Merajut Masyarakat Multikultural dalam Bingkai Otonomi Daerah

Sunday 15 April 2012



MERAJUT MASYARAKAT MULTIKULTURAL DALAM BINGKAI
OTONOMI DAERAH

Akhmad Satori[1]

Abstrak
Otonomi daerah dalam satu segi bisa dimaknai sebagai upaya untuk membangunkan kembali kearifan lokal (lokal wishdom) yang selama ini hilang dari masyarakat Indonesia yang multikultural. Kekuasaan orde baru tidak saja menjalankan kebijakan sentralisasi dan upayanya membentuk budaya nasional (national culture), tetapi juga menenggelamkan nilai-nilai lokal dengan memaksakan keseragaman atas nama persatuan dan kesatuan. Perubahan Paradigma sistem pemerintahan membawa angin segar bagi tumbuhkembangnya kembali semangat nilai-nilai lokal tersebut. Hanya saja, tumbuhnya spirit lokalitas ini dihadapkan dengan sebuah tantangan besar dengan semakin derasnya arus perubahan dan kuatnya dampak globalisasi,  untuk itu diperlukan usaha pendidikan multikulturalisme untuk memperkuat otonomi daerah.  Tulisan ini mencoba memberikan perspektif lain mengenai bagaimana pembangunan otonomi daerah yang berwawasan lokal (lokal views) dengan mencoba merajut kembali semangat multikulturalisme di tengah masyarakat indonesia.

Kata Kunci : Pendidikan Multikulturalisme, spirit lokalitas, Integrasi Bangsa
 


Pendahuluan
Proses transformasi tatanan global mengalami kemajuan yang sangat pesat seiring dengan pesatnya kemajuan peradaban manusia. Proses ini membawa implikasi besar pada aktor-aktor di level global, nasional maupun lokal terutama berkaitan dengan institusionalisasi model masyarakat dunia yang semakin kuat, semakin dalam dan semakin terbuka.  Dalam era globalisasi ini masyarakat diintegrasikan dengan segenap dimensi kehidupannya menjadi sebuah masyarakat global (global society) yang berpengaruh pada kemudahan pergerakan manusia, barang maupun arus informasi sehingga menciptakan dunia yang lebih terbuka dan mereduksi batas‐batas negara.
Dalam perkembangannya, bangsa Indonesia dihadapkan dengan tantangan yang semakin besar dan kompleks sejalan dengan semakin derasnya arus perubahan dan kuatnya dampak globalisasi ini. Kondisi tersebut mau tidak mau dan suka tidak suka dapat berakibat negatif terhadap cara pandang bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk hal ini bisa dilihat dari beberapa parameter berikut: pertama, adanya keragaman kultural (multikultural), kedua, aliansi etnik, dan ketiga, terorganisir secara etnik (Robushka dan Shepsel, 1972; IRE, 2002 ). Dalam kehidupan masyarakat yang multietnis atau multikultural seperti Indonesia, kemajemukan tidak saja menyiratkan adanya perbedaan-perbedaan, tetapi juga didalamnya mengandung interaksi timbal-balik antar anggota masyarakat. Pada masyarakat seperti itu problem yang biasanya timbul adalah sulitnya mencapai kesepakatan dalam meletakan landasan sistem politik yang mapan.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial ini memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia mendemonstrasikan hubungan antar etnik dan agama telah berulangkali mengalami pasang surut yang memprihatinkan.  Bahkan dalam banyak kasus, kerusuhan atau peperangan antarsuku dan agama, sering membawa korban yang tidak sedikit dan sulit untuk diatasi.
Kesenjangan dan sakralisasi pembangunan yang dilakukan pemerintahan sebelumnya telah melahirkan banyak korban. Uniformalitas terhadap budaya lokal dengan dalih kesatuan dan persatuan adalah contoh yang nyata. Dalam konteks ini pemerintahan Orde Baru tidak mendudukan pembangunan dengan konteks lokal, pembangunan hanya berorientasi pada pusat, sehingga kemajuan yang dirasakan pusat tidak dirasakan oleh daerah.
Perubahan paradigma kekuasaan sentralis menjadi paradigma kekuasaan berbasis daerah (desentralis) melalui kebijakan otonomi daerah memberikan nafas baru dalam upaya membangkitkan kembali modal sosial berupa spirit lokalitas yang telah lama hilang. UU No. 25 Tahun 1999 disusul kemudian UU No.32 Tahun 2004 membawa misi penguatan masyarakat lokal dalam rangka peningkatan kapasitas demokrasi ditingkat lokal, pengembalian martabat dan harga diri masyarakat daerah yang sudah lama termarjinalkan pusat, serta membingkai kembali masyarakat indonesia yang majemuk. Namun pada kenyataannya akhir-akhir ini sejak era reformasi, justru kemajemukan masyarakat cenderung menjadi beban daripada modal bangsa Indonesia. Hal ini terlihat dari munculnya berbagai masalah yang sumbernya berbau kemajemukan, konflik umat beragama adalah salah satu dari masalah yang sering terjadi.
Sepanjang 2011, menurut data yang dihimpun oleh Center for Religious and Cross-curtural Studies (CRCS) dan beberapa pemberitaan media massa, setidaknya ada 36 kasus yang diduga berlatar belakang agama terjadi di 14 provinsi di Indonesia. Angka tersebut hanya menunjukan permasalahan ibadah belum mencakup semua permasalahan yang dipicu oleh mispresepsi dan miskomunikasi antar umat beragama (Republika, 2012).  Belum lagi permasalahan konfik yang disebabkan mengenai etnisitas dan identitas budaya, menambah banyak catatan kasus yang disebabkan mengenai kemajemukan.
Pada dasarnya, kebijakan otonomi daerah dalam satu segi bisa dimaknai sebagai upaya untuk membangunkan kembali kearifan lokal (local wishdom) yang selama ini hilang dari masyarakat Indonesia yang multikultural. Dalam konstek ini, acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik. Di dalam mozaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mozaik tersebut. Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “Kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.(Nurwahid, 2011)
Oleh karena itu, pengalaman pahit masa lalu menuntut kita kedepan memulai upaya-upaya baru, yakni dengan upaya mentransformasikan paradigma  kemajemukan dan multikulturalisme kedalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.  Benteng terkuat untuk menangkal segala bentuk baik ancaman maupun pandangan yang dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bangsa tersebut tentu dengan pendidikan yang tetap berpegang teguh pada pandangan hidup bangsa Indonesia.

