Sejarah Pemikiran Islam :
Keberagaman Pemikiran dan Peta Konflik dalam Agama
Oleh. Akhmad Satori, S. IP., M.SI
Keberagaman Pemikiran dan Peta Konflik dalam Agama
Oleh. Akhmad Satori, S. IP., M.SI
Pemikiran Islam dapat dilihat dengan dua aspek yaitu aspek Eksoteris dan aspek Isoteris, Aspek Isoteris adalah aspek yang bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui oleh orang-orang tertentu, aspek ini seringkali diartikan sempit, sedangkan aspek eksoteris berarti bebas tanpa dibarengi dogma dan bisa dikatakan murni. Dalam dinamika Intelektual Islam, perbedaan pendangan dengan menggunakan kedua aspek tersebut, seringkali menyebabkan adanya perbedaan interpretasi terhadap pemikiran. Akibatnya banyak timbul keberagaman dalam pemikiran. Sejarah mencatat, munculnya berbagai madzhab, aliran, firqah, golongan, ormas dan kelompok-kelompok dalam Islam, mewarnai dinamika perjalanan pemikiran Islam, baik dari masa klasik hingga modern.
Tulisan ini mencoba mendeskripsikan dari karakter dari dinamika pemikiran Islam, dengan fokus keberagaman pemikiran dalam sejarah pemikiran Islam semenjak masa klasik sampai modern, selain itu tulisan ini mencoba mencermati pengaruh keragaman tersebut pada dinamika pemikiran islam di Indonesia.
*****
Islam di Madinah bisa dikatakan awal dari pada bangunan dasar dari peradaban dunia. Berbeda dengan di Mekkah yang lebih banyak berbicara tentang keberagamaan secara individu. Pada fase ini, Islam banyak berbicara tentang kemasyarakatan. Kitab suci Islam juga telah banyak menyinggung persoalan ini. Bahkan pada periode ini, Nabi Muhammad telah menunjukan cara hidup yang tepat untuk zaman modern yang membutuhkan kearifan untuk membaca realitas.
Dalam sejarah Islam sendiri perbedaan yang ditandai dengan pendirian, mahzab, firqah, partai, dan kelompok diawali pada masa kepemimpinan Ali. Digambarkan bahwa Ali tidak dapat memimpin secara tenang karena negara pada saat itu berada dalam keadaan kacau, sebagai imbas yang muncul akibat kematian Utsman. Para sahabat menuntut agar Ali yang saat itu menjabat sebagai khalifah pengganti Utsman, mengusut tuntas kasus tersebut. Ali merasa kesulitan untuk mengusut kasus tersebut. Karena ketidakpuasan para sahabat seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah, maka meletuslah Perang Jamal. Ali berhasil memadamkan perlawanan itu. Akan tetapi pergolakan masih terus mengalir. Kali ini dipimpin oleh Muawiyah. Muawiyah memiliki tuntutan yang sama: usut pembunuhan Utsman. Tuntutan ini juga berakhir dengan perang, yang disebut dengan Perang Shiffin. Perang Shiffin dengan segala sesuatu yang terjadi dengannya, bisa dikatakan tonggak awal dari terbentuknya firqah-firqah dalam Islam.
Pada perang ini, perbedaan tafsiran mulai tampak dikalangan kaum muslim. Walau pada mulanya beranjak pada perbedaan kebijakan politik, antara Ali dengan kelompoknya dalam menghadapi tawaran Tahkim oleh kelompok Muawiyah. Ali sebenarnya menolak, namun terus mendapat desakan dari para sahabat. Tahkim ini dengan sendirinya melahirkan kekisruhan yang lebih nyata lagi, yaitu adanya muslihat dari kelompok Muawiyah. Masalah lain yang juga timbul pada saat itu adalah munculnya orang-orang yang berpikiran sempit dari kalangan Ali yang tidak sepakat, dan menyatakan keluar dari kelompok Ali. Golongan ini dikenal sebagai Khawarij.
Khawarij ini memiliki karakter kaku, sempit, puritan dalam menafsirkan agama. Khawarij berpendapat bahwa Ali dan Muawiyah adalah salah, karena telah melakukan pelanggaran terhadap ajaran agama yang esensi. Jadi, mereka mesti dibunuh, itulah logika beragama yang dibangun. Dan sejarah mencatat, hanya Ali yang terbunuh. Mulai saat itu, kepemimpinan beralih kepada Muawiyah dan diteruskan oleh keturunannya. Bukan itu saja, kepemimpinan Islam yang demokratis beralih menjadi kepemimpinan yang monarki. Kepemimpinan model ini terus bertahan sampai berakhirnya kekhalifahan Islam di Turki, pada awal abad dua puluh.
