Militer dan Kebangkitan Kelas Menengah Muslim
(Respon Militer Terhadap Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)
Oleh : Akhmad Satori, S.IP
Pengantar
Dinamika kehidupan politik Indonesia pada awal 1990-an menunjukan semakin menguatnya proses demokrasi dari bawah, hal ini tercermin dari mulai maraknya kelompok-kelompok yang muncul dari bawah, yang mencapai klimaksnya pada akhir 1990-an dengan melahirkan gerakan reformasi total yang menyentuh segala aspek baik sosial, politik, ekonomi dan hukum. Di antara kelompok-kelompok tersebut yang paling menyita perhatian adalah dari kelompok Islam yang tampil dengan kekuatan politik baru. Tidak heran kalau pengamat politik Fachry Ali, menyebut kelompok tersebut sebagai “Islam Politik”.
Kehadiran Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dalam peta perpolitikan saat itu tidak terlepas dari peran kelompok-kelompok Islam politik tadi, tetapi yang menarik untuk dicermati adalah bahwa ICMI mengambil posisi yang berbeda dengan kelompok-kelompok Islam lainnya, ICMI cenderung mewakili fenomena bersatunya kepentingan Negara dengan kelompok Islam, hal inilah yang kemudian akan mewarnai kehidupan politik nasional.
Menghadapi fenomena tersebut, di mana kelompok Islam mulai berperan dalam kehidupan politik Indonesia, tidaklah mustahil bahwa kelas menengah dan golongan terpelajar Islam mengalami sentuhan kesadaran kelas, posisi dan peran yang menjadi momentum kebangkitan kelas menengah Muslim di Indonesia yang selama ini diperjuangkan.
Namun munculnya ICMI sebagai suatu kekuatan politik baru dalam kancah perpolitikan di Indonesia, tidak lepas dari pro dan kontra. kalangan yang pro, melihat secara moderat bahwa kemunculan ICMI mungkin di satu pihak sebagai strategi pemerintah dengan kepentingan-kepentingannya, tetapi di pihak lain umat muslim juga mendapat keuntungan di dalamnya. Sedangkan kalangan yang bersikap kontra terhadap ICMI mengkritik bahwa ICMI bila terlalu dekat dengan birokrasi di khawatirkan akan memperkuat gejala eksklusivisme dan elitisme bahkan akan merusak akar budaya Islam yang selama ini susah payah dibangun. Selain itu ICMI dikritik sebagai alat untuk mensukseskan pemilu agar kemudian Soeharto terpilih kembali guna menjadi Presiden.
Militer (ABRI) yang sejak awal kemerdekaan sampai Orde baru memainkan peran politik yang penting , ternyata juga memberikan respon terhadap kebangkitan kelompok Islam, khususnya berkenaan dengan kelahiran ICMI ini. Pertanyaan yang muncul kemudian mengapa militer memberikan respon negatif terhadap kelahiran ICMI, apa yang menyebabkan hal tersebut?
Tulisan ini bermaksud untuk memberikan sedikit gambaran mengenai bagaimana kompleksitas masalah yang terjadi seputar kebangkitan kelas menengah muslim, terutama dalam mencermati respon militer terhadap kelahiran ICMI dan faksionalisasi yang terjadi dikalangan militer serta pada bagian lain tulisan ini di sedikit di jelaskan mengenai respon militer terhadap ICMI dengan menggunakan analisis ekonomi politik.
ICMI dan Kebangkitan kelas menengah Muslim.
Tidak diragukan lagi bahwa kemunculan ICMI sebagai salah satu kekuatan baru dalam khazanah kehidupan politik di Indonesia sangat berpengaruh terhadap posisi tawar umat Islam di Indonesia, mengingat pada masa Orde Bara Islam selalu mengalami marginalisasi bahkan Islam mengalami depolitisasi. Islam hanya berkutat pada wilayah kultural sehingga tida mempunyai kekuatan politik yang signifikan bahkan islam cenderung di matikan. Hal ini menjadi ironis karena Islam merupakan agama yang penganutnya paling besar di Indonesia.
Peristiwa politik ini di pandang oleh sebagian pengamat sebagai sebuah strategi yang di kembangkan oleh rezim orde baru untuk merangkul kekuatan Islam yang mulai menemukan momentum kebangkitannya. Kelahiran ICMI di yakini oleh sebagian pengamat sebagai strategi “ birokratisasi “ Islam, yang arti praktisnya adalah penjinakan umat Islam. Hal ini wajar, mengingat kekuatan pemerintah semakin menurun akibat friksi yang terjadi dengan kalangan militer
Namun yang menarik adalah, beberapa pengamat lain seperti Robert W Hefner dan M. Nakamura, melihat hal ini sebagai gejala lain. Hefner berpendapat bahwa tidak benar kalau ICMI dibentuk hanya sekedar untuk mensukseskan pemilu 1992, atau mendukung kepemimpinan Soeharto ketika ia tidak lagi mendapat dukungan kuat dari militer. Hefner melihat Soeharto dan birokrasi benar mendapat konsensi politik dari ICMI, tetapi ia juga melihat bahwa ICMI pun mendapat konsensi politik dari pemerintah. Lebih dari itu Hefner tampak percaya bahwa sikap akomodatif kompromis yang di lakukan pemerintah terhadap umat - dengan restunya terhadap ICMI - merupakan buah dari perubahan sosial yang berlangsung dalam masyarakat muslim itu sendiri, dimana kelas menengah sudah semakin kuat sehingga tidak mungkin diabaikan oleh pemerintah.
Hefner menunjuk kemunculan kelas menengah muslim ini ada hubungannya dengan gerakan keislaman di kampus-kampus perguruan tinggi umum yang kemudian menurutnya mereflesikan keislaman kaum pembaru, dan disanalah proses Islamisasi berlangsung. Untuk mendapatkan gambaran mengenai keislaman kelas menengah ini Hefner banyak bersandar pada presepsi keislaman dari kalangan pembaru itu sendiri dan kemudian di hipotesiskan bahwa keislaman semacam itu lah yang terdapat pada kelas menengah tersebut, dan menentukan pembentukan ICMI.
Dalam analisisnya mengenai kelas menengah, Hefner berpendapat bahwa dalam Indonesia baru, kelas menengah baru sedang mengambil bentuknya di daerah-daerah perkotaan yang sedang berkembang pesat sekarang ini. Universitas umum memainkan peranan yang sangat penting dalam perubahan ini. Disini Hefner menyebut salman ITB sebagai salah satu pos gerakan Islamisasi kampus yang dipimpin oleh Imaduddin Abdurrahim. Gerakan serupa juga muncul di kampus-kampus umum lainya.
Yang menarik dari pengamatan mengenai kelas menengah, Hefner adalah bahwa kemunculan intelektual muda dari kalangan santri yang mendapatkan pendidikan yang memadai diperguruan tinggi umum tanpa kehilangan identitas keislaman mereka hingga memainkan peranan yang semakin penting di sektor birokrasi ataupun swasta. Karena kelas menengah yang di ukur dari tingkat pendidikan yang diperoleh serta posisi yang diduduki maka Hefner sampai pada kesimpulan bahwa kelas menengah Muslim sekarang telah muncul.
Militer dan Perubahan Konstalasi Politik
Memasuki awal 1990 militer melakukan konsolidasi baik dalam jajaran ABRI maupun dengan pemerintah, namun militer tidak merasa puas dengan hasil yang dicapai, salah satu masalah yang hangat di bicarakan dalam kalangan militer pada waktu itu adalah kalangan militer tampaknya kurang antusias terhadap pencalonan kembali Presiden Soeharto, militer cenderung mengharapkan kepemimpinan yang berbeda.
Soeharto menyadari bahwa militer mulai mampu memainkan peran politik terlepas dari kontrolnya dan dukungan terhadapnya mulai menurun. Untuk mengembalikan kemampuan kontrolnya terhadap militer maka Soeharto mulai menjalankan strateginya dengan mengganti pada beberapa posisi penting dalam tubuh ABRI, yaitu dengan mengangkat Jendral Feisal Tanjung sebagai pangab dan Jenderal Hartono sebagai KSAD, yangkeduanya berasal dari keluarga santri dan dekat dengan golongan Islam (ICMI).
Senada dengan pernyataan diatas Hefner (1995), menyatakan pembangkangan yang di lakukan militer menyebabkan Soeharto marah dan ia bertekad memberikan pelajaran kepada pimpinan militer, kebanyakan pengamat menilai bahwa berdirinya ICMI sebagai hukuman Presiden terhadap pimpinan ABRI. Selain itu berdirinya ICMI juga merupakan upaya presiden untuk meraih dukungan dari umat Islam.
Soeharto menganggap bahwa orang Islam yang terorganisir dalam ICMI sebagai sekutu politik yang semakin penting.. Pendekatan pemerintah terhadap ICMI tidak disukai oleh pemimpin ABRI. Harold Crouch mengatakan bahwa sikap baik ABRI terhadap ICMI belum tentu meresap kedalam tubuh ABRI yang curiga terhadap organsasi-organisasi Islam yang dianggap berbau neo-Masyumi. Ketidak senangan terhadap ICMI karena ICMI yang berdiri pada awal tahun 1990 dengan Habibie sebagai ketua umumnya berasal dari kalangan aktifis muslim yang menjadikan ICMI sebagai kendaraan untuk mendesak tatanan politik baru yang tidak tergantung pada militer dan mencerminkan kepentingan muslim. pernyataan-pernyataan Habibie setelah selesai berbicara di hadapan para perwira militer menunjukan keinginan adanya tataan baru di mana sipil mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki kepemimpinan nasional.
Ketegangan yang memanas antara presiden dan militer membantu menjelaskan reaksi keras pimpinan militer terhadap ICMI, sejak dari awal elit-elit militer berembuk untuk mengagalkan disahkannya ICMI. Namun di pihak lain ada beberapa elit-elit militer yang akomodatif dengan ICMI, selain mereka juga telah di rangkul oleh Soeharto sebagai strategi untuk mengimbangi kekuatan militer yang kontra terhadapnya. Maka kemudian terjadi faksionalisasi di tubuk militer yang menghasilkan dikotomi militer yang merah-putih dan militer yang hijau.
Dikotomi Militer : ABRI Merah-Putih dan ABRI Hijau
Faksionalisme militer yang menghasilkan dikotomi merah putih dan hijau terjadi di awal 1990-an. Meski secara jelas baru tampak pada dekade 1990-an, embrio faksionalisme ini ternyata telah muncul pada era 1980-an. Memang, ketika itu kelompok hijau bisa dikatakan belum menggeliat. Rival kelompok hijau ini bermain sendirian.
Pergantian Pangab dari Edi Sudradjat kepada Feisal Tanjung pada ’90-an sempat menimbulkan pertanyaan besar. Saat itu, hanya ada dua perwira tinggi senior yang sedang berebut menggantikan posisi Edi Sudradjat: Feisal Tanjung dan Harsudiono Hartas. Namun keputusan jatuh pada Feisal Tanjung Feisal, yang memiliki kedekatan dengan kelompok hijau Sejak itu muncul spekulasi, naiknya Feisal tidak lepas dari peran Habibie, yang saat itu naik daun karena memegang kendali ICMI.
Sementara itu, Soeharto yang masih berbulan madu dengan kelompok Islam ingin memunculkan Habibie yang saat itu memegang jabatan ketua umum ICMI. Soeharto pun marah. Hartas, setelah SU MPR 1993, hanya diberi tempat di DPA, yang sering dipelesetkan menjadi "Dewan Pensiunan Agung". Naiknya Feisal menjadi Pangab kemudian diikuti naiknya Hartono, yang saat itu memegang jabatan gubernur Lemhanas, menjadi Kassospol menggantikan Hartas. Naiknya Hartono ini juga tidak lepas dari konspirasi kelompok Hijau. Sebab, Hartono, ketika masih Pangdam V/Brawijaya, memberikan gerak leluasa untuk ICMI mendeklarasikan diri. Hal ini memberikan petunjuk bahwa kelompok hijau ini mempunyai hubungan khusus dengan ICMI. .
Bila para pengamat militer melihat awal pengelompokan merah putih dan hijau terjadi pada era 1990-an, sebenarnya, masih ada petunjuk lain yang mengindikasikan faksionalisme ini mulai terjadi pada awal 1980-an. Seperti yang ditulis Hartono Mardjono dalam buku Reformasi Politik Suatu Keharusan. Fungsionaris PPP yang sekarang aktif di Partai Bulan Bintang ini menulis pada 1983 bahwa pada saat jaya-jayanya, mereka menguasai kepemimpinan ABRI dan kepala-kepala bidang politik di pemerintahan daerah tingkat I dan II. Juga, posisi-posisi di lembaga intelijen. Kemudian mereka menyerbu dan merebut kepemimpinan Golkar yang ingin mereka jadikan mesin politik. Mereka juga menggarap FABRI. Hartono menggunakan kata "mereka" untuk merujuk pada kelompok yang terdiri atas orang-orang sipil, birokrat, dan faksi tertentu di tubuh militer yang ingin menguasai kekuasaan.
Sejak awal Orde Baru, kelompok ini menjadi invisible government (pemerintah bayangan). Hartono menulis, mereka berhasil menempati pos-pos penting di lingkungan birokrasi dan ABRI. Pos-pos penting dalam ABRI, khususnya pimpinan, komandan-komandan pasukan, dan bidang-bidang intelijen ini mereka kuasai bertahun-tahun. Dia juga mengungkapkan bahwa pada 1983, banyak anggota ABRI yang masih aktif terpaksa dipensiunkan cepat karena harus menjadi fungsionaris Golkar. Gambaran yang ditulis Hartono ini jelas mengindikasikan adanya faksi tertentu di tubuh ABRI yang berbeda dengan ABRI-ABRI lain. Mereka mempunyai tujuan tersendiri.
Hartono mengatakan, istilah ABRI hijau dan ABRI merah putih ini sebenarnya diperkenalkan oleh mereka. Hartono yang pernah menjadi wakil rakyat ini juga menulis, mereka isukan bahwa masuknya cendekiawan dan eksponen-eksponen muslim ke pemerintahan, DPR, MPR, atau ABRI sebagai bahaya Islamisasi. "ABRI merah putih versus ABRI hijau mereka tebarkan untuk memecah belah bangsa dan persatuan ABRI dengan rakyat yang notabene mayoritas muslim," ungkap Hartono. Bagaimana halnya dengan faksionalisme berlatar belakang lain?
Pengamat politik asal Swedia Dr Anders Uhlin menggambarkannya dalam buku berjudul Indonesia and The Third Wave of Democratization: The Indonesia Pro-Democracy Movement in a Changing World. Dalam buku yang terbit 1997 ini, Uhlin menulis, mantan Pangab dan Menhankam Jenderal Benny Moerdani dikenal memiliki perselisihan dengan istana kepresidenan. Sejak Benny keluar dari ABRI pada 1988, Soeharto secara teratur ikut campur dalam penunjukan orang-orang kunci di ABRI. Orang-orang yang loyal kepada Moerdani, secara sistematis, telah digantikan oleh orang-orang yang loyal kepada Soeharto. Ini menyebabkan kemarahan di kalangan para perwira. Jelaslah, ada juga pengelompokan antara orang-orang yang ditunjuk Soeharto di satu sisi dan para perwira non-Soeharto di sisi lain.
Respon Militer Terhadap Kelahiran ICMI : Analisis Ekonomi Politik
Pola hubungan antara politik dan ekonomi di Indonesia cenderung mangarah kepada politisisme. Hal ini ditunjukan oleh Onghokham yang melihat bahwa sepanjang sejarah bangsa Indonesia ada pola bahwa penguasa baru akan membawa money man sendiri. Chatib Basri menunjukan kecenderungan yang sama khususnya dalam kasus ABRI. Ia menggambarkan kaitan akumulasi kekuasan dengan kapital sebagai salah satu keunikan Indonesia di bandingkan dengan negara lain. Dalam konsep yang konvensional menurutnya, hubungan kausal antara akumulasi kapital dan kekuasaan lebih difahami dari arah akumulasi kapital bisa mempengaruhi kekuasaan atau kebijakan. Kelompok bisnis yang besar misalnya memiliki kekuatan lobi untuk meminta proteksi. Tapi dalam kasus ABRI akumulasi kapital justru terjadi karena mereka memiliki kekuasaan. Surat keputusan dan lisensi dapat menjadi modal utama berjalannya suatu bisnis.
