Patologi Politik dalam Implementsi Otonomi Daerah

Thursday 26 April 2012


PATOLOGI POLITIK DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH

Rino Sundawa Putra[1]

Abstrak
          Otonomi daerah memiliki perubahan fundamental pada sistem birokrasi pemerintahan antara pusat dan daerah, sekaligus juga perubahan pada sistem politik. Pemilihan kepala daerah langsung merupakan konskuensi logis ketika daerah diberi kewenangan dan kekuasaan besar dalam mengelola daerahnya masing-masing. Dengan kondisi seperti ini, konstelasi politik daerah akan meningkat sebagai jalan memperebutkan kekuasaan daerah yang sudah sangat otonom. Peningkatan konstelasi politik daerah sebagai bagian implementasi otonomi daerah memiliki implikasi negatif terhadap jalannya roda pemerintahan daerah atau sistem birokrasi di daerah. Implikasi negatif ini menyangkut keterlibatan birokrasi dan birokrat dalam politik praktis.
Artikel ini akan menyoroti mengenai dampak pelaksanaan otonomi daerah, yakni keterlibatan birokrasi dan para birokrat dalam konstelasi politik lokal. Gejala ini sangatlah umum dan terlihat vulgar pada setiap kontestasi politik di daerah, Pemilukada Provinsi, Kota dan Kabupaten. Sistem otonomi daerah ternyata melahirkan fenomena yang disebut dengan patologi politik, dimana ruang-ruang birokrasi yang seharusnya netral, fokus terhadap tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai pelayan publik “dipaksa”  masuk dalam ranah politik. logika keterlibatan birokrasi dan para birokratnya kedalam politik praktis merupakan jaringan komplek antara elit politik lokal dan para pejabat birokrasi. Jaringan kompleks ini sebagai sebab akibat atau konskuensi logis dari implementasi otonomi daerah yang harus diurai.

