumusan teologi-politis di atas tidak lain adalah sebagai sebuah usaha untuk mengatasi kemunduran dinasti Utsmani yang semakin tampak di depan mata. Hal ini sebagai akibat pergolakan sosial-politik di pelbagai wilayah propinsial dan semakin meningkatnya gerakan kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa ke Asia dan Afrika. Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan, di Eropa muncul ide dan gerakan nasionalisme yang terus memasuki negara-negara Balkan, sebuah kawasan propinsial dinasti Utsmani. Dinasti Utsmani dalam format dan konstalasi politik demikian, sangatlah tidak diuntungkan dan merasa terancam sehingga meski bergeliat mencari sebuah jalan keselamatan. Usaha-usaha mempertahankan dan mengembalikan kejayaan dinasti Utsmani pun semakin mendesak ketika bendera negara-negara Eropa, seperti Portugis, Spanyol, Inggris, Itali, Perancis, Jerman, dan Rusia terus menjarah ke pelbagai kawasan Asia dan Afrika.
Masyarakat Kristen Utsmani merupakan kelompok pertama yang menghidupkan semangat dan tujuan-tujuan nasionalisme serta mengusulkan bahwa sekumpulan individu yang memiliki kebersamaan etnis, linguistik serta keagamaan sudah seharusnya memiliki negara teritorial tersendiri. Ide dan gerakan tersebut muncul dan terus menguat di kawasan negara-negara Balkan dan Yunani. Kasus yang sama terjadi pula di Mesir, perkembangan ilmu Egyptologi dan kebudayaan Mesir telah merangsang ide serta pembentukan identitas kebangsaan, sehingga mereka berkeinginan untuk memisahkan diri dari Istanbul. Sementara bangsa-bangsa Arab pun terus bergolak menentang kekuasaan Istanbul yang dirasa tidak membawa mereka kepada suatu kesejahteraan, sehingga mendorong mereka merumuskan gagasan nasionalisme. Kekesalan bangsa-bangsa Arab tersebut nampak pula pada sikap para pemuda mereka di Paris yang mengumumkan sebuah nasionalisme Arab yang didukung Inggris dan Perancis dalam suatu konggres. Kecenderungan umum dalam imperium Utsmani semakin diperparah dengan kemunculan gerakan kebangsaan, seperti Pan–Kurdisme; sebuah gerakan yang bercita-cita untuk menyatukan bangsa Kurdi di Iran, Syiria, Turki serta di negara-negara Balkan.
Merespon fenomena tersebut, para sarjana dan elit dinasti Utsmani dengan segera merumuskan sebuah ideologi besar yang diharapkan mampu menjaga kelanggengan imperium dinasti Utsmani yang telah mendunia. Dalam waktu yang relatif singkat muncullah beberapa gagasan tentang ideologi pemersatu. Pertama adalah Utsmanisme, seperangkat ideologi yang dibangun untuk mengatasi kecenderungan disintegrasi dan separatisme imperium. Ideologi ini menggagas sebuah ikatan kebersamaan dan kesamaan sebagai rakyat Utsmani dan mengesampingkan perbedaan agama, etnisitas, dan sosio-kultural. Kedua muncul ideologi Islamisme yang lebih bersifat universal, melintasi klaim geografis dan batas territori wilayah kesultanan Utsmaniyah, menggagas khilafah islamiyah. Ideologi menekankan sebuah kesamaan identitas keagamaan–Islam sebagai sebuah nasionalitas. Ketiga adalah Pan–Turkisme yang lebih berorientasi kepada unsur etnisitas dan kultur Turki secara umum. Ideologi ini mengatakan bahwa semua etnis Turki di mana pun mereka adalah bangsa tunggal dan meski bersatu dan membentuk entitas sosio-politik di bawah imperium Utsmani di Anatolia. Dalam perkembangan selanjutnya, Islamisme merupakan ideologi yang cukup berpengaruh dan menjadi kebijakan politik luar negeri khalifah-sultan Utsmani di kemudian hari.
Ideologi Islamisme menguat di tahun 1914, ketika sultan dalam kebijakan luar negerinya menekankan isu-isu seputar kepentingan agama Islam dan eksistensi khilafah islamiyah. Sebuah gagasan tentang solidaritas muslim internasional dalam rangka menghadapi kekuatan bangsa-bangsa Eropa di hampir semua wilayah propinsial Utsmani. Dalam masa tersebut, Istanbul mengalami serangkaian kekalahan perang dan persaingan politik-ekonomi. Dalam konteks di atas, universalisme Islam dalam konstruk ideologi khilafah islamiyah telah menimbulkan serangkaian masalah yang besar. Hal ini lebih dikarenakan oleh kesibukan Istanbul dalam urusan internasional – sebagai konsekuensi logis dari peran pemimpin spiritual Dunia Muslim atau khilafah islamiyah – secara otomatis masalah dalam negeri agak terabaikan.
Setelah Utsmanisme, Turkisme dan Islamisme muncul sebuah ideologi nasionalisme lain yang diusung Zia Gokalp, seorang sarjana Turki. Nasionalisme Gokalp lebih bersifat realistik-empirik, menurutnya nasionalisme meski didasarkan pada ikatan dan persamaan identitas kultural yang bersifat unik, subjektif, muncul dalam lingkungan suatu masyarakat. Dalam pandangan Gokalp, sebuah nasionalitas bukan suatu komunitas religius yang diikat oleh persamaan agama serta kekeluargaan etnis yang diikat oleh adat-istiadat lama atau bukan pula sebuah ikatan suatu usaha-usaha di bidang sosial-ekonomi-politik. Dalam konteks ini, Gokalp menolak westernisasi yang berambisi meniru bangsa Eropa, Turkisme yang berupaya menghidupkan kembali adat etnis Turki pra-Islam, Islamisme yang menghidupkan Islam di masa lalu. Secara definitif, nasionalisme Gokalp adalah sebuah kolektivitas sosial yang meliputi keragaman pendidikan, memiliki bahasa, emosi, ideal-ideal, agama, moralitas, dan rasa estetika..
Dalam relatif waktu yang bersamaan, muncul usaha-usaha untuk mewujudkan agenda nasionalisasi dinasti Utsmani, di mana para ahli bahasa Turki terus berkonsentrasi terhadap reformasi bahasa. Di lain sisi, sarjana-sarjana Eropa telah berhasil mendalami bahasa dan kultur Turki dengan memperkenalkan gagasan tentang “Masyarakat Turki”, sehingga semakin mendorong serangkaian gerakan kampanye tentang tema-tema identitas kebangsaan di tingkat masyarakat bawah. Fenomena tersebut, merepresentasikan sebuah kesadaran kebangsaan Turki di tengah kegelisahan politik dan sekaligus sebagai respon masyarakat Turki terhadap marak dan menjamurnya gagasan nasionalisme di pelbagai kawasan. Ide tentang bangsa Turki merupakan usaha pembentukan identitas kewargaan baru yang berakar pada nilai-nilai kesejarahan Turki – Utsmani, bukan identitas kesejarahan Islam ataupun Turki pra–Islam.
Pada akhir dua dasa warsa pertama abad ke XX, dinasti Utsmani telah kehilangan seluruh daerah kekuasaan dan hanya menguasai Anatolia, dengan mayoritas warga Turki dan sebagian kecil warga keturunan Yunani, Kurdi, serta Armenian. Keterlibatan Istanbul dalam blok German pada Perang Dunia Pertama dengan kemenangan di pihak sekutu, semakin mempermudah pintu masuk kekuatan militer dan politik bangsa Barat, seperti Inggris, Perancis, dan disusul Amerika serta ambisi Yunani tentang romantisme di masa lalu terhadap wilayah kekuasaan Utsmani.
Pada bulan November 1918, armada kapal perang dan militer sekutu memasuki Istanbul. Kabinet Utsmani Muda – rezim yang sedang berkuasa – membubarkan serta mengundurkan diri, sebagian di antara mereka seperti Enver Pasya dan Jamal Pasya melarikan diri ke luar neger. Sementara Perdana Menteri baru terpilih langsung mengadakan perdamaian dengan sekutu. Cerita akhir dari Perang Dunia Pertama seolah-olah telah menunjukkan kegagalan Islamisme sebagai basis ideologi untuk mempertahankan eksistensi dinasti Utsmani. Dalam konteks tersebut, nasionalisme semakin menemukan bentuk dan momentum untuk menunjukkan peran fungsionalnya sebagai sebuah basis ideologi negara.

TRANSFORMASI DINASTI TURKI UTSMANI MENJADI SEBUAH NEGARA BANGSA REPUBLIK TURKI
Dalam kondisi sosial politik yang telah sangat terpuruk sebagai pendudukan sekutu atas wilayah Utsmani, Musthafa Kemal Attaturk tampil sebagai pahlawan bagi bangsa Turki. Attaturk bersama K. Karabiker berhasil membangkitkan identitas dan semangat kebangsaan dengan memposisikan ancaman militer sekutu sebagai antitesis. Karakiber dan Attaturk pun berhasil pula menyatukan pelbagai elemen masyarakat yang ingin merdeka dan menggerakkan mereka kepada gagasan nasionalisme yang lebih realistik setelah diilhami dari konsep nasionalisme Gokalp. Strategi Attaturk bersama kelompok nasionalis seperti Fuad, Refat, dan Rauf selanjutnya adalah mengobarkan Perang Kemerdekaan. Attaturk pun mendirikan pemerintahan baru di Ankara-Anatolia demi kepentingan politik dan pemerintahan yang serba darurat. Ia berdalih bahwa Sultan di Istanbul berada dalam kekuasaan Sekutu. Demi kepentingan kemerdekaan maka dibentuk “Himpunan Untuk Mempertahankan Hak-Hak Anatolia dan Rumelia” serta Majelis Nasional Agung. Dalam waktu yang relati singkat, kelompok nasionalis berhasil memenangkan serangkaian perang dan memaksa sekutu mengakui kedaulatan Turki di bawah rezim nasionalis di Ankara–Anatolia.
Fenomena di atas dengan segera direspon oleh para elit politik, birokrat dan militer serta intelejensia dari kubu nasionalis Turki yang untuk menstranformasikan dinasti Turki Utsmani dari rezim multi-nasional menjadi sebuah negara bangsa–Republik Turki. Dalam format di atas, elemen-elemen teori nasionalisme Gokalp menjadi landasan ideologis bagi perwujudan negara bangsa Turki, meskipun terdapat beberapa penyimpangan dalam kasus posisi agama Islam. Perubahan-perubahan pun dengan segera digulirkan, mulai Undang-Undang Dasar, Sistem Pemerintahan, Militer, Tata Negara, hingga Kewarganegaraan. Perombakan besar-besaran terjadi pada tahun 1922, di mana kesultanan Turki Utsmani dihapuskan dan dua tahun kemudian kekhalifahan Utsmani dibubarkan. Pada tahun yang sama, Undang-Undang Dasar Turki disyahkan, dengan tegas dinyatakan dalam pasal 1, bahwa negara Turki adalah Republik, Nasionalis, Kerakyatan, Kenegaraan, Sekularis, Revolusionis, dan dinyatakan pula dalam pasal 3 bahwa Kedaulatan dengan tanpa syarat berada di tangan bangsa.
Nasionalisme yang muncul dan tumbuh subur di Turki nampak telah dijembatani oleh serangkaian peristiwa sosial-politik dalam sebuah dialektika sejarah yang dilakukan dengan kesadaran rasionalitas. Hal ini dilakukan dengan merumuskan ciri-ciri objektif akan identitas kebangsaan yang meliputi bahasa, asal-usul geneologi, sejarah sehingga memungkinkan individu sebagai satuan rakyat memberikan dasar pembenaran rasional dari tuntutan untuk menentukan nasib sendiri dalam sebuah kesadaran bernegara. Namun dalam perkembangan sejarah Turki, paham kebangsaan dalam ide nation model Turki ini tumbuh dalam sebuah kontradiksi ketika pemimpin berlaku otoriter – bukan berlaku demokratis – sebagaimana nampak dalam kepemimpinan Kemal Ataturk. Ghia Nodia mengatakan bahwa bangsa adalah sebutan lain dari untuk “kami sang rakyat”, sehingga nasionalisme harus bersinergi dengan demokrasi, bukan pemberlakuan sebuah otoritarianisme penguasa.
MASALAH REPUBLIK TURKI DAN AGAMA ISLAM
Secara teoritik, ideologi nasionalisme Gokalp dan Attaturk telah memberikan saluran bagi proses transformasi khilafah dinasti Utsmani menjadi republik Turki. Kasus di atas merupakan sebuah fakta yang sangat mengejutkan musuh-musuh Turki dan terlebih lagi Dunia Muslim, akan tetapi mengingat kontekstualitas dan kompleksitas masalah yang mengitari dinasti Utsmani, ketetapan tersebut cukup realistik. Meskipun demikian, republik Turki masih menghadapi pelbagai persoalan yang meski diselesaikan demi mempertahankan eksistensi Turki sebagai negara bangsa. Masalah ini terkait dengan Islam sebagai sebuah institusi agama yang telah mengakar kuat dalam sistem sosial dan budaya masyarakat Utsmani.
