Jurnal Aliansi Vol.4 No.1 Tahun 2012

Friday 17 February 2012


INTRUISI LOGIKA PASAR KE DALAM PARTAI POLITIK[1]
Andi Ali Said Akbar[2]

ABSTRACT
Triggers weak performance and the morality of our politicians because of the presence of the business logic in the process of rooting kandidasi and political parties. Money seemed to be a single instrument to raise the party and gained a lot of voters. These frames influence the selection of the sources of political candidates and the quality of the bond with voters. It is also exacerbated by the political "hostages" in the election inspectors conducted by politicians for the sake of smooth stride play money in succession. Facts 2004 and 2009 elections show that the amount of money does not guarantee the competitiveness of candidates and political parties. Party is relatively new and limited pendanaanya able to compete and even overtake the party vote and affluent older funds. Because of that political parties and politicians should review the practice of politics in order to avoid the high cost of politics with disappointing results. To get there is important political party finance reform through the political revitalization of the party daily, diversify sources of financing political parties and strengthening the electoral watchdog.

Keyword : Market Logic, Candidate Logic and Succession, Financial Reform Political Parties


ABSTRAK

Pemicu lemahnya kinerja dan moralitas politisi kita karena hadirnya logika bisnis dalam proses kandidasi dan pengakaran partai politik. Uang seolah menjadi instrumen tunggal untuk membesarkan partai dan memperoleh banyak pemilih. Bingkai ini mempengaruhi pemilihan sumber-sumber kandidat politisi dan kualitas ikatan dengan pemilih. Hal ini juga diperparah oleh adanya politik ”sandera” pada pengawas pemilu yang dilakukan oleh politisi demi memuluskan langkahnya bermain uang dalam suksesi. Fakta pemilu 2004 dan 2009 justru menunjukkan bahwa banyaknya uang tidak menjamin daya saing kandidat dan partai politik. Partai relatif baru dan pendanaanya terbatas mampu bersaing bahkan menyalip perolehan suara partai tua dan berkecukupan dana. Karena itu partai politik dan politisi harus meninjau ulang praktek politiknya agar terhindar dari politik biaya tinggi dengan hasil yang mengecewakan. Untuk menuju kesana maka penting melakukan reformasi keuangan partai politik melalui revitalisasi politik keseharian partai, diversifikasi sumber pembiayaan partai politik dan penguatan lembaga pengawas pemilu.

Kata kunci : Logika Pasar, Logika Kandidasi dan Suksesi, Reformasi Keuangan Partai Politik. 
LATAR BELAKANG
Mengguatnya logika ekonomi dalam penggelolaan demokrasi lebih tercermin dari rationalitas politik yang melandasi rekruitmen dan kandidasi publik yang dilakukan oleh partai politik. Intruisi kemampuan Finansial sebagai motif baru penggelolaan kandidasi publik untuk suksesi politik semakin nyata dalam demokrasi ini. Menguatