Otonomi Daerah Dalam Perspektif Gender

Tuesday, 17 April 2012


OTONOMI DAERAH DALAM PERSPEKTIF GENDER

Fitriyani Yuliawati

Abstrak
Pelaksanaan otonomi daerah pada beberapa sisi kebijakan yang telah dijalankan sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974 tidak selalu membawa dampak positif terutama dalam upaya mengatasi diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia. Pada pelaksanaannya dipertanyakan apakah kebijakan otonomi daerah yang sedang berjalan telah berlaku adil bagi perempuan dan laki-laki?
Perempuan dalam era otonomi daerah masih banyak yang mengalami diskriminasi. Terdapat beberapa faktor yang akhirnya melahirkan diskriminasi perempuan terutama dalam pembuatan kebijakan pada tingkat lokal, seperti di banyak daerah yang kemudian ramai-ramai membuat perda yang berlabel syariah. Sangat disayangkan pembuatan perda yang berlabel syariah ternyata bukan karena kepentingan masyarakat lokal tersebut tapi lebih banyak karena faktor politis.

Kata Kunci : Gender, Syariah, Partisipasi Perempuan, Feminis
 


Pendahuluan
Dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagai perwujudan dari sistem desentralisasi yang diterapkan di Indonesia lebih dari satu dasawarsa yang lalu telah memberikan angin segar bagi hampir semua aspek pemerintahan daerah di Indonesia, hal ini sejalan dengan makna otonomi daerah sebagai perwujudan dari desentralisasi, daerah mempunyai hak untuk otonomi daerah, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa adanya tanpa adanya campur tangan  dan intervensi dari pihak lain (pemerintah pusat) sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Akan tetapi pada Pelaksanaannya,pada beberapa sisi kebijakan otonomi daerah yang telah dijalankan sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974  tidak selalu membawa dampak positif terutama dalam upaya mengatasi diskriminasi terhadap perempuan di Indonesia.Pada pelaksanaannya dipertanyakan apakah kebijakan otonomi daerah yang sedang berjalan telah berlaku adil bagi perempuan dan laki-laki secara setara? Ataukah kemudian kebijakan otonomi daerah ini hanya menguntungkan pihak laki-laki saja?. Dari berbagai diskusi dan wacana yang dikembangkan oleh para aktivis perempuan di Indonesia terdapat kecenderungan pemikiran yang menganggap era otonomi daerah ternyata pada akhirnya semakin merawankanposisi perempuan, apalagi dengan adanya fenomena upaya formalisasi syariat Islam, di mana sebagian peraturan daerah (perda) sudah muncul di beberapa daerah seperti yang terjadi di padang, tasikmalaya dan di beberapa daerah lainnya. Singkatnya, apabila kecenderungan wacana yang ada terus berlangsung, hal ini, menunjukkan otonomi daerah sama saja dengan momentum yang menakutkan bagi kalangan perempuan karena dianggap akan semakin memarjinalkan kaum perempuan di Indonesia.