Di masa kekhalifahan, agama Islam merupakan basis dasar bagi pembentukan tatanan institusional dan struktural dinasti Utsmani. Dalam Konstitusi 1876 disebutkan bahwa dinasti Utsmani adalah Kerajaan Islam. Merujuk pada konstitusi tersebut maka syari`at meski menjadi landasan hukum dan perundang-undangan bagi pelaksanaan kehidupan Negara dan pemerintahan. Dalam konteks ini – terkait dengan kebutuhan interpretatif terhadap teks – ulama memiliki peran dan fungsi utama dalam Kerajaan Utsmani. Di lain sisi, konsep agama dan negara menjadi tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Hal ini tidak selaras dengan ide nasionalisme yang menjadi fondasi utama republik Turki, sehingga mengharuskan Attaturk untuk mengakhiri institusi sultan–khalifah Utsmani melalui agenda sekulerisme serta revolusionisme. Dalam nasionalisme model Gokalp dan Attaturk, rakyat lah sebagai pemegang kedaulatan dan penguasa bertanggungjawab kepada rakyat melalui parlemen.
Institusi Syaikh al-Islam merupakan satu kasus lain yang tidak dapat dipertahankan dalam konteks negara republik Turki. Dalam format Utsmaniyah, Syaikh al-Islam berada pada fungsi eksekutif akan tetapi dengan kapasitasnya sebagai institusi agama, ia dapat memberikan fungsi kontrol terhadap institusi yudikatif dan legislatif. Secara struktural–konstitusional, produk hukum Syaikh al-Islam menjadi kerangka acuan normatif bagi kebijakan politik dan pemerintahan yang dijalankan perdana menteri atau shadr al-a`dham dan bahkan sultan sekalipun.
Pada dataran sosial politik, rezim Turki mengeliminasi UU Pidana dan Perdata, serta Perdagangan yang berasaskan Islam dan sebagai ganti diadopsi UU dari Eropa, seperti UU Pidana Itali, UU Pidana Swis, serta UU Perdagangan Jerman. Sekolah-sekolah agama ditutup diganti sekolah moderen dengan tanpa pelajaran ilmu agama. Secara kultural, simbol-simbol Islam pun dilarang diganti dengan simbol-simbol dari budaya masyarakat Eropa. Alfabet dari Arab dan Persi diganti dengan Latin, sementara kosa kata Arab dan Persi diganti Turki. Secara keras pemerintah pun melarang pelbagai aktivitas kelompok keagamaan atau ketharikatan. Secara keseluruhan, kebijakan ini diarahkan untuk melenyapkan tatanan simbol kultural–Islam, membentuk identitas nasional Turki yang moderen konstruk rezim Attaturk. Dalam kasus ini, Attaturk banyak berbeda dengan Z. Gokalp yang tetap mengatakan bahwa nasionalisme Turki bukan pembaratan, terlebih membuang Islam.
Secara keseluruhan di masa dinasti Utsmaniyah, agama tidak memiliki batas ruang dan hampir selalu menelusup dan memberikan dasar legitimatif terhadap konsep-konsep politik dan normatifitas tatanan institusional dan struktural rezim Utsmani. Logika tersebut, berbeda ketika dinasti Utsmani berdiri sebagai negara Republik Turki, dalam kasus ini logika sekuler menjadi dominan menggeser peran–fungsional agama. Sebagai konsekuensi logis, maka Perang Saudara pun tidak terelakkan antara pro sultan–khalifah yang merepresentasikan kelompok islamisme menghadapi kubu pro negara–bangsa yang merepresentasikan kelompok sekuleris.
Fenomena perlawanan kelompok islamisme sebagai tandingan begi rezim Attaturk pun terus berlangsung mengiringi sejarah awal republik Turki. Serangkaian pemberontakan muncul di tahun 1930, 1933, dan 1935 yang dilancarkan oleh kelompok keagamaan tharikat Naqsabandi, terutama pimpinan Said Nursi. Dalam batas tertentu, Attaturk telah bertindak terlalu jauh terhadap agama Islam, sehingga memunculkan kekecewaan masyarakat muslim. Secara umum, kekacauan sosial politik yang dilatarbelakangi isu agama sepanjang kepemimpinan Attaturk merepresentasikan sebuah perlawanan terhadap rezim nasionalis sekuler yang telah mendomestisasikan atau mengasingkan agama dari ranah publik dalam sebuah masyarakat relijius.
Dalam rangka mengatasi kekacauan politik dalam negeri, Dewan Nasional Agung mengesahkan sebuah Undang-Undang untuk memelihara ketertiban nasional. Sebuah Undang-Undang yang membolehkan rezim Attaturk untuk berlaku diktaktor terhadap segala sesuatu yang menghambat cita-cita nasionalisme. Tindakan serba militer pun segera dipraktikkan terhadap pelbagai gangguan nasional. Dalam format demikian, rezim Attaturk menjadi kebal terhadap perselisihan internal dan relatif stabil. Meskipun ketetapan Dewan Nasional tersebut bertentangan dengan sistem pemerintahan Turki yang menganut demokrasi dan parlemen, Attaturk hampir berkuasa tanpa pihak oposisi yang efektif hingga akhir kekuasaannya. Dalam masa itu, hampir dipastikan muslim Turki mengalami keterputusan generasi dan Islam seolah-olah terlupakan.
Setelah Attaturk meninggal di tahun 1938, Ismet Inonu – koleganya yang setia – memegang kepemimpinan Turki, terjadi sebuah perubahan iklim politik baru. Pergeseran iklim politik tersebut semakin menguat seusai Perang Dunia Kedua dengan ditandai berakhirnya pemerintahan sistem satu partai menuju multi partai. Amerika Serikat – setelah Perang Dunia Kedua berperan sebagai pengaman politik dan pembangunan ekonomi Turki – mulai mengurangi politik model kultur paternalistik. Angin segar demokrasi ini memberikan keuntungan bagi gerakan-gerakan muslim di tingkat masyarakat bawah. Di tahun 1950, kubu pro Attaturk berhasil dikalahkan dalam sebuah pemilu oleh partai Demokrat. Rezim partai Demokrat masa kepemimpinan Adnan Menderes mengawali sejarah baru bagi kehidupan demokrasi negara Turki. Pelbagai isu sosial politik pun secara terus menerus mengalami pengendoran dari kontrol pemerintah. Kehidupan keagamaan masyarakat muslim dengan segera memperoleh kembali beberapa hak dan kebebasan mereka walaupun elit sekuler Turki selalu menaruh sikap curiga.
PENUTUP
Dinasti Utsmani dengan khilafah islamiyahnya merupakan simbol kesatuan serta kekuatan politik muslim yang terakhir dan mungkin institusi tersebut tidak akan muncul kembali dalam sejarah peradaban muslim. Dalam masa Utsmani – secara ideologis – telah meletakkan agama Islam sebagai supra–identitas yang mentransendensikan pelbagai perbedaan dan batasan-batasan alamiah, sejarah dan sosio–kultural membentuk sebuah entitas masyarakat politik–muslim di bawah institusi khalifah–islamiyah. Memasuki abad moderen, kemegahan Dinasti Utsmani pun berakhir ketika tekhnologi dan ilmu pengetahuan terus berkembang, merangsang kebangkitan ekonomi dan militer, diikuti persaingan politik dan semangat nasionalisme di pelbagai kawasan.
Dalam batas tertentu – sebagaimana di atas – seolah-olah sejarah republik Turki telah menggambarkan sebuah ketegangan antara agama dan ide negara bangsa. Islam dalam tafsir ideologi mereka dianggap tidak berhasil menyelesaikan pelbagai persoalan sosial politik yang tumbuh di dalam masyarakat moderen. Ideologi Islamisme model Utsmani Muda telah gagal memenangkan Dinasti Utsmani dalam percaturan politik lokal dan global, sehingga memetik kehancuran. Dalam format demikian, transformasi menuju sebuah negara bangsa untuk mempertahankan eksistensi masyarakat Turki yang merdeka adalah sebuah jawaban .
Nasionalisme merupakan sebuah jawaban terhadap pelbagai persoalan Dinasti Utsmani, meski dengan sadar Islam ditinggalkan. Melalui nasionalisme diharapkan muncul suatu kristalisasi identitas yang diarahkan untuk membangun masyarakat dan sekaligus menghadapi ancaman dari luar dan dalam negeri. Hal ini dilakukan dengan merumuskan ciri-ciri objektif akan identitas kebangsaan yang meliputi bahasa, asal-usul geneologi, sejarah, dan sosio-kultural sehingga memungkinkan individu sebagai satuan masyarakat memberikan dasar pembenaran rasional dari tuntutan untuk menentukan nasib sendiri terkait di masa mendatang dalam sebuah kesadaran bangsa yang bernegara. Ide dan gagasan islamisme yang bersifat universal telah merepotkan dan membawa masyarakat Turki dalam masalah yang serius, sehingga Dunia Muslim pun harus memaklumi permasalahan dan kepentingan bangsa Turki.
DAFTAR PUSTAKA
`Abd al-Raziq, Ali. al-Islam wa Ushul al-Hukm; Bahs fi al-Khilafah wa al Hukumah fi Islam. Mesir: tt.p., 1925.
Arif, Abd. Salam. “Politik Islam antara Aqidah dan Kekuasaan Negara” dalam Negara Tuhan. Yogyakarta: SR-Ins Publissing, 2004.
Azra, Azyumardi. Renaisans Islam Asia Tenggara. Bandung: Risdakarya, 2000.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Moderenisme, hingga Psot Moderenisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
van, Dijk. “Ketakutan Penjajah, 1890-1918 Pan Islamisme dan Persekongkolan Jerman-India” dalam Tiga Kekacauan dan Kerusuhan, terj. Lilian D. T. Jakarta: INIS, 2003.
Geerts, Clifford. Ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara Baru, edt. Juwono S. Jakarta: Yayasan Obor, 1985.
Nasution, Harun. Pembaruan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Pergerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.Hitti,
Philip K. History of Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dkk. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
H. Davidson, Roderic. Turkey.New Jersey: Prentice Hall, ttt. dan Demokrasi, terj. Somardi.Bandung: ITB Press, 1998.
Hourani, Albert. Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, terj. Irfan Abu Bakar. Bandung: Mizan, 2004.
Ibrahim Hasan, Hasan. Sejarah dan Kebudayaan Islam.Yogyakarta: Kota Kembang, 1989
Khairuddin, Nasution. Fadhlurrahman tentang Wanita. Yogyakarta: Tazzafa&Academia, 2002.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam, terj. M. Ghufran jilid tiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah. Beirut: al-Maktabah al-Islamiyah, 1996.
Morgan, Kenneth W. Islam Jalan Lurus, terj. Abu Salam. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Morgenthau, Hans J. Politik antar Bangsa, terj. A.M. Fatwan. Jakarta: Yayasan Obor, 1991.
Mukti Ali, H.A. Islam dan sekulerisme di Turki Moderen. Jakarta: Djembatan, 1994.
Naquib al-Attas, Syed Muhammad. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan, 1990.
Nodia, Ghia. “Nasionalisme dan Demokrasi” dalam Nasionalisme, Konflik Etnik, Rauf, Mas`udi. Konsensus Politik. Jakarta: Dep. Pendidikan Nasional, 2002.
Sartono, E. Kus Eddy. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: UNY Press, 2002.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1993.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik. Jakarta: Kencana, 2003.
Stoddard, Lothrop. Dunia Baru Islam, terj. S, Gazalba dkk. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Tim Redaksi, Islam, Negara dan Hukum, terj. Syamsul Anwar. Jakarta: INIS, 1993.
Toprak, Binnaz. Islam dan Perkembangan Politik di Turki, terj. Karsidi Diningrat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Yatim, Badri. Sejarah Pradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998.
Watt, W. Mongomery. Islamic Political Thought. Edinburg: Edinburg University Press, 1968
W. Arnold, Thomas. The Caliphate. London: Routledge, 1965.
W. Morgan, Kenneth. Islam Jalan Lurus, terj. Abu Salam. Jakarta: Pustaka Jaya, 1980.
Biografis Penulis
Abu Bakar lahir di Magelang Jawa Tengah, 29 Oktober 1978. menyelesaikan studi S1 pada fakultas Adab Jurusan Sejarah Peradaban Islam di UIN Sunan Kalijaga pada tahun 2004. Sekarang sedang menyelesaikan studi S2 di pada fakultas Hukum Islam Konsentrasi Ilmu Politik dan Pemerintahan dalam Islam di kampus yang sama. Pada tahun 2001 aktif sebagai pengurus di BEMJ untuk bidang Penelitian Sejarah. Di tahun 2003, terpilih sebagai Ketua Organisasi Mahasiswa Keturunan Arab-ba`Alawi di Jogjakarta (AL-AMIN) dan sampai sekarang menjadi Penasehat. Di tahun yang sama aktif sebagai Ketua Mahasiswa Jogjakarta Alumni MAN Kab. Magelang. Sejak tahun 2005 sampai sekarang menjadi Penasehat-Luar untuk Rukun Rencang – sebuah organisasi keagamaan Mahasiswa UII Jogjakarta.

Politik Islam

Friday, 18 December 2009


APLIKASI KONSEP WILAYATUL FAQIH DALAM
SISTEM PEMERINTAHAN IRAN MODERN
A. Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran
1. Pencantuman Wilayatul Faqih dalam Konstitusi Iran
Dalam bab terdahulu telah dijelaskan bahwa revolusi Islam Iran yang terjadi pada akhir dekade 70-an, telah berhasil meruntuhkan kekuasaan monarki absolut yang telah dikuasai oleh Dinasti Pahlevi. Revolusi Islam ini telah melahirkan paradigma baru mengenai sistem pemerintahan di Iran. Sistem politik dan bentuk negara Iran berubah, dari monarki absolut menjadi sebuah republik Islam. Perbedaan yang paling mencolok di antara keduanya adalah, jika sebelum revolusi Iran merupakan sebuah negara sekuler, maka Iran pasca-revolusi bisa disebut sebagai sebuah negara “teo-demokratis” yang didominasi kaum Mullah (ulama Syi'ah).[1]
Sistem pemerintahan Republik Islam Iran adalah sistem wilayatul faqih yang diatur berdasarkan prinsip-prinsip pemerintahan (wilayatul al-amr), dan kepemimpinan agama. Dalam konstitusi Iran, Undang-Undang Dasar harus mempersiapkan lahan bagi seorang faqih yang memenuhi persyaratan yang diakui sebagai pemimpin oleh rakyat. "Pengaturan urusan-urusan adalah di tangan orang-orang yang alim tentang Allah, yang terpercaya dalam urusan yang menyangkut apa yang dihalalkan dan di haramkan Allah” (Hadits), sebagai bagian dari kewajiban Islam yang sejati, untuk mencegah setiap penyelewengan oleh berbagai organ negara dan tugas-tugas Islam yang hakiki.[2]
Imam Khomeini yang mempunyai peran sangat penting terhadap berdirinya Republik Islam Iran. Dibawah pimpinan Khomeini, seorang pemimpin besar keagamaan yang keputusan-keputusannya diikuti, menyadarkan perlunya gerakan mengikuti akidah Islam yang sejati dalam perjuangannya. Rencana pemerintahan Islam yang didasarkan wilayatul faqih yang kemudian disarankan oleh Imam Khomeini pada puncak rezim despotik Pahlevi, memberikan motivasi dan harapan yang jelas terhadap masyarakat Iran akan adanya perubahan pemerintahan di Iran.
Bulan Januari 1979, ketika menulis gagasannya mengenai draft konstitusi pemerintahan Islam di tempat pengasingannya di Paris, Imam Khomeini ditanya mengenai bentuk negara dan pemerintahan Islam apa yang di cita-citakannya, ia menjawab, "seperti sepuluh tahun pemerintahan Rasulullah atau lima tahun pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib". Bagi Imam Khomeini, "Negara Islam" seperti Arab Saudi, Libia dan lainnya bukanlah contoh dari sebuah negara Islam yang berhasil dan patut ditiru.[3]
Menurut Khomeini bentuk pemerintahan Islam setidaknya mencakup dua kriteria, Pertama, pemerintahan tersebut harus didasarkan pemilihan umum. Khomeini mengatakan; "Seluruh anggota masyarakat ikut bertanggungjawab atas terpilihnya seseorang yang mampu dan bersedia membentuk republik tersebut. Seluruh rakyat memiliki hak untuk memilih dengan bebas".[4]
Kedua, mengenai orang yang terpilih dan doktrin politik, ekonomi atau atau masalah sosial lainnya, akan didasarkan pada ajaran Islam. Khomeini mengatakan;
"Dalam pemerintahan yang demikian, pemerintah harus senantiasa melakukan hubungan permanen dengan dewan hasil pilihan rakyat, yang bila mereka tidak menyetujui mengenai suatu hal, pemerintah tak bias mengambil keputusan sendiri. Dan ia yang dipilih rakyat untuk memimpin pemerintahan Islam harus benar-benar memiliki berbagai kondisi yang menjamin kepatuhan kepada rakyat Islam dan bukan mewakili sekelompok minoritas. Sedangkan konstitusi dalam pemerintahan itu dibuat dengan prinsip-prinsip yang benar-benar terbukti berasal dari Qur'an dan tradisi Islam".[5]
Masih pada tahun 1979, pasca terjadinya revolusi, rumusan rancangan Konstitusi RII yang telah ditulis sejak Imam Khomeini di Paris kemudian diumumkan. Begitu juga rancangan UUD rumusan Dewan Revolusi (rancangan keempat) yang menjadikan semua rumusan sebagai masukannya. Rumusan yang berisi 12 bab dan 151 pasal itu kemudian dipublikasikan kepada masyarakat. Pasal ke-3 dan ke-15 rumusan ini menyebutkan bahwa suara mayoritas merupakan prinsip negara dan kedaulatan berada di tangan rakyat. Sementara keislaman sistem negara didukung oleh Dewan Garda Republik Islam Iran. Namun di sana tidak tercatat kata wilayatul faqih.
Imam Khomeini kembali memberikan waktu selama kurang lebih 1 bulan kepada seluruh komponen masyarakat untuk memberikan masukan. Sejarah mencatat bahwa pada musim panas tahun 1979, media massa dipenuhi oleh berbagai macam pandangan. Mereka yang berlatar belakang agama memberikan penekanan lebih atas pengawasan faqih terhadap sistem negara dibanding konstitusi bersyarat yang dihasilkan oleh revolusi konstitusi. Perlahan-lahan kondisi ini bergeser dan mulai bermunculan pandangan dari sebagian mereka, baik yang bukan dari kalangan rohaniwan. Mereka bersama-sama dengan para maraji’ memunculkan ide wilayatul faqih. Dan masalah ini terus bergulir bagai bola salju yang pada akhirnya mereka meminta agar wilayatul faqih dimasukkan ke dalam rumusan UUD Republik Islam Iran.[6]
Salah satu surat kabar harian di Iran yaitu Kaihan sempat memuat makalah terperinci tentang masalah wilayatul faqih dan kaitannya dengan UUD RII. Begitu juga Ayatullah Syariat Madari dalam komentarnya, menyebutkan; Kewajiban maraji’ adalah menuntun, memandu dan menjaga. Mereka tidak ikut dalam pemerintah. Wali faqih sendiri tetap ada pada kondisi di mana ia dituntut untuk hadir.” [7]
Menurut Saleh Lapadi, paling tidak ada tiga marja’ yang berpengaruh di antara maraji’ Qom turut memainkan peran yang sangat penting bagi dimasukkannya prinsip wilayatul faqih ke dalam UUD RII. Pertama, Ayatullah Golpaigani. Beliau dalam manifestonya berkata:
“Bila UUD secara sempurna tidak sesuai dengan undang-undang syariat maka UUD seperti itu tidak boleh ditulis. Dan jika masalah asas negara yang berlandaskan sistem Imamah dan wilayatul faqih tidak dijelaskan dalam UUD, maka negara berdasarkan thagut dan zalim.”
Kedua, Ayatullah Muntazeri yang mengeluarkan statemen berpengaruh dalam sejarah dicantumkannya kata wilayatul faqih dalam UUD. Ringkasnya beliau menyebutkan:
“…suara mayoritas berdasarkan hukum pemberi hidup Islam sebagai dasar negara...Pada zaman kegaiban besar Imam, maka wilayah (kekuasaan) berada pada mereka yang memiliki syarat-syarat berikut ini: (1) Orang yang memiliki kemampuan dalam masalah agama dan mujtahid; (2) Adil dan bertakwa; (3) Menguasai isu-isu dan dinamika politik”
Ketiga, statemen yang muncul dari usulan-usulan Ayatullah Mar’asyi Najafi. Salah satu usulan beliau agar wilayatul faqih ditambahkan dalam UUD adalah; “Wilayatul faqih yang memenuhi segala syarat (jami’us syarait) di setiap masa adalah standar yang tidak dapat diganggu gugat”. Fatwa-fatwa ini kemudian diikuti oleh ulama lain dan masyarakat yang sejak awal dekat dengan mereka dan semakin memperkuat tekanan untuk memasukkan kata wilayatul faqih ke dalam rancangan UUD. Ditambah kelompok-kelompok lain di luar garis rohaniwan yang ikut mendukung usulan ini.[8]
Sejak perintahnya untuk menyiapkan rumusan UUD RII, sikap Imam Khomeini sebagai founding father revolusi tetap berada pada jalurnya. Beliau mengamati proses penulisan rumusan-rumusan yang ada secara detail dan memberikan masukan poin-poin mana yang sesuai dengan Islam dan mana yang tidak. Pidato-pidatonya selalu berisikan pencerahan bahwa yang diinginkan adalah Islam. Secara perlahan-lahan beliau mengharapkan kesadaran masyarakat dan kaum elit untuk tetap berada pada jalur Islam. Hal ini untuk juga dimaksudkan untuk mengurangi tekanan dan pengaruh pemikir-pemikir Iran yang telah terbaratkan.[9]
Peran ini secara cerdas dimainkan oleh Imam Khomeini hingga pada hari terakhir pengumuman untuk mengusulkan poin-poin penting sejalan dengan draft UUD RII. Dalam tanggapannya terhadap kalangan rohaniwan yang kecewa mengapa kata wilayatul faqih tidak dicantumkan dalam rumusan UUD RII beliau menyampaikan sikapnya dengan ucapan yang sangat arif namun memberikan jawaban yang sesungguhnya. Khomeini menjawab; “Masalah wilayatul faqih adalah sekian dari masalah yang saat ini tidak tepat bila saya ikut campur tangan, karena satu dan lain hal”.
2. Asas-Asas Umum Konstitusi Iran
Dalam buku Hukumat-i Islami, Imam Khomeini berpendapat bahwa Islam bukan sekedar agama etika (ethical religion) tetapi di dalam Islam terkandung seluruh hukum dan prinsip-prinsip yang diperlukan bagi pemerintahan dan administrasi sosial. Karena itu, pemerintaan Islam yang benar adalah sebuah pemerintahan konstitusional dengan Qur’an dan Hadis sebagai konstitusinya. Kendati tidak ada aturan khusus di dalam Qur’an dan Hadits bagi ditegakannya suatu pemerintahan selama kegaiban al-Mahdi, tatanan sosial diperlukan bagi pelaksanaan syariat
Pemerintahan Islam adalah pemerintahan rakyat dengan berpegang kepada hukum Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya pembuat undang-undang. jadi sebagai ganti badan pembuat undang-undang dibentuklah sebuak ”dewan perencanaan” untuk mengawasi hasil kerja berbagai departemen. Tapi kepala pemerintahan, pemimpin tertinggi haruslah seorang faqih, seorang ahli dalam hukum Tuhan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah.[10]
Berdasarkan Asas-Asas Umum Konstitusi Iran, bentuk Pemerintahan Iran adalah Republik Islam, yang telah disepakati oleh rakyat Iran, berdasarkan keyakinannya yang abadi atas pemerintahan Al-Qur’an yang benar dan adil, menyusul revolusi Islam yang jaya yang dipimpin oleh Ayatullah al-’Uzma Imam Khomeini, yang dikukuhkan oleh referendum nasional yang dilakukan tanggal 29 dab 30 Maret 1979 bertepatan dengan 1 dan 2 Djumadil Awal tahun 1399 H, yang ditentukan oleh mayoritas 98, 2% dari jumlah suara orang-orang yang berhak memilih memberikan suara persetujuannya.[11]
Republik Islam Iran menerapkan suatu sistem yang berasaskan hal-hal sebagai berikut;[12]
1. Tauhid atau Ketuhanan Yang Maha Esa (seperti yang terpantul dari kaimat ‘Laailaaha illallāh’). Kemahakuasaan-Nya dan Syari’at-Nya hanyalah milik-Nya semata-mata dan kewajiban mentaati perintah-Nya.
