Jurnal Aliansi Vol.4 No.1 Tahun 2012

Saturday 11 February 2012


KEMENANGAN KARAENG DALAM PILKADA

Muhtar Haboddin[1]

ABSTRACT

Paper highlights the fight elections in the District of South Sulawesi Jeneponto in 2008. Election 2008 was a battle between two major forces that exist in society which Karaeng Group (nobility) represented by Radjamilo, Agus Abdullah, and Djaini Lontang Syansuddin dealing with Zainal, Sonda Runtime, and Baharuddin Baso Tika groups representing Daeng. Brought together with the social background of each candidate pair them fight it out. Pucak of the fight then won Radjamilo of the nobility.

Keyword : Local Elections, Karaeng, and Daeng


ABSTRAK

Tulisan menyoroti pertarungan pilkada di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan pada tahun 2008. Pilkada 2008 merupakan pertarungan antara dua kekuatan besar yang ada dalam masyarakat yakni Golongan Karaeng (bangsawan) yang diwakili oleh Radjamilo,  Agus Abdullah, dan Djaini Lontang berhadapan dengan  Syansuddin Zainal, Sonda Tayang, dan Baharuddin Baso Tika yang merepresentasikan golongan Daeng. Dengan sama-sama mengusung latar belakang sosial masing-masing pasangan calon mereka bertarung secara habis-habisan. Pucak dari pertarungan itu kemudian dimenangkan Radjamilo dari golongan bangsawan.

Kata kunci : Pilkada, Karaeng, dan Daeng


PENDAHULUAN
Peran bangsawan lokal (Karaeng) dalam perpolitikan di Jeneponto mengalami pasang surut. Hal ini terekam dari hasil Pemilu 2009 yang menunjukkan bahwa golongan Karaeng kalah dengan golongan Daeng dalam perebutan kursi di DPRD. Kekalahan golongan Karaeng dalam pemilu tidak menyurutkan langkah politiknya untuk terjun dalam perebutan jabatan bupati. Alhasil pada pemilihan kepala daerah untuk periode 2009-2013 pasangan Radjamilo yang mendapat suara terbanyak dan terpilih menjadi kepala daerah.
Kemenangan Radjamilo dalam Pilkada 2009 memberikan makna penting bagi eksistensi Karaeng di Jeneponto. Sebab, untuk pertama kalinya golongan Karaeng terpilih menjadi kepala daerah selama dua periode berturut-turut. Tidak hanya itu, kemenangan pasangan Radjamilo semakin mengukuhkan eksistensi golongan Karaeng dalam peta politik lokal. Makna lainnya adalah kemenangan Radjamilo menambah daftar panjang golongan bangsawan yang menjadi bupati di Provinsi Sulawesi Selatan.
Tulisan ini akan berusaha mengungkap sisi kemenangan golongan Karaeng dalam Pilkada di Jeneponto beserta dinamika yang menyertainya. Tulisan ini akan diawali dengan pemaparan kemenangan golongan bangsawan secara umum sebagaimana terjadi di Jasirah Sulawesi Selatan. Setelah itu, penjelasan diarahkan pada pilkada Jeneponto secara detail yang mengantarkan  kemenangan Radjamilo sebagai reprsentasi politik Karaeng.

BANGKITNYA POLITIK BANGSAWAN
Secara umum politik lokal di Sulawesi Selatan mengalami sebuah kemajuan dengan melihat capaian dan keberhasilan para golongan bangsawan menjadi penguasa tunggal di beberapa kabupaten. Tampilnya para Karaeng atau Andi di sejumlah kabupaten di Sulawesi Selatan merupakan bukti bahwa kaum aristokrat sedang bangkit kembali dalam peta politik lokal. Kehadirannya sebagai pucuk pimpinan membuktikan bahwa mereka mampu bersaing untuk menjadi orang nomor satu di daerah masing-masing. 
Hasil penelusuran berbagai sumber menunjukkan bahwa ada sembilan kepala daerah yang dipimpin oleh golongan bangsawan. Sebut saja A. Sutomo. di Kabupaten Soppeng,  A. M Rum di Kabupaten Barru, A. Bau Kemal di Pangkep, A. Jamaluddin di Kabupaten Maros, Nurdin Abdullah Kr. Nurdin di Bantaeng, A. Burhanuddin Unru di Kabupaten Wajo, A. M. Idris Galigo di Bone, A. Rudiyanto Asapa di Kabupaten Sinjai, Radjamilo di Kabupaten Jeneponto. Kesemua nama yang disebutkan ini tergambar pada tabel berikut.

Tabel Bangsawan yang menjadi Bupati
DAERAH
NAMA KANDIDAT
KETERANGAN
Soppeng
A Munarfah/A Rizal M

A. Harta Sanjaya/Syarifuddin Rauf

A. Sutomo.A. Sarimin
Terpilih
Bismirkin Manrulu/A. Burhanuddin

Barru
A. Anwar Aksa/Hasan Syukur

H.M Basir palu/Indris Bau Mange

A. M Rum/Kamrir Mallongi
Terpilih
Pangkep
Gaffar Patappe/Efendi Kasmin

Syahruddin Noor/A. Bau Kemal
Terpilih
Taufik Fahruddin/A. Ilyas Mangena

Maros
A. Jamaluddin/A. Paharuddin
Terpilih
Bachtiar Mahmud/Syarifuddin

A. Baso Peresah/M Hatta Rahman

Irwansyah kasim/Anwar Ismail

Bantaeng
Nurdin Abdullah Kr. Nurdin/Asli Mustajab Kr. Lili
Terpilih
Arfandy Idris-Irvandi Langgara

