Dari Redaksi
Proses demokratisasi pasca reformasi membawa arus besar perubahan sistem politik dari tingkat nasional hingga tingkat lokal. Euporia demokrasi telah membawa sebuah grand desain baru, sehingga lahirlah beberapa sistem yang dianggap sebagai implementasi demokratisasi. Otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah langsung adalah salah satu contoh bagaimana demokratisasi didistribusikan hingga ke tingkat lokal.
Pergeseran sistem politik ini, khususnya ditingkat lokal tentunya akan mempunyai pengaruh terhadap kebiasan-kebiasan (kearifan) masyarakat yang ada ditingkat lokal khususnya menyangkut budaya politik, dan ini akan berimplikasi pada perubahan sosial tertentu pada masing-masing daerah. Perubahan tersebut dipicu karena adanya benturan antara konsep atau standar global mengenai sistem demokrasi yang menjadi episentrum perubahan sistem politik setelah reformasi, dengan nilai-nilai budaya atau kearifan lokal yang sudah sekian lama berlangsung disuatu daerah.
Perubahan sistem yang diinginkan jelas akan mengalami fase transisi sebelum demokratisasi tersebut betul-betul matang menjadi sistem yang kuat. Pada fase inilah konsolidasi demokratisasi akan menghadapi benturan-benturan. benturan benturan tersebut menyangkut relasi warga masyarakat dengan proses politik yang akan berlangsung kaitannya dengan perubahan pada institusi-institusi politik, pemilihan pemimpin politik, komunikasi politik, ekonomi politik yang akan mengubah masyarakat pada situasi sosial tertentu.
Pada Jurnal edisi kali ini, beberapa tulisan akan membahas mengenai bagaimana perubahan-perubahan itu berlangsung. Perubahan tersebut erat kaitannya dengan perubahan dinamika politik nasional dan kearifan lokal.
Tulisan pertama oleh Andi Said Ali Akbar akan memaparkan indikasi-indikasi mengenai perkembangan partai politik setelah reformasi. Sistem demokrasi yang dibangun pasca reformasi mengarah pada sistem politik High Cost atau demokrasi berbiaya tinggi.
Tulisan kedua oleh Akhmad Satori akan mengkaji mengenai Bagaimana proses terjadinya sistem sosial dan sistem budaya, juga sistem keagamaan majemuk yang berlaku sekarang di Susuru, dan Bagaimana proses transisi masyarakat Susuru dalam memahami kemajemukan.
Dinamika lokal akan dipaparkan oleh Muhtar Haboddin dalam tulisan selanjutnya mengenai pertarungan politik (Pilkada) dari dua kelompok sosial yang berbeda di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan, yakni golongan Karaeng dan Daeng.
Hendra Gundawa dan Fitriani Yuliawati dalam tulisan keempat akan mencermati mengenai peran Pers lokal terhadap dinamika Politik lokal yang terjadi di Kota Tasikmalaya. Tema besar dari tulisan ini adalah terlokalisirnya isu-isu mengenai dinamika sosial-politik lokal seiring bangkitnya kebebasan dan peranan media terutama setelah implementasi Otonomi Daerah dan pemilihan kepala daerah langsung.
Selanjutnya tulisan kelima dari Subhan Agung akan mengkaji mengenai dampak eksploitasi pasir Galunggung di Kabupaten Tasikmalaya terhadap kehidupan sosial-ekonomi masyarakat sekitar. Benang merah dari tulisan ini adalah lemahnya Governability pemerintah daerah dalam melayani kepentingan publik. “perselingkuhan” antara pejabat, elite-elite politik lokal dengan sejumlah pengusaha menjadi penyebab rendahnya Governability karena keberpihakan mereka kepada kelompok pemilik modal.
Tulisan Subhan Agung tentang lemahnya governability diatas ditutup dengan tulisan dari Taufik Nurohman dan Wiwi Widiastuti yang mengkaji bagaimana kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tasikmalaya dari prespektif opini publik.
Last but not least, mudah-mudahan jurnal edisi kali ini bisa bermanfaat bagi pembaca sekalian. Selamat membaca.
No comments:
Post a Comment