ABUL ‘ALA MAUDUDI

Wednesday, 25 November 2009

ABUL ‘ALA MAUDUDI

(Studi Pemikiran Politik Kontemporer)

A. Abul ‘Ala Maududi: Biografi Singkat

1.             Maududi lahir di Aurangabad India Tengah tanggal 25 September 1903, wafat pada tanggal 23 September 1979 di New York Amerika Serikat, salah seorang pemikir dan perombak dunia Islam. Karir kemasyarakatannya dimulai sebagai wartawan, pada tahun 1920 pada usia tajuh belas tahun beliau menjadi redaktur harian Taj, Jabalpur, menjadi pimpinan redaksi surat kabar muslin di Delhi (1921-1923), dan kemudian menjadi rdaktur al-Jam’iyah (1925-1928) surat kabar yang berpengaruh di New Delhi ketika itu. Tahun 1929 saat beliau berusia dua puluh enam tahun beliau menerbitkan karyanya yang cemerlang dan monumental; al-Jihad fi al-Islam (Perang Suci dalam Islam).   Pemikiran Maududi sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh muslim yang lain seperti: Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim dan Syah Waliyullah. Selain itu para tokoh romantisme India seperti: Maulana Muhammad ‘Ali, Maulana Abul Kalam Azad, Maulana Muhammad Iqbal, di luar India nama Hasan al-Banna diannggap sebagai inspirator pemikiran politiknya.

B. Karya-Karya Ilmiah Maududi
  1. Tahun 1929 pada usia 26 tahun menerbitkan karyannya al-Jihad fi al-Islam
  2. Tahun 1932 menerbitkan Risalah-yi-diniyat (Toword Understanding Islam)
  3. Tahfim al-Qur,an (Memahami al-Qur’an)
  4. Tahun 1938-1940, Musalaman aur Maujudah fi Siasyi Khasmakash (pengamatan mengenai permasalahan yang dihadapi Muslim India)
  5. Tahun 1952 menulis, Tajdid wa ihya’i-Din (argumen mengenai Kebangkitan Islam)
  6. Tahun 1967, Islam ka Nazhariyah-yi Siyasi (ringkasan pandangan Maududi mengenai peran Islam politik)
  7. Tahun 1969 menerbitkan Islam Riyasat (garis-garis besar mengenai Negara Islam)

C. Keterlibatan Maududi dalam Politik

1. Pada tahun 1919, Maududi bergabung dengan gerakan khilafah yang bertujuan mendukung kelangsungan Khilafah Islamiyah pada dinasti Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, kemudian ia dipercaya memimpin penerbitan organ panitia pusat, bernama al-Jam’iyah (1924-1928).
2. Pada tahun 1925 Maududi menulis sejumlah artikel sebagai bantahan terhadap tuduhan bahwa Islam disebarkan dengan pedang, setelah orang Hindu di Swami Sharadhanand, dibunuh oleh seorang ekstrimis islam dengan mengatasnamakan jihad. Kemudian pada tahun 1927 kumpulan artikelnya tersebut diterbitkan dalam satu Buku dengan judul “al-Jihad fi al-Islam”.
3. Pada tahun 1941 Maududi mendirikan Jama’ati-I-Islami, dalam suasana perjuangan kemerdekaan Anak Benua India dari penjajahan Inggris, selain itu, munculnya organisasi ini dipicu oleh keluarnya resolusi Lahore (Lahore Resolution) tahun 1940 yang digagas oleh All India Muslim League yang menuntut lahirnya negara Pakistan.
4. Jama’ati-I-Islami dilarang di bawah rezim Ayyub Khan, tanggal 9 Oktober 1964.

D. Konsep Negara Islam menurut Maududi

1. Bentuk negara yang paling ideal adalah negara ideologis, yaitu negara Islam.
2. Ada tiga pilar utama negara Islam:
a. Kedaulatan ada di tangan Tuhan.
b. Konstitusi negara Islam adalah syari’ah.
c. Pemerintah (khalifah) merupakan pemegang amanat Tuhan, dengan tugas utama melaksanakan kehendak-kehendaknya dengan tidak melampaui batas-batas yang telah ditetapkannya.

E. Kedaulatan Tuhan.

Penegasan Maududi terhadap kedaulatan Tuhan, merupakan upaya untuk membedakan dengan kedaulatan rakyat (demokrasi) seperti diperaktekkan di negara Barat. Maududi menyebut sistem pemerintahan Islam dengan “Teo-Demokrasi” yaitu suatu sistem pemerintahan demokrasi Ilahi, karena dibawah naungannya kaum muslim telah diberi kedaulatan yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Maududi menggunakan istilah ini untuk memebedakan negara Islam dengan Kingdom of God (kerajaan Tuhan) menurut pihak barat yang sifatnya teokrasi. Dengan ini berarti pemerintahan Islam menurut Maududi, dapat disebut sebagai a devine democratic government (pemerintahan demokratis yang berdasarkan ketuhanan).

F. Syari’ah sebagai Dasar Konstitusi Negara

Dasar konstitusi negara Islam ada empat: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Namun apabila ada persoalan negara yang tidak mendapatkan hukum yang jelas dalam syari’at, sesuai dengan prinsip teo-demokrasi, maka segala permasalahan hukum diselesaikan secara mufakat dan konsensus dikalangan kaum muslimin. Lebih lanjut Maududi mengatakan dalam menetapkan hukum, badan kehakiman (yudikatif) posisinya tidak berada di bawah ekskutif, ia dapat mengambil keputusannya secara langsung dari syari’ah dan bertanggung jawab penuh terhadap Tuhan.

G. Pemerintah (Khilafah)

Islam menggunakan kekhalifahan bukan kedaulatan. Karena menurut Islam, kedaulatan hanya milik Tuhan saja, sementara pemegang kekuasaan (khalifah) adalah mereka yang memerintah sesuai ketentuan (hukum) Tuhan dan tidak memiliki kekuasaan kecuali hanya melaksanakan kedaulatan yang didelegasikan kepadanya. Lebih lanjut Maududi menegaskan, kekhalifahan merupakan hak setiap muslim secara umum dan tidak terbatas kepada kelompok tertentu.

H. Pembagian Kekuasaan Negara

1. Maududi membagi kekuasaan negara menjadi tiga:
a. Kepala Negara (khalifah atau Amir) sebagai ekskutif.
b. Majlis Syura (ahl al-hall wa al-aqd) sebagai legislatif.
c. Badan Kehakiman (qadli) sebagai yudikatif.
2. Ekskutif adalah penguasa tertinggi umat Islam yang memiliki kekuasaan negara sekaligus agama.
3. Legislatif adalah mereka bertugas memberi saran kepada penguasa mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
4. Yudikatif adalah lembaga yang menetapkan sebuah hukum yang tidak terdapat dalam syari’ah.

I. Syarat-syarat Kepala Negara

1. Syarat-syarat kepala Negara:
a. Islam
b. Laki-laki
c. Dewasa
d. Siap fisik dan mental
e. Warga negara yang terbaik
2. Sistem pemiliham kepala negara:
a. Pemilihan kepala negara sepenuhnya bergantung pada masyarakat (kaum muslimin), dan tidak ada seorangpun yang boleh mengangkat dirinya sendiri.
b. Tidak dperbolehkan ada satu klan atau kelompok atau kelompok tertentu yang memonopoli jabatan tersebut.
c. Pemilihan harus dilaksanakan dengan suka rela bukan dengan paksaan.
J. Majlis Syura (legislatif)
Majelis Syura merupakan penjelmaan dari aspirasi masyarakat. Mereka tidak dipilih dan diangkat oleh kepala negara, melainkan hanya dipercaya bagi umat Islam. Mereka bertugas memberi saran kepada penguasa mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Kewajiban penguasa hanya dalam hal meminta pendapat mereka, bukan mengikuti atau terikat dengan pendapat mereka.
K. Kewarganegaraan
Maududi membagi kewarganegaraan kedalam dua golongan yaitu muslim dan dzimmi. Warga negara muslim adalah mereka yang beragama Islam dan merupakan penduduk asli suatu negara Islam (dar al-Islam) atau berdomisili di negara Islam. Sedangkan dzimmi adalah semua umat non muslim yang bersedia dan setia pada negara Islam.
L. Kritik Terhadap Maududi
1. Deliar Noer mengkritik ketidakkonsistenan Maududi dalam menolak demokrasi barat ketika dihubungkan dengan Islam, justru ia mengumukakan segi idealnya serta ajarannya. Teo-Demokrasi Maududi sama sekali tidak mensyaratkan suatu mikanisme tertentu bagi aplikasi pelaksanaan konsepnya, yang dapat membedakan dengan demokrasi barat.
2. Munawwir Sjadzali mengkritik trias politikanya Maududi, karena konsep itu merupakan berasal dari barat, maududi terjebak dengan "idealisasi sejarah" masa lalu tanpa memikirkan mikanisme pelaksanaannya.
M. Referensi
Abu 'Ala Maududi, Khilafah dan Kerajaan, Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintahan Islam. Bandung: Mizan, 1984.
________, Sistem Politik Islam. Bandung: Mizan, 1990.
Munawwir Sdadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1990.

KEKUASAAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN

KEKUASAAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF AL QUR’AN


Oleh : Akhmad Satori




Pendahuluan
Sejarah mencatat bahwa diantara persoalan-persoalan yang diperselisihkan pada hari-hari pertama setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah persoalan kekuasaan politik atau yang juga disebut persoalan imamat (imamah). Mekipun masalah tersebut berhasil diselesaikan dengan diangkatnya Abu Bakar (w. 23 H/634 M) sebagai Khalifah, namun dalam waktu tiga dekade maslah muncul kembali dilingkungan umat Islam. Kalau yang pertama antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin maka yang terakhir adalah perselisihan antara khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abu Sufyan dan berakhir dengan terbunuhnya khalifah Ali dan bertahtanya Muawiyah sebagai khalifah dan pendiri kerajaan Bani Umayyah.
Tidaklah mengherankan jika kemudian, perebutan kekuasaan politik mewarnai sejarah umat Islam; tidak hanya diantara dinasti-dinasti yang bersaing tetapi juga dilingkungan dinasti yang memerintah. Umat Islam telah melihat dalam sejarah mereka beberapa pemerintahan dinasti yang besar tetapi tidak luput dari pergolakan dan perebutan kekuasaan politik.
Akibatnya, konsekuensi logis dari hal tersebut, sejarah mencatat umat Islam dan perkembangan pemikiran mereka menghadirkan konsepsi politik yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan pendekatan yang digunakan, bahkan ada yang berpendapat bahwa Islam tidak memerlukan sistem politik sperti apa yang dikenal umat Islam itu sendiri.
Disisi lain, Islam sebagai sistem nilai mencakup segala aspek kehidupan manusia, ia tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan lingkungannya. Al Quran juga memerintahkan agar umat Islam melaksanakan ajaran-ajaran Islam seutuhnya dan melarang mereka mengikuti kehendak dan ajakan setan. Diantara ajaran Islam terdapat pula ajaran yang berkenaan dengan kehidupan politik.
Penelitian terhadap kitab-kitab Tafsir al Qur’an menunjukan adanya ide-ide yang berkenaan dengan kekuasaan politik dalam al Qur’an. Yang kemudian menyebabkan adanya kecenderungan perkembangan pemikiran politik diantara para mufasir ataupun para pemikir Islam. Hal ini terlihat dalam perbedaan pendapat mereka sebagai akibat perbedaan metode tafsir mereka.Rata Penuh
Layaknya sebuah teori pemikiran, teori kekuasaan politik yang mereka kemukakan telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan umat Islam dan mewarnai sikap antar generasi. Tidak hanya itu, kemunculan teori-teori tersebut telah menimbulkan pihak-pihak yang pro dan kontra. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana Al Quran menjelaskan konsep kekuasaan politik?dan untuk apa kekuasaan politik itu dijalankan?. Kiranya penjelasan berikut dapat memberikan jawaban terahadap pertanyaan tersebut