Kata Kunci: Patologi Politik, Otonomi Daerah, Birokrasi Daerah
 


Politisasi Birokrasi
Persoalan politisasi birokrasi memang bukanlah fenomena baru di Indonesia, jauh-jauh hari sebelum otonomi daerah diimplementasikan, rezim Orde Baru telah memanfaatkan struktur Birokrasi dari pusat hingga daerah sebagai pondasi dalam mempertahankan rezim. Begitu kuatnya tarikan politik menyeret birokrasi sehingga intervensi-intervensi politik terus membayangi birokrasi pada zaman  Orde Baru. Pegawai Negeri Sipil yang idealnya tidak boleh memiliki afiliasi politik dan bersikap netral, justru dikondisikan sebagai agen-agen partai ditengah-tengah masyarakat.  Pada waktu itu birokrasi dipersepsikan oleh masyarakat sebagai satu paket yang tidak bisa dipisahkan dari Golkar, partai penguasa, padahal birokrasi merupakan entitas yang terpisah dari sebuah rezim. Birokrasi memang  menjadi sumber daya politik yang dianggap bisa ikut membantu dalam meraih dan mempertahankan sebuah kekuasaan.
Ketika Otonomi Daerah diimplementasikan, struktur politik yang tadinya memberikan episentrum yang besar kepada pusat, kini dipecah konsentrasinya ke daerah masing-masing yang meliputi Provinsi, Kota dan Kabupaten. Dalam UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 24 ayat 5, Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Pasal ini memberikan kepastian hukum yang jelas bahwa secara politik arena perebutan kekuasaan di daerah telah menjadi domain mutlak orang-orang daerah, bukan lagi menjadi domain pusat, sebagaimana pada masa Orde Baru.
Ketika domain politik daerah mutlak sepenuhnya diberikan kepada orang-orang daerah, maka akan ada pergeseran orientasi politik. Pergeseran orientasi politik ini mempunyai implikasi yang mengarah pada adanya patologi politik, yakni pemanfaatan birokrasi daerah untuk kepentingan politik kelompok atau golongan. Birokrasi dihadapkan pada kenyataan baru, bila pada orde baru, birokrasi diseragamkan, entah itu keseragaman dalam orientasi kerja, orientasi pandangan, orientasi etika kerja dan oreintasi politik secara nasional, maka setelah otonomi daerah, birokrasi dihadapkan orientasi lokal yang sifatnya sangat dinamis seiring munculnya elit-elit lokal pasca implementasi Otonomi Daerah, dan ini memberi pilihan terhadap para pejabat yang menjalankan birokrasi. Masalah politisasi birokrasi adalah persoalan klasik, hanya saja kini persoalan ini digeser menjadi persoalan lokal seiring implementasi otonomi daerah. Pengelolaan sebuah pemerintahan idealnya memang harus dipisahkan dari ruang-ruang politik yang mencampurinya, walaupun sebuah pemerintahan dihasilkan dari proses politik, apalagi ketika sudah menyeret birokrasi ke dalam kubu-kubu politik yang membuat birokrasi menjadi kontra produktif dari patron tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Implikasi ini harus segera ditanggulangi, khususnya bagaimana mencari sistem yang memperkecil peluang pemanfaatan birokrasi ke dalam arena politik dalam ruang implementasi Otonomi Daerah.
Penelitian yang dilakukan LIPI tahun 2005 terhdap pilkada langsung di Malang, Gowa, dan Kutai Kartanegara menyebutkan ada sejumlah faktor yang mempengaruhi birokrasi berpolitik, yaitu: kuatnya ketokohan (personality) menamamkan pengaruh terhadap PNS, vested interest PNS untuk mobilitas karir secara cepat, lemahnya sosialisasi institusi, manipulasi tafsir regulasi, kuatnya hubungan patron-client, dan peran shadow bureaucracy. Mobilitas politik terhadap individu dan institusi birokrasi digerakkan melalui jalur primordialisme (kekerabatan dan asal usul kandidat). Juga adanya dilema “rezim pelaksana” pilkada dan tafsir regulasi sepihak yang terjadi saat pilkada. Dalam satu kasus ada tim sukses yang ”bisa bermain” lewat desk pilkada untuk kemenangan kandidat. Faktor vested-interest yaitu kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir/jabatan, juga kepentingan jaringan bisnis dan politik oleh shadow-bureaucracy tampak menjadi faktor dominan yang mendorong birokrasi masih berpolitik di era pilkada langsung.