Syahlan Solthan/Samhi Muawan Djamal

Jeneponto
Agus Anwar Moka/ Natsar Desi

Baharuddin BT/ Agus Abdullah Kr. Ca’di

Jabar Natsir/ Sarbini Haerah

Sonda Tayang/ Arief Syamsuddin

Radjamilo/ Burhanuddin BT
Terpilih
Zainal Syamsuddin/ Zaini Kr Lontang

Wajo
A. Burhanuddin Unru-Amran Mahmud
Terpilih
A Asriadi Mayang-A.Ansari Mangkona

A Yaksan Hamzah-A Safaruddin

HA Asmidin-Drs M Ridwan

Sinjai
A. Rudiyanto Asapa/A. Massalinri Litief
Terpilih
Sabirin Yahya/A. Mansyur Baso

Bone
A. M. Idris Galigo/Said Pabokori
Terpilih
A. Fashar Padjalangi/A. Abdullah

A. Mangunsidi/Aziz Halid

Data diolah dari berbagai sumber
Terpilihnya sembilan bupati sebagaimana disebutkan pada tabel di atas bisa dibaca sebagai kembalinya kekuatan bangsawan dalam struktur politik. Hal yang menarik untuk ditelisik dari kemenangan bangsawan lokal dalam Pilkada tidak bisa dilepaskan dari bekerjanya jaringan kekerabatan. Kuatnya jaringan kekerabatan yang dimiliki para bangsawan sangat berpengaruh dalam memenangkan Pilkada. Seorang responden mengatakan bahwa “golongan bangsawan sangat diuntungkan dalam sistem pemilihan langsung”. Argumen ini bisa dipahami karena selama ini para bangsawan mempunyai jaringan yang luas sehingga mobilisasi pemilih relatif lebih mudah dilakukan. Apalagi jika pasangan calon yang maju adalah tokoh masyarakat dan mempunyai rekam jejak yang baik dalam kehidupan masyarakat.
Kemenangan golongan bangsawan dalam Pilkada, menjadi pemicu terjadinya ledakan partisipasi golongan bangsawan dalam Pilkada. Dari sembilan kabupaten yang dimenangkan oleh golongan bangsawan, sebanyak 74 calon bupati dan wakil bupati dan 30 diantaranya berlatar belakang golongan bangsawan. Bahkan di daerah yang masih kental semangat kebangsawanannya pun seperti Kabupaten Bone, Wajo, Jeneponto, dan Soppeng para bangsawan yang mendominasi bursa bupati dan wakil bupati.
Dominasi bangsawan di empat kabupaten ini bisa dimaknai bahwa trah bangsawan tetap eksis dalam panggung politik lokal. Mereka adalah figur-figur yang bisa memanfaatkan dan menguasai proses politik desentralisasi dan liberalisasi politik.[2] Kelincahan bangsawan dalam menangkap perubahan politik lokal merupakan bukti kepiawaian mereka dalam berstrategi untuk menguasai sistem, dan jaringan politik di tingkat lokal.[3] Lebih dari itu, kehadiran golongan bangsawan di gelanggang politik lokal merupakan salah satu cara untuk mempertahankan identitas trah dan prestise bisa dinaikkan di tengah situasi dan kondisi politik[4] yang sangat mendukung kehadirannya.

MEMBACA PROFIL PASANGAN CALON BUPATI DAN WAKIL BUPATI
Untuk pertama kalinya Pilkada Jeneponto diikuti oleh enam pasang calon bupati/calon wakil bupati pada pemilu 2009. Enam pasangan calon ini berasal dari aneka profesi. Ada dari kalangan birokrat, seperti Djahini Lontang selaku Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Jeneponto. Jabal Natsir bekerja di Direktorat Jenderal Bina Pengawasan Daerah Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Sedangkan Sarbini Haerah adalah Kasubag Kesatuan Bangsa Pemkab Jeneponto. Selanjutnya, Baharuddin Baso Tika bekerja Departemen Dalam Negeri di Jakarta sekaligus mantan Bupati Jeneponto, dan Agus Abdullah adalah Birokrat di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Selain dari lingkungan birokrat, ada pula pasangan calon bupati dan wakil bupati yang berasal dari politisi yakni Sonda Tayang selaku Ketua PBB Jeneponto, Radjamilo, dan Sjamsuddin Zainal adalah politisi dari Golkar yang sekaligus incumbent. Selanjutnya, representasi pasangan calon bupati dan wakil bupati dari golongan pengusaha ada tiga orang yakni  Burhanuddin Baso Tika, Aries Syamsuddin DL, dan  Agus Anwar Moka.  Hal yang mengejutkan lagi adalah masuknya Natsar Desi yang selama ini dikenal sebagai aktivis. Kesemua pasangan calon ini bisa dirangkum pada tabel berikut.