Konsepsi Kekuasaan Politik Menurut Al Qur’an
Sebelum kita membahas mengenai konsepsi kekuasaan politik menurut al-Qur’an, terlebih dahulu kita telusuri apa pengertian kekuasaan politik dan Al Qur’an. Istilah kekuasaan politik sering digunakan untuk menunjukan kewenangan dalam mengatur kehidupan masyarakat. Pengertian ini merujuk kepada pengertian politik sebagai aktifitas mengatur masyarakat, dalam pengertian ini terkandung unsur kewenangan membuat aturan-aturan hukum (kekuasaan legislatif), kewenangan melaksanakan hukum (kekuasaan eksekutif) dan kekuasaan melaksanakan peradilan untuk mempertahankan hukum (kekuasaan yudikatif), demikian pula kewenangan menyelenggarakan aktifitas politik lainnya.
Sedangkan Istilah AlQur’an adalah merujuk pada kitab suci umat Islam yaitu firman Allah SWT yang diturunkan dengan perantaraan malaikat jibrl kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai peringatan, tuntunan dan hukum bagi umat manusia. Tulisan ini bertujuan menemukan konsepsi kekuasaan politik yang dapat dipahami dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan objek ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan kekuasaan politik di harapkan dapat mengetahui konsep dan pemikiran politik yang Qurani, yang bisa dijadikan rujukan bagi umat Islam.
Menurut Abdul Muis Salim ada beberapa kata dalam Al-Qur’an yang dapat dijadikan key word yang relevan dengan konsep kekuasaan. Kata-kata tersebut antara lain adalah al-hukm, as-sulthan, dan al-mulk. Adapun penjelasannnya sebagai berikut:
Pertama, konsep al-Hukm, Secara estimologi al-hukm artinya membuat keputusan, berasal dari kata dengan huruf-huruf ha, kaf dan mim. Istilah hukm bereferensi konsep politik sebagai aktifitas yang bertumpu pada hukum-hukum Tuhan dengan tujuan memelihara eksistensi manusia sebagai khalifah. Namun apabila makna hukm tersebut di kaitkan dengan kehidupan masyarakat, maka kata tersebut mengandung makna pembuatan kebijakan atau melaksanakannya sebagai pengaturan masyarakat, pengertian ini dapat dilihat dalam Q.S. Al-Qalam (36 - 39) Q.S Al-Maidah (50 dan 95). Dengan demikian bahwa kata al hukm tidak hanya disandarkan pada hukum Tuhan semata, tetapi juga disandarkan kepada hukum manusia. Ini berarti adanya dua hukum, yakni hukum Tuhan dan hukum manusia. Dari pengertian diatas kiranya ditemukan hubungan kata hukm dengan konsep politik seperti telah dikemukakan dan dengan demikian kata tersebut relevan pula dengan kekuasaan politik.
Kedua, As-Sulthan, kata ini mempunyai akar kata yang berasal dari huruf sin, lam dan tha dan mempunya makna pokok ”kekuatan dan paksaan”. Kata sulthan yang bermakna kekuasaan di temukan dalam Q.S. Al Isra’ : 80 yaitu :
”Dan barang siapa yang terbunuh secara aniaya, maka sungguh kami telah memberikan kepada walinya kekuasaan...”(Q.S Al-Isra : 33)
Juga dalam ayat 80 surat ini :
”...dan jadikanlah untukku dari sisi-Mu kekuasaan yang menolong"(Q.S Al-Isra : 80)
Dari penggunaan kata sulthan di atas maka dapat diketahui bahwa kata tersebut berkonotasi sosiologis, karena ia berkenaan dengan kemampuan untuk mengatasi orang lain, sehingga kalau dikaitkan dengan konsep kekuasaan politik, jelas istilah tersebut relevan dengan konsep kemampuan dari pada konsep kewenangan (otoritas).
Ketiga, Al Mulk, kata ini berakar pada huruf huruf; mim, lam dan kaf, yang mengandung makna pokok keabsahan dan kemampuan. Dari makna pertama terbentuk kata kerja malaka-yamliku-milkan yang artinya memiliki, dan dari makna kedua terbentuk kata kerja malaka-yamliku-mulkan yang artinya menguasai, dari sinidiperoleh kata malik ”raja” dan mulk ”kekuasaan” hal ini dapat dilihat dalam Q.S. Al Baqarah (247).
Dalam istilah politik al-mulk adalah seseorang kepala negara yang memperoleh kekuasaan dengan jalan mewarisi dari kepala negara sebelumnya, maksud dari penjelasan diatas adalah bahwa konsep yang terkandung dalam kata al-mulk adalah konsep dengan sifat yang umum dan berdimensi kepemilikan. Dengan demikian Kesimpulannya adalah kekuasaan politik merupakan kekuasaan yang dimiliki manusia disamping kekuasaan lainya sebagai pemberian Tuhan kepadanya.


Kekuasaan Politik : Untuk Apa?
Kedudukan manusia sebagai khalifatul fil ardhi sebagaimana di jelaskan dalam al-Qur’an mengandung konsekuensi bahwa manusia merupakan pemegang otoritas kekuasaan baik kekuasaan politik maupun kekuasaan sosial di dunia dengan memegang kewajiban menegakan dan melaksanakan hukum-hukum Tuhan - al-Qur’an dan Sunnah – demi untuk mencapai keridhaan-Nya, dalam arti lain manusia adalah Namun persoalannya adalah pada tataran implementasinya, konsep tersebut sering tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penggunakan kekuasaan sering disalah gunakan (abuse of power), hukum-hukum Tuhan tidak sedikit yang disalah gunakan, bahkan otoritas kekuasaan yang di miliki seringkali di gunakan untuk membuat hukum-hukum yang sama sekali bertentangan dengan hukum Tuhan. Pertanyaan kritisnya kemudian adalah untuk apa kekuasaan politik itu? Atau bagaimana penggunaan kekuasaan menurut al Qur’an?.
Al-Quran sebenarnya sudah menjelaskan mengenai prinsip penggunaan kekuasaan politik, yaitu dalam Qur’an surat An Nissa ayat 58 dan 59, walaupun ajaran politik Al Qur’an sesungguhnya tidak terbatas pada kedua ayat ini, tetapi ayat ini secara langsung relevan dengan masalah tersebut. Dalam kedua ayat diatas menurut sebagian ulama memandang bahwa ayat-ayat diatas sebagai pokok hukum yang menghimpun segala ajaran agama, dengan kata lain kedua ayat diatas memegang peranan yang sangat penting sebagaia ayat sentral mengenai kekuasaan politik.
Sedangkan Rasyid Ridha berpendapat bahwa kandungan ayat tersebut sudah mencukupi untuk menjalankan pemerintahan meskipun tidak ada ayat lain yang turun berkenaan dengan kehidupan politik. Dilihat dari munasabah dengan ayat-ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya, menegaskan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh akan dimasukan kedalam surga dan hidup kekal di dalamnya, mereka juga akan memperoleh pasangan hidup yang suci dan kehidupan yang mulia, terpelihara dan senang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kandungan kedua ayat diatas merupakan kunci kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.
Adapun asbabun nuzul kedua ayat ini menurut As-Sayuthi,Al-Fairuzabadi dan Ibnu Abbas, berkenaan dengan kasus kunci Ka’bah yang berada dalam kekuasaan Ustman bin Thalhat pada tahun 8 H. Peristiwa tersebut bermula ketika Rasulullah meminta kunci Ka’bah dari Ustman, namun ketika hendak di serahkan, al-Abbas meminta kepada nabi agar kekuasaan atas kunci itu di serahkan kepadanya. Karena permintaan itu Ustman pun menahan kunci tersebut, meskipun Rasulullah mengulang permintaannya. Ustman baru menyerahkan kunci tersebut sambil berkata : ”inilah dia dengan amanat Allah”. Rasulullah pun lalu memasuki Ka’bah dan setelah keluar, ia bertawaf mengelilingi Ka’bah dan kemudian turunlah jibril membawa wahyu. Rasulullah pun memanggil Ustman dan menyerahkan kembali kunci tersebut kepada Ustman.
Dengan demikian dapat di katakan bahwa ayat–ayat di atas memiliki relefansi dengan kasus kunci Ka’bah, dan karena masalah ini merupakan bagian dari struktur pemerintahan , maka dapat di katakan bahwa ayat-ayat tersebut berkaitan pula dengan aspek kehidupan politik.
Setidaknya ada tiga prinsip yang terkandung dalam kedua ayat ini yaitu :
1. Perintah untuk Menunaikan Amanat
Kata amanah mengandung pengertian segala sesuatu yang dipercayakan seseorang kepada orang lain dengan rasa aman, sebagai mana yang tercantum dalam Q.S An Nisa : 58 sebagai berikut :
”Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu agar kamu menunaikan amanat-amanat itu kepada pemiliknya”(Q.S.An Nissa : 58)


Dari ayat diatas bisa diketahui bahwa dalam konsep amanat mengandung arti umum bahwa setiap orang yang beriman berkewajiban untuk menunaikan amanat yang menjadi tanggung jawabnya, baik itu amanat dari Allah maupun amanat dari sesama manusia.
Pada sisi lain sesuai dengan asbab an nuzul ayat, hal itu bermakna khusus bahwa kewajiban para pejabat untuk menunaikan amanat yang diberikan kepada mereka, yaitu kekuasaan politik. Disini pula dapat di katakan bahwa ayat diatas memperkenalkan prinsip pertanggungjawaban kekuasaan politik .
2. Perintah untuk Menetapkan Hukum dengan Adil
”...dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah kamu menetapkan hukum dengan adil...” (Q.S.An Nissa : 58)