Multikulturalisme dalam Khasanah Indonesia
Pemahaman serta kesadaran tentang multikulturalisme, sebenarnya sudah muncul sejak negara Republik Indonesia terbentuk yang digunakan oleh pendiri bangsa Indonesia untuk ”mendisain kebudayaan bangsa Indonesia. Tetapi realitas sekarang yang dihadapi bangsa Indonesia, pemahamannya keluar dari konsep dasar tersebut. Artinya, bagi bangsa Indonesia masa kini konsep multikulturalisme menjadi sebuah konsep yang baru dan asing. (Suparlan, 2002).
Multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme itu sendiri tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. 
Multikulturalisme menurut Azyumardi Azra (2007), pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat majemuk.
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society) sendiri menurut Furnivall (1940) adalah orang yang hidup berdampingan secara fisik, tetapi karena perbedaan sosial mereka terpisah-pisah dan tidak bergabung dalam sebuah unit politik. Furnivall menunjuk masyarakat Indonesia di zaman kolonial sebagai contoh yang klasik. Masyarakat Hindia Belanda waktu itu terpisah-pisah, tidak saja antara kelompok yang memerintah dan yang diperintah dipisahkan oleh ras yang berbeda, tetapi secara fungsional masyarakatnya terbelah dalam unit-unit ekonomi, antara pedagang Cina, Arab, dan India (Foreign Asiatic) dengan kelompok petani Bumi Putera. Menurut Furnivall masyarakat dalam unit-unit ekonomi ini hidup menyendiri (exclusive) pada lokasi-lokasi pemukiman tertentu dengan sistem sosialnya masing-masing. (Nasikun, 2001)
Pemisahan kelompok-kelompok masyarakat ini dapat juga disebabkan karena perbedaan agama (seperti di Ireland), dan kasta (di India). Sebab utama dari pemisahan ini, ialah kepentingan untuk monopoli sumber-sumber ekonomi (economic resources). Dengan kata lain, kepentingan ekonomi dilanggengkan oleh ras, agama, suku, bangsa, hukum, politik, bahkan nasionalisme.
Setidaknya, dewasa ini ada dua konsep masyarakat majemuk yang muncul dari berbagai hasil penelitian di atas: (1) konsep “kancah pembauran” (melting pot), dan (2) konsep “pluralisme kebudayaan” (cultural pluralism). Teori kancah pembauran pada dasarnya, mempunyai asumsi bahwa integrasi (kesatuan) akan terjadi dengan sendirinya pada suatu waktu apabila orang berkumpul pada suatu tempat yang berbaur, seperti di sebuah kota atau pemukiman industri. Sebaliknya konsep pluralisme kebudayaan justru menentang konsep kancah pembauran di atas.
Menurut Horace Kallen, salah seorang pelopor konsep pluralisme kebudayaan tersebut, menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnis atau ras yang berbeda tersebut malah harus di dorong untuk mengembangkan sistem mereka sendiri dalam kebersamaan, memperkaya kehidupan masyarakat majemuk mereka. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa konsep kancah pembauran hanyalah suatu mitos. Mitos yang tidak pernah menjadi kenyataan, sedang pluralisme kebudayaan menurut berbagai ahli telah mengangkat Amerika Serikat, Cina, Rusia, Kanada, dan India menjadi negara yang kuat.
Urbanisasi dan industrialisasi Indonesia, seperti dibuktikan dalam sejarah, tidak dengan sendirinya mengikis unsur-unsur kemajemukan masyarakatnya, malah dalam berbagai studi menunjukkan kecenderungan penguatan aspek-aspek primordialisme (suku, agama, dan sistem simbolik lainnya) dalam kehidupan masyarakat kota. Ironisnya, kemajemukan primordialisme ini berkembang bersama proses transformasi masyarakat kota itu sendiri dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, sehingga kemajemukan dalam aspek kehidupan tersebut menjadi berganda.
Derasnya pengaruh globalisasi semakin besar terhadap prospek  penguatan nilai-nilai budaya lokal dan kearifan tradisional sebagai landasan penguatan kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman masyarakat. Sebagai konsep yang diadopsi dari “barat”, nilai yang terkandung dalam globalisasi, berakar pada individualisme yang, dalam banyak hal, bertolak-belakang dari prinsip dasar komunitas-komunitas masyarakat di Indonesia umumnya yang komunalistik dan kolektif.  Imbas dari individualisme ini dirasakan benar bukan hanya pada komunitas masyarakat perkotaan, tapi juga semakin menggejala di masyarakat pedesaan.  Kondisi seperti ini apabila di biarkan tidak saja menimbulkan kebebasan yang individualistik tetapi juga mendorong berkembangnya sikap pragmatik, konsumeristik, materialistik, hedonistik, yang mengabaikan nilai-nilai luhur bangsa seperti gotong royong, kekeluargaan, kerukunan dan kebersamaan sebagai pencerminan wawasan kebangsaan.