2. Wahyu Ilahi dan peranannya yang mendasar dalam mengekspresikan dan menetapkan hukum perundang-undangan.
3. Qiyamah (kebangkitan di akhirat) dan peranan konstruktifnya dalam evolusi menuju Tuhan yang berarti kembali kepada Allah di alam Baka’
4. Keadilan Allah dalam Penciptaan dan Syari’ah
5. Imamah dan Kepemimpinan positifnya serta peranannya yang terus menerus dalam kelanjutan Revolusi Islam.
6. Keagungan martabat dan nilai- nilai luhur kemanusiaan yang ada pada manusia dan kehendak bebas bersama tanggung jawab yang berkaitan dengan itu dihadapan Tuhan, yang mempersiapkan tegaknya keadilan, kemerdekaan politik, ekonomi, sosial dan kultural, serta kesatuan nasional, melalui hal-hal sebagai berikut:
a. Praktek ijtihad yang berlanjut dari fuqaha yang memenuhi syarat berdasarkan Al-Qur’an, Hadits Nabi dan para Imam
b. Memanfaatkan pengetahuan dan teknologi serta pengalaman-pengalaman insani yang telah maju serta usaha-usaha yang dilakukan ke arah pengembangannya untuk terus memajukannya.
c. Menghapus segala macam penindasan serta penyerahan kepada penindasan, menghapus tirani dalam penerapan maupun penerimaannya.
3. Bentuk Pemerintahan Iran
Mengenai Bentuk Pemerintahan Iran, semenjak kemenangan revolusi Islam tahun 1979, Imam Khomeini dan para founding father Republik Islam Iran dengan penuh kesadaran memilih bentuk republik. Di satu sisi jelas ini merupakan bukti bahwa mereka tidak tertutup dari gagasan politik baru, di sisi lain ini merupakan bantahan terhadap tuduhan bahwa para tokoh revolusi Iran bermaksud menarik Iran mundur ke jaman abad pertengahan. Republik dipilih tentu saja karena bentuk pemerintahan ini dianggap bisa menjadi wadah bagi pemahaman mereka mengenai tata cara pengaturan negara modern yang sejalan dengan konsep Islam mengenai masalah ini[13]. Meskipun dalam kenyataannya ada banyak hal penting yang perlu diperhatikan.
Konsep republik, sebagaimana di terapkan dalam Republik Islam Iran, telah di modifikasikan dengan konsep kepemimpinan wilayatul faqih, atau pemerintahan para ulama. Modifikasi ini menyentuh ketiga sendi sistem republik, meliputi institusi-institusi -eksekutif, legislatif, dan yudikatif- yang biasa disebut Trias Politika. Hal ini dirasa perlu, mengingat pada sistem ini konsep kepemimpinan Islam - apakah itu namanya wilayah atau imamah - tidak cukup terwakili di dalammya. Ada batas-batas, sebagaimana diatur menurut konsep Trias Politika, yang didalamnya kekuasaan eksekutif ditundukan oleh kekuasaan legislatif. Demikian pula kekuasaan yudikatif mempunyai batas-batasnya sendiri yang membuat mereka tidak leluasa untuk menerapkan hukum Islam[14].
Dalam hal persetujuannya dengan konsep demokrasi, di mana ditunjukan dengan istilah-istilah "republik", konstitusi, parlemen dan pemilu yang ada dalam system pemerintahan Republik Islam saat ini bukan terletak pada kesepakatannya secara substansial mengenai makna sebagaimana dipahami Barat. Menurut Khomeini sekalipun pemerintahan ini adalah pemerintahan rakyat, tetapi sumber hukum berasal dari Tuhan. Karena itu konstitusi maupun peraturan perundang-undangan haruslah mengacu kepada hukum-hukum Tuhan, yang tertera pada al-Qur'an dan Hadits serta Ijtihad ulama dalam hal ini faqih.
Menurut Imam Khomeini, negara Islam adalah negara hukum. Pemerintahan Islam adalah pemerintahan konstitusional, namun pengertian konstitusional dengan negara hukum di sini berbeda dengan apa yang selama ini dikenal. Pengertian konstitusional yang merujuk pada "hukum yang disesuaikan dengan pendapat mayoritas", tidak dikenal dalam sistem pemerintahan Islam, karena dalam pemerintahan Islam hukum sudah ada, yaitu hukum Tuhan. Dengan kata lain Tuhanlah pemegang kekuasaan legislatif-disamping sebagai pemegang kedaulatan- tertinggi yang sebenarnya, bukan parlemen.[15]
Singkatnya di dalam pemerintahan Islam, jika kekuasaan eksekutif dan legislatif ada pada faqih atau fuqaha yang menjalankan fungsi selaku wakil para Imam, maka kekuasaan legislatif sepenuhnya berasal dari hukum Tuhan. Oleh sebab itu pemerintahan Islam juga disebut sebagai pemerintahan hukum Tuhan atas manusia. Tetapi, bukan berarti tidak diperlukan adanya parlemen. Parlemen diperlukan guna "menyusun program untuk berbagai kementerian berdasarkan ajaran Islam dan menentukan bentuk pelayanan pemerintahan di seluruh negeri".[16]
Sesuai dengan tujuan dan misinya, pemerintahan memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut: (1) mempertahankan lembaga-lembaga hukum Islam; (2) melaksanakan hukum Islam; (3) membangun kembali tatanan yang adil; (5) memungut dan memanfaatkan pajak sesuai dengan ajaran Islam; (6) menentang segala bentuk agresi, mempertahankan kemerdekaan dan integritas territorial tanah Islam; (7) memajukan pendidikan; (8) memberantas korupsi dan segala jenis penyakit sosial lainnya; (9) memberikan perlakuan yang sama terhadap semua warga negara tanpa diskriminasi; (10) memecahkan masalah kemiskinan; dan (11) memberi pelayanan kemanusiaan secara umum.[17]
B. Struktur Politik dan Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara dalam Sistem Pemerintahan Iran Modern
1. Struktur Politik Iran Pasca Revolusi
Kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran, berada di tangan Imam (pemimpin dalam arti pemimpin spiritual bukan imam sebagaimana keyakinan umat Syi'ah) atau dewan kepemimpinan (Syura-e-rahbari). Hal ini memang sesuai dengan mazhab ajaran Syi'ah yang menerapkan prinsip imamah (keimaman) sebagai salah-satu ajaran utamanya.[18] Pasal 5 Konstitusi Iran 1979 menyebutkan:
“Selama ketidakhadiran Imam yang kedua belas (semoga Allah mempercepat kedatangannya, dalam Republik Islam Iran, kepemimpinan urusan-urusan dan pimpinan ummat merupakan tanggung jawab dari seorang faqih (ahli hukum Islam) yang adil dan taqwa, mengenai zaman, pemberani, giat dan berinisiatif yang dikenal dan diterima oleh mayoritas ummat sebagai imam (pemimpin) mereka. Apabila faqih seperti itu tidak mempunyai mayoritas semacam itu, suatu Dewan Pimpinan yang terdiri dari para fuqaha yang memenuhi syarat-syarat tersebut diatas akan memegang tanggungjawab itu”.
Selanjutnya dalam pasal 107 disebutkan antara lain,
“Jika seseorang ahli agama memenuhi syarat-syarat yang disebutkan dalam Pasal 5…sebagaimana halnya otoritas keagamaan yang menonjol (marja’i) dan pemimpin Revolusi Ayatullah Uzma Imam Khomeini. Pemimpin ini berkedudukan wilayatul faqih…apabila tidak demikian halnya maka tiga atau lima marja’i yang memenuhi syarat-syarat kepemimpinan akan dipilih untuk jabatan anggota dewan pimpinan dan diperkenalkan kepada rakyat”.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut. Jelas kekuasaan tertinggi di Republik Islam Iran berada di tangan Imam. Semasa hidupnya Khomeini selain berkedudukan sebagai Imam, juga sebagai wilayatul faqih. Kekuasaan Imam atau pemimpin tidak diperoleh melalui suatu pemilihan umum, tetapi melalui suatu aklamasi dari rakyat. Ayatullah Imam Khomeini, misalnya muncul sebagai penguasa tertinggi, karena dinilai berhasil memimpin revolusi Islam yang menggulingkan rezim monarki Syah Iran dan membentuk sebuah republik Islam, sehingga Khomeini juga mendapat gelar sebagai “ Pemimpin Revolusi Islam Iran” dan “Bapak Pendiri Republik Islam Iran”.[19] Meskipun demikian walaupun Khomeini tidakmemegang jabatan formal, baik sebagai Presiden ataupun Perdana Menteri, tetapi kekuasaan Khomeini sangatlah besar.[20]
Munculnya Khomeini sebagai pemimpin kharismatis, yang dapat mempersatukan rakyat Iran, di sisi lain menimbulkan kesulitan bagi para pemimpin Iran dalam mencari penggantinya. Pasal 5 dan 107 Konstitusi Iran 1979 bahkan menyebutkan bahwa dalam hal tidak ada seorang yang dianggap tepat untuk menggantikan Khomeini, maka harus dibentuk suatu Dewan Kepemimpinan (Council of Leadership) yang terdiri dari tiga atau lima orang ulama, untuk menggantikan posisi Imam Khomeini jika ia meninggal.[21]
Kekuasaan Imam sangatlah besar seperti terlihat dari sejumlah wewenang yang dimilikinya, sebagaimana tercantum dalam pasal 110 yang antara lain menyebutkan: mengangkat fuqaha anggota Dewan Perwalian (Shuraye-Nigahban);[22] mengangkat pejabat kehakiman tertinggi negara; mengangkat dan memberhentikan Kepala Staf Gabungan dan Komandan Korps Garda Revolusi Islam; membentuk Dewan Tertinggi Pertahanan Nasional; menyatakan perang dan damai; serta mengesahkan dan memberhentikan presiden.[23]
Pada masa Kekuasaan Imam Khomeini, ada tiga lembaga yang sangat penting yang ada dalam pemerintahan Republik Islam Iran, yaitu: Dewan Revolusi Islam (Revolutionary Council), Partai Republik Islam (Islamic Republic Party), dan Pasadran (Pasukan Pengawal Revolusi Islam). Dewan Revolusi Iran (DRI) dibentuk tiga bulan sebelum kejatuhan Syah. Dewan ini dibentuk dengan tujuan meletakan dasar-dasar negara Republik Islam Iran sebagaimana dikehendaki Khomeini dalam gagasannya tentang wilayatul faqih.[24] Setelah berfungsinya pemerintahan Republik Islam Iran, DRI mulai menjalankan peranannya sebagai lembaga legislatif, dengan tugas utama membuat rancangan Undang Undang Dasar, mempersiapkan referendum, dan menjalankan pemerintahan sementara, namun setelah kejatuhan Presiden Mehdi Bazagan, DRI memegang peranan sebagai lembaga legislatif dan lembaga eksekutif sekaligus. Peranan ini dijalankan sampai berakhirnya masa tugas dewan ini, yaitu setelah terbentuknya parlemen hasil pemilihan umum tahun 1980. Setelah itu DRI kemudian dibubarkan oleh Khomeini
Setelah Dewan Revolusi Islam dibubarkan, Partai Republik Islam (PRI) merupakan partai yang dominan di Iran yang dijadikan basis utama kelompok mullah yang berhasil menyingkirkan kekuatan nasionalis dan berhasil menduduki poisisi-posisi penting. Kemudian partai ini terpecah menjadi dua fraksi, yaitu: Maktabiyah dan Hujatiyah. Keduanya saling bersaing dalam merebutkan sejumlah posisi. Maktabiyah merupakan fraksi yang radikal yang didukung mullah berhaluan keras, sedangkan hujatiyah merupakan fraksi yang lebih moderat. Namun meskipun terjadi pertentangan tetapi kedua fraksi ini sepakat dalam hal-hal: kepemimpinan Khomeini, perlunya mempertahankan Republik Islam Iran, dan keterlibatan kaum mullah dalam politik.
Organisasi selanjutnya adalah Pasadran yang dibentuk pada Maret 1979, dengan tugas melindungi Revolusi dan hasil-hasilnya, sebagaimana dinyatakan dalam Kontitusi RII, pasal 150. pembentukan pasadran setidak-tidaknya dilatar belakangi oleh dua hal: pertama, untuk menyatukan kelompok-kelompok bersenjata (milisi), kedua, untuk memperkuat angkatan bersenjata Iran. Pasadran mempunyai tugas utama membantu Angkatan Bersenjata Iran dalam memelihara perdamaian dan kemerdekaan negara, serta melawan musuh-musuh dari luar. Tugas lain Pasadran adalah menumpas apa yang disebut kaum kontra revolusioner, yaitu geriliya Mujahidin dan Feydan Halq serta suku Kurdi. Dalam hal ini Pasdaran berfungsi menjaga kepentingan kaum mullah.[25]
Dalam prinsip pemerintahan oleh faqih (wilayatul faqih) dan keutamaan hukum Islam di abadikan dalam konstitusi Iran. Pada saat yang sama konstitusi republik Islam mempunyai pranata-pranata demokrasi konstitusi melengkapi sistem pemerintahan parlementer dengan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pada pasal 56 UUD RII, mengenai kedaulatan nasional dan kekuasaan yang berasal dari padanya, telah jelas disebutkan bahwa kedaulatan adalah di tangan Allah Yang Maha Kuasa, yang kekuasaannya atas umat manusia dan di dunia ini adalah mutlak. Adapun tiga kekuasaan dalam Republik Islam Iran adalah kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif, yang dilaksanakan di bawah pengawasan wilayatul al-amr yang mutlak dan kepemimpinan umat sesuai dengan pasal-pasal yang menyusul dalam Undang Undang Dasar RII. Dalam pelaksanaannya ketiga lembaga ini independen satu sama lainnya, dan presiden adalah penghubung diantara ketiganya.