Dalam ayat diatas jelas bahwa Allah memerintahkan kita menetapkan hukum dengan adil jika menetapkan hukum diantara manusia, ungkapan ”menentukan hukum” yang ada dalam ayat diatas mencakup pengertian membuat dan menerapkan hukum, secara kontekstual ayat tersebut tidak hanya ditunjukan kepada kelompok sosial tertentu dalam masyarakat muslim, tetapi di tunjukan kepada setiap orang yang mempunyai kekuasaan memimpin orang lain dalam hal ini kekuasaan politik.
Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut mengandung prinsip penggunaan kekuasaan politik dalam pembuatan hukum dan aturan lainnya yang harus berdasarkan keadilan, adapun dasar hukum dari kekuasaan politik tersebut adalah Al-Qur’an.
3. Perintah Ketaatan terhadap Allah dan RasulNya
Salah satu prinsip al Qur’an mengenai kekuasaan politik yang penting untuk kita ketahui adalah perintah untuk mentaati Allah, Rasulullah dan pemimpinnya, seperti firman Allah :
”Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taati pula Raul-Nya dan Ulil amri dari kamu...” (Q.S An Nissa : 59 )


Sebagian ulama mengemukakan bahwa dari tinjauan terhadap ayat yang berkenaan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bisa di kronologiskan dengan ayat ayat sebelumnya dan memperlihatkan adanya perkembangan pembentukan hukum. Sebelum ayat diatas turun, ketaatan kepada Rasulullah Saw masih mengikuti perintah taat kepada Allah SWT, hal ini dipahami jika di kaitkan dengan kedudukan dan fungsi Rasulullah sebagai pemberi penjelasan terhadap wahyu yang diturunkan Allah kepadannya.
Turunnya Q.S.An Nissa di atas membawa perubahan status pada ketaatan kepada Rasulullah, artinya ayat diatas memberi isyarat bahwa rasulullah mempunyai kemandirian dan kekuasaan untuk membuat hukum. Tetapi kemandirian tersebut tidak bersifat mutlak karena perintah itu dikatakan setelah perintah ketaatan kepada Allah yang mndahuluinya. Dengan demikian kedua perintah ini memberikan pengertian bahwa ketaatan kepada Rasulullah tidak melampaui batas ketaatan kepada Allah.
Kemudian masalah konsep ulil amri yang terdapat dalam ayat diatas sebagian ulama berpendapat bahwa kata ulil amri berhubungan dengan kata al-Rasul dengan perantaraan partikel penghubung, karena ungkapan ini maka ungkapan tersebut bermakna bahwa ulil amri wajib ditaati seperti halnya Rasulullah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa antara Rasulullah dan para ulil amri terdapat ikatan yang menghubungkan mereka berupa kewajiban menegakan hukum Allah.
Kesimpulan ini berimplikasi bahwa firman Allah yang dibahas tidak hanya mengandung kewajiban taat kepada Rasulullah dan ulil amri semata, tetapi juga hal tersebut menjadi dasar keberadaan kekuasaan politik yang dimiliki pemerintahan dan keabsahannya, namun keabsahan kekuasaan tersebut mengandung makna bahwa hukum-hukum dan kebijaksanaan yang mereka putuskan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.


Kembali Kepada Al Qur’an dan As Sunnah
Al Qur’an tidak menyatakan secara eksplisit bagaimana sistem politik terwujud. Tetapi di dalamnya di jelaskan bahwa kekuasaan politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal saleh. Di sisi lain kenyataan sejarah mencatat bahwa kekuasaan politik telah menyebabkan diferensiasi pemikiran yang berkembang dalam umat, yang berakibat pada terpecah belahnya umat kedalam beberapa aliran politik yang kemudian sangat rentan terhadap terjadinya pertentangan satu sama lain. Maka dari itu al-Qur’an telah menjelaskan bahwa perselisihan yang terjadi diantara umat harus diselesaikan dengan kembali berpedoman kepada al-Qur’an dan sunnah seperti yang di jelaskan dalam Q.S. An Nissa : 59 sebagai berikut :
”...Kemudian jika kamu berselisih dalam sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan RasulNya, jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Itu adalah pilihan yang baik dan penyelesaian yang bagus” (Q.S. An Nissa : 59)


Cara penyelesaian seperti yang di jelaskan dalam ayat diatas merupakan alternatif terbaik di antara kemungkinan penyelesaian yang ada dan juga merupakan cara yang memberikan hasil yang lebih baik.
Dengan demikian, kedudukan al-Qur’an dan Sunnah sebagai rujukan terakhir dan pemutus mengandung makna bahwa hukum Tuhanlah yang berdaulat dalam negara, sebab seperti yang telah di kemukakakan bahwa kedaulatan, dalam hal ini kedaulatan hukum, adalah kewenangan tertinggi dalam memutuskan hukum. Hukum tuhan tidak saja menjadi sumber dan dasar kekuasaan pemerintah, tetapi juga menjadi dasar dan rujukan akhir yang menentukan.


Penutup
Al Qur’an adalah kitab suci yang kebenarannya tidak diragukan lagi oleh umat Islam. Di dalamnya terkandung semua aspek kehidupan yang berlaku untuk semua konteks ruang dan waktu. Kepadanyalah semua persoalan kehidupan manusia dikembalikan, tidak terkecuali permasalahan politik ummat. Tetapi hal itu akan sangat tergantung pada bagaimana ummat sendiri bisa memelihara tanpa mereduksi ke otentisitasan Al Quran sendiri. Wallahu’alam












Daftar Pustaka


Al Qur'an Al Kariim


Al Maraghi Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, (terj) Penerjemah Bahrun Abu Bakar dkk, Semarang : Penerbit Thoha Putra,1986


Abegebriel, A. Maftuh. dkk, Negara Tuhan : The Thematic Encyclopedia, Semarang : Penerbit SR. Ins Team Publising, 2004


Hamid, Tijani Abd. Qadir, Pemikiran Politik dalam Al Qur’an, Jakarta : Penerbit Gema Insani Press, 2001.


Sadjali, Munawwir, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Yogyakarta : Penerbit Universitas Indonesia Press, Edisi kelima, 1993.