Otonomi Daerah Sebagai Kebijakan yang Menguatkan Budaya Lokal
Terdapat tiga catatan menyangkut dampak otonomi daerah terhadap perempuan.Catatan pertama, kecenderungan menguatnya politik identitas, politisasi agama, dan revitalisasi adat yang bernuansa pembatasan peran publik perempuan. Kedua, otonomi daerah tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hal ini ditandaidengan alokasi APBD lebih banyak untuk biaya pelaksanaan pemerintahan daerah daripada kesejahteraan masyarakat. Ketiga, partisipasi aktif perempuan dalam pembuatan kebijakan masih sangat minim, keterwakilan perempuan dalam institusi pengambilan keputusan yang seharusnya sesuai dengan kuota 30 persen akhirnya menjadi turun signifikan, dan kepemimpinan perempuan sebagai pemimpin daerah di tingkat lokal jumlahnya nyaris tidak ada. Semakin menguatnya budaya yang sangat patriarkis setelah Otonomi Daerah berjalan merupakan salah satu andil semakin termarjinalkannya perempuan Indonesia.
Menyamakan persepsi mengenai pentingnya meletakkan budaya masyarakat sebagai basis sistem politik yang seniscayanya dibangun dan dikembangkan dalam implementasi daerah otonom. Dalam konteks ini, komunitas lokal yang memiliki kekhasan budaya itulah yang menjadi penentu segala bentuk kebijakan yang dikembangkan di setiap daerah otonom. Nilai-nilai budaya lokal yang beragam, dengan menghindari segala upaya uniformalisme dari (kebijakan) pemerintah pusat. Kemudian pada akhirnya akan menimbulkan efek bagi masyarakat daerah semakin merasa berada pada rumahnya sendiri untuk selanjutnya akan semakin mengakui eksistensi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Pemerintah pusat akan mengembangkan pola manajemen Indonesia dengan sistem politik di daerah-daerah otonom yang beragam sehingga ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah akan terhindarkan setelah membuat adanya semacam kontrak sosial baru yang berangkat dari pengakuan atas nilai budaya lokal.
          Tentu saja konsep di atas hanyalah merupakan gagasan tipe ideal pengelolaan dan implementasi otda di Indonesia. Karena setidaknya hanya ada tiga daerah yang diberikan kekhususan untuk secara relatif mengembangkan nilai budaya masyarakat lokalnya di dalam mengelola daerahnya masing- masing, yaitu: Papua, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam keterbatasan ruang bagi daerah tersebut, masih saja ditemukan berbagai kebijakan atau upaya mengembangkan kebijakan yang berciri khas budaya daerah. Adanya beberapa perda di sebagian kecil daerah yangmengeluarkan kebijakan berciri khas formalisasi nilai Islam merupakan salah satu perwujudan budaya lokal itu. Hal itu menunjukkan daerah terus menampilkan identitas budayanya, kendati dalam proses penetapan kebijakan itu masih bersifat sangat elitis. Persoalannya, ketika suatu daerah hendak menunjukkan identitas budayanya, pada saat yang sama juga berkembang pemahaman dan gerakan Hak Azasi Manusia yang berbenturan dengan nilai budaya lokal. Identitas budaya lokal di Indonesia biasanya mengekspresikan ketidaksetaraan sosial, di mana formulasinya selalu memosisikan dominasi dua kekuatan utama yakni para elite budaya (termasuk di dalamnya juga agama) dan laki-laki.
Posisi perempuan dalam kondisi budaya seperti itu akan selalu termarjinalkan. Subordinasi perempuan yang ditakutkan semakin bertambah dalam era otonomi daerah adalah konsekuensi praktik pengelolaan politik yang dipengaruhi empatfaktor utama dalam proses pengambilan kebijakan di daerah. Pertama, ranah budaya memang dikuasai oleh kaum laki-laki. Kedua, ranah agama juga dikuasai kaum laki-laki. Ketiga, ranah ekonomi juga dikuasaikaum laki-laki, kendati dalam proses pengelolaan ekonomi, peran perempuan tidak kalah pentingnya ketimbang kaum laki-laki. Keempat, dan ini yang paling menentukan, ranah politik dikuasai oleh kaum laki-laki. Kenyataan seperti itu menimbulkan ketegangan berkelanjutan karena berhadapan dengan berkembangnya pemahaman HAM hasil globalisasi. Gerakan memperjuangkan HAM membawa nilai universal yang pada tingkat tertentudianggap bertentangan dengan nilai lokal berupa identitas budaya. Gerakan feminisme yang membawa ideologi gender merupakan salah satu wujudnya. Gerakan ini memperjuangkan kesetaraan perempuan di berbagai lini kehidupan masyarakat, yang sekaligus berarti berupaya melawan dominasi laki-laki dalam keempat ranah di atas. Fenomena seperti inilah yang menciptakan ketegangan di dalam masyarakat lokal, apalagi komunitas yang masih berwatak homogen dari segi kultur maupun nilai religi.