Patologi Politik dan Patologi Birokrasi
          Patologi politik dan patologi birokrasi merujuk pada pengertian dasarnya mengenai Patologi, yakni sebuah gejala penyakit yang terjadi, dimana sebagai akibatnya akan mengganggu dan mengakibatkan abnormal sebuah sistem. Penulis memberikan pengertian patologi politik sebagai sebuah gejala atau penyakit yang akan menggangu pada sistem politik dan berdampak pada terciptanya patologi birokrasi, yakni tergangunya (abnormal) sistem birokrasi.
Patologi politik dalam pelaksanaan otonomi daerah memberi pengertian keterlibatan birokrasi daerah dalam membentuk afiliasi politik yang ada di daerah, (Partai dan elit politik daerah), baik itu secara etika politik dan etika kepegawaian negeri sipil itu tidak bisa dibenarkan. Birokrasi yang seharunys netral, tidak terpengaruh oleh sebuah konstelasi politik, terseret dalam ranah yang akan memasung independensi birokrasi daerah. Pengertian patologi disini mengandung pengertian sebab akibat yang satu sama lain saling berakitan, patologi politik akan menyebabkan patologi birokrasi.
          Bila merujuk pada UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004  Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2  dimana pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola kepegawaian daerah. Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil daerah. Pola pembinaan manajemen dan kaitannya dalam menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas, tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah.
          Pola-pola seperti ini biasanya dilakukan menjelang Pemilihan Kepala daerah atau setelah Pemilihan Kepala Daerah. Asas timbal balik menjadi “kue” yang menjanjikan bagi para pejabat publik daerah, karena secara instan jabatan tertentu sebagai pengembangan karirnya di kepegawaian dapat diperoleh. Hal ini menjadi pertaruhan karir tersendiri bagi para pejabat publik, karena menjelang Pemilukada blok-blok dukungan yang sudah terpetakan sebelumnya akan bertarung menjagokan masing-masing calonnya, Para pejabat dari mulai pejabat Dinas, Camat, Lurah dan Kepala Desa seolah menjadi agen partai atau tim sukses calon kepala daerah tertentu. Manakala calon yang didukungnya menang, asas timbal balik akan dilakukan, artinya pengangkatan dan pemindahan yang diinginkan akan diberikan dengan instan sebagai imbalan politik, akan tetapi manakala calon yang didukung kalah, maka secara karir akan terkucil. Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah seharusnya di dasari oleh pasal 133 UU Otonomi Daerah yang harus mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan dan kompetensi.
           Analisa penulis mengenai polarisasi birokrasi menjelang Pemilukada ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok loyal. Kelompok ini memiliki konsistensi yang tinggi  ketika mendukung seseorang calon, dan cenderung untuk terus menghimpun dan mencari dukungan dari dalam. Kedua, kelompok oportunis. Kelompok ini adalah kelompok yang cenderung ambigu dalam memberikan dukungan, ambiguitas ini dikarenakan selalu menghitung-hitung keuntungan dan kerugian juga mencari keselamatan posisi dan jabatan. Bisa dibayangkan kalau birokrasi dihadapkan pada persoalan politis seperti ini, produktifitas dalam melakukan pelayanan publik akan terganggu. Akan ada gap dan yang lebar antar pejabat, antar Dinas, karena situasi yang serba politis akan menjadi pertimbangan utama dalam mengelola birokrasi daerah, dan hal ini akan berpengaruh kepada ketidak-solidan struktur birokrasi yang ada di daerah dalam melakukan pelayanan publik.
Menurut Webber (1948), bahwa birokrasi merupakan hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Dapat disimpulkan bahwa legalitas dengan menggunakan legitimasi peran kekuasaan sangatlah penting sebagai pemegang kunci berjalannya sistem birokrasi. Bila pucuk pimpinan yang memengang kendali kekuasaan tidak menggunakan konsep manajerial yang objektif berdasarkan kemampuan-kemampuan individu dan cenderung mengendalikan birokrasi dengan frame politis, maka sistem birokrasi tidak akan berjalan pada poros yang semestinya.
Pada akhirnya, akan terjadi patologi birokrasi seperti yang diungkapkan oleh webber, yang menekankan pada adanya dominasi kekuasaan yang berlebihan dalam  menjalankan sistem birokrasi (penyalahgunaan wewenang).  Artinya, bila kepala daerah dalam mengelola birokrasi menggunakan pendekatan kekuasaan yang membabi buta dalam mengatur birokrasi, mengatur perangkat-perangkat, jabatan, fungsi dan kewenangan berdasarkan kalkulasi dalam melanggengkan kekuasaannya daripada melanggengkan pola kerja yang berorientasi terhadap fungsi pelayanan yang optimal, maka birokrasi akan jalan ditempat, karena energinya dihabiskan untuk memikirkan konflik-konflik yang syarat akan kepentingan dalam tubuh birokrasi.
          Bekerja atau tidaknya sistem birokrasi daerah ada ditangan kepala daerah terpilih. Dalam hal ini, bagaimana kepala daerah terpilih dituntut untuk bersikap objektif dan menanggalkan kalkulasi dukung mendukung dalam tubuh birokrasi  menjelang Pemilukada. Hasrat untuk menyisihkan kelompok yang tidak mendukung dan menyokong kelompok yang kalah harus dibuang jauh-jauh. Resistensi akibat kemenangan dan kekalahan dalam tubuh birokrasi akan menimbulkan dis-harmonisasi para birokrat, dan ini tentu saja akan berakibat pada merosotnya kinerja para pelayan masyarakat ini.
Kepala Daerah memang jabatan politik, tetapi dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang mempunyai kapasitas sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan daerah, kepala daerah harus memerankan konsep manajerial yang utuh dalam menata birokrasi agar terjadi harmonisasi dan sinergitas dalam tubuh birokrasi, merupakan garda terdepan dan ujung tombak  pemerintah dalam menjalankan program-program pemerintah daerah. Jika terjadi dis-harmonisasi atau resistensi pada tubuh birokrasi akibat ekses Pemilukada yang tidak bisa diredam, maka program-program yang selama ini diusung dalam kampanye seperti mungkin tidak akan tercapai.

Wacana Memutus Mata Rantai
          Pertanyaan yang kemudian muncul dari implikasi-implikasi negatif implementasi Otonomi Daerah ini adalah bagaimana memutus mata rantai keterkaitan birokrasi dan para aparaturnya ke dalam ranah politik. seperti yang sudah penulis gambarkan diatas, bahwa persoalan tarikan politik ke dalam struktur birokrasi adalah masalah klasik, dan persoalannya hanya terletak pada pergeseran domain politik dari pusat ke daerah, maka pendekatan sebagai jalan memutus mata rantai tersebut adalah menggunakan pendekatan sistem politik. bagi penulis, Otonomi Daerah tidak terlalu identik dengan perubahan sistem politik. Demokratisasi secara liberal yang terjadi ditingkat nasional tidak serta merta memberikan keharusan dan syarat mutlak bagi pelaksanaan otonomi daerah, karena fokus otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, pemerataan, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Walaupun pelaksanaan otonomi Daerah harus memperhatikan prinsip demokrasi, ternyata tidak ada korelasi posistif antara Pemilihan Kepala Daerah Langsung dengan kualitas pelayanan publik di daerah, justru yang terjadi adalah kecendrungan adanya patologi politik yang berakibat pada patologi birokrasi yang penulis paparkan diatas. Ini adalah persoalan teknis pelaksanaan prinsip demokrasi, artinya bagaimana otonomi daerah ini bisa membangun teknis pelaksanaan demokrasi, tapi disisi lain menutup ruang bagi birokrasi untuk bermain dalam wilayah politik.
          Untuk menghasilkan seorang kepala daerah yang berkualitas, menyerap aspirasi masyarakat, cepat dan tanggap dalam menyelesaikan tugas dan persoalan yang ada di daerah, diperlukan sistem yang mempunyai korelasi posistif. Bila selama ini kita menganggap Pemilihan Kepala Daerah langsung merupakan formula yang baik untuk menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan menghasilkan aparatur birokrasi yang berkualitas, ternyata dengan fakta-fakta yang terjadi tidak menunjukan korelasi seperti itu. Pendekatan sistem politik dan prinsip demokrasi ini mengacu pada bagaimana teknis berdemokrasi yang bisa meminimalkan kecenderungan-kecendendungan yang bersifat negatif. Wacana-wacana yang selama ini muncul sebagai respon adanya patologi politik dan patologi birokrasi yang penulis paparkan memang sudah bermunculan, diantaranya adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
          Wacana ini harus dipikirkan kembali, sebagai jalan memutus mata rantai keterikatan birokrasi dalam wilayah politik. Dengan mekanisme ini, otonomi daerah juga tidak akan kehilangan ruhnya sebagai bagian dalam memantapkan demokrasi di tingkat lokal, sekaligus juga meminimalisasi politik High Cost, atau politik berbiaya tinggi sebagai konskwensi logis pelaksanaan Pemilukada. Kemudian pendekatan yang kedua adalah pembatasan kewenangan kepala daerah. Bila dalam UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004  Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 kepala daerah diberi kewenangan yang besar dalam rangka  pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian, maka untuk menghindari penyalahgunaan wewenang ini dari tarik ulur kepentingan politis, kewenangan ini harus dipangkas. Kewenangan dalam rangka pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian harus diserahkan kepada otoritas Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini otoritas Menteri Dalam Negeri tidak hanya sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah, tetapi juga diberi kewenangan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian.
          Kemudian pendekatan yang ketiga adalah penguatan sistem birokrasi yang bisa bertahan dari intevensi politik. Pendekatan ini bisa dirumuskan kedalam sistem kerja, sistem hirarki dan pemisahan otoritas antara jabatan politik (kepala daerah) dan jabatan karir melalui  aturan, hukum dan perundang-undangan.