Salim, Abdul Muin, Fiqih Siyasah : Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al Qur’an, Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Edisi ketiga, 2002

Sejarah Pemikiran Islam :

Wednesday, 18 November 2009


Sejarah Pemikiran Islam :
Keberagaman Pemikiran dan Peta Konflik dalam Agama

Oleh. Akhmad Satori, S. IP., M.SI


Pemikiran Islam dapat dilihat dengan dua aspek yaitu aspek Eksoteris dan aspek Isoteris, Aspek Isoteris adalah aspek yang bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui oleh orang-orang tertentu, aspek ini seringkali diartikan sempit, sedangkan aspek eksoteris berarti bebas tanpa dibarengi dogma dan bisa dikatakan murni. Dalam dinamika Intelektual Islam, perbedaan pendangan dengan menggunakan kedua aspek tersebut, seringkali menyebabkan adanya perbedaan interpretasi terhadap pemikiran. Akibatnya banyak timbul keberagaman dalam pemikiran. Sejarah mencatat, munculnya berbagai madzhab, aliran, firqah, golongan, ormas dan kelompok-kelompok dalam Islam, mewarnai dinamika perjalanan pemikiran Islam, baik dari masa klasik hingga modern.
Tulisan ini mencoba mendeskripsikan dari karakter dari dinamika pemikiran Islam, dengan fokus keberagaman pemikiran dalam sejarah pemikiran Islam semenjak masa klasik sampai modern, selain itu tulisan ini mencoba mencermati pengaruh keragaman tersebut pada dinamika pemikiran islam di Indonesia.
*****
Islam di Madinah bisa dikatakan awal dari pada bangunan dasar dari peradaban dunia. Berbeda dengan di Mekkah yang lebih banyak berbicara tentang keberagamaan secara individu. Pada fase ini, Islam banyak berbicara tentang kemasyarakatan. Kitab suci Islam juga telah banyak menyinggung persoalan ini. Bahkan pada periode ini, Nabi Muhammad telah menunjukan cara hidup yang tepat untuk zaman modern yang membutuhkan kearifan untuk membaca realitas.
Dalam sejarah Islam sendiri perbedaan yang ditandai dengan pendirian, mahzab, firqah, partai, dan kelompok diawali pada masa kepemimpinan Ali. Digambarkan bahwa Ali tidak dapat memimpin secara tenang karena negara pada saat itu berada dalam keadaan kacau, sebagai imbas yang muncul akibat kematian Utsman. Para sahabat menuntut agar Ali yang saat itu menjabat sebagai khalifah pengganti Utsman, mengusut tuntas kasus tersebut. Ali merasa kesulitan untuk mengusut kasus tersebut. Karena ketidakpuasan para sahabat seperti Thalhah, Zubair dan Aisyah, maka meletuslah Perang Jamal. Ali berhasil memadamkan perlawanan itu. Akan tetapi pergolakan masih terus mengalir. Kali ini dipimpin oleh Muawiyah. Muawiyah memiliki tuntutan yang sama: usut pembunuhan Utsman. Tuntutan ini juga berakhir dengan perang, yang disebut dengan Perang Shiffin. Perang Shiffin dengan segala sesuatu yang terjadi dengannya, bisa dikatakan tonggak awal dari terbentuknya firqah-firqah dalam Islam.
Pada perang ini, perbedaan tafsiran mulai tampak dikalangan kaum muslim. Walau pada mulanya beranjak pada perbedaan kebijakan politik, antara Ali dengan kelompoknya dalam menghadapi tawaran Tahkim oleh kelompok Muawiyah. Ali sebenarnya menolak, namun terus mendapat desakan dari para sahabat. Tahkim ini dengan sendirinya melahirkan kekisruhan yang lebih nyata lagi, yaitu adanya muslihat dari kelompok Muawiyah. Masalah lain yang juga timbul pada saat itu adalah munculnya orang-orang yang berpikiran sempit dari kalangan Ali yang tidak sepakat, dan menyatakan keluar dari kelompok Ali. Golongan ini dikenal sebagai Khawarij.
Khawarij ini memiliki karakter kaku, sempit, puritan dalam menafsirkan agama. Khawarij berpendapat bahwa Ali dan Muawiyah adalah salah, karena telah melakukan pelanggaran terhadap ajaran agama yang esensi. Jadi, mereka mesti dibunuh, itulah logika beragama yang dibangun. Dan sejarah mencatat, hanya Ali yang terbunuh. Mulai saat itu, kepemimpinan beralih kepada Muawiyah dan diteruskan oleh keturunannya. Bukan itu saja, kepemimpinan Islam yang demokratis beralih menjadi kepemimpinan yang monarki. Kepemimpinan model ini terus bertahan sampai berakhirnya kekhalifahan Islam di Turki, pada awal abad dua puluh.
Walau berada dalam keadaan monarki. Islam semakin hari semakin berkembang. Pada era Bani Umayah, Islam meluaskan ekspansinya ke daerah-daerah Timur Sedangkan pada masa dinasti Abassiah adalah periode keemasan ilmu pengetahuan Dari kedokteran, filsafat, hukum, kalam, mantiq, astronomi dan lain-lain. Walaupun begitu, polarisasi dalam tubuh umat Islam masih ada, bahkan semakin kuat. Ini dibuktikan dengan adanya firqah atau mahzab dalam Islam. Baik di bidang politik, kalam (teologi), fiqh, filsafat maupun tasawuf.
Dalam bidang ilmu Kalam (displin ilmu yang mempelajari tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya, yang juga disebut sebagai Islamic Phylosophy) generasi pertama-pertama yang muncul adalah kelompok Qadariah dan Jabbariah. Qadariah
adalah paham yang yang meyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk bertindak dan mesti bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Sedangkan Jabbariah adalah bentuk sebaliknya. Bagi Jabbariah, manusia adalah makhluk terpaksa, tidak bebas, diatur oleh Tuhan. Tetapi diantara perbedaan kalam itu, yang paling menarik untuk dicermati adalah antara Mu’tazilah dan Ahlul Sunnah atau juga disebut dengan kaum al-Asya’ari.
Seperti juga Qadariah, Mu’tazilah adalah kelompok kalam yang menekankan rasionalisasi dan kebebasan kehedak manusia. Akan tetapi tesis Mu’tazilah ini dibantah Ahlul Sunnah. Bagi Ahlul Sunnah manusia memang bebas berkehendak. Tetapi yang menariknya, kehendak manusia ini ditentukan oleh kehendak yang lebih kuat, yaitu kehendak Tuhan. Secara sepintas teologi ini mencoba netral. Akan tetapi mereka lebih dekat kepada sikap fatalistik (menyerah pada takdir atau nasib), seperti yang pernah dikampanyekan oleh Jabbariah.
Perbedaan Kalam ini ternyata tidak saja pada tataran wacana, melainkan juga telah merambah ke ranah politik. Salah satu tragedi kalam terbesar adalah ketika pada masa Bani Abassiah tepatnya masa al-Ma’mun. Pada masa ini terjadi pemaksaan untuk mengakui bahwa al-Quran adalah adalah makhluk. Bahkan seorang imam mahzab terkenal, Imam Ahmad Ibnu Hambal menjadi korban dari kebijakan itu. Perbedaan dalam fiqh juga ada. Bahkan lebih dinamis dari pada yang lain, tanpa menyebabkan tragedi seperti diatas. Perbedaan fiqh hanya menimbulkan rasa fanatik pada pengikut mahzab. Perbedaan fiqh ini sendiri terjadi karena perbedaan tempat, waktu, budaya dan situasi, dimana hukum itu tumbuh.
Perbedaan dalam tradisi Islam bisa bertahan dan terus dinamis, karena memang secara dogma baik dalam al-Quran maupun sabda nabi, memberikan kebebasan umatnya untuk ber-ijtihad (usaha sungguh-sungguh menggali kebenaran). Dan yang menariknya, Islam tidak mengenal sistem kependetaan, yaitu sistem keagamaan yang memiliki otoritas untuk menentukan kebenaran. Katakanlah lembaga fatwa, baik yang berada di Timur Tengah maupun di Indonesia, tidak memiliki otoritas yang berlebih. MUI (Majelis Ulama Indonesia) misalnya, kelompok ulama ini hanya berfungsi untuk untuk memberi fatwa keagamaan di tengah masyarakat, mempererat ukhuwah Islamiyah, mewakili umat Islam dalam konsultasi antar umat beragama serta menjadi penghubung dan penerjemah antara ulama, umara dan umat. Bahkan lembaga ini hanya mampu mengeluarkan fatwa-fatwa yang tidak “berkelas”, karena hanya berkutat pada masalah-masalah kecil.
Berbeda dengan Syi’ah, unsur otoritasnya lebih kuat, akan tetapi tidak sama dengan pendeta. Dalam Syi’ah ada lembaga Wilayatul Faqih. Konsep wilatul faqih didasarkan pada prinsip Imamah. Wilayahtul faqih ini bertugas untuk membimbing umat baik dalam masalah agama maupun sosial politik.
*****
Bisa dikatakan sebagian besar penduduk Indonesia adalah muslim. Bahkan untuk saat ini, muslim Indonesia dikategorikan sebagai Muslim Santri. Yaitu muslim yang tidak hanya percaya kepada Tuhan, tetapi juga menjalankan amal ibadah lainya. Tidak lagi didominasi oleh muslim abangan seperti tahun lima puluhan dan enam puluhan. Indonesia juga dapat dikatakan sebagai sebagai surga bagi kaum muslim. Sebab di sini, setiap muslim bebas menyerukan keyakinannya, tanpa perlu takut. Bahkan kelompok Islam radikal yang dilarang di luar negeri, dapat hidup nyaman disini. Iklim ini terbangun selain karena karakter dasar bangsa ini yang memiliki jiwa egaletarian dan inklusif, juga sejarah masuknya Islam ke Indonesia juga dengan cara-cara elegan dan akulturatif, yang secara serta merta telah memberikan rekaman memori yang kuat untuk bersikap demikian. Sejarah ini tentunya sangat mempengaruhi perkembangan Islam di negeri ini.
Dinamika Islam Indonesia menarik untuk diamati. Sebab dalam sejarahnya, Islam Indonesia menawarkan kejutan-kejutan yang terkadang tidak pernah dibayangkan. Bertikai dalam fiqh, tetapi saling membantu dalam politik. Merangkul rezim berkuasa disaat kelompok Islam lainnya disingkirkan.
Walaupun Islam di Indonesia di wakili oleh banyak wajah Islam, seperti beragamnya organisasi keagamaan, aliran-aliran, Islam gerakan maupun Mahzab Tariqah. Akan tetapi untuk menangkap Islam Indonesia, ternyata harus melihat NU-Muhammadiah sebagai kaca mata utama. Mengabaikan dua kelompok besar ini, sama saja dengan mengabaikan perkembangan Islam di indonesia. NU-Muhammadiah telah banyak memberikan sumbangan besar bagi perjalanan bangsanya.
NU-Muhammadiah selalu saja mengisi setiap fase narasi sejarah bangsa ini. Walau awal keduanya muncul sebagai “lawan”, karena berbeda dalam fiqh dan cara mengakulturasikan budaya. Akan tetapi dua kelompok ini pada fase-fase berikutnya telah mampu bekerjasama dalam hal-hal besar yang mendahulukan kemashalatan umat. Seperti kampanye anti korupsi, menolak segala bentuk teror, menolak radikalisme beragama dan menampilkan Islam yang lebih inklusif, toleran dan mendukung demokrasi. Tidak relevan lagi memotret NU-Muhammadiah sekarang dengan kacamata parokial (baca: sempit, sepert fiqh ibadah), atau dikotomi Islam Modernis-Tradisionalis. NU-Muhammadiah harus ditatap dengan paradigma kemoderenan yang disertai prinsip-prinsip demokrasi. Ini penting ditengah rendahnya toleransi dalam meyakini kebenaran, dan semakin menguatnya arus radikalisasi agama yang bersifat destruktif.
*****
Sejarah pemikiran Islam berjalan secara dinamis, keberagaman dalam tubuh umat Islam yang berbuah kepada lahirnya firqah, partai, organisasi, mahzab pemikiran adalah sunnatullah belaka. Meyikapi kemajemukan ini juga mesti arif dan bijak. Yaitu dengan mengembalikan permasalahan ini kepada pangkal masalah penyebab keberagaman dalam tubuh umat Islam. Islam mengajarkan titik tolak yang luar biasa kepada umatnya untuk melihat keberagaman ini dengan kaca mata positif. Bahwa Tuhan memang menciptakan manusia dalam wujud yang berbeda, dengan harapan antar manusia ini saling berkenalan, saling mengisi dan bekerjasama.
Wallahu’alam