Posisi Perempuan Era Otonomi Daerah
          Apakah penerapan hukum syariat syariat Islam dalam otonomi daerah perlu dikhawatirkan? Agaknya kita haruslah berhati-hati menanggapinya, karena pertama, isu itu bisa sarat dengan muatan politis dari kelompok kepentingan politik tertentu. Kedua, belum jelas bagaimana konsep hubungan sosial baik intra komunitas Islam maupun antar komunitas lintas agama dan budaya. Ketiga, bila kembali kepada pengertian dasarnya yakni "jalan yang benar", maka sebenarnya hal itu takperlu dirisaukan. Hanya yang kemudian menjadi masalah adalah siapa yang menentukanakan  "jalan kebenaran"tersebut. Bila tafsir atas jalan kebenaran yang pada akhirnya akan diwujudkan dalamsuatu bentuk kebijakan yang berangkat dari kondisi budaya dan politik seperti digambarkan diatas, dapat diprediksi pada masa yang akan datang akan selalu terjadi bias pada dominasi laki-laki yang elitis.
Untuk menyikapi berbagai permasalahan di atas perempuan pada akhirnya harus menentukan sikap akan seperti apa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam otonomi daerah saat ini. Sikapperempuan itu sendiriakan sangat menententukan derajat kesadaran perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini akan banyak kemungkinan yang terjadi, pertama, di dalam suatu masyarakat daerah yang gerakan HAM-nya marak dilakukan, termasuk didalamnya menyentuh aspek substansial posisi perempuan, maka akan terjadi dinamika yang memungkinkan terakomodasinya kepentingan perempuan dalam kebijakan yang berkaitan dengan syariat Islam. Kedua, dalam masyarakat daerah otonom yang dominasi budaya lokalnya yang masih sangat kental dan tidak ada gerakan HAM secara langsung, maka kaum perempuan hanya akan menerima segala keputusan politik (kebijakan) yang dibuat tanpa dapat memperjuangkannya lebih jauh.
Kemungkinan kedua menjadi kemungkinanyang paling besar peluangnya akan terjadi, mengingat daerah-daerah di Indonesia pada umumnya masih sangat jauh dari sentuhan langsung penyadaran hak asasi manusia, hal yang paling mendasar sebenarnya bahwa apa pun produk suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu daerah otonom, tidak perlu dikhawatirkan apabila kebijakan tersebut merupakan produk yang demokratis dan memang dutujukan untuk kepentingan masyarakat pada daerah otonom itu sendiri. Memang sekarang ini, termasuk (rancangan) Peraturan Daerah yang membatasi hak perempuan di Sumatera Barat misalnya, lebih mengekspresikan kepentingan elite pada pemerintahan daerah tersebut, karena prosesnya tidak berdasar kebutuhan elemen masyarakat sebagai stake holders lokal, melainkan lebih berdasar kesepakatan para elite politik.
          Terdapat beberapa hal  yang perlu diperjuangkan oleh kaum perempuan diantaranya adalah mencoba mengembangkan kesadaran pada masyarakat bahwa proses pengambilan kebijakan pada tingkat lokal haruslah melibatkan semua elemen yang ada. Kemudian harus adanya pembangunan kesadaran semua lapisan masyarakat bahwa perempuan merupakan elemen masyarakat yangmenjadi pilar utama dalam membangun demokrasi lokal. Karena itu,aspirasi perempuan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses pengambilan suatu kebijakan.