Kekuasaan legislatif melaksanakan prosedurnya melalui Majelis Syura Islami yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang terpilih. Perundang-undangan yang disahkan oleh majelis diteruskan kepada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif untuk penerapannya, setelah menyelesaikan berbagai tahap. Dalam masalah-masalah penting mengenai masa depan negara, persetujuan undang-undang itu dapat diperoleh dengan rujukan langsung kepada suara rakyat. Permintaan untuk melakuksn referendum harus disetujui oleh dua pertiga dari seluruh jumlah anggota Majelis.
Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh presiden dan para menteri, kecuali dalam hal-hal dimana pemimpin secara langsung bertanggungjawab menurut Undang-undang. Kekuasaan yudikatif dilaksanakan melalui pengadilan, yang harus didirikan di atas dasar presep-presep Islam dan yang akan menyelesaikan persengketaan, melindungi hak-hak umum dan perluasan wilayah, administrasi keadilan, serta pelaksanaan perintah-perintah Ilahi.[26]
Ketiga lembaga negara tersebut di atas, mempunyai kedudukan dan fungsinya masing-masing. Dalam perkembangannya terjadi beberapa perubahan dalam draft ataupun batang tubuh konstitusi Iran, di bawah ini dijelaskan kedudukan ketiga lembaga tersebut pada waktu sebelum dan sesudah amandemen tahun 1989.


2. Kedudukan dan Fungsi Lembaga Negara Menurut Konstitusi Iran 1979
Konstitusi Republik Islam Iran 1979, nampaknya merupakan satu-satunya undang-undang dasar di dunia ini yang secara eksplisit mencantumkan konsep wilayatul faqih-nya Ayatullah Khomeini. Tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa konstitusi 1979 merupakan perwujudan dari gagasan Ayatullah Imam Khomeini itu. Hal ini bisa dipahami, karena merupakan konsekuensi logis dari besarnya peranan yang dimainkan Imam Khomeini, baik sebagai pemimpin revolusi maupun pendiri Republik Islam Iran.[27]
Pada bagian pembukaan Konstitusi 1979, antara lain tertulis: “ rencana pemerintahan Islam yang berdasarkan Wilayatul Faqih yang diwakili oleh Imam Khomeini…”. Juga disebutkan bahwa, “ berdasarkan prinsip-prinsip wilayatul amr dan kepemimpinan yang terus menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh faqih….(UUD 1979).[28]
Draft pertama Konstitusi Republik Islam Iran disusun pada Juni 1979 oleh Mejlis-e Mu’assasian (majelis konstituante) yang dibentuk berdasarkan dekrit Ayatullah Khomeini. Para anggota Mejlis-e Muassasian, yang kemudian diubah menjadi Mejlis-i Khubregan (majelis ahli) ini, dipilih oleh rakyat. Ketika bersidang untuk membahas konstitusi ini, para majelis dari Partai Republik Islam memperkenalkan pembaruan penting yang mengubah sifat dasar konstitusi secara fundamental dengan memasukkan pasal 5 (lima) mengenai wilayatul faqih. Pasal 5 tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Sepanjang keghaiban Imam segala zaman (semoga Tuhan mempercepat penjelmaannya yang diperbarui) pemerintah dan kepemimpinan bangsa ada di tangan faqih yang adil dan alim, paham tentang keadaan zamannya, berani, bijak, dan memiliki kemampuan administratif. Pada saat tidak ada faqih yang sangat dikenal oleh mayoritas, maka suatu dewan kepemimpinan yang terdiri dari fuqaha yang memiliki kecakapan seperti tersebut, akan memikul tanggung jawab sesuai dengan pssal 107”
Pasal 107 konstitusi 1979 pada prinsipnya mensyahkan Ayatullah Ruhullah Khomeini sebagai wilayatul faqih, marja' taqlid yang terkemuka, dan pemimpin revolusi. Kecakapan khusus pemimpin atau dewan kepemimpinan menurut pasal 109 adalah:
“(1) memenuhi persyaratan dalam hal keilmuan dan kebajikan yang esensial bagi kepemimpinan agama dan pengetahuan fatwa; (2) berwawasan sosial, berani, berkemampuan dan mempunyai cukup keahlian dalam pemerintahan”[29]
Wilayatul faqih, menurut pasal 110 Konstitusi diberi tugas dan kekuasaan untuk menunjuk fuqaha dan dewan perwalian (Shura-e Nighaban), wewenang pengadilan yang tertinggi, untuk mengangkat dan memberhentikan panglima tertinggi pasukan pengawal revolusi Islam, untuk menyatakan keadaan perang dan damai, untuk menyetujui kelayakan calon-calon presiden dan untuk memberhentikan “Presiden Republik berdasarkan rasa hormat terhadap kepentingan negara.” Karena itu konstitusi 1979 memberikan wewenang negara tertinggi dan terakhir kepada wilayatul faqih (dewan fuqaha).[30]
Konstitusi 1979 yang ide penulisannya digagas oleh Khomeini, pada dasarnya membagi kekuasaan menjadi tiga lembaga negara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif, berikut ini penjelasan mengenai kedudukan dan fungsi ketiga lembaga negara pada sistem pemerintahan Republik Islam Iran, berdasarkan konstitusi 1979.
a. Kekuasaan Lembaga Eksekutif
Lembaga Eksekutif, dalam pandangan Islam terutama di kalangan teoritisasi Sunni seperti Abu A'la Maududi, al-Mawardi, sering disandangkan kepada lembaga kekhalifahan, lembaga ini pada dasarnya bertugas untuk menjalankan dan menegakkan syari'ah dan menyiapkan agar masyarakat mengakui dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga eksekutif ini dinyatakan dalam al-Qur'an dengan ungkapan ulil amri atau umara. wajib bagi seluruh rakyat untuk mentaati perintah lembaga ini asal tidak bertentangan dengan al-Qur'an.
Dalam pemikiran Syi'ah khususnya pada konsep wilayatul faqih, yang kemudian diaplikasikan ke dalam konstitusi Iran, lembaga eksekutif ini dipegang oleh dua lembaga, yaitu; pimpinan dan dewan pimpinan serta presiden dan para menteri. Menurut Konstitusi tahun 1979, lembaga eksekutif mempunyai kedudukan sejajar dengan lembaga legislatif dan lembaga yudikatif, dalam arti terjadi pemisahan kekuasaan dalam sistem pemerintahan Iran. Dalam konstitusi ini, Presiden dan Perdana Menteri menempati kedudukan yang sama dengan Pimpinan atau dewan pimpinan berada dalam satu lembaga yang sama eksekutif.[31]
b. Kekuasaan Lembaga Legislatif
Di Republik Islam Iran, dalam konstitusi tahun 1979, kekuasaan Legislatif ditangani oleh tiga lembaga, yaitu, Majles-e-shura-e-Islami (Majelis Konsultatif Islami), selanjutnya disebut Majelis), Shura-e-Nigahban (Dewan Perwalian) dan Majles-e Khubragan (Majelis Ahli). Sudah barang tentu, ketiga lembaga tersebut menjalankan fungsi legislatif yang berbeda satu-sama lain: Pertama, Majles-e-shura-e-Islami (Majelis Konsultatif Islami), yaitu Majelis yang berfungsi sebagai parlemen, terdiri dari 270 anggota yang dipilih langsung oleh rakyat untuk masa jabatan empat tahun. Pasal 6 UUD Republik Islam Iran menyebutkan; “ Dalam Republik Islam Iran, utusan-utusan negara dijalankan melalui pemilihan Presiden, Anggota-anggota Majelis,….dan seterusnya, sedangkan landasan falsafah Majelis, menurut pasal 7 adalah, al-Qur’an: “ urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara sesama mereka” [32] dan “ dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”.[33]
Kedua, Dewan Perwalian (Shura-e- Nigahban) dan Majelis Ahli (Majelis-e Khubregan). Berbeda dengan Majelis Shura-e Islami, Dewan Perwalian, dan Mejelis Ahli mempunyai fungsi legislatif yang terbatas, tetapi pada hakikatnya cukup menentukan. Pasal 93 Konstitusi 1979, misalnya disebutkan bahwa tanpa Dewan Perwalian, Majelis tidak mempunyai kekuatan hukum. Dewan Perwalian, sebagaimana tercantum dalam pasal 91, mempunyai tugas utama untuk menjamin agar keputusan-keputusan Majelis tidak mengabaikan ajaran Islam dan prinsip-prinsip konstitusi.
Dewan Perwalian beranggotakan 12 Orang yang terdiri dari enam orang fuqaha (“mengenal kebajikan dan kebutuhan-kebutuhan zaman”) yang angkat oleh Imam atau Dewan Keimanan, dan enam orang ahli hukum (“yang mahir dalam cabang ilmu hukum di antara para ahli hukum Muslimin”) yang diperkenalkan kepada Majelis dan Dewan Kehakiman Tertinggi (Syura-ye A’li-ye Qazaii). Keenam ahli hukum tersebut diangkat oleh Majelis.
Majelis Ahli (Majlis-e Khubregan) baru dibentuk pada Agustus 1979. keberadaan Majelis Ahli berlandaskan pada pasal 107. Meskipun Pasal 107 tidak secara eksplisit menyebutkan adanya Majelis Ahli, namun secara implicit membenarkan pembentukan lembaga ini. Pasal 107 antara lain menyebutkan bahwa para ahli yang dipilih oleh rakyat akan bermusyawarah tentang kompetensi semua calon pemimpin (Imam)”. Jadi cukup jelas, lembaga ini mempunyai tugas utama memilih dan atau memberhentikan seorang pemimpin (Imam). Majelis Ahli beranggotakan 73 ulama senior yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
c. Kekuasaan Lembaga Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif pada prinsipnya merupakan kekuasaan yang berfungsi untuk mengadili pelanggaran terhadap Undang Undang Dasar atau peraturan perundang-undangan lainnya dalam sistem ketatanegaraan, dalam hal ini khususnya pelanggaran yang dilakukan oleh lembaga eksekutif. Lembaga Yudikatif pada konstitusi 1979 mempunyai kedudukan sajajar dengan kedua lembaga lainnya, baik dengan eksekutif maupuan dengan legislatif.
Tidak banyak penjelasan mengenai kedudukan lembaga yudikatif ini. Namun pada dasarnya lembaga ini diisi oleh setidaknya dua badan dalam kekuasaan kehakiman, seperti Dewan Tinggi Kehakiman dan pengadilan-pengadilan baik di tingkat pusat maupun di daerah. Kekuasaan yudikatif membawahi dua lembaga lainnya yaitu, pengadilan administrasi dan Inspektorat Jenderal Negara.[34]
3. Perubahan Konstitusi dan Kedudukan Lembaga Negara Iran Pasca Khomeini.
Setelah satu dasawarsa, atas perintah Ayatullah Uzma Imam Khomeini, para pimpinan Republik Islam Iran melalui sejumlah ahli yang ditunjuk, berhasil mengamandemen konstitusi dan mengubah hal-hal tertentu di dalamnya pada tanggal 24 April 1989 dan pada 8 Juli 1989 amandemen dan suplemennya menerima ratrifikasi yang terakhir kemudian ditandatangani oleh pemimpin baru , Ayatullah Sayyid 'Ali Khamenei. Secara garis besar isi dari amandemen UUD 1989 sebaga berikut:
a. Kekuasaan Lembaga Eksekutif
Dalam Undang Undang Dasar Republik Islam Iran, kekuasaan Eksekutif terdiri dari tiga unsur, yaitu; Presiden, Menteri (pembantu Presiden) dan Tentara dan Korps Pengawal Revolusi. (Garda Revolusi) Menurut pasal 113, UUD Republik Islam Iran (RII), Presiden merupakan jabatan negara tertinggi sesudah jabatan rahbar (pemimpin). Dalam pelaksanaan jabatannya presiden dipilih untuk masa jabatan empat tahun secara langsung melalui pemilihan umum dan bertanggung jawab terhadap penerapan Undang Undang Dasar, dan memimpin lembaga eksekutif, kecuali dalam hal-hal yang secara langsung menjadi tanggung jawab pemimpin.
Presiden harus dipilih dari antara tokoh-tokoh keagamaan dan politik yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut: orang Iran secara alami menurut kelahiran dari orang tua Iran, berkebangsaan Iran, berinisiatif, organisator yang bernama baik, jujur dan taqwa, percaya akan pendirian Republik Islam Iran dan agama negara. Selanjutnya pada pasal 117, UUD mensyaratkan Presiden harus terpilih melalui mayoritas mutlak dari suara yang diberikan oleh pemilih. Apabila tidak ada calon yang memperoleh suara mayoritas semacam itu, pemilihan tahap kedua akan dilakukan pada Jum'at dalam minggu berikutnya. Hanya dua orang calon yang memenangkan jumlah suara tertinggi pada tahap pertama yang diperkenankan untuk turut serta dalam pemungutan suara yang kedua.