Bahan Bacaan
Majid, Nurcholis, Islam Doktrin Peradaban : Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta : Paramadina, 2000.

Mansur, Peradaban Islam : dalam Lintasan Sejarah,Yogyakarta : PenerbitGlobal Pustaka Utama, 2004

Mughni, A. Syafiq, Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan, Surabaya : Lembaga Pengkajian Agama dan Mayarakat (LPAM), 2002.

Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian Kesatu dan dua, Jakarta : Penerbit Grafindo Persada, 1999

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK) dan Rajawali Pers, cet. VII,1998.

Zainuddin, Rahman, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Edisi II, 2002

Pemerintahan Nabi dan Perubahan Sosial

Pemerintahan Nabi dan Perubahan Sosial
( Perbandingan dengan al-Ayyam al-Jahiliyyah)

Akhmad Satori, S.IP



A.PENDAHULUAN

Kajian mengenai sejarah perkembangan peradaban Islam yang sangat panjang dan luas, tidak bisa dilepaskan dari pembahasan sejarah perkembangan politiknya, bukan saja karena persoalan-persoalan politik sangat menentukan perkembangan aspek-aspek peradaban yang lainnya. Tetapi terutama karena sistem politik dan pemerintahan itu sendiri merupakan salah satu aspek penting dari peradaban.
Sejarah politik dunia Islam dibagi menjadi tiga periode, pertama, periode klasik (650-1250 M),; kedua, periode Pertengahan (1250- 1800 M); ketiga periode moderen (1800 M sampai sekarang). Dari ketiga periode tersebut, periode pertama dapat dikatakan sebagai periode “masa keemasan” dalam sejarah Islam. Sebagai masa keemasan , periode ini sering dijadikan rujukan dan tolak ukur keteladanan. Masa Nabi Muhammad saw yang hanya berlangsung 23 tahun merupakan masa-masa dimana Islam mengawali perjalanan peradaban di dunia, karenanya sangat menarik apa bila kita cermati lebih jauh lagi tentang apa saja yang terjadi seputar periode tersebut.
Tulisan ini bermaksud untuk memberikan sebuah deskripsi mengenai pemerintahan yang pernah ada pada jaman nabi Muhammad dan perubahan social yang terjadi pada masa itu, di bagian lain tulisan ini juga berusaha membandingkan kondisi sosial politik yang terjadi pada masa nabi dengan kondisi social politik yang terjadi pada masa al-Ayyam al-Jahiliyah.