Kesimpulan
          Implementasi Otonomi Daerah pada hakekatnya adalah memberi ruang kepada daerah dalam mengelola urusan rumah tangganya sendiri secara otonom dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sebagai tulang punggung utama terciptanya Otonomi daerah yang berkualitas, pengelolaan birokrasi daerah yang profesional adalah kunci bagi terciptanya tujuan-tujuan implementasi otonomi daerah. Tapi proses politik yang mengiringi implementasi otonomi daerah ternyata tidak melepaskan birokrasi dari tarikan-tarikan politik sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Masalah ini tentunya akan sangat kontra produktif bagi kinerja pelayanan publik. Gejala ini haruslah menjadi cermin dalam rangka menyempurnakan sistem dan landasan hukum yang baik bagi pelaksanaan otonomi daerah. Sistem yang dimaksud adalah sistem politik yang bisa meminimalisasi tarikan-tarikan kepentingan yang menyeret birokrasi daerah dalam situasi politik lokal. Kemudian yang kedua adalah menyempurnakan landasan hukum yang mempunyai korelasi terciptanya independensi birokrasi dan para birokrat di daerah dari tarikan-tarikan politik dalam memperebutkan kursi kepala daerah.
          Keadaan seperti ini memang merupakan buah dari sistem otonomi daerah yang memberi ruang sangat besar bagi konsolidasi demokratisasi di daerah. Dinamika dan warna-warni politik semakin ramai ditingkat lokal. Hiruk-pikuk demokrasi di tingkat lokal ini ternyata menyeret birokrasi daerah kedalam wilayah politik. fenomena ini haruslah menjadi kajian bersama dalam menciptakan sistem yang memutus mata rantai terseretnya birokrasi daerah dalam wilayah politik lokal.
Birokrasi yang profesional adalah birokrasi yang memandang politisi dan partai politik secara objektif. Karena bagaimanapun, sepatutnya pegawai negeri sipil berkomitmen penuh untuk mengabdi pada masyarakat (Edgar Gladden, 1956) tanpa diganggu oleh proses politik.  Birokrasi yang netral akan menjadikan pemerintahan lebih stabil dan mampu meningkatkan daya kinerja dan pelayanan publik sebuah daerah. Sebenarnya menghilangkan pengaruh politik dari birokrasi sama sekali adalah hal yang tidak mungkin (Guy Peters, 2001; Dag Jacobsen, 2006). Maka yang diperlukan adalah penguatan sistem birokrasi yang tahan terhadap pengaruh dan intervensi politik yang negatif (Tri Widodo, 2011).

Referensi

Martin Albrow, 2005, Birokrasi, Tiara Wacana, Yogyakarta

LIPI Press, 2006: Netralitas Birokrasi dalam Pilkada Langsung di Indonesia 2005 (Studi kasus Malang, Gowa dan Kutai Kartanegara)

Prijono Tjiptoherijanto: Mewujudkan Netralitas PNS Dalam Era Otonomi Daerah, 23/11/2008

UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.







[1] Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya

No comments:

 

Most Reading