Dusun Susuru: Potret Harmoni Masyarakat Majemuk
Pelaksanaan Otonomi Daerah bersentuhan langsung dengan tiga hal pokok (three essential things) di atas sekaligus; pemberdayaan dan kesejahteraan ekonomi, hak-hak politik, serta hak dan kewajiban dalam bidang sosial dan budaya. Ketiga hal ini berkenaan secara langsung dengan baik prinsip-prinsip pluralisme maupun ideologi multikulturalisme. (Wijayanti, 2011).
Wacana multikulturalisme dan estetika lokal dipahami sebagai sebuah usaha untuk menemukan nilai-nilai lokal (kearifan lokal, atau seperti pandangan Azyumardi Azra yakni local genius yang terkandung dalam kebudayaan daerah, seperti misalnya sejarah, bahasa, sistem perniagaan, pandangan hidup, pranata sosial adat, sastra, seni, dan lainnya. Usaha ini muncul tak lain merupakan bentuk kekhawatiran akan terputusnya tali generasi suatu kebudayaan, bukan dari rasa “dendam” karena telah dimarjinalkan.
Dari sekian banyak kelompok masyarakat/komunitas masyarakat yang tersebar di tanah air, yang memiliki ikatan primordial, budaya dan ideologi tertentu, memberikan gambaran bahwa masyarakat Indonesia sangat beragam, baik budaya, pandangan hidup, agama dan kepercayaan, adat istiadat, bahasa, simbol-simbol ikatan, atribut dan lain sebagainya. Dari sekian banyak multikultur  tersebut, terdapat komunitas masyarakat di Desa Kertajaya Kecamatan Panawangan Kabupaten Ciamis Jawa Barat, tepatnya di dusun Susuru yang memiliki sistem kehidupan sosial budaya yang mencerminkan kebhinekaan agama/kepercayaan dalam sebuah wilayah kedusunan.
Kehidupan masyarakat dusun Susuru dalam bidang keagamaan sangat sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.  Bagi mereka, ada hal yang penting untuk dipertahankan yaitu kebersamaan. Menjaga nilai-nilai kebersamaan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sangat kental dalam setiap pribadi warga masyarakat Dusun Susuru. Masyarakat dusun Susuru lebih mengedepankan hidup berdampingan tanpa melihat perbedaan latar belakang agama dan kepercayaan masing-masing. Oleh karena itu, tidak heran jika ada seorang Muslim di dusun Susuru yang mengikuti perayaan Natal di gereja.(Satori, 2012)
  Meskipun, sebagaimana dikatakan oleh tokoh kalangan Muslim di dusun Susuru, perilaku semacam itu dalam kitab – kitab piqih agama Islam bentuk seperti tersebut dianggap sebagai bentuk penyimpangan, akan tetapi bagi masyarakat setempat nilai-nilai kemanusian lebih penting daripada formalitas ritual. Hal tersebut dapat dilihat ketika umat Islam merayakan Hari Raya Iedul fitri atau Iedul adha, warga masyarakat penganut agama lain berbaur bersama mereka untuk merayakannya dan mengucapkan selamat kepada warga masyarakat yang sedang merayakan hari raya dimaksud. Jika dibandingkan dengan fenomena yang terjadi pada masyarakat kota yang struktur masyarakatnya heterogen dan multikultural, adalah hal yang dianggap biasa, namun bagi warga masyarakat pada tingkat kedusunan, fenomena seperti itu menjadi suatu hal yang amat luar biasa dan jarang ditemukan di tempat lain khususnya di daerah Ciamis. (Satori, 2012)
Realita kehidupan sosial budaya masyarakat dusun Susuru seperti diutarakan di atas, menjadi suatu hal yang dianggap unik bagi warga masyarakat sekitar dusun Susuru. Kebersamaan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Susuru dalam keberagaman agama dan kepercayaan menjadi fenomena yang dapat dijadikan sebuah model bagaimana mengelola harmoni sosial dalam masyarakat yang multikultural.