B. ARAB DALAM AL-AYYAM AL-JAHILIYAH
Secara geografis Jazirah Arab berbentuk memanjang dan terbagi ke dalam dua bagian, yaitu bagian tengah serta bagian pesisir. Sebagian besar daerah Arab adalah padang pasir Sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan serta sifat yang berbeda-beda. Penduduk Sahara sangat sedikit terdiri dari suku-suku badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan yang nomaden, berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Sementara penduduk Arab di daerah pesisir telah hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga. Namun wilayah pesisir, bila dibandingkan dengan sahara, sangat kecil sehingga bagaikan selembar pita yang mengelilingi Jazirah.
Dalam kondisi demikian maka bangsa Arab di wilayah pesisir lebih maju dalam hal kebudayaan dibanding mereka yang mendiami daerah pedalaman. Hal ini ditandai dengan kemunculan kerajaan di daerah-daerah pesisir Jazirah Arab. Sementara di daerah pedalaman lebih diwarnai kehidupan masyarakat padang pasir yang bebas dan tidak terikat oleh aturan-aturan kerajaan. Bangunan masyarakat di daerah pedalaman lebih didominasi oleh semangat kesukuan dan berada dalam bayangan otoritas kepala suku. Fenomena demikian nampak pada masyarakat Hijaz di mana otoritas kesukuan lebih dominan.
Otoritas kesukuan secara prinsipil adalah sebuah pemerintahan kecil, di mana basis dasar eksistensi politik kesukuan adalah kesatuan fanatisme. Pemimpin kesukuan seolah-olah berdiri sebagai raja sedangkan anggota-anggota suku adalah rakyat yang meski patuh. Dalam keadaan demikian, seorang pemimpin memilki hak istimewa, seperti perolehan harta rampasan perang sebesar seperempat dari keseluruhan. Maka secara sosiologis, masyarakat Arab terstruktur kedalam dua kelas sosial. Pemimpin bersama keluarga besar, mereka sering menjadi pengusaha, menempati kelas atas sedangkan masyarakat umum bersama kelompok budak sebagai kelas bawah yang dikuasai.
Keadaan alam yang kurang bersahabat di Jazirah Arab ini membentuk karakter masyarakat yang keras. Di lain sisi, bangunan keagamaan yang telah dirintis para nabi terdahulu telah hancur sehingga masyarakat mengalami krisis moral. Praktik perjudian, meminum arak, pelacuran, dan kasus-kasus perampasan harta orang telah menjadi sebuah fenomena umum. Fenomena demikian sering bersinggungan dan berbenturan dengan isu-isu kehormatan dan harga diri. Dalam format demikian maka sebuah peperangan antara suku-suku menjadi hal yang lumrah serta menjadi bagian dari totalitas kehidupan. Di lain sisi, pemenuhan kehidupan masyarakat Arab pedalaman bergantung kepada sumber-sumber mata air dan padang rerumputan. Hal ini berkaitan dengan kelangsungan hidup hewan gembalaan mereka. Keterbatasan alam dalam menyediakan sumber-sumber air dan padang rerumputan semakin melembagakan tradisi peperangan antar suku-suku Arab di daerah pedalaman.
Kondisi Jazirah Arab yang relatif stabil secara politik adalah kota Makkah. Hal kecenderungan ini terkait dengan peran Makkah sebagai pusat kota suci keagamaan masyarakat Jazirah Arab. Di Makkah terdapat satu periode pelaksanaan ziarah yang disepakati sebagai masa gencatan senjata dan hanya dikhususkan untuk peribadatan. Di era kemunculan Islam, Mekkah berada di bawah otoritas kesukuan Quraisy. Kekuasaan Quraisy dibangun melalui sebuah perebutan dan peperangan dengan suku Khuzaifah serta Bakr yang sebelumnya berkoalisi menguasai Makkah. Mereka mendirikan Darun Nadwah di sebelah utara mesjid K’abah. Darun Nadwah adalah tempat pertemuan orang-orang Quraisy untuk membicarkan masalah-masalah yang berkaitan dengan persoalan sosial kemasyarakatan dan sekaligus sebagai tempat untuk mempersatukan keanggotan suku. Makkah di bawah pengelolaan Qurays mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terkait dengan model pengelolaan yang lebih terorganisasi sehingga memudahkan jalan bagi penyelesaian masalah. Meskipun demikian secara sosio-kultural dan keagamaan, masyarakat Makkah pun mengalami pelbagai krisis sebagaimana di daerah lain.

C. ARAB DI ERA KENABIAN MUHAMMAD
Nabi Muhammad Saw dilahirkan di negeri Makkah dan berasal rumpun Bani Hasyim, suatu cabang keluarga kabilah yang kurang berkuasa dalam suku Quraisy, kabilah ini memegang jabatan siqayah. Keberadaan Muhammad ternyata sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Mekkah pada waktu itu, beliau berjuang untuk mengentaskan jurang kehinaan wanita kepada kedudukan mulia dan terhormat, dan menegaskan bahwa umat manusia adalah sama kedudukannya. Adapun yang paling mulia diantara mereka adalah yang paling taat kepada Allah swt dan paling banyak memberikan manfaat kepada sesame manusia.
Hijrah merupakan titik balik di dalam karier Nabi Muhammad. Suatu unsur yang baru dan berbeda mengubah rencana keagamaan nabi. Disini Nabi memulai apa yang dapat disebut karir agama politik. Selama ini Islam merupakan suatu agama yang murni, tetapi setelah Nabi Hijrah ke Madinah, Islam menjadi satu kesatuan agama-politik. Nabi mendirikan suatu persaudaraan-persaudaraan Islam, dia berhasil didalam mendirikan suatu persekutuan, menggabungkan kaum kaya dan kaum miskin atas dasar yang sama. Kebanggaan terhadap keluarga, keturunan, kekuasaan dan kekayaan ringkasnya kebanggaan akan segala hal telah hilang, dan semua unsur heterogen itu telah dilebur menjadi satu bangsa.
Dalam rangka memperkokoh suatu tatanan masyarakat yang majemuk, Nabi segera meletakan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat. Menurut Husain Haikal setidaknya ada tiga dasar kehidupan masyarakat yang ditanamkan tersebut . Dasar pertama pembangunan mesjid, selain untuk tempat salat, juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin dan mempertalikan jiwa mereka, disamping sebagai tempat bermusyawarah merundingkan masalah-masalah yang dihadapi sebagai pusat pemerintahan.
Kedua, adalah Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan sesama muslim. Nabi mempersaudarakan antar golongan Muhajirin, orang-orang yang hijrah dari Mekah dan ke Madinah, dan Anshar, penduduk Medinah yang sudah masuk Islam dan ikut membantu kaum muhajirin tersebut. Dengan demikian, diharapkan setiap muslim merasa terikat dalam suatu persaudaraan yang baru, yaitu persaudaraan berdasarkan agama menggantikan persaudaraan berdasarkan darah.
Dasar ketiga , hubungan persahabatan dengan pihak-pihak lain yang tidak beragama Islam. Di Madinah, di samping orang-orang Arab Islam, juga terdapat golongan masyarakat Yahudi dan orang-orang Arab yang masih menganut agama nenek moyang mereka agar stabilitas masyarakat dapat diwujudkan, nabi Muhammad mengadakan ikatan perjanjian dengan mereka. Sebuah piagam yang menjamin kebebasan beragama orang-orang yahudi sebagai sebuah komunitas. Setiap golongan masyarakat memiliki hak-hak tertentu dalam bidang politik dan keagamaan. Kemerdekaan beragama di jamin dan seluruh anggota masyarakat berkewajiban mempertahankan keamanan negeri dari serangan luar.