Walau berada dalam keadaan monarki. Islam semakin hari semakin berkembang. Pada era Bani Umayah, Islam meluaskan ekspansinya ke daerah-daerah Timur Sedangkan pada masa dinasti Abassiah adalah periode keemasan ilmu pengetahuan Dari kedokteran, filsafat, hukum, kalam, mantiq, astronomi dan lain-lain. Walaupun begitu, polarisasi dalam tubuh umat Islam masih ada, bahkan semakin kuat. Ini dibuktikan dengan adanya firqah atau mahzab dalam Islam. Baik di bidang politik, kalam (teologi), fiqh, filsafat maupun tasawuf.
Dalam bidang ilmu Kalam (displin ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya, yang juga disebut sebagai Islamic Phylosophy) generasi pertama-pertama yang muncul adalah kelompok Qadariah dan Jabbariah. Qadariah
adalah paham yang yang meyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk bertindak dan mesti bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Sedangkan Jabbariah adalah bentuk sebaliknya. Bagi Jabbariah, manusia adalah makhluk terpaksa, tidak bebas, diatur oleh Tuhan. Tetapi diantara perbedaan kalam itu, yang paling menarik untuk dicermati adalah antara Mu’tazilah dan Ahlul Sunnah atau juga disebut dengan kaum al-Asya’ari.
Seperti juga Qadariah, Mu’tazilah adalah kelompok kalam yang menekankan rasionalisasi dan kebebasan kehedak manusia. Akan tetapi tesis Mu’tazilah ini dibantah Ahlul Sunnah. Bagi Ahlul Sunnah manusia memang bebas berkehendak. Tetapi yang menariknya, kehendak manusia ini ditentukan oleh kehendak yang lebih kuat, yaitu kehendak Tuhan. Secara sepintas teologi ini mencoba netral. Akan tetapi mereka lebih dekat kepada sikap fatalistik (menyerah pada takdir atau nasib), seperti yang pernah dikampanyekan oleh Jabbariah.
Perbedaan Kalam ini ternyata tidak saja pada tataran wacana, melainkan juga telah merambah ke ranah politik. Salah satu tragedi kalam terbesar adalah ketika pada masa Bani Abassiah tepatnya masa al-Ma’mun. Pada masa ini terjadi pemaksaan untuk mengakui bahwa al-Quran adalah adalah makhluk. Bahkan seorang imam mahzab terkenal, Imam Ahmad Ibnu Hambal menjadi korban dari kebijakan itu. Perbedaan dalam fiqh juga ada. Bahkan lebih dinamis dari pada yang lain, tanpa menyebabkan tragedi seperti diatas. Perbedaan fiqh hanya menimbulkan rasa fanatik pada pengikut mahzab. Perbedaan fiqh ini sendiri terjadi karena perbedaan tempat, waktu, budaya dan situasi, dimana hukum itu tumbuh.
Perbedaan dalam tradisi Islam bisa bertahan dan terus dinamis, karena memang secara dogma baik dalam al-Quran maupun sabda nabi, memberikan kebebasan umatnya untuk ber-ijtihad (usaha sungguh-sungguh menggali kebenaran). Dan yang menariknya, Islam tidak mengenal sistem kependetaan, yaitu sistem keagamaan yang memiliki otoritas untuk menentukan kebenaran. Katakanlah lembaga fatwa, baik yang berada di Timur Tengah maupun di Indonesia, tidak memiliki otoritas yang berlebih. MUI (Majelis Ulama Indonesia) misalnya, kelompok ulama ini hanya berfungsi untuk untuk memberi fatwa keagamaan di tengah masyarakat, mempererat ukhuwah Islamiyah, mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama serta menjadi penghubung dan penerjemah antara ulama, umara dan umat. Bahkan lembaga ini hanya mampu mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak “berkelas”, karena hanya berkutat pada masalah-masalah kecil.
Berbeda dengan Syi’ah, unsur otoritasnya lebih kuat, akan tetapi tidak sama dengan pendeta. Dalam Syi’ah ada lembaga Wilayatul Faqih. Konsep wilatul faqih didasarkan pada prinsip Imamah. Wilayahtul faqih ini bertugas untuk membimbing umat baik dalam masalah agama maupun sosial politik.