Pentingnya Pendidikan Multikultural
Gagasan multikulturalisme meyakini bahwa keragaman sosial (diversity) merupakan suatu kondisi yang tidak terelakan (bukan patologi sosial yang irasional) (Karim, 2010). Membangun semangat multikulturalisme berarti membangun kesetaraan dalam keragaman (equality in difference); dimana proses politik dan aktualisasi dari proses kewarganegaraan merupakan proses dari ekspresi “politik pengakuan” bukan sekedar politik redestribusi.
Pengakuan dan penghargaan terhadap prinsip otonomi daerah dan keberagaman seperti ini seharusnya mendapat tempat utama pada setiap usaha sosialisasi dalam bentuk tidak saja formal—pendidikan disekolah-sekolah resmi dalam bentuk tingkat baik negeri maupun swasta, tetapi juga informal—pendidikan keluarga dirumah atau dalam lingkungan keluarga, serta non-formal—dan pusat-pusat pelatihan masyarakat didalam lingkungan kelompok masyarakat.
Pendidikan merupakan lapangan yang sentral dalam upaya menerjemahkan gagasan multikullturalisme yang menjadi kenyataan dalam perilaku kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.  Pada posisi ini, pendidikan multikultur memegang peranan kunci, sebab pendidikan merupakan lapangan sentral dalam upaya menerjemahkan dan mensosialisasikan gagasan multikulturalisme, sehingga menjadi kenyataan dalam perilaku. Tetapi perlu diketahui, bahwa gagasan pendekatan multikultur relatif baru  dianggap sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. 
Pendidikan multikultural yang akan dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional. (Mahedy, 2003) 
Untuk menyusun konsep pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antara kelompok, etnis, sukubangsa dan agama bukan mengandung dan merupakan tantangan yang tidak ringan.  Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas "merayakan keragaman"  dan “kebersamaan” belaka. Apalagi  tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi yang bersifat rasis, etnis, fanatis terhadap religiusitas. Musa Asy’arie (2004) menekankan bahwa pendidikan multikultural lebih bermakna sebagai proses pendidikan cara hidup, menghormati, tulus, toleransi terhadap keragaman budaya yang hidup ditengah masyarakat plural, sehingga masyarakat kelak memiliki kekenyalan dan kelenturan mental bangsa dalam menyikapi konflik sosial di masyarakat. (Hanum, 2005)
Potret harmoni sosial yang ditunjukan oleh masyarakat masyarakat dusun Susuru diatas merupakan demonstrasi suatu model bagaimana pendidikan multikulturalisme itu di jalankan. Masyarakat yang  memegang teguh nilai-nilai luhur bangsa seperti gotong royong, kekeluargaan, kerukunan dan kebersamaan sejatinya merupakan karakter masyarakat indonesia, oleh karenanya panduan utama bagi terciptanya masyarakat Indonesia baru yang majemuk (plural) dan beragam budaya (multicultural) adalah multikulturalisme.
Gambaran masyarakat tersebut semakin menyadarkan kita bahwa pemahaman terhadap multikulturalisme merupakan kebutuhan bagi manusia untuk menghadapi tantangan global di masa mendatang. Pendidikan multikultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu  menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya. Bila kedua tanggung jawab besar itu dapat dicapai, maka kemungkinan disintegrasi bangsa dan munculnya konflik dapat dieliminasi. Disisi lain primordialisme lokal yang berlebihan, fanatisme agama yang terlalu kuat ataupun ekslusivisme daerah yang sering muncul bersamaan dengan lahirnya era otonomi daerah dapat dihindarkan.