Tabel Latar belakang pekerjaan Calon Bupati/Wakil Bupati
NO
NAMA
POSISI JABATAN
1
Radjamilo
Golkar
2
Sjamsuddin Zainal
Golkar
3
Sonda Tayang
PBB
4
Baharuddin Baso Tika
Birokrat
5
Agus Abdullah
Birokrat
6
Djahini Lontang
Birokrat
7
Sarbini Haerah
Birokrat
8
Jabal Natsir
Birokrat
9
Aries Syamsuddin DL
Pengusaha
10
Burhanuddin Baso Tika
Pengusaha
11
Agus Anwar Moka
Pengusaha
12
Natsar Desi
Aktivis
Diolah dari Harian Tribun, 23 Juli 2008  dan 22 Agustus, 2008
Variasi latar belakang pekerjaan pasangan calon bupati dan wakil bupati menggambarkan betapa terbukanya ruang partisipasi masyarakat untuk mengakses proses politik pilkada. Pilkada benar-benar terbuka bagi segenap masyarakat untuk mencalonkan diri secara bebas. Akibatnya, meminjam bahasa wartawan Majalah Tempo, panggung politik lokal dibuat berwarna warnai dan kaya dengan pemain baru. Karena mereka datang dari berbagai profesi.[5]
Sekalipun kaya pemain baru dan datang dari berbagai profesi, namun kita masih menyaksikan pemain lama dalam panggung politik. Yang dimaksud dengan pemain lama adalah Baharuddin Baso Tika, Radjamilo, dan Sjamsuddin Zainal.  Dua nama terakhir adalah politisi senior yang sudah malang melintang dalam panggung politik lokal. Mereka sudah lama berkarir di DPRD kemudian masuk ranah eksekutif lalu terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati pada periode 2003 – 2008 .
Duet Radjamilo dengan Sjamsuddin Zainal telah banyak memberikan kemajuan pembangunan di Jeneponto. Duet ini terjaga solid karena keduanya berasal dari partai yang sama yakni Golkar. Meskipun duet kepemimpinan ini solid dalam memerintah, namun menjelang pemilihan pilkada langsung terjadi pecah kongsi menjelang pilkada 2009. Bupati Radjamilo mengeluarkan isyarat politik yang tegas. Ia berniat maju kembali sebagai kandidat Bupati dalam  pilkada langsung dengan kemungkinan mengandeng pasangan lain. Selang beberapa waktu kemudian, Sjamsuddin Zainal pun membalasnya dengan isyarat tak kalah tegasnya,[6] yakni ingin menjadi kandidat bupati. 
Balas pantun politik ini, berakhir dengan duel. Radjamilo tetap memakai perahu Golkar dengan berpasangan Burhanuddin BT seorang pengusaha sukses sementara Sjamsuddin Zainal diusung tiga partai yakni PPP, PBR, dan PKD berpasangan dengan Djahini Kr Lontang seorang birokrat senior di Jeneponto. Untuk lebih jelas bisa dilihat pada tabel berikut.

Tabel Kandidat Calon Bupati
PASANGAN CALON
KEKAYAAN
PARTAI PENGUSUNG
Sonda Tayang
8.913.500.000
PBB, PKPB,PNBK, PKPI, PPIB,PNUI,Patri0t Pancasila, PNI Marhaenisme, ppdi dan PBSD
Arief Syamsuddin
87.000.000
Radjamilo 
3.193.682.324
Golkar, PKS,Demokrat dan PKB
Burhanuddin BT
1.714.767.172
Syamsuddin Zainal
2.756.522.759
PPP, PBR, PDK
Djahini  Kr Lontang
2.179.015.850
Baharuddin BT
1.379.000.000
PAN, MERDEKA
Agus Abdullah
6.240.661.462
Agus Anwar Moka
130.000.000
Independent
Natsar Desi
350.000.000
Jabar Natsir
775.000.000
Independent
Sarbini Haerah
644.664.000
Sumber : Tibun Timur, 28 Agustus 2008
Tabel diatas bisa disederhanakan menjadi dua entitas politik berdasarkan asal-usul pasangan calon bupati dan wakil bupati. Yang pertama berasal dari golongan Karaeng di wakili oleh figur Radjamilo, Djahini Kr Lontang,  Agus Abdullah, Sonda Tayang, dan Sarbini Haerah. Yang kedua adalah golongan Daeng yang direpresentasikan oleh Burhanuddin Baso Tika, Baharuddin Baso Tika, Arief Syamsuddin, Syamsuddin Zainal, dan Agus Anwar Moka.         

