Pemerintahan Nabi dan Perubahan Sosial

Wednesday 18 November 2009

Pemerintahan Nabi dan Perubahan Sosial
( Perbandingan dengan al-Ayyam al-Jahiliyyah)

Akhmad Satori, S.IP



A.PENDAHULUAN

Kajian mengenai sejarah perkembangan peradaban Islam yang sangat panjang dan luas, tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sejarah perkembangan politiknya, bukan saja karena persoalan-persoalan politik sangat menentukan perkembangan aspek-aspek peradaban yang lainnya. Tetapi terutama karena sistem politik dan pemerintahan itu sendiri merupakan salah satu aspek penting dari peradaban.
Sejarah politik dunia Islam dibagi menjadi tiga periode, pertama, periode klasik (650-1250 M),; kedua, periode Pertengahan (1250- 1800 M); ketiga periode moderen (1800 M sampai sekarang). Dari ketiga periode tersebut, periode pertama dapat dikatakan sebagai periode “masa keemasan” dalam sejarah Islam. Sebagai masa keemasan , periode ini sering dijadikan rujukan dan tolak ukur keteladanan. Masa Nabi Muhammad saw yang hanya berlangsung 23 tahun merupakan masa-masa dimana Islam mengawali perjalanan peradaban di dunia, karenanya sangat menarik apa bila kita cermati lebih jauh lagi tentang apa saja yang terjadi seputar periode tersebut.
Tulisan ini bermaksud untuk memberikan sebuah deskripsi mengenai pemerintahan yang pernah ada pada jaman nabi Muhammad dan perubahan social yang terjadi pada masa itu, di bagian lain tulisan ini juga berusaha membandingkan kondisi sosial politik yang terjadi pada masa nabi dengan kondisi social politik yang terjadi pada masa al-Ayyam al-Jahiliyah.

B. ARAB DALAM AL-AYYAM AL-JAHILIYAH
Secara geografis Jazirah Arab berbentuk memanjang dan terbagi ke dalam dua bagian, yaitu bagian tengah serta bagian pesisir. Sebagian besar daerah Arab adalah padang pasir Sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan serta sifat yang berbeda-beda. Penduduk Sahara sangat sedikit terdiri dari suku-suku badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan yang nomaden, berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Sementara penduduk Arab di daerah pesisir telah hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga. Namun wilayah pesisir, bila dibandingkan dengan sahara, sangat kecil sehingga bagaikan selembar pita yang mengelilingi Jazirah.
Dalam kondisi demikian maka bangsa Arab di wilayah pesisir lebih maju dalam hal kebudayaan dibanding mereka yang mendiami daerah pedalaman. Hal ini ditandai dengan kemunculan kerajaan di daerah-daerah pesisir Jazirah Arab. Sementara di daerah pedalaman lebih diwarnai kehidupan masyarakat padang pasir yang bebas dan tidak terikat oleh aturan-aturan kerajaan. Bangunan masyarakat di daerah pedalaman lebih didominasi oleh semangat kesukuan dan berada dalam bayangan otoritas kepala suku. Fenomena demikian nampak pada masyarakat Hijaz di mana otoritas kesukuan lebih dominan.
Otoritas kesukuan secara prinsipil adalah sebuah pemerintahan kecil, di mana basis dasar eksistensi politik kesukuan adalah kesatuan fanatisme. Pemimpin kesukuan seolah-olah berdiri sebagai raja sedangkan anggota-anggota suku adalah rakyat yang meski patuh. Dalam keadaan demikian, seorang pemimpin memilki hak istimewa, seperti perolehan harta rampasan perang sebesar seperempat dari keseluruhan. Maka secara sosiologis, masyarakat Arab terstruktur kedalam dua kelas sosial. Pemimpin bersama keluarga besar, mereka sering menjadi pengusaha, menempati kelas atas sedangkan masyarakat umum bersama kelompok budak sebagai kelas bawah yang dikuasai.
Keadaan alam yang kurang bersahabat di Jazirah Arab ini membentuk karakter masyarakat yang keras. Di lain sisi, bangunan keagamaan yang telah dirintis para nabi terdahulu telah hancur sehingga masyarakat mengalami krisis moral. Praktik perjudian, meminum arak, pelacuran, dan kasus-kasus perampasan harta orang telah menjadi sebuah fenomena umum. Fenomena demikian sering bersinggungan dan berbenturan dengan isu-isu kehormatan dan harga diri. Dalam format demikian maka sebuah peperangan antara suku-suku menjadi hal yang lumrah serta menjadi bagian dari totalitas kehidupan. Di lain sisi, pemenuhan kehidupan masyarakat Arab pedalaman bergantung kepada sumber-sumber mata air dan padang rerumputan. Hal ini berkaitan dengan kelangsungan hidup hewan gembalaan mereka. Keterbatasan alam dalam menyediakan sumber-sumber air dan padang rerumputan semakin melembagakan tradisi peperangan antar suku-suku Arab di daerah pedalaman.
Kondisi Jazirah Arab yang relatif stabil secara politik adalah kota Makkah. Hal kecenderungan ini terkait dengan peran Makkah sebagai pusat kota suci keagamaan masyarakat Jazirah Arab. Di Makkah terdapat satu periode pelaksanaan ziarah yang disepakati sebagai masa gencatan senjata dan hanya dikhususkan untuk peribadatan. Di era kemunculan Islam, Mekkah berada di bawah otoritas kesukuan Quraisy. Kekuasaan Quraisy dibangun melalui sebuah perebutan dan peperangan dengan suku Khuzaifah serta Bakr yang sebelumnya berkoalisi menguasai Makkah. Mereka mendirikan Darun Nadwah di sebelah utara mesjid K’abah. Darun Nadwah adalah tempat pertemuan orang-orang Quraisy untuk membicarkan masalah-masalah yang berkaitan dengan persoalan sosial kemasyarakatan dan sekaligus sebagai tempat untuk mempersatukan keanggotan suku. Makkah di bawah pengelolaan Qurays mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terkait dengan model pengelolaan yang lebih terorganisasi sehingga memudahkan jalan bagi penyelesaian masalah. Meskipun demikian secara sosio-kultural dan keagamaan, masyarakat Makkah pun mengalami pelbagai krisis sebagaimana di daerah lain.