Dengan demikian peran militer dalam politik sangat menguntungkan juga secara ekonomi, sehingga militer berkepentingan untuk mempertahankan kondisi ini. Mac Intyre, menyatakan elemen penting kelangsungan kekuatan militer mendukung orba karene mereka berkepentingan untuk mempertahankan status quo yang berupa keluasan dalam mempengaruhi politik dan penghargaan ekonomi yang substansial.
Gerakan-gerakan yang di timbulkan dari kelas bawah dan adanya upaya kebangkitan kelas menengah muslim, seperti dengan lahirnya ICMI jelas menginginkan adanya perubahan kehidupan politik yang lebih terbuka. Demokratis dapat dilihat sebagai ancaman terhadap kepentingan politik dan ekonomi militer. Sehingga dalam pandangan militer kesadaran politik.kelas bawah dan munculnya kelas menengah baru dari kalangan muslim dapat mengurangi kekuatan politik militer dalam meningkatkan kepentingannya.
Dengan demikian, dari persfektif analisis ekonomi politik militer sebagai upaya menjelaskan respon militer terhadap ICMI khususnya dan kebangkitan kelas menengah muslim pada umumnya, dapat dijadikan sebagai salah satu analisis untuk melihat bagaimana respon militer terhadap kebangkitan kelas menengah muslim.
Penutup
Dari uraian di atas dapat kita ketahui, sekitanya bahwa selama konstalasi politik yang terjadi awal tahun 1990-an, ada banyak peristiwa penting yng terjadi dalam peta perpolitikan di Indonesia, kebangkitan kelas menengah muslim yang menemukan momentumnya dengan lahirnya ICMI adalah salah satu peristiwa penting yang patut di cermati. Namun di sinilah kompleksitas permasalahan mulai memanas, kelahiran ICMI ternyata menimbulkan respon yang berbeda-beda, sebagian kalangan ada yang bersikap pro dan sebagia lain ada yang kontra, diantara pihak yang kontra terhadap ICMI adalah lemabga militer yaitu ABRI. Respon militer yang bersifat negatif terhadap tuntutan perubahan politik ekonomi oleh kelas menengah Islam seperti yang telah di paparkan diatas menunjukan bahwa militer berusaha melindungi kepentingan ekonomi politiknya yang telah didapatkannya selama ini.
Daftar Pustaka
Ali Fauzi Nasrullah, (ed), ICMI : antara Status Quo dan Demokratisasi, Bandung : Penerbit Mizan, 1995
Cholisin., Respon Militer Terhadap Gerakan Pro Demokrasi di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit tiara Wacana, 2002.
Cipto, Bambang., Partai, Kekuasaan dan Militerisme, Yogyakarta : Penerbit : pustaka Pelajar, 2000.
Dalam, Negeri Tentara : Membongkar Politik Ekonomi Militer, Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Edisi 17 Tahun III 2004,Yogyakarta : Insist Press, 2004.
Hefner, Robert W., ICMI dan Perjuangan Menuju Kelas Menengah, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1995.
......................, Civil Islam : Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Yogyakarta : Penerbit ISAI, 2001
Saiful Mujani, Kultur Kelas Menengah Muslim dan kelahiran ICMI : Tanggapan terhadap Robert W. Hefner dan Mitsuo Nakamura dalam Ali Fauzi Nasrullah, (ed), ICMI : Antara Status Quo dan Demokratisasi, (Bandung : Penerbit Mizan, 1995).
Qadir, Zuly dan Lalu M Iqbal Songell (ed), ICMI : Negara dan Demokratisasi, Catatan Kritis Kaum Muda, Yogyakarta : Kelompok Studi Lingkaran, 1995.
No comments:
Post a Comment