*****
Bisa dikatakan sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Bahkan untuk saat ini, muslim Indonesia dikategorikan sebagai Muslim Santri. Yaitu muslim yang tidak hanya percaya kepada Tuhan, tetapi juga menjalankan amal ibadah lainya. Tidak lagi didominasi oleh muslim abangan seperti tahun lima puluhan dan enam puluhan. Indonesia juga dapat dikatakan sebagai sebagai surga bagi kaum muslim. Sebab di sini, setiap muslim bebas menyerukan keyakinannya, tanpa perlu takut. Bahkan kelompok Islam radikal yang dilarang di luar negeri, dapat hidup nyaman disini. Iklim ini terbangun selain karena karakter dasar bangsa ini yang memiliki jiwa egaletarian dan inklusif, juga sejarah masuknya Islam ke Indonesia juga dengan cara-cara elegan dan akulturatif, yang secara serta merta telah memberikan rekaman memori yang kuat untuk bersikap demikian. Sejarah ini tentunya sangat mempengaruhi perkembangan Islam di negeri ini.
Dinamika Islam Indonesia menarik untuk diamati. Sebab dalam sejarahnya, Islam Indonesia menawarkan kejutan-kejutan yang terkadang tidak pernah dibayangkan. Bertikai dalam fiqh, tetapi saling membantu dalam politik. Merangkul rezim berkuasa disaat kelompok Islam lainnya disingkirkan.
Walaupun Islam di Indonesia di wakili oleh banyak wajah Islam, seperti beragamnya organisasi keagamaan, aliran-aliran, Islam gerakan maupun Mahzab Tariqah. Akan tetapi untuk menangkap Islam Indonesia, ternyata harus melihat NU-Muhammadiah sebagai kaca mata utama. Mengabaikan dua kelompok besar ini, sama saja dengan mengabaikan perkembangan Islam di indonesia. NU-Muhammadiah telah banyak memberikan sumbangan besar bagi perjalanan bangsanya.
NU-Muhammadiah selalu saja mengisi setiap fase narasi sejarah bangsa ini. Walau awal keduanya muncul sebagai “lawan”, karena berbeda dalam fiqh dan cara mengakulturasikan budaya. Akan tetapi dua kelompok ini pada fase-fase berikutnya telah mampu bekerjasama dalam hal-hal besar yang mendahulukan kemashalatan umat. Seperti kampanye anti korupsi, menolak segala bentuk teror, menolak radikalisme beragama dan menampilkan Islam yang lebih inklusif, toleran dan mendukung demokrasi. Tidak relevan lagi memotret NU-Muhammadiah sekarang dengan kacamata parokial (baca: sempit, sepert fiqh ibadah), atau dikotomi Islam Modernis-Tradisionalis. NU-Muhammadiah harus ditatap dengan paradigma kemoderenan yang disertai prinsip-prinsip demokrasi. Ini penting ditengah rendahnya toleransi dalam meyakini kebenaran, dan semakin menguatnya arus radikalisasi agama yang bersifat destruktif.
*****
Sejarah pemikiran Islam berjalan secara dinamis, keberagaman dalam tubuh umat Islam yang berbuah kepada lahirnya firqah, partai, organisasi, mahzab pemikiran adalah sunnatullah belaka. Meyikapi kemajemukan ini juga mesti arif dan bijak. Yaitu dengan mengembalikan permasalahan ini kepada pangkal masalah penyebab keberagaman dalam tubuh umat Islam. Islam mengajarkan titik tolak yang luar biasa kepada umatnya untuk melihat keberagaman ini dengan kaca mata positif. Bahwa Tuhan memang menciptakan manusia dalam wujud yang berbeda, dengan harapan antar manusia ini saling berkenalan, saling mengisi dan bekerjasama.
Wallahu’alam
Bahan Bacaan
Majid, Nurcholis, Islam Doktrin Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta : Paramadina, 2000.
Mansur, Peradaban Islam : dalam Lintasan Sejarah,Yogyakarta : PenerbitGlobal Pustaka Utama, 2004
Mughni, A. Syafiq, Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan, Surabaya : Lembaga Pengkajian Agama dan Mayarakat (LPAM), 2002.
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian Kesatu dan dua, Jakarta : Penerbit Grafindo Persada, 1999
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK) dan Rajawali Pers, cet. VII,1998.
Zainuddin, Rahman, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Edisi II, 2002
No comments:
Post a Comment