Multikulturalisme dalam Bingkai Otonomi daerah
Konsekuensi logis dari pelaksanaan Otonomi Daerah adalah pemerintah selalu di hadapkan pada dua tugas utama yang harus mereka emban; Pertama, membangun negara kesatuan (integrasi) yang mampu mengatasi ikatan-ikatan primordial. Kedua, membangun demokrasi yang dapat memberikan ruang politik dan aspirasi masyarakat secara luas (IRE, 2002).
Dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, satu prinsip yang harus dipegang oleh bangsa Indonesia adalah bahwa aplikasi otonomi daerah tetap berada dalam konteks persatuan  dan kesatuan nasional Indonesia (integrasi nasional). Otonomi tidak ditujukan untuk kepentingan pemisahan suatu daerah untuk bisa melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk kepentingan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Dengan  demikian jelaslah bahwa aplikasi pemerintahan dan pembangunan di daerah sekarang ini didasarkan pada dua sendi utama yaitu: Otonomi Daerah dan Integrasi Nasional.
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam masyarakat multikultural merupakan hal yang penting dalam upaya membangun nagara kesatuan (integrasi  bangsa), paradigma  ini mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu kompetensi kebudayaan, kemasyarakatan dan kepribadian.
Pertama, Kompetensi kebudayaan yang merupakan kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu.  Kedua, Kompetensi kemasyarakatan merupakan tatanan-tatanan sah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tindakan komunikatif membentuk solidaritas sejati. Ketiga, Kompetensi kepribadian yaitu kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertindak dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai perubahan interaksi.
Multikulturalisme bukan sekedar mengakui yang berbeda dan lebih merupakan pembedaan yang simetris (symetrical differentiated citizenship) dengan mengakui adanya pluralitas identitas dalam masyarakat, hal itulah yang mestinya didorong oleh instrumen kebijakan otonomi daerah dalam rangka mengeliminir munculnya loyalitas sempit atas dasar agama maupun ikatan kesukuan belaka.  Selain itu, melalui pluralitas identitas, maka perjuangan kepentingan masyarakat lokal tidak lagi terjebak pada isu-isu primordial dan sekterian yang bisa mengancam harmoni lokal itu sendiri. Ini berarti diperlukan suatu instrumen kebijakan yang mendorong institusionalisasi masyarakat atas dasar persamaan kepentingan  diantara mereka tanpa memandang perbedaan agama dan kesukuan (Haris, 2001)
Implementasi Otonomi Daerah juga meniscayakan pemberian ruang politik dan aspirasi kepada masyarakat untuk berpartisipasi secara luas. Prinsip penerimaan dan penghargaan terhadap keberagaman nilai-nilai merupakan pembiakan dari prinsip demokrasi yang tidak saja mendorong terciptanya partisipasi dari dan pemberdayaan bagi semua golongan masyarakat. Akan tetapi pembiakan dari prinsip demokrasi ini juga akan terwujud dalam bentuk mengakui dan menghargai keberagaman budaya serta ide atau pendapat yang saling berbeda maupun mengakui dan menghargai prinsip otonomi daerah yang luas dan nyata yaitu keberadaan hak-hak asli daerah dan hak-hak rakyat didaerah.
Menyangkal kemajemukan analog dengan penghianatan terhadap realitas sosial, dan tatanan sejarah kemasyarakatan kita yang multi etnik dan multikultural ini. Kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas atau diversitas) masyarakat dan kebudayaan di Indonesia merupakan kenyataan sekaligus keniscayaan, nilai asli masyarakat Indonesia adalah nilai yang didalamnya melekat dengan konsep multikultural, nilai-nilai seperti toleransi beragama, agregasi sosial, kemajemukan kultural dan etnik, menurut Anders Uhlin (Democracy and Diffusion Transnational; Lessons Drawing Among Pro Democracy Actors, 1995), menjadi alasan mengapa para pendiri bangsa ini memilih Pancasila dari pada pada ideologi bernuansa agama.
Keniscayaan ini harus kita akui secara jujur, terima dengan lapang dada, kelola dengan cermat, dan jaga dengan penuh rasa syukur; bukan harus kita tolak, abaikan, sesalkan, biarkan, dan diingkari hanya karena kemajemukan dan keanekaragaman itu menimbulkan berbagai ekses negatif, antara lain benturan masyarakat dan kebudayaan lokal di pelbagai tempat di Indonesia.