DUA JALUR MEKANISME PENCALONAN
Berdasarkan profil singkat pasangan calon bupati dan wakil bupati akan ikut meramaikan suksesi kepemimpinan lokal di Jeneponto akan ramai. Keramain itu tercipta karena ada enam pasang calon yang akan berkompetisi dalam memperebutkan jabatan bupati dan wakil bupati. Semangat kompetisi sebenarnya sudah mulai nampak dengan terbukanya dua jalur mekanisme pencalonan kepala daerah. Kedua mekanisme ini diterapkan pada Pilkada di Jeneponto.
Dibukanya calon independen pada Pilkada di Jeneponto membuat partai politik memperoleh pesaing baru. Para politisi, birokrat dan pengusaha yang ingin berkompetisi dalam Pilkada langsung mempunyai pilihan akan melalui jalur Parpol ataukah melalui jalur calon independen. Kedua mekanisme ini sama-sama diminati oleh masyarakat Jeneponto.[7] Hal ini terekam melalui kebijakan KPUD dalam meloloskan pasangan calon independen dalam Pilkada 2009.
Lolosnya dua pasangan calon independen dan empat calon yang diusung partai politik pada Pilkada tidak bisa dilepaskan dari campur tangan pihak KPUD. KPUD sebagai institusi penyelenggara yang independen dan mandiri memiliki komitmen politik yang besar dalam rangka mengawal dan menjalankan amar putusan Mahkamah Konstitusi dan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Amar Keputusan MK telah melegalkan calon independen sementara UU 32/2004 melegalkan pasangan calon dari partai politik.
Berdasarkan penjelasan diatas maka salah satu tugas dari KPUD Jeneponto adalah menjalankan dua produk hukum ini secara bersamaan dalam Pilkada. Implikasi dari penerapan dua jalur pencalonan Pilkada sangat bernilai positif bagi pasangan calon yang tidak mempunyai basis politik partai ataupun basis material yang kuat.
Alhasil dari kebijakan ini sebagian pasangan calon yang memiliki akses ke pengurus partai politik atau pun birokrat yang memiliki jaringan ke partai politik akan memilih jalur partai politik sebagai kendaraan politiknya. Hal ini dipraktekkan oleh pasangan Radjamilo-Burhanuddin Baso Tika, Sonda Tayang-Arief Syamsuddin, Syamsuddin Zainal-Djahini Kr Lontang, dan Baharuddin BT-Agus Abdullah. Sementara pasangan calon yang tidak memiliki akses dan dukungan finansial untuk “membeli perahu” atau “beli tiket” akan memilih jalur independen. Sebagaimana dilakukan oleh Agus Anwar Moka-Natsar Desi dan Jabar Natsir-Sarbini Haerah.
Pilihan kendaraan pasangan calon kepala daerah dalam Pilkada kali ini menunjukkan sebuah kemajuan yang luar biasa radikal. Radikalisme itu nampak pada kemampuan kaum birokrat dalam menggunakan dua jalur sekaligus, sementara para politisi masih enggan untuk memanfaatkan jalur independen. Keengganan para politisi memakai jalur independen bisa dimaknai dua hal. Pertama, pasangan calon bupati dan wakil bupati yang berlaga adalah pimpinan partai politik masing-masing. Dengan jabatan tersebut mereka maju sebagai kader partai politik bersangkutan. Kedua, pilihan partai politik sengaja diambil karena sang politisi tidak mempunyai basis politik dan massa pendukung yang besar sehingga mereka memakai mesin partai untuk menggerakkan massa. Atau boleh jadi politisi tidak punya nyali untuk menggunakan jalur pasangan independen.
Terlepas dari radikalisme birokrat dan konservatisme para politisi dalam menentukan kendaraan dalam Pilkada. Yang menjadi catatan adalah majunya calon independen, selain calon dari partai politik, akan meningkatkan kompetisi pemilihan kepala daerah. Kompetisi yang fair akan mendorong demokrasi[8] di tingkat lokal. Karena itu, kehadiran calon independen dalam Pilkada di Jeneponto menurut analisis Pratikno:
....diharapkan akan mendorong parpol untuk berbenah diri. Sebab kehadiran calon independen merupakan saingan baru dalam pilkada, baik dalam proses pencalonan maupun kontribusi bagi mobilisasi dukungan pemilih, maka tidak ada lagi relevansi bagi politisi untuk mencalonkan diri melalui parpol. Jika parpol melakukan penguatan kelembagaan dan memperbaiki citranya di mata masyarakat, parpol akan semakin ditinggalkan oleh para politisi yang ingin mencalonkan diri dari dalam pilkada maupun para pemilih dalam pilkada.[9] 

SUHU POLITIK MENINGKAT
Secara sepintas telah diuraikan postur Pilkada yang terdiri dari enam pasangan calon bupati dan wakil bupati yang akan berlaga. Jumlah pasangan calon yang besar ini akan membuka ruang kompetisi secara terbuka, bahkan cukup tajam apabila melibatkan massa pendukung masing-masing. Pelibatan massa pendukung antar-pasangan dalam meramaikan pesta demokrasi sangat mengkhawatirkan karena akan memicu meningkatnya suhu politik di Jeneponto. Hal ini terekam melalui reportase Tribun Timur:
Sebagaimana dikatakan oleh Pelaksana Harian Bupati Jeneponto, Iksan Iskandar yang meminta seluruh masyarakat Butta Turatea tidak terprovokasi oleh isu-isu tidak jelas menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jeneponto. Sebab saat ini, bermunculan isu-isu tidak jelas dengan maksud menjatuhkan salah satu calon bupati.[10]

Ilustrasi di atas memberikan sinyal awal meningkatnya suhu politik di Jeneponto. Peningkatan suku politik dalam Pilkada sebenarnya sah-sah saja dan lumrah terjadi dalam dinamika politik. Yang tidak diperbolehkan sebenarnya adalah menyebarkan berita bohong, kampanye hitam, menghasut atau mengadu domba antar-parpol atau peseorangan, yang berujung fitnah atau penghinaan pasangan calon. Namun, yang terjadi di lapangan adalah penyebaran berita bohong dan kampanye hitam demi jabatan bupati. Liputan Harian Tribun Timur melaporkan:
Kepala Tata Usaha (KTU) Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto, Hasanuddin Turatea, mengecam pernyataan Calon Wakil Bupati (Cawabup) Jeneponto, Djahini Lontang, terkait pendidikan gratis. "Pernyataan bahwa Jeneponto tidak masuk dalam kategori program pendidikan gratis dari gubernur adalah isu murahan. Kandidat yang mensosialisasikan wacana ini layak mendapat gelar provokator murahan," kata Hasanuddin.[11]