D. PIAGAM MADINAH: SEBUAH REVOLUSI SOSIAL DAN POLITIK.
Keberhasilan nabi membentuk kaum muslimin yang majemuk (bersuku-suku) menjadi satu ummat pada hakikatnya juga bergerak dan berhijrah secara dinamis dari tatanan masyarakat yang jahiliyah yang berdasarkan ashabiyah (rasialisme/fanatisme kesukuan) pada suatu tatanan masyarakat bertauhid yang memperjelas jalan dan tujuan anggotannya. Alquran menyebut masyarakat jahiliyah yang berdasarkan ashabiyyah tersebut dengan istilah hamiyyat al-jahiliyat (kesombongan jahiliyah)
Nabi Muhammad tidak hanya meletakan tatanan agama baru dalam struktur masyarakat qaumiyah (kesukuan) Arab, tetapi juga memapankan kebijakan sosial politik baru yang didasarkan kepada agama yang dibawanya. Dalam aspek politik beliau tidak hanya berperan sebagai pembaharu masyarakat, tetapi beliau juga sebagai pendiri bangsa yang besar. Pada tahap awal, nabi berjuang untuk menyatukan bangunan masyarakat Arab yang semula heterogen yang satu sama lainnya saling bermusuhan. Maka tidak lama setelah nabi Hijrah dan menetap di Madinah, Nabi membentuk masyarakat Madinah menjadi bersatu dalam kesatuan negara Madinah melalui perjanjian yang beliau buat..
Perjanjian tersebut dikenal dengan istilah “as-sahifah al-madaniyah” (Piagam Madinah). Suatu piagam politik yang mengandung tata aturankehidupan bersamaantara kaum muslimin dengan kaum yahudi di Madinah. Dan hasil konsepsi Rasulullah yang di ilhami al-Quran tersebut menghasilkan suatu konstitusi yang mengatur tentang pranata hukum, social dan politik masyarakat Madinah, tidak hanya terhadap kaum muslim akan tetapi piagam ini juga mengatur hubungan kaum muslimin dengan kaum non muslim. Menjadi suatu komunitas baru yang terikat kuat dengan menekankan pola kerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan dan keamanan.
Menurut, A. Guellaume, piagam yang di proklamirkan Muhammad tidak lain merupakan suatu dokumen yang menekankan hidup berdampingan antara orang-orang Muhajirin dan Anshor di satu pihak dengan orang-orang yahudi di pihak lain. Mereka masing-masing melindungi hak-haknya, saling menghargai agama dan mempunyai kewajiban yang sama dalam mempertahankan suatu kesatuan masyarakat Madinah. Karena kandungannya yang universal, maka piagam tersebut bias dianggap merupakan konstitusi (hukum tertulis) yang mengikat seluruh warganya.
Dengan demikian tidaklah berlebihan jika prakarsa Nabi dalam membentuk Piagam Madinah tidak lain merupakan manifesto politik yang memunculkan sebuah revolusi politik pertama dalam sejarah Islam , tidak hanya itu dari sisi sosial, piagam ini juga mampu menginternalisasikan nilai-nilai kehidupan masyarakat sebagaimana tercermin dalam membangun masyarakat Madinah yang pluraristik.

E. PENUTUP
Masyarakat Arab pra Islam merupakan satu fenomena kehidupan manusia yang cukup unik. Mereka hidup menginginkan kehidupan bebas dengan penuh kesederhanaan serta tidak suka keterkekangan pelbagai aturan-aturan kelembagaan. Sebelum masa kenabian Muhammad, bangsa Arab tidak mempunyai kepaduan dan kesatuan diantara mereka, mereka merupakan bangsa yang terpecah belah dan penuh pertentangan,. Pertikaian berdarah, dan kecemburuan suku merajalela, sitem perbudakan merupakan sisi lain dari fenomena masyarakat bangsa arab. Namun hal ini, berbanding terbalik ketika Islam datang dan berada di antara mereka.
Islam memperkenalkan kepada mereka sebuah bangunan agama ketauhidan yang menekankan keberserahan diri di hadapan Tuhan dan seperangkat nilai-nilai moral. Sistem agama ini, secara revolusioner telah merubah masyarakat Arab menjadi pribadi yang tidak lagi berlaku dhalim terhadap diri dan masyarakat. Mereka saling-memandang sebagai satu entitas muslim, menghilangkan perbedaan latar belakang etnis dan sosio-kultural. Islam telah mengikat mereka dalam satu bangunan persaudaraan dan menghantarkan kepada tata peradaban besar.Islam pun telah mengubah paradigma berpikir masyarakat Arab dari kebutaan moralitas yang terkungkung tradisi-tradisi kebendaan menuju pencerahan, sebuah dunia spiritual ke-Ilahiyah-an. Muhammad secara besar-besaran telah mengubah mereka dengan pelan, namun ke arah yang pasti. Meskipun demikian, Muhammad tidak serta merta mengubur semua tradisi Arab, melainkan juga mengakomodasi beberapa keutamaan mereka. Misal adalah dalam hal penerimaan tamu dan kesetia-kawanan atau solidaritas sosial.



DAFTAR PUSTAKA
An-Nadwi, Abul Hasan Ali al-Hasni., As-Sirah An-Nabawiyyah : Riwayat Hidup Rasulullah, terj. Bey Arifin, Surabaya: Penerbit Bina Ilmu, 1989.

Arif, Abdul Salam, Politik Islam Antara Aqidah dan Kekuasaan Negara Dalam Negara Tuhan The Thematic Ensiclophedy, Yogyakarta : SR ins Press, 2004

Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 3 Jakarta : PT. Intermasa,2001

Haikal, M Husein, Ali Audah (terj). Sejarah Hidup Muhammad, cetakan XVII, Jakarta : Litera Antar Nusa, 1994.

Hasjmy, A.,Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Penerbit bulan Bintang, 1995.

Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian satu dan dua, Jakarta : Penerbit Grafindo Persada, 2000

Mahmuddunnasir,Syed., Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Penerbit Rosda Karya, 1991.

Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : global Pustaka Utama, 2004

Sadjali, Munawwir, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah derta Pemikiran, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Press, (edisi kelima), 1993

Yatim Basri, Histografi Islam, Jakarta : Logos, 1997.

_________ , Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993
 

Most Reading