Tanggung jawab untuk mengawasi pemilihan presiden terletak pada Dewan perwalian sebagaimana ditentukan dalam pasal 99. tetapi sebelum di bentuknya Dewan Perwalian angkatan pertama, suatu badan pengawas, yang diangkat menurut undang-undang untuk tujuan ini akan mengepalai pemilihan-pemilihan itu. Adapun mengenai tugas dan wewenang nya, dalam pasal 122, menyebutkan:
"Presiden, dalam batas-batas kewajiban dan wewenang nya, sesuai Undang Undang dasar dan undang-undang, bertanggungjawab kepada rakyat, Pemimpin dan Majelis Syura Islami".
b. Kekuasaan Lembaga Legislatif
Kekuasaan Legislatif merupakan kekuasaan membuat peraturan perundang-undangan yang kemudian dilaksanakan oleh lembaga Eksekutif. Dalam sistem pemerintahan modern kekuasaan ini di wakili oleh lembaga yang disebut Parlemen atau di Iran disebut dengan Majelis Shura-e Islami.
Majelis atau Parlemen Iran adalah salah satu dari institusi utama pada Republik Islam Iran. Secara konstitusional Majelis di posisikan sebagai lembaga politik negara yang bersifat independent dan berfungsi mengawasi jalannya eksekutif. Tetapi konstitusi juga menulis bahwa dewan pengawal dapat menganulir keputusan Majelis.
Amandemen Konstitusi Republik Islam Iran tahun 1989, menempatkan Majelis Syura Islami (Majles Shura-e Islami) sebagai pemegang kekuasaan Legislatif. Majelis ini terdiri dari wakil-wakil rakyat yang dipilih secara langsung melalui pemungutan suara secara rahasia. Keputusan dari mayoritas wakil-wakil ini mengikat seluruh rakyat. Persyaratan bagi yang akan dipilih maupun pemilih ditentukan undang-undang (pasal 62). Kemudian para anggota Majelis ini, menurut pasal 63 UUD RII, dipilih untuk masa jabatan selama empat tahun. Pemilihan bagi setiap masa legislatif harus di selesaikan sebelum masa akhir legislatif sebelumnya, secara sedemikian rupa, sehingga Republik Islam Iran tidak pernah ketiadaan Majelis (pasal 63).
Majelis ini terdiri dari 270 orang anggota. Pada akhir setiap jangka waktu sepuluh tahun, apabila penduduk Negara telah bertambah, pada setiap pemilihan, seorang wakil akan ditambahkan untuk setiap 150.000 orang. Para penganut agama Zaratrustra dan Yahudi akan mendapat masing-masing satu orang wakil, sedang orang Kristen Assiria dan Kristen Armenia di Utara dan selatan masing-masing memiliki akan mendapatkan seorang wakil. Dalam hal jumlah penduduk bertambah maka masing-masing dari golongan minoritas itu akan mendapat tambahan seorang wakil untuk setiap 150.000 orang. Peraturan mengenai pemilihan diatur oleh undang-undang. (pasal 64)
Pemilihan umum yang menentukan Majelis yang dilaksanakan secara rahasia tersebut, baru akan terbentuk jika dipandang secara resmi mempunyai quorum dengan kehadiran sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota.[35] Selanjutnya pasal 66 UUD RII, menjelaskan bagaimana prosedur pemilihan ketua Majelis, ketua-ketua komisi dan sub komisi. Adapun masa jabatan komisi dan sub komisi tersebut juga urusan-urusan intern lainnya telah diatur dan ditentukan dengan peraturan intern Majelis seperti halnya urusan-urusan yang berhubungan dengan Majelis dan perincian-perincian serta tata tertib prosedur.
Setelah para anggota Majelis terpilih, maka para anggota tersebut harus melaksanakan sumpah dalam persidangan dan sekaligus menandatangani naskah sumpah itu:
“ Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Saya yang menandatangani dokumen ini, bersumpah demi Allah Yang Maha Kuasa untuk mengawal al-Qur’an dan martabat manusia, hukum-hukum Islam, hasil-hasil Revolusi Islam Iran serta prinsip-prinsip Republik Islam, dan untuk menegakkan iman dan keadilan, sebagai seorang pengemban amanat yang jujur, amanat yang diletakkan bangsa ke dalam tangan saya, untuk bertaqwa dalam menjalankan tugas-tugas seorang wakil yang selalu berdiri teguh, menegakkan kemerdekaan, kebesaran negara dan beritikad kepada pertahanan hak-hak bangsa serta pelayanan kepada rakyat; untuk menegakkan integritas Undang Undang Dasar, dan dalam berbicara, menulis dan mengungkapkan pandangan-pandangan saya, hanya semata-mata akan memandang kemerdekaan negara dan kebebasan rakyat serta pengamanan kepentingan-kepentingannya”. (pasal 67)
Dalam pembacaan sumpah jabatan oleh anggota Majelis ini, jika wakil-wakil berasal dari golongan minoritas maka mereka melakukan sumpah tersebut menurut dan merujuk kepada Kitab Suci mereka sendiri. Apabila ada wakil-wakil tersebut yang tidak hadir maka sumpah tersebut akan dilakukan pada sidang pertama yang di hadirinya. (pasal 67).
Majelis Syura Islami mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk membuat undang-undang mengenai segala urusan, dan batas-batas yurisdiksi yang dispesifikasikan dalam Undang-Undang Dasar, Namun demikian Majelis tidak dapat mengesahkan undang-undang, peraturan ataupun keputusan yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar atau agama negara. Adapun keputusan apakah perundang-undangan yang disetujui oleh Majelis sesuai dengan kaidah ajaran Islam terletak pada faqih dan Dewan Perwalian (wilayatul al-amr).
c. Kekuasaan Lembaga Yudikatif
Tugas lembaga yudikatif adalah memutuskan perselisihan yang dilaporkan kepadanya dari orang-orang yang berseteru dan menerapkan hukum dan perundang-undangan kepadanya dalam rangka menegakan keadilan dimuka bumi ini dan menetapkan kebenaran diantara orang-orang yang meminta keadilan.
Seperti halnya di negara-negara demokrasi murni (liberal), kekuasaan lembaga yudikatif dalam konstitusi Republik Islam Iran di laksanakan oleh lembaga kehakiman. Kekuasaan lembaga kehakiman merupakan suatu kekuasaan yang bersifat independen, yang membela hak-hak sosial rakyat. Kehakiman juga berkewajiban melaksanakan tugas-tugasnya. Sebagai berikut:
Pertama, memeriksa dan mengeluarkan keputusan-keputusan sehubungan dengan pengaduan, sengketa dan kasus-kasus kezaliman, menyelesaikan gugatan-gugatan dan perkara-perkara, menyingkirkan perselisihan-perselisihan, dan mengambil keputusan-keputusan yang perlu serta tindakan-tindakan dalam kepastian-kepastian yang ditetapkan oleh hukum (pasal 156).
Kedua, memulihkan hak-hak rakyat dan meningkatkan keadilan dan kebebasan-kebebasan yang sah; ketiga, melakukan pengawasan atas pelaksanaan hukum yang baik; keempat, mengusut kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran, menjatuhkan keputusan-keputusan hukum, menghukum dan memperbaiki orang- orang yang bersalah serta memberi keadilan islami; dan yang kelima, mengambil tindakan-tindakan yang sesuai untuk mencegah kejahatan dan memperbaiki penjahat.
Untuk memenuhi tanggungjawab kekuasaan yudikatif dalam seluruh hal yang berkaitan dengan kehakiman, bidang administratif dan eksekutif, pemimpin menunjuk mujtahid yang ahli dalam urusan kehakiman dan mempunyai kebijakan dan kecakapan administrative sebagai kepala kekuasaan yudikatif untuk masa jabatan lima tahun, yang akan menjadi pemegang otoritas tertinggi kehakiman. (pasal 157).
Kepala kekuasaan yudikatif berkewajiban sebagai berikut, (sesuai dengan pasal 158) :
1) membentuk badan-badan pengadilan untuk memenuhi tuntutan yang tersebut pada pasal 156.
2) menyusun rancangan-rancangan undang-undang kehakiman yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
3) merekrut hakim-hakim yang kompeten dan taqwa, pengangkatan dan pemberhentiannya, kenaikan pangkat, penunjukan jabatan dan kepindahan, serta urusan-urusan administratif.
Mahkamah agung dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang secara sehat di pengadilan-pengadilan, memelihara prosedur kehakiman yang seragam dan melaksanakan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya oleh undang-undang, atas dasar peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh kepala kekuasaan yudikatif. Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung haruslah mujtahid yang ahli dalam masalah-masalah hukum yang dipilih di antara pejabat-pejabat yang taqwa dalam Islam, dan diangkat oleh pemimpin atau Dewan Kepemimpinan untuk masa jabatan lima tahun.
Suatu mahkamah dengan nama Pengadilan Administrasi dibentuk di bawah pengawasan kepala kekuasaan eksekutif untuk memeriksa pengaduan-pengaduan dan protes-protes dari masyarakat terhadap pejabat-pejabat pemerintah, unit-unit atau peraturan-peraturan, maupun untuk melaksanakan keadilan dan menegakkan hak-hak mereka.
Untuk mengetahui lebih jelas struktur politik Republik Islam Iran pasca Khomeini, dapat dilihat dalam bagan dibawah ini:


C. Relasi Kekuasaan dalam Sistem Pemerintahan Republik Islam Iran
Di dalam sejarah ilmu politik, persoalan mengenai pemisahan kekuasaan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam struktur pemerintahan seringkali menarik untuk dikaji, bahkan sejak permulaan abad XX M, persoalan ini sering kali di anggap sebagai persoalan administrasi politik yang penting terutama terjadi pada negara-negara yang menerapkan sistem demokrasi. Permasalahan tersebut terjadi karena dalam kenyataan seringkali terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abouse of power) di antara lembaga-lembaga pemerintahan tersebut. Sekalipun dalam struktur pemerintahan tersebut telah sesempurna mungkin memisahkan dan membagi ketiga kekuasaan, namun hal ini tidak menjamin bahwa masing-masing kekuasaan akan melampaui batas. Maka dari itu banyak diantara negara-negara demokrasi moderen yang kemudian berusaha mencoba membendung kecenderungan ini dengan mengadakan suatu sistem " chack and balances" (pengawasan dan keseimbangan) di mana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.[36]
Konsep wilayatul faqih yang gagasannya di masukan kedalam Undang Undang Republik Islam Iran, dalam prinsipnya menganut sistem demokrasi terikat- meskipun Imam Khomeini sebagai pencetus gagasan ini tidak menyebutnya demikian. Karena pada dasarnya setiap negara yang menggunakan sistem republik memiliki tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada negara yang menganut sistem demokrasi terikat seperti negara Republik Islam, maka dalam menetapkan undang-undang pemilihan anggota atau badan eksekutif dan yudikatif sudah barang tertentu terikat oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam. Sama sekali tidak boleh keluar dari Islam.
Undang-undang yang disahkan oleh parlemen sama sekali tidak boleh bertentangan dengan Islam. Kepala Pemerintahan (Presiden) yang dipilih rakyat harus memiliki kualifikasi yang sesuai dengan kehendak Islam. Demikian pula anggota eksekutif lainnya serta anggota badan yudikatif. Seorang hakim tidak boleh sembarang orang. Ia harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan Islam dalam kehakiman dan sebagainya. Karena itu tidak ada jalan bagi badan legislatif misalnya, mengesahkan praktek riba, sebab bertentangan dengan aturan Islam yang mengharamkan riba.
Untuk menjamin berlakunya kedua prinsip ini sekaligus dengan baik, di satu pihak menjunjung tinggi kehendak rakyat dan pada waktu yang bersamaan tidak menyalahi aturan agama Islam, maka perlu dibentuk badan yang mengawasi ketiga insitusi tersebut. Dalam Majelis, parlemen, telah dibentuk apa yang disebut dengan Badan Pengawas Undang-Undang. Tugas utamanya adalah mengawasi jangan sampai lahir undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Jika ada undang-undang yang bertentangan dengan Islam, mereka berhak menolak dan membatalkannya. Tapi sebetulnya, jika semua angota parlemen atau paling tidak mayoritas angatanya adalah orang-orang yang ahli tentang Islam, maka Badan Pengawas semacam ini tidak begitu diperlukan karena para anggota parlemen dengan sendirinya sudah dapat melakukan pengawasan. Tapi karena pada prakteknya sulit diwujudkan maka badan Pengawas Undang-Undang ini mutlak diperlukan, hal ini supaya tidak terjadi penyimpangan dari norma-norma Islam.