Reaksi Hasanuddin kepada Djahini Lontang tidak berdiri sendiri, tetapi harus dilihat sebagai sebuah pertarungan antara pasangan Radjamilo-Baharuddin Baso Tika versus Syamsuddin Zainal-Djahini Kr Lontang. Asumsi yang mendasari karena Hasanuddin adalah Ketua Tim Pengendali Program Pendidikan Gratis Kabupaten Jeneponto yang diharapkan bisa mengamankan kebijakan Radjamilo selaku incumbent. Apalagi program pendidikan gratis merupakan salah satu jualan politik oleh semua pasangan calon kepala daerah, termasuk pasangan Radjamilo-Baharuddin Baso Tika dan Syamsuddin Zainal-Djahini Kr Lontang dalam Pilkada.
Rivalitas dua pasangan ini terus berlangsung dan mencapai puncaknya pada insiden berdarah. Asrul Lahamuddin, menantu calon Bupati Jeneponto Radjamilo ditebas parang oleh sekelompok orang pendukung Sjamsuddin Zainal.[12] Kepolisian Resort (Polres) Jeneponto, menetapkan seorang pendukung Sjamsuddin Zainal bernama Empo sebagai tersangka. Dan tiga orang lainnya dari kubu pendukung Sjamsuddin Zainal yang diamankan polisi yakni Nuzlia Qurniaty Syam alias Nuzul (putri Sjamsuddin Zainal), Ical  yang bertugas sebagai Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan Talla. Tiga orang ini diamankan untuk dimintai keterangan.[13]
Menyusul insiden tersebut, suasana Jeneponto dilaporkan sempat tegang. Ketegangan itu nampak jelas ketika kedua kelompok massa sudah siap saling serang di "markas" masing-masing.[14] Pukul 00.20 dini hari ketegangan berubah drastis kedua pendukung kandidat ini terlibat bentrok. Bentrokan berlangsung di depan kediaman pribadi Sjamsuddin Zainal. Bahkan polisi sempat melepaskan beberapa tembakan untuk menghentikan perkelahian massal tersebut. Dari pantauan SINDO, menyebutkan, bahwa massa pendukung dari kedua kubu masih berjaga-jaga. Pendukung Sjamsuddin Zainal tampak berkumpul di depan kediaman Sjamsuddin Zainal. Sebaliknya, pendukung Radjamilo berkumpul di depan kediaman Radjamilo di Jalan Melati. Beberapa tim pendukung Radjamilo sangat menyayangkan lambatnya pihak Polres Jeneponto dalam menetapkan tersangka.[15]
Terlepas dari siapa yang salah atau benar, kejadian ini sangat melukai demokrasi yang sedang diperjuangkan. Bahkan dengan adanya aksi kekerasan politik dalam Pilkada semakin membuktikan bahwa proses perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan orang bisa berkelahi, memfitnah, berbohong, dan mencelakai sesama, demi jabatan. Dan bahkan orang bersedia kehilangan apa pun demi jabatan.[16]
Hal inilah yang sedang berlangsung di Jeneponto. Pertanyaannya adalah mengapa kekerasan politik sering terjadi di Jeneponto? Jawabannya sederhana saja, yaitu karena cara berpolitik yang selama ini, kerapkali ditampilkan kaum elit politik adalah politik kekerasan. Berpolitik untuk mengejar kekuasaan atau melanggengkan kekuasaan seakan-akan harus dilakukan dengan menggunakan aksi kekerasan.[17]

PILKADA 2008:  RADJAMILO VERSUS SYAMSUDDIN ZAINAL
Ceceran darah dari menantu Radjamilo telah mengiringi proses Pilkada di Jeneponto. Dari enam pasangan calon bupati dan wakil bupati yang ikut meramaikan Pilkada hanya dua pasangan yang diramalkan akan bersaing secara ketat, yakni pasangan Radjamilo-Baharuddin Baso Tika versus Syamsuddin Zainal-Djahini Kr Lontang. Kedua pasangan ini adalah sama-sama incumbent yang pernah diusulkan oleh partai Golkar pada pilkada 2003 dan berpisah pada tahun 2009 dengan bendera parpol yang berbeda.
Dengan memakai bendera partai yang berbeda kedua figur ini kompetisi secara terbuka di panggung politik. Kedua pasangan calon ini bertempur habis-habisan dengan mengerahkan segenap kemampuannya untuk saling menundukkan, saling mengalahkan dalam rangka merebutkan tahta kekuasaan. Radjamilo yang ditantang oleh Syamsuddin Zainal dalam Pilkada langsung menarik untuk dicermati. Karena dua hal, pertama, kompetisi antara pasangan Radjamilo dengan Syamsuddin Zainal melibatkan dua entitas politik yang sudah lama berkontestasi dalam panggung politik yakni golongan Karaeng dan Daeng. Radjamilo mengambil Burhanuddin Baso Tika dari entitas Daeng sebagai pasangannya sementara Syamsuddin Zainal mengambil Djahini Kr Lontang dari golongan Karaeng. Dengan postur pasangan yang seimbang karena sama-sama merepresentasi dua entitas masyarakat membutuhkan strategi yang jitu untuk menarik simpati masyarakat pemilih.
Salah satu strategi yang digunakan oleh masing-masing pasangan calon untuk mendapatkan suara adalah dengan keluar dari bingkai politik kekerabatan. Ini dilakukan karena kekuatan keluarga sangat terpecah-pecah. Sebagai konsekuensi dari banyaknya keluarga yang maju dalam bursa pasangan calon bupati dan wakil bupati dalam Pilkada. Misalnya saja, Radjamilo dengan Djahini Kr Lontang  masih satu rumpung keluarga besar. Hal yang sama juga nampak dengan majunya dua bersaudara dari trah Baso Tika yakni Baharuddin Baso Tika dengan Burhanuddin Baso Tika dengan memakai kendaraan politik yang berbeda. Dari sini sudah mulai nampak bahwa jaringan keluarga yang terpecah-pecah, tidak solid dan tidak bisa diandalkan sebagai vote getter dalam Pilkada.
Kedua, pasangan Radjamilo masih memiliki kartu as yang menjadi investasi politik masyarakat Jeneponto jika dibandingkan dengan lima pasangan lainnya. Salah satunya adalah program-program populis Radjamilo yang menyentuh masyarakat pedesaan. Sebagai incumbent, Radjamilo sangat populer dimata masyarakat. Hasil pengamatan yang dilakukan Lingkaran Survei Indonesia mengatakan:
Kepala daerah yang tengah memerintah masih mempunyai peluang lebih besar dalam memenangkan pilkada. Dari pelaksanaan pilkada hingga desember menyebutkan sebanyak 62,2 persen kepala daerah incumbent yang maju dalam pilkada berhasil menang. Posisi incumbent, menguntungkan bagi kandidat. Besarnya peluang kepala daerah  terpilih kembali ini tidak bisa dipisahkan dari keuntungan yang didapat oleh kepala daerah, baik keuntungan langsung maupun tidak langsung. Keuntungan langsung yang didapat oleh kepala daerah yang tengah menjabat adalah dalam bentuk popularitas. Kepala daerah kemungkinan adalah orang yang paling dikenal oleh pemilih. Sementara keuntungan tidak langsung didapat oleh kepala daerah incumbent dari aktivitasnya sebagai kepala daerah berupa kunjungan ke daerah, mengunjungi rumah masyarakat hingga meresmikan sebuah proyek pembangunan dapat dibungkus sebagai kampanye untuk mengenalkan diri kepada masyarakat.[18]    