Partisipasi perempuan pada Tingkat Lokal
          Pada dasarnya partisipasi politik perempuan dalam politik lokal secara tekstual sudah dinyatakan dijamin olehberbagai peraturan, baik pada tingkat internasional, nasional, maupun lokal baik secara eksplisit maupunimplisit.Rumusan tentang partisipasi perempuan dalam politik lokal yang dimaksud di sini adalah rumusan Perda-Perda yang menjamin bahwa perempuan pun dapat duduk dalam lembaga politik formal sehingga perempuan pun dapat merumuskan kebijakan yang menguntungkan bagi perempuan itu sendiri. Rumusan tentang perempuan dalam kebijakan publik lokal yang dimaksud di sini adalah rumusan Perda yang mengatur aktivitas perempuan atau ruang dan penampilan perempuan dalam wilayah publik.
          Komposisi gender pada anggota legislatif juga dapat dijadikan sebagai salah satu acuan untuk melihat dan membandingkan peluang partisipasi politik kedua gender melalui pemilihan umum. Definisi partisipasi politik warga negara merupakan topik yang dibahas secara luas dalam teori-teori politik feminis. Ruth Lister (2003) merangkum berbagai gagasan para sarjana feminis mengenai peran warga negara, terutama hak dan kewajiban warga negara dalam kaitannya dengan partisipasi politik. Seperti juga di Indonesia, perempuan dianggap sebagai warga negara, tanpa pembedaan yang tersurat dalam hak dan kewajiban dengan warga negara laki-laki. Akan tetapi yang penting adalah untuk membedakan antara peran aktif dan peran pasif sebagai warga negara. Lister menyitir Mary Dietz yang menyatakan bahwa partisipasi politik adalah terminologi yang menjadi lawan peran pasif warga negara sebagai ‘pemilik hak’.Partisipasi politik berarti secara aktif melakukan sesuatu dalam kaitan dengan kewajiban sebagai warga negara, yakni mempengaruhi kebijakan publik. Lister mengutip Diemut Bubeck yang menyarankan bahwa kerja domestik dan pengasuhan seharusnya juga menjadi kewajiban warga negara, sehingga beban kerja ini tidak hanya diletakkan pada pundak perempuan dan menghalangi perempuan memiliki ruang kemungkinan yang lebih luas untuk bergerak, tanpa dihalangi kewajiban kultural sebagai pengurus ranah domestik yang dibebankan kepadanya. Meskipun pemerintah di beberapa daerah menyebutkan permasalahan gender sebagai salah satu agenda yang harus dijalankan, namun tidak ditemukan rumusan partisipasi perempuan dalam politik lokal yang eksplisit dalam teks peraturan daerah. Rumusan yang eksplisit sangatlah penting mengingat keterlibatan perempuan secara luas dalam pengambilan keputusan di tingkat lokal sangat sedikit. Masalah ini bukanlah khas pemerintahan daerah karena kita bisa melihat bahwa jumlah perempuan dalam lembaga politik di tingkat nasional pun sangat sedikit. Jika hal ini tidak dirumuskan, maka identifikasi masalah yang telah dilakukan pemerintah daerah berhenti sampai taraf menimbang peraturan perundang-undangan tentang pengarusutamaan gender.
          Pengarusutamaan gender tidak mungkin dilakukan tanpa mengenali permasalahan perempuan setempat dan lebih penting lagi, mendengarkan suara perempuan. Pengambilan keputusan mensyaratkan adanya pengetahuan dan informasi yang cukup mengenai permasalahan perempuan, dan akan sangat berguna jika melibatkan perempuan. Kesenjangan tersebut terlihat bahwa perempuan sangat sedikit sekali yang menduduki jabatan-jabatan formal struktural di pemerintahan. Hal ini menunjukkan bahwa posisi perempuan dalam lembaga politik formal jauh lebih sedikit dibandingkan dengan laki-laki. Padahal, berdasarkan data statistik yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) 2002, jumlah perempuan Indonesia sebanyak 51% dari seluruh jumlah penduduk Indonesia. 