C. ARAB DI ERA KENABIAN MUHAMMAD
Nabi Muhammad Saw dilahirkan di negeri Makkah dan berasal rumpun Bani Hasyim, suatu cabang keluarga kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy, kabilah ini memegang jabatan siqayah. Keberadaan Muhammad ternyata sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Mekkah pada waktu itu, beliau berjuang untuk mengentaskan jurang kehinaan wanita kepada kedudukan mulia dan terhormat, dan menegaskan bahwa umat manusia adalah sama kedudukannya. Adapun yang paling mulia diantara mereka adalah yang paling taat kepada Allah swt dan paling banyak memberikan manfaat kepada sesame manusia.
Hijrah merupakan titik balik di dalam karier Nabi Muhammad. Suatu unsur yang baru dan berbeda mengubah rencana keagamaan nabi. Disini Nabi memulai apa yang dapat disebut karir agama politik. Selama ini Islam merupakan suatu agama yang murni, tetapi setelah Nabi Hijrah ke Madinah, Islam menjadi satu kesatuan agama-politik. Nabi mendirikan suatu persaudaraan-persaudaraan Islam, dia berhasil didalam mendirikan suatu persekutuan, menggabungkan kaum kaya dan kaum miskin atas dasar yang sama. Kebanggaan terhadap keluarga, keturunan, kekuasaan dan kekayaan ringkasnya kebanggaan akan segala hal telah hilang, dan semua unsur heterogen itu telah dilebur menjadi satu bangsa.
Dalam rangka memperkokoh suatu tatanan masyarakat yang majemuk, Nabi segera meletakan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Menurut Husain Haikal setidaknya ada tiga dasar kehidupan masyarakat yang ditanamkan tersebut . Dasar pertama pembangunan mesjid, selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, disamping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi sebagai pusat pemerintahan.
Kedua, adalah Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama muslim. Nabi mempersaudarakan antar golongan Muhajirin, orang-orang yang hijrah dari Mekah dan ke Madinah, dan Anshar, penduduk Medinah yang sudah masuk Islam dan ikut membantu kaum muhajirin tersebut. Dengan demikian, diharapkan setiap muslim merasa terikat dalam suatu persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
Dasar ketiga , hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang yahudi sebagai sebuah komunitas. Setiap golongan masyarakat memiliki hak-hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama di jamin dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan luar.