KEMENANGAN RAJAMILO DAN INVESTASI POLITIK MASA LALU
Realitas politik menunjukkan bahwa pasangan Radjamilo sebagai incumbent relatif diuntungkan dalam Pilkada. Basis argumentasinya adalah pasangan Radjamilo bisa mengklaim semua program dan prestasi yang dilakukan selama ini sebagai hasil kerjanya selaku bupati. Klaim ini dilakukan sebagai cara untuk meraup dukungan masyarakat pada saat Pilkada[19] dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa Radjamilo berusaha membangun daerahnya, memperbaiki kondisi rakyat mereka, melalui tiga kebijakan utama, yakni pembangunan jalan raya sampai ke desa-desa, pendidikan dan kesehatan. Ketiga kebijakan ini mendapatkan porsi besar dalam agenda pembangunan daerah di Jeneponto. Yang pertama ditandai dengan keberhasilan Radjamilo menciptakan pembangunan sarana jalan raya yang menghubungkan antar daerah pedesaan.[20] Sebagaimana dituturkan oleh masyarakat umum yang mengatakan bahwa selama satu periode pemimpin Jeneponto, Radjamilo berhasil memperluas jaringan jalan raya dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini merupakan bukti keseriusan Radjamilo terhadap pembangunan pedesaan. Karena itu, orientasi dan kebijakan pembangunan selama kepemimpinannya dalam periode pertama banyak difokuskan pada daerah pedesaan ketimbang di kawasan perkotaan.
Kebijakan kedua adalah bidang pendidikan. Selama kepemimpinan Radjamilo sektor pendidikan benar-benar dibenahi. Sebagaimana dilansir Harian Fajar:
Radjamilo memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan karena, bidang pendidikan mempunyai peran yang sangat penting untuk membangun daerah Jeneponto. Ada pun yang programnya adalah pembenahan pendidikan dasar, khususnya dalam menunjang program pemerintah di bidang penuntasan wajib belajar 9 tahun.
Contoh pada tahun 2004 angka partisipasi kasar pendidikan dasar hanya mencapai 57 persen artinya dari 100 anak usia sekolah hanya 57 yang secara efektif tertampung di dalam mekanisme proses belajar mengajar, sehingga sebagian tidak masuk dalam proses belajar mengajar. Dalam kurung waktu tiga tahun terakhir ini Allhamdulillah berkat bantuan pemerintah pusat kita berhasil membangun 12 SLTP dan SLB.[21]