Demikian pula terhadap pemilihan kepala negara atau presiden. Supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab maka keabsahan pemilihannya sebagai presiden tergantung pada persetujuan wali faqih atau ahli agama tertinggi yang dipercaya sebagai penguasa tertinggi. Hal yang sama juga berlaku pada pengangkatan anggota badan yudikatif. Meskipun pengangkatan Menteri Kehakiman dilakukan oleh parlemen dan pengangkatan anggota Dewan Kehakiman Tertinggi oleh para hakim atau qadi itu sendiri, tetapi tetap saja keputusan terakhir ada di tangan wali faqih. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam negara Republik Islam atau negara Demokrasi Agama, kedaulatan rakyat dan kedaulatan agama bergandengan dan menjadi satu. Inilah yang kita sebut dengan wilayatul faqih.
Lalu kepada siapa presiden bertanggungjawab? Sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat, presiden lazimnya bertanggungjawab kepada rakyat, yakni kepada parlemen yang juga dipilih oleh rakyat. Akan tetapi menurut pemahaman Imam Khomeini, di dalam sistem kepemimpinan Islam wewenang parlemen untuk meminta pertanggungjawaban presiden bukan tidak terbatas. Pada akhirnya presiden harus bertanggungjawab kepada Imam, yang dalam sistem ini disebut sebagai wali faqih. Wali faqih, melalui Dewan Wali dalam sistem pemerintahan Republik Islam Iran, bukan saja memiliki wewenang untuk meng-approve atau tidak meng-approve calon presiden, ia sekaligus berwenang untuk memecat presiden jika presiden dianggap tidak kapabel, setelah mendapat rekomendasi Mahkamah Agung
Dari sini kita dapat melihat bahwa dalam mekhanisme penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan wilayatul faqih, ada upaya atau indikasi kearah mekhanisme check and balances. Baik Konstitusi 1979 maupun amandemen Konstitusi 1989, keduanya memungkinkan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif untuk saling mengontrol, mengawasi dan mengimbangi terutama dalam pengambilan kebijakan.
Imam Khomeini megatakan:
"Kita harus menyadari bahwa apabila anggota majelis dan presiden kompeten, kebanyakan kesulitan tidak akan muncul, apabila permasalahan muncul, hal itu akan diselesaikan secara pantas dan patut. Ini poin yang harus dingat setalian dengan pemilihan Dewan perwalian atau Pemimpin. (Pesan 228)
D. Kritik Terhadap Konsep Wilayatul Faqih Dalam Sistem Pemerintahan Iran Modern
Konsep wilayatul faqih lahir di tengah-tengah kancah ideologi politik Islam yang tengah mengalami kebuntuan terhadap berkembangnya politik Islam, konsep wilayatul faqih ini hadir dengan cara berfikir yang sama sekali baru. Konsep yang secara resmi dituangkan di dalam konstitusi Republik Islam Iran ini, ditandai dengan kedekatan hubungannya dengan doktrin Syi'ah dan keberhasilannya dalam menyelaraskan syari'at dengan cita-cita demokrasi. Hal ini meliputi otoritas dalam sistem hukum Islam (perwakilan politik oleh seorang mujtahid yang adil dan arif) dan peran demokratis rakyat dalam sistem distribusi kekuasaan.
Akan tetapi gagasan wilayatul faqih bukannya tidak mengandung segi-segi kelemahan dan kekurangan. Salah satunya adalah mengenai persoalan kriteria faqih yang bisa diangkat menjadi pemimpin. Jelaslah sangat sulit memenuhi seorang faqih yang bisa memenuhi kreteria itu. Sementara itu, bagi para pengkritik dan pengecamnya, konsep wilayatul faqih dipandang telah memberikan peranan yang terlalu besar kepada ulama dalam urusan kenegaraan. Sebagaimana digambarkan oleh H. E. Chehabi :
Ayatollah Shariatmadari repeatedly started his opposition to having popular sovereignty restricted. Arguing that "members of the clergy, whose role is a spiritual one, should not interfere in affairs of state", he would accept a political leadership role for the clergy only when the state passed anti-Islamic legislation, or in the event of temporary power vacuum.
Kritik keras muncul dari oleh Bani Sadr, Presiden pertama Iran pasca revolusi 1979, yang terpilih secara meyakinkan lewat pemilu tetapi kemudian terusir. Menurut Bani Sadr, konsep wilayatul faqih Imam Khomeini yang diterapkan di Iran hingga sekarang ini, telah memberikan peranan terlalu besar kepada ulama (para Mullah) dalam urusan kenegaraan, di mana mereka menguasai lembaga perwalian yang memiliki hak veto. Akibatnya menurut Sadr, kekuasaan sulit di kontrol dan tingkat partisipasi rakyat menjadi sangat rendah, padahal dalam sistem politik demokrasi, kontrol terhadap kekuasaan dan adanya partisipasi politik rakyat merupakan dua unsur yang sangat dominan. Selain itu ia juga mengkritik praktek demokrasi wilayatul faqih tersebut yang mengendalikan media, mengintimidasi orang yang menentang, membatasi dan membungkam oposisi, dan ringan tangannya para pengawal revolusi terhadap semua orang yang berbeda pendapat dengan otokrasi ulama.[37]
Disamping itu mulai muncul interpretasi baru terhadap wilayatul faqih, yang diantaranya dilakukan oleh Ayatullah Ni'matullah Salihi Najafabandi, dalam karyanya Vilayat-e Faqih: Hukumat-e Salihan.[38] Salihi menyajikan suatu konteks baru dari doktrin wilayatul faqih dalam mana dia mengakui proses pemahaman masyarakat terhadap faqih tertinggi (the supreme faqih) sebagai elemen utama bagi validitas kekuasaan faqih. Dengan menyodorkan apa yang disebut sebagai konteks insha'i ("kongkret") bagi aplikasi dan implementasi doktrin wilayatul faqih, Salihi mengatakan bahwa model interpretasi sebelumnya lebih didasarkan pada konteks khabari ("abstrak") atau premis-premis yang teoritis.[39]
Menurut Salihi, sifat yuridis wilayah merupakan suatu "kontrak sosial" antara rakyat dan faqih yang dipercaya. Dalam rangka mendekatkan kepentingan dan peranan rakyat dengan lembaga pemegang kekuasaan hukum, ia mencoba memadukan konsep-konsep modern seperti "pemerintahan mayoritas", "kontrak sosial", dan "perwakilan", dengan prinsip-prinsip pemerintahan Islam. Salah satu wujud dari kontrak sosial itu adalah melalui bai'at antara rakyat dan pemimpin (faqih). Tetapi dia menafsirkan bai'at secara dua arah, maksudnya bukan hanya rakyat yang wajib mentaati pemimpin, tetapi juga sebaliknya. Bai'at semacam ini akan mengakibatkan kewajiban yang sama, baik bagi rakyat maupun bagi pemimpin. Dalam konsep perwakilan, Salihi berpendapat bahwa pemimpin dalam komunitas Islam merupakan wakil rakyat, bukan wakil Imam. Dia megutip ucapan Imam Ali; Innakum khuzzan al-ra'iyyah wa wukala' al-ummah'. Oleh sebab itu konsekuensi logisnya adalah pemimpin yang terpilih dapat dicopot kekuasaannya oleh rakyat yang memilihnya jika dia kehilangan kualitasnya sebagaimana disyaratkan bagi seorang imam dalam Islam.[40]
Abdul Karim Sorrous dalam bukunya Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama,[41] juga mengkritik sistem pemerintahan yang berdasarkan wilayatul faqih ini. Bagi Sorrous, konsep wilayatul faqih sangat identik dengan konsep kekuasaan absolut gereja pada abad pertengahan, dimana kekusaan politik berada di tangan segeintir orang yang mengatasnamakan gereja, sama dengan konsep wilayatul faqih, sistem teokrasi absolut ala gereja pada abad pertengahan juga mempunyai otoritas keagamaan dan sekaligus otoritas politik dengan justifikasi-justifikasi agama. Bagi Sorrous, yang juga merupakan seorang cendekiawan muslim “liberal“ Iran Kontemporer, pemerintahan di Iran yang didominasi ulama saat ini kurang memiliki basis teoritis.[42]
Menurut Soroush kelemahan utama teori ini adalah fokus dan pengandalannya kepada seorang faqih atau penguasa adil. Seolah-olah ada asumsi bahwa semua masyarakat yang adil merupakan hasil dari keadilan seorang penguasa tunggal, bahwa tidak ada yang perlu dilakukan lagi selain memberikan kepemimpinan kepada faqih. Meskipun secara ironis Republik Islam Iran atau Konstitusi Republik Islam Iran meng-endorse pemisahan kekuasaan dalam konsep trias politika republik, penekanan harus digeser dari seorang pemimpin tunggal ke pranata-pranata, hukum-hukum, dan proses-proses. Tidak ada alternatif bagi keadilan struktural. Menurut Soroush "kita tidak boleh kembali lagi kepada keadilan personal, harga yang harus dibayar sebagai konsekuensinya terlalu besar untuk itu". Lebih dari itu, kaum ulama quo keulamaannya tidak memilki hak apriori untuk berkuasa. Negara harus dipimpin oleh rakyat atas dasar persamaan hak di hadapan hukum.[43]
Kritik-kritik yang datang dari para penentang terhadap konsep wilayatul faqih kebanyakan menganggap bahwa kunci utama konsep wilayatul faqih terlalu menjustifikasikan keutamaan para wali untuk memerintah berdasarkan pengetahuan mereka. Para pengkritik ini meragukan kredibilitas dan pengetahuan relegius ini tidak cukup untuk meyakinkan bahwa kekuasaan harus dipercayakan kepada seorang faqih untuk melindungi dan memajukan kesejahteraan publik. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa wali tidak mementingkan urusan sendiri daripada kepentingan publik? Apakah ada suatu sistem pengawasan terhadap mereka untuk mencegah mereka menyalahgunakan otoritasnya? Kelemahan sistem ini adalah kenyataan bahwa rakyat tidak mendelegasikan otoritas pada wali, mereka tidak akan bisa secara hukum atau secara konstitusional mencabut kekuasaan politik dari wali. konsekuensinya para wali itu bebas dari kontrol rakyat.
E. Sistem Pemerintahan Iran: Antara Demokrasi Dan Teokrasi
Iran tampak sekali mewakili bentuk pemikiran tertentu dalam Islam yang menganggap negara di dalam Islam ditujukan untuk mencapai sasaran-sasaran yang tidak semata-mata bersifat duniawi (materialistic). Meskipun demikian, dalam praktiknya hal itu tampaknya tidak hendak dicapai melalui sesuatu yang dalam kosakata politik disebut teokrasi, melainkan melalui mekhanisme semacam nomo-demokrasi (yaitu gabungan antara sistem berdasarkan nomokrasi atau kekuasaan yang berbasis kedaulatan hukum demokrasi), ataukah istilah "Teo-Demokrasi" sebagaimana yang dirumuskan Maududi. Ini merupakan sistem politik yang menggabungkan pemerintahan oleh hukum Tuhan atau syariah dengan demokrasi yang mengandalkan partisipasi publik. Seperti namanya sistem politik ini merupakan hasil proses dialog antara sistem nomokrasi dengan demokrasi.[44]
Persoalannya adalah, apakah mungkin menggabungkan sistem teokrasi dengan sistem demokrasi yang sepintas tampak bertentangan? Bagi, sebagian pemikir muslim seperti Maududi, Khomeini dan lainnya, jelas bahwa Islam sangat menolak sistem teokrasi, jika sistem ini difahami sebagai kekuasaan oleh orang-orang atau suatu kelompok yang mengklaim sebagai wakil Tuhan atau suara Tuhan yang mutlak (absolute), yang bebas dari kesalahan dan sabdanya berarti hukum yang tidak bisa ditawar dengan cara apapun. Pada puncaknya system "teokrasi" Islam bukan berlandaskan pada orang, melainkan hukum (syariah).
Menurut Khomeini. sebagai lembaga yang mempunyai legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi menyelenggarakan kedaulatan Tuhan, negara dalam perspektif Syi'ah memang bersifat teokratis. Negara teokratis di sini mengandung unsur pengertian bahwa kekuasaan mutlak berada di “tangan” Tuhan, dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan (syari’ah). Sifat teokratis negara dalam pandangan Syi'ah dapat ditemukan dalam pemikiran banyak tokoh Syi'ah. Imam Khomeini menyatakan bahwa: "…in Islam, the legislatif power and competence to establish laws belongs execlusively to God Almighty…no one has right to legislate and no law may be executed exept the law pf the devine Legislator". Menurut Khomeini, “Dalam negara Islam wewenang menetapkan hukum berada pada tangan Tuhan. Tiada seorangpun berhak menetapkan hukum. Dan yang boleh berlaku hanyalah hukum dari Tuhan”.[45] Tetapi bentuk pemerintahan dalam konsepnya cenderung memilih bentuk-bentuk yang lebih modern, yaitu demokrasi.