D. PIAGAM MADINAH: SEBUAH REVOLUSI SOSIAL DAN POLITIK.
Keberhasilan nabi membentuk kaum muslimin yang majemuk (bersuku-suku) menjadi satu ummat pada hakikatnya juga bergerak dan berhijrah secara dinamis dari tatanan masyarakat yang jahiliyah yang berdasarkan ashabiyah (rasialisme/fanatisme kesukuan) pada suatu tatanan masyarakat bertauhid yang memperjelas jalan dan tujuan anggotannya. Alquran menyebut masyarakat jahiliyah yang berdasarkan ashabiyyah tersebut dengan istilah hamiyyat al-jahiliyat (kesombongan jahiliyah)
Nabi Muhammad tidak hanya meletakan tatanan agama baru dalam struktur masyarakat qaumiyah (kesukuan) Arab, tetapi juga memapankan kebijakan sosial politik baru yang didasarkan kepada agama yang dibawanya. Dalam aspek politik beliau tidak hanya berperan sebagai pembaharu masyarakat, tetapi beliau juga sebagai pendiri bangsa yang besar. Pada tahap awal, nabi berjuang untuk menyatukan bangunan masyarakat Arab yang semula heterogen yang satu sama lainnya saling bermusuhan. Maka tidak lama setelah nabi Hijrah dan menetap di Madinah, Nabi membentuk masyarakat Madinah menjadi bersatu dalam kesatuan negara Madinah melalui perjanjian yang beliau buat..
Perjanjian tersebut dikenal dengan istilah “as-sahifah al-madaniyah” (Piagam Madinah). Suatu piagam politik yang mengandung tata aturankehidupan bersamaantara kaum muslimin dengan kaum yahudi di Madinah. Dan hasil konsepsi Rasulullah yang di ilhami al-Quran tersebut menghasilkan suatu konstitusi yang mengatur tentang pranata hukum, social dan politik masyarakat Madinah, tidak hanya terhadap kaum muslim akan tetapi piagam ini juga mengatur hubungan kaum muslimin dengan kaum non muslim. Menjadi suatu komunitas baru yang terikat kuat dengan menekankan pola kerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan dan keamanan.
Menurut, A. Guellaume, piagam yang di proklamirkan Muhammad tidak lain merupakan suatu dokumen yang menekankan hidup berdampingan antara orang-orang Muhajirin dan Anshor di satu pihak dengan orang-orang yahudi di pihak lain. Mereka masing-masing melindungi hak-haknya, saling menghargai agama dan mempunyai kewajiban yang sama dalam mempertahankan suatu kesatuan masyarakat Madinah. Karena kandungannya yang universal, maka piagam tersebut bias dianggap merupakan konstitusi (hukum tertulis) yang mengikat seluruh warganya.
Dengan demikian tidaklah berlebihan jika prakarsa Nabi dalam membentuk Piagam Madinah tidak lain merupakan manifesto politik yang memunculkan sebuah revolusi politik pertama dalam sejarah Islam , tidak hanya itu dari sisi sosial, piagam ini juga mampu menginternalisasikan nilai-nilai kehidupan masyarakat sebagaimana tercermin dalam membangun masyarakat Madinah yang pluraristik.

E. PENUTUP
Masyarakat Arab pra Islam merupakan satu fenomena kehidupan manusia yang cukup unik. Mereka hidup menginginkan kehidupan bebas dengan penuh kesederhanaan serta tidak suka keterkekangan pelbagai aturan-aturan kelembagaan. Sebelum masa kenabian Muhammad, bangsa Arab tidak mempunyai kepaduan dan kesatuan diantara mereka, mereka merupakan bangsa yang terpecah belah dan penuh pertentangan,. Pertikaian berdarah, dan kecemburuan suku merajalela, sitem perbudakan merupakan sisi lain dari fenomena masyarakat bangsa arab. Namun hal ini, berbanding terbalik ketika Islam datang dan berada di antara mereka.
Islam memperkenalkan kepada mereka sebuah bangunan agama ketauhidan yang menekankan keberserahan diri di hadapan Tuhan dan seperangkat nilai-nilai moral. Sistem agama ini, secara revolusioner telah merubah masyarakat Arab menjadi pribadi yang tidak lagi berlaku dhalim terhadap diri dan masyarakat. Mereka saling-memandang sebagai satu entitas muslim, menghilangkan perbedaan latar belakang etnis dan sosio-kultural. Islam telah mengikat mereka dalam satu bangunan persaudaraan dan menghantarkan kepada tata peradaban besar.Islam pun telah mengubah paradigma berpikir masyarakat Arab dari kebutaan moralitas yang terkungkung tradisi-tradisi kebendaan menuju pencerahan, sebuah dunia spiritual ke-Ilahiyah-an. Muhammad secara besar-besaran telah mengubah mereka dengan pelan, namun ke arah yang pasti. Meskipun demikian, Muhammad tidak serta merta mengubur semua tradisi Arab, melainkan juga mengakomodasi beberapa keutamaan mereka. Misal adalah dalam hal penerimaan tamu dan kesetia-kawanan atau solidaritas sosial.



DAFTAR PUSTAKA
An-Nadwi, Abul Hasan Ali al-Hasni., As-Sirah An-Nabawiyyah : Riwayat Hidup Rasulullah, terj. Bey Arifin, Surabaya: Penerbit Bina Ilmu, 1989.

Arif, Abdul Salam, Politik Islam Antara Aqidah dan Kekuasaan Negara Dalam Negara Tuhan The Thematic Ensiclophedy, Yogyakarta : SR ins Press, 2004

Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3 Jakarta : PT. Intermasa,2001

Haikal, M Husein, Ali Audah (terj). Sejarah Hidup Muhammad, cetakan XVII, Jakarta : Litera Antar Nusa, 1994.

Hasjmy, A.,Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Penerbit bulan Bintang, 1995.

Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian satu dan dua, Jakarta : Penerbit Grafindo Persada, 2000

Mahmuddunnasir,Syed., Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Penerbit Rosda Karya, 1991.

Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : global Pustaka Utama, 2004

Sadjali, Munawwir, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah derta Pemikiran, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Press, (edisi kelima), 1993

Yatim Basri, Histografi Islam, Jakarta : Logos, 1997.

_________ , Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993

No comments:

 

Most Reading