Komitmen politik Radjamilo terhadap pendidikan terus berlanjut. Dalam APBD 2008, Pemkab Jeneponto mengganggarkan Rp 9,5 miliar untuk menyukseskan program pendidikan gratis. Dana ini dialokasikan untuk 320 sekolah dasar (SD) dan sederajat serta 103 sekolah menengah pertama (SMP) dan sederajat di daerah tersebut. Anggaran ini disalurkan tiga tahap setiap dua bulan sekali.[22]
Kebijakan ketiga adalah bidang kesehatan. Tenaga medis beberapa tahun terakhir ini terus menerus ditambah untuk mendekati porsi yang ideal sehingga pelayanan kepada masyarakat dibidang kesehatan dapat ditingkatkan  kualitas dengan upaya penyediaan akses kesehatan yang lebih murah dan merata.[23]  Ini dilakukan agar pelayanan terhadap masyarakat dapat terpenuhi dengan baik.
Secara umum, pembangunan dan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di Jeneponto cenderung meningkat ini terlihat dari aspek fisik maupun sumber daya manusianya. Jumlah sarana kesehatan di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2006 terdiri dari satu Rumah Sakit Umum, 15 Puskesmas,  53 Puskesmas Pembantu, dan 403 Posyandu. Sementara sumber daya manusia di bidang kesehatan terdiri dari 19 dokter umum, 7 dokter gigi, 105 perawat, dan 23 perawat gigi.[24]
Tiga kebijakan ini merupakan pelayanan dasar dan tanggung jawab pokok bagi pemerintah daerah dalam memenuhi hak-hak warganya. Ketiga pelayanan dasar ini sangat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat Jeneponto. Karena itu, ketika Rajamilo maju pada periode kedua sebenarnya ingin ”melanjutkan” kepemimpinannya. Dalam istilah Bambang Harymurti bila mayoritas masyarakat menginginkan sosok yang membawa panji kesinambungan maka ia akan memilih[25] kembali Radjamilo ke singgasana kekuasaan. Hal inilah yang terjadi bagi masyarakat Butta Turatea masih tetap menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Radjamilo.
Hasil akhir perolehan suara sebagaimana dilaporkan KPUD, menunjukkan bahwa pasangan Radjamilo memperoleh suara terbanyak yakni 100.435 suara, disusul pasangan Syamsuddin Zainal dengan perolehan 66.189 suara. Selanjutnya pasangan Baharuddin Baso Tika mendapat 15.305. Untuk lebih rincinya bisa dilihat pada tabel berikut.
Tabel Perolehan Suara
NO
NAMA
SUARA
1
Radjamilo- Burhanuddin BT
100.435
2
Syamsuddin Zainal-Djahini
66.189
3
Baharuddin BT- Agus Abdullah
15.305
4
Sonda Tayang-Arief Syamsuddin
1.912
5
Agus Anwar Moka-Natsir Desi
2.128
6
Jabar Natsir-Sarbini Haerah
3.276
Sumber : Tribun Timur, 5 November 2008
Tabel di atas menegaskan bahwa keunggulan pasangan Radjamilo tidak bisa dikejar oleh para pesaingnya. Pasangan Radjamilo unggul di setiap kecamatan. Dari sebelas kecamatan, pasangan Radjamilo memenangi 10 Kecamatan, yakni Bangkala, Bangkala Barat, Turatea, Tamalatea, Bonto Ramba, Batang, Arungkeke, Tarowang, Rumbia, dan Kelara. Sementara pasangan Syamsuddin Zainal-Djahini hanya menang di Kecamatan Binamu.   
Kemenangan Radjamilo di sepuluh kecamatan merupakan prestasi yang pantas untuk dicatat dalam lembaran sejarah. Tidak hanya itu, kemenangan ini juga menunjukkan bahwa Radjamilo merupakan bupati pertama yang berhasil menjabat dua periode berturut-turut alias oppo di Kabupaten Jeneponto. Peristiwa ini cukup fenomenal diukir Radjamilo yang berpasangan Burhanuddin Baso Tika (Kerabat) setelah dinyatakan unggul mutlak dari lima kandidat lainnya pada pemilihan kepala daerah (pilkada) Jeneponto yang berlangsung Selasa, 28 Oktober 2008.[26]

SEKILAS PERNYATAAN POLITIK RADJAMILO
Radjamilo Oppo di Jeneponto. Terpilihnya kembali Radjamilo merupakan bukti kemenangan golongan Karaeng di Jeneponto. Figur golongan Karaeng masih menjadi pertimbangan dan masih laku untuk dijual sosoknya dalam Pilkada. Perhatikanlah tabel diatas, disana kita temukan perolahan suara pasangan Karaeng jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pasangan non-Karaeng seperti Agus Anwar Moka-Natsir Desi.
Sekali lagi, kemenangan Radjamilo dalam Pilkada yang kompetitif ini membuktikan bahwa dirinya masih dicintai oleh masyarakat Jeneponto. Oleh karena itu, ketika Radjamilo menggelar konferensi pers di kediamannya, ia mengatakan “kemenangan ini merupakan kemenangan seluruh masyarakat Butta Turatea”. Yang bisa kita tangkap dari kalimat ini adalah Radjamilo ingin mengatakan bahwa kita tidak perlu mempersoalkan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Sebab, siapa pun yang terpilih merupakan kemenangan seluruh rakyat Jeneponto.
Pernyataan politik Radjamilo tentu saja mengundang simpati bagi lawan-lawan politiknya. Selanjutnya, Radjamilo “berjanji akan merangkul semua rival-rivalnya di Pilkada”. Dan di ujung akhir konferensi pers tersebut Radjamilo mengajak semua rivalnya, dan mengatakan “Mari kita bahu membahu-bahu melanjutkan pembangunan di daerah ini. Lupakan Pilkada”.
Bahasa politik yang digunakan Radjamilo tergolong sangat tepat dan bahkan kedengarannya amat santun dihadapan lawan-lawan politiknya. Pilihan bahasa politik Radjamilo menunjukkan bahwa dirinya seorang politisi yang memakai bahasa santun sebagai alat tutur.[27] Kesantunan dalam menggunakan bahasa membuat lawan-lawan politiknya tidak dendam dan kehilangan muka.
Ke depan para bupati atau pun politisi harus memakai bahasa santun dalam berpolitik. Mengapa? Karena hal ini merupakan cerminan bagi performa politisi dihadapan publik pada umumnya. Dengan bahasa yang santun sebagaimana dipraktekkan Radjamilo tidak hanya menciptakan budaya baru dalam berpolitik tetapi juga sebuah isyarat bahwa bahasa politik yang santun tidak lepas dari kepentingan politiknya, yang ingin menempatkan dirinya sebagai politisi yang rendah hati. 