Penutup
Masyarakat majemuk Indonesia lebih sesuai didekati dari konsep multikulturalisme (pluralisme budaya), sebab integrasi nasional yang hendak diciptakan tidak berkeinginan untuk melebur identitas ratusan kelompok etnis bangsa kita, bahkan di samping hal itu dijamin oleh UUD 45, tetapi juga memerlukan pluralisme itu dalam pembangunan nasional. Masalahnya ialah bagaimana mengelola pluralisme itu dan menjauhkan dampak negatifnya dalam “National Building”.
Mengingat pentingnya pemahaman multikulturalisme dalam pembangunan bangsa, maka diperlukan upaya-upaya konkrit untuk mewujudkannya. Kita perlu menyebarluaskan pemahaman dan mendidik masyarakat akan pentingnya multikulturalisme bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain kita memerlukan pendidikan multikulturalisme yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia mencapai keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat

Referensi

IRE, 2002, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal : Anual Reeport 2001-2002, Penerbit IRE Yogyakarta.

Handasah, Wachidah., 2012. Multikuturalisme Sebagai Basis kerukunan Umat, Harian Republika, Ahad, 25 Maret 2012.

Hanum, Farida, 2005, Multikulturalisme dan Pendidikan, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/multikulturalisme-dan-pendidikan.pdf, di akses senin, 9 April 2012, Pkl. 09.15 wib.

Haris, Syamsudin, 2001, Paradigma Baru Otonomi Daerah, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI). Jakarta.

Hatta, Meutia, 2006, Pemahaman Multikuluralisme dalam Semangat Otonomi Daerah, Suara Pembaharuan, Senin, 27 Maret 2006.

Karim, Abdul Gafar, 2010, Multikulturalisme, Bahan Ajar Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta

Nasikun, 2001, Sistem Sosial Indonesia. Penerbit Rajawali Press. Jakarta.

Nurwahid, Hidayat, 2011, Membangun Masa Depan Bangsa di Atas Pondasi Multikulturalisme, dari  http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2801&Itemid=222. Diakses Rabu, 28 Maret 2012, pkl. 13.00 wib

Priyatno dan Trubus, 2004, Etika Kemajemukan : Solusi Strategis Merenda Kebersamaan dalam Bingkai masyarakat Majemuk, Penerbit Univ. Trisakti, Jakarta.

Satori, Akhmad, 2012, Kemajemukan Masyarakat Dusun Susuru Desa Kertajaya, Panawangan, Ciamis. dipublikasikan pada Aliansi Jurnal Politik dan Pemerintahan. Vol 4, Nomor 1 Januari 2012.

Suparlan, Parsudi. 2002, Menuju Masyarakat Indonesia Yang Multikultural, Makalah, Disajikan pada Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, Membangun Kembali “Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika”, Menuju Masyarakat Multikultural, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16-19 Juli 2002, From: Akses, Senin, 2 April 2012, jam 15.20].

Syaukani,dkk., 2003, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Penerbit Pustaka Pelajar Kerjasama dengan Pusat Pengkajian Etika politik dan Pemerintahan, Jakarta.




[1] Ketua Program Studi Ilmu Politik Universitas Siiwangi Tasikmalaya

No comments:

 

Most Reading