Keterbatasan akses membuat perempuan mengalami kesulitan untuk menunjukkan bahwa kepentingannya tidak terwadahi dalam sistem politik yang ada. Keterbatasan keterlibatan perempuandi ruang publik juga menjadi kendalauntuk mengembangkan organisasi perempuan untuk memformulasikan kepentingan perempuan. Karenanya harus ada ruang untuk kemungkinan berkembangnya kesempatan bagi perempuan untuk mendefinisikan sistem partisipasinya yang memungkinkan hal-hal yang berada di luar maskulinitas bisa diperhatikan. Luce Irigaray (1985, h. 84) dalam pembahasannya tentang sistem bahasa menyatakan bahwa perempuan mendapat kesulitan untuk mengartikulasikan pandangan kepada laki-laki maupun sesama perempuan karena tidak menemukan cara ekspresi yang sesuai dalam tatanan maskulin yang tersedia dalam bahasa.
Bahasa dalam pembahasan Irigaray mewakili sebuah strukturyang memungkinkan benda-benda dinamai, kepentingan dikemukakan dan dipahami untuk kemudian ditanggapi. Tatanan maskulin ini tidak perlu dihancurkan mengikuti logika ‘penumbangan kekuasaan’maskulin karena jika demikian akan ada struktur baru yang akan menjadi tiran baru. Persoalan pengarus-utamaan gender sebenarnya adalah masalah membuka ruang kemungkinan dalam bahasa perencanaan dan penerapan pembangunan yang semula maskulin, untuk mengakomodir bahasa feminin. Akomodasi ini tentunya akan menjadi tantangan bagi asumsi-asumsi yang berlaku dalambahasa maskulin, misalnya representasi perempuan yang pada tatanan maskulin dilekatkan pada sekitar ranah domestik yang belum diakui sebagai ranah produktif. Jika representasi perempuan didefinisikan dalam bahasa feminin, akan terbuka berbagai kemungkinan yang sebelumnya tidak disadari mengenai peran perempuan sebagai pekerja dan bagaimana cara mengapresiasi kerja yangdilakukan di ranah domestik.
Rumusan partisipasi politik perempuan yang tidak tertera dalam peraturan daerah tidak serta mertaberarti bahwa perempuan tidak memiliki akses untuk berpartisipasi dalam politik.Terdapatbeberapa peraturan yang dibuat dengan intensi netral gender dan memberi ruang bagi perempua nuntuk berpartisipasi aktif dalam politik lokal seperti Surat Keputusan (S.K.) Walikota Sukabumi No.133 Tahun 2001 Tahun Anggaran 2001 dan S.K. Walikota Sukabumi No. 205 Tahun 2001 tentang Alokasi Dana Pembangunan Kelurahan dan Pembentukan Tim Pembina dan Pengendali Dana Pembangunan Kelurahan Kota Sukabumi Tahun Anggaran 2001, Perda No. 5 Tahun 2001(Tasikmalaya), Perda No. 3 Tahun 2002 dan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2002 (Bali), Perda No.Representasi Perempuan dalam Kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah – 927 Tahun 2001 (Mataram).
Ruang untuk partisipasi politik perempuan yang dimungkinkan melalui jenis peraturan seperti ini harus terus menerus dinegosiasikan antara perempuan dan para pemangku kepentingan lainnya. Negosiasi untuk memperoleh ruang partisipasi yang lebih luas menuntut peranperempuan yang aktif dan terorganisir sehingga mampu menghasilkan perbedaan dalam tata pemerintahan.Tanpa peran aktif dan organisasi yang inklusif, perempuan hanya akan menjadi aktor karena jenis kelaminnya, tapi membuat kebijakan yang tidak menguntungkan perempuan. Tuntutan perempuanuntuk terlibat dalam pengambilan keputusan tidak berhenti pada jumlah perempuan yang masuk dalam struktur politik, tapi juga pada visi dan agenda mereka untuk memperbaiki kondisi perempuan.

Sumber Bacaan

Fakih, Mansour,1996, Analisis Gender dan TRansformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

International IDEA, 2002, Laporan Hasil Konferensi Memperkuat Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia, Jakarta, IDEA

Irigaray, Lucy, 1984, AnEthics of Sexual Difference, Jakarta.

Lister, Ruth, 2003, Citizenship Feminist Perspkectives, Jakarta, New York University Press.

Mulia, Siti Musdah, 2007, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Yogyakarta, Kibar Press

Ritzer, George, Goodman, Douglas J, 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Kencana Prenada Media Group.

Soetjipto,Ani, Pemberdayaan Perempuan, Kompas, Swara, Sabtu, 29 Juli 2006















No comments:

 

Most Reading