CATATAN AKHIR
Dari penjelasan ini terungkap fakta bahwa kemenangan Radjamilo di Jeneponto bisa dibaca sebagai, pertama meneguhan eksistensi golongan Karaeng di Jeneponto pada khususnya. Terpilihnya Radjamilo pada Pilkada di Jeneponto secara otomatis menambah daftar golongan bangsawan yang berkuasa di Sulawesi Selatan. Kedua, terkait dengan poin pertama golongan bangsawan telah terbukti mempunyai talenta dan pengalaman dalam jabatan politik. Pengalaman Karaeng dalam menduduki jabatan politik sudah terlatih sebagai elit berkuasa.[28] Ketiga, naiknya Radjamilo tidak bisa dipisahkan dengan kebijakan yang dilakukan pada periode pertama. Kebijakan pembangunan, pendidikan gratis dan perbaikan layanan kesehatan berdampak baik kepada masyarakat. Selain tiga poin ini, yang patut pula dicatat dalam Pilkada Jeneponto kali adalah kehadiran pasangan calon independen. Kehadiran pasangan ini telah membuka ruang partisipasi masyarakat untuk berlaga dalam gelanggang politik. Hal lainnya adalah oppo-nya Radjamilo merupakan sejarah baru dalam politik Pilkada di Sulawesi Selatan. Radjamilo adalah orang pertama yang berhasil mempertahankan kursi bupati selama dua periode berturut-turut.

DAFTAR PUSTAKA
Arsuka, Nirwan Ahmad dkk (ed). 2002.  Esai-Esai Bentara. Kompas. Jakarta

Carter, April. 1985. Otoritas dan Demokrasi. Rajawali Press. Jakarta

Lay, Cornelis (ed).2007.  Membangun NKRI dari Bumi Tambun Bungai Kalimantan Tengah. JIP-UGM. Jogjakarta

Pratikno “Calon Independen, Kualitas Pilkada dan Pelembagaan Parpol” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol. 10, No. 3, Maret 2007.

Savirani, Amalinda. “Dilema Para Politisi di Tingkat Lokal: Antara Mimpi Inovasi dan Demokrasi” JSP, Vol. 11 No.1 Juli. 2007

Sahdan, Gregorius dan Muhtar Haboddin (ed),2009.  Evaluasi Kritis Pilkada di Indonesia. IPD Press dan KAS-Jakarta. Jogjakarta

Sjahrir, Kartini “Tradisi Bermarga: Sikap Deterministis Biologis”? PRISMA, Januari 1984.

Fajar, 1 Mei 2007

Fajar, 21 Agustus 2008

Majalah Tempo, 10 Oktober 2004.

Majalah Tempo, 3 April 2005.

Majalah Tempo, 12 Mei 2008

Majalah Tempo, 19 Juli 2009

Tribun Timur, 21 Juli 2008.

Tribun Timur, 18 Agustus 2008

Tribun Timur, 22 Agustus 2008

Tribun Timur, 23 Agustus 2008




[1] Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fisip, Brawijaya Malang
[2]  Majalah Tempo, 3 April 2005.
[3]  Majalah Tempo, 10 Oktober 2004.
[4]  Kartini Sjahrir “Tradisi Bermarga: Sikap Deterministis Biologis? Dalam PRISMA, Januari 1984. hlm.71.
[5]  Majalah Tempo, 12 Mei 2008
[6]  Majalah Tempo, 26 Oktober 2008
[7] Pratikno “Calon Independen, Kualitas Pilkada dan Pelembagaan Parpol” dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vo. 10, No. 3, Maret 2007. hlm.425
[8]  Denny Indrayana “Kepala Daerah Perseorangan” Kompas, 30 Juli 2007
[9]  Pratikno., op.cit. hlm. 425
[10] Tribun Timur, 18 Agustus 2008
[11] Tribun Timur, 21 Juli 2008.
[12] Fajar, 21 Agustus 2008
[13] Tribun Timur, 23 Agustus 2008
[14] Tribun Timur, 22 Agustus 2008  
[16] Nirwan Ahmad Arsuka dkk (ed) Esai-Esai Bentara. Jakarta: Kompas, 2002. hlm. 328.
[17] Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin (ed) Evaluasi Kritis Pilkada di Indonesia. Jogjakarta: IPD Press dan KAS-Jakarta, 2009.
[18]  LSI “Incumbent dan Pilkada” edisi 02-Juni 2007.
[19]  Amalinda Savirani “ Dilema Para Politisi di Tingkat Lokal: Antara Mimpi Inovasi dan Demokrasi” JSP, Vol. 11 No.1 Juli, 2007.  hlm, 97
[20]  Wawancara dengan Imam Taufik, 10 Februari 2008.
[21] lihat Wawancara Radjamilo di Harian Fajar, 1 Mei 2007
[22] Tribun Timur, op.cit. 
[23] Cornelis Lay (ed). Membangun NKRI dari Bumi Tambun Bungai Kalimantan Tengah. Jogjakarta: JIP-UGM, 2007. hlm.80
[24] Jeneponto dalam Angka 2007.
[25] Bambang Harymurti “Ujian Pertama SBY” Majalah Tempo, 19 Juli 2009
[27] Stanislaus Sandarupa “Hilangnya Bahasa Politik yang Puitik” Kompas, (tt)
[28] April Carter. Otoritas dan Demokrasi. (Jakarta: Rajawali Press, 1985), hlm. 71

No comments:

 

Most Reading