Imam Khomeini menegaskan bahwa bentuk pemerintahan demokrasi Islam merupakan sebuah tesis yang kompatibel dan praktis, dengan mempercayai bahwa sebuah konstitusi dapat melindungi dan menjamin aspek-aspek esensial baik dari pemerintahan Islam maupun demokratis.[46] Khomeini percaya bahwa dengan menafsir ulang Islam dan selalu memandang kembali serta memperbaharui kepercayaan-kepercayaan, maka visi dari demokrasi Islam akan sangat menjadi layak untuk didukung. Jauh sebelum diakui John Esposito, Imam Khomeini mengatakan: "Mungkin saja demokrasi kita mirip dengan model-model demokrasi di Barat,…namun sesungguhnya demokrasi Islam lebih sempurna dari pada demokrasi Barat.[47]
Namun baik Maududi maupun Khomeini keduanya tidak dapat menerima konsep "demokrasi murni", seperti yang dikatakan oleh Maududi:
Islam bukanlah demokrasi; sebab demokrasi adalah suatu nama yang diberikan pada bentuk pemerintahan tertentu dimana kekuasaan bertumpu kepada rakyat, dimana legislasi tergantung baik dalam bentuk dan isinya pada kehendak dan arahan rakyat dan dapat diubah sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam opini itu.[48]
Bagi Maududi, jelas bahwa negara Islam tidak akan dapat menunjukan tuntutan hukum Islam yang kaku dengan ideal demokrasi, kecuali kalau masyarakat memenuhi tuntutan hukum Islam. Adapun arti demokrasi yang bisa diterima masyarakat dalam batas-batas agama dan syariat dapat menentukan nasib mereka dan yang demikian tidak bertentangan dengan agama. Bukannya pendapat masyarakat secara tidak terbatas dapat dihargai walaupun bertentangan dengan agama. Ayat "Dan orang-orang beriman melaksanakan urusan mereka dengan musyawarat"[49], tidak berarti masyarakat dapat merubah halal dan haram Tuhan dengan cara voting. Menurut ayat "tidak satupun lelaki atau wanita beriman yang berhak menentang, saat Allah dan Rasul-Nya menentukan suatu masalah"[50], Orang-orang beriman tidak berhak mencampuri perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya.
Dengan demikian, Intinya Pemerintahan Islam atau Republik Islam bersandarkan kepada kehendak rakyat, baik pada sisi legislasi, penetapan undang-undang, maupun pada sisi eksekusi, menjalankan roda pemerintahan. Akan tetapi tidak dalam arti penuh seperti yang dipahami demokrasi Barat, melainkan terikat oleh aturan-aturan Islam di semua tingkat kekuasaan legislasi, eksekusi, dan yudikasi.
Konsep wilayatul faqih sama sekali tidak bertentangan dengan penghargaan Islam yang besar atas kehendak rakyat. Bahkan justru dibangun atas dasar itu. Akan tetapi tentu saja tidak sama dengan apa yang dianut oleh Barat. Sebab Barat menganut demokrasi tak terbatas, sementara wilayatul faqih tunduk pada aturan-aturan yang telah ditetapkan Islam.
F. Prospek Dan Masa Depan Demokrasi Di Iran
Pengalaman Iran sebagai sebuah Republik Islam sangat bervariasi, tetapi hanya sedikit yang meragukan bahwa perubahan-perubahan besar telah terjadi. Fouad Ajami, seorang analis yang kritis mengenai struktur negara Timur Tengah, menyatakan;
"Iran yang baru telah lahir sejak terjadinya pergeseran kekuasaan politik…oleh para teikrat dan kelompok mereka…Jika kita nilai catatannya selama satu dasawarsa, Iran merupakan sebuah negara yang memiliki kecerdikan untuk mengimbangi kegalakannya, sebuahnegara yang mampu mengorganisasikan kampanye-kampanye besar mau melangkah mundur dan menyesuaikan diri dengan hal-hal yang mungkin dan yang tidak mungkin."
"Konsensus luas yang memungkinkan terjadinya transisi kekuasaan yang berjalan mulus di Iran dapat secara tepat diramalkan pada waktu itu bahwa dalam era baru itu, " politik Iran banyak diwarnai tawar menawar inter rezim, perdebatan nasional dan pencapaian serta pencapaian ulang konsensus yang dapat diterima oleh sebagian aktor-aktor penting dqan parapendukung mereka"
Umumnya negara-negara muslim modern tumbuh menjadi negara demokrasi atau setidak-tidaknya negara demokratis yang anti moderenisme dan otoritarianisme, seperti Indonesia, Irak, Mesir dan negara-negara muslim lainnya. Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan negara demokrasi. Dalam konstitusinya Indonesia menyatakan secara tegas bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Lembaga ini adalah lembaga tertinggi negara.
Di Mesir, Jenderal Naguib, Gamal Abdul Naser dan Anwar Sadat berhasil menggulingkan Raja Faruq tahun 1952 dan setelah itu membentuk Republik Arab Mesir berdasarkan Konstitusi. Begitu pula di Irak pada tahun 1958, disini muncul revolusi yang menentang sistem monarki dan berjuang untuk menegakkan suatu negara demokratis dan konstitusional. Revolusi Irak ini terkenal dengan revolusi tahun 1958 dipimpin oleh Abd. al-Karim berhasil menggulingkan Raja Faishal II yang berkuasa di Irak pada waktu itu.
Negara-negara Islam yang bercorak kerajaan pun cenderung berkembang menjadi negara monarki konstitusional. Seperti negara Saudi Arabia dan Malaysia. Negara Saudi Arabia tidak mau dianggap sebagai negara monarki absolut, alasannya karena pemerintahan kerajaan Saudi Arabia ini tetap berjalan dan berpedoman kepada syariat Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Hadits.
Ringkasnya, hampir semua negara-negara muslim modern mengadopsi ide-ide pemerintahan yang bercorak demokrasi, konstitusional dan republik yang umumnya datang dari Barat. Perbedaan antara negara muslim moderen dengan yang lainnya hanyalah dalam cara penerimaan ide-ide Barat tersebut. Ada sebagian negara Muslim moderen menerimanya secara selektif, agar tidak menimbulkan deviasi dan distorsi terhadap ajaran Islam, tetapi ada pula yang menerima seenuhnya ide-ide tersebut, tergantung faktor-faktor intenal dalam negara tersebut.
Bagaimanapun keanekaragaman pemahaman dan penggunaan konsep demokrasi, tuntutan akan demokratisasi, partisipasi politik, dan demokrasi Islam menunjukan diterimannya demokrasi di negara Muslim kontemporer. Pengalaman Iran tidak memberikan jawaban pasti bagi persoalan hubungan antara Islam dan Demokrasi. Iran memang telah menunjukan isu-isu seputar partisipasi politik rakyat dan consensus telah menjadi bagian dari cakrawala politik di Republik Islam Iran dan dengan demikian membuka berbagai jalan untuk mendefinisikan demokrasi. Bagi sebagian orang, pengalaman Iranm menegaskan kemungkinan menciptakan suatu demokrasi Islam. Bagi sebagian yang lain ia hanya menegaskan watak otoriter pranata-pranata dan praktik politik Muslim.[]



[1] Riza Sihbudi, “Tinjauan Teoritis dan Praktis Atas Konsep Vilayat-I-Faqih : Sebuah Studi Pengantar ”, dalam Asep Gunawan (ed), Artikulasi Islam Kultural (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 149-150.
[2] Pengantar Konstitusi Republik Islam Iran, Humas Kedutaan Besar Republik Islam Iran, Jakarta, t.t.
[3] Sihbudi, Biografi, hlm. 78.
[4] Ibid., hlm. 78.
[5] Ibid., hlm. 78-79.
[6] Saleh Lapadi, "Imam Khomeini, Wilayatul Faqih dan Rumusan UUD RII (II)", http://www.al-shia.com/html/id/service/maqalat/Syi'ah_Konsep_Wilfaq%20(id).htm
[7] Ibid.
[8] Lapadi, "Imam”, Ibid.
[9] Ibid.
[10] Sihbudi, Biografi, hlm. 134 dan Khomeini, Islamic, hlm 52.
[11] Konstitusi, t. t.
[12] Ibid.
[13] Yamani, Filsafat Politik Islam: Antara Al-Farabi dan Khomeini (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), hlm. 127.
[14] Ibid.
[15] Ayatullah Ruhullah Khomeini, "Sebuah Pandangan Mengenai Pemerintahan Islam" dalam Beberapa Pandangan Tentang Pemerintahan Islam, editor: Salim Azzam (Bandung: Penerbit Mizan, 1983), hlm. 128 dan Abd. Rahman Zainuddin dan dan M. Hamdan Basyar, Syi'ah Dan Politik Di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Penerbit Mizan, 2000), hlm. 62.
[16] Zainuddin, Syi'ah, hlm. 62.
[17] Ibid., hlm. 63.
[18] Sihbudi, Biografi, hlm. 61.
[19] Riza Sihbudi, “ Politik Parlemen dan Oposisi di Iran Paca Revolusi “ dalam Jurnal Ilmu Politik Vol. 11, (Jakarta : 1991), hlm. 33
[20] Riza Sihbudi, Dinamika Revolusi Islam Iran, dari Jatuhnya Syah hingga Wafatnya Ayatullah Khomeini (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), hlm. 63
[21] Ibid., 64
[22] Fuqaha merupakan bentuk jamak dari faqih (ahli hukum Islam); marja’i adalah ahli agama yang menjadi panutan; sedangkan wilayatul faqih berarti faqih yang alim, adil takwa dan saleh, mengenal zam,an, pemberani, aktif, berinisiatif, yang paling menonjol, dikenal, dan di;akui sebagai pemimpin atau Imam (Konstitusi Iran, 1979: 67-68)
[23] Riza Sihbudi, Dinamika Revolusi Islam Iran, dari Jatuhnya Syah hingga Wafatnya Ayatullah Khomeini (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1989), hlm. 64.
[24] Ibid., hlm. 65.
[25] Sihbudi, Dinamika, hlm. 69
[26] Pasal 60 dan 6, Konstitusi, t. t.
[27] Sihbudi, "Tinjauan", hlm. 165.
[28] Said Amir Arjomand (ed), Authoritty and Political Culture in Shi'ism (Albany: State University of New York Press,1988), hlm. 195 dan Sihbudi, "Tinjauan", hlm. 169.
[29] Konstitusi, t. t. hlm. 68)
[30] Riaz Hassan, Islam: Dari Konserfatifisme Menuju Fundamentalisme (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hlm. 97-98
[31] Lihat. Bagan 4.
[32] Q. S. As-Syu'ara ayat 38
[33] Q. S. Ali Imran ayat 152
[34] lihat. Bagan. 5
[35] Dalam hal ini ratrifikasi proyek-proyek dan rencana undang-undang harus dilaksanakan sesuai denganperaturan intern yang telah disyahkan, kecuali dalam hal-hal dimana suatu forum yang khusus telah dispesifikasikan dalam Undang Undang Dasar. Persetujuan dua pertiga suara diperlukan sebelum suatu undang-undang dapat diterima dan diratifikasi (Konstitusi Iran: pasal 65)
[36] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Penerbit Gramedia Pustaka), hlm. 153
[37] Baqer Moin, "Ayatullah Khomeini Mencari Kesempurnaan: Teori dan Praktek dalam Ali Rahemna (ed), Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 1995), hlm 43-46
[38] Karya ini oleh Ahmad Kazemi Moussavi, diterjemahkan sebagai The Trusteeship of The Juresprudent : The Government of The Worthy dan diterbitkan di Teheran pada tahun 1984
[39] Ahmad Kazemi Moussavi, "A New Interpretation of The Theory of Vilayat-i Faqih", Middle Estern Studies, Vol. 28, No.1 (Januari 1992), hlm. 101 dan Zainuddin, Syi'ah , hlm. 64-65
[40] Ibid., hlm. 104-106
[41] Abdul Karim Soroush, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali, (Bandung: Penerbit Mizan, 2002)
[42] Ibid.
[43] Haidar Baghir, "Soroush: Potret Seorang Muslim Liberal" dalam Soroush., Menggugat, hlm. xviii
[44] Yamani, Filsafat Politik, hlm. 130
[45] Imam Khomeini, Islam and Revolution, Writings and Declaration of Imam Khomeini, terj. Hamid Aghar (Berkeley : Mizan Press, 1981), hlm. 55. Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Politik Islam”, dalam Asep Gunawan (ed), Artikulasi Islam Kultural, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 118
[46] Ahmad Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam, terj. Ali Syahab, (Jakarta: Penerbit Citra, 2006), hlm. 19
[47] Jhon, L. Esposito, Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, terj. Abd. Rahman Zainudin (Jakarta : Bulan Bintang, 1986).
[48] Abu 'Ala Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, (Bandung, Mizan, 1995), hlm. 30
[49] Q.S. Asy Syuraa: 38.
[50] Q.S. Al-Ahzab: 36.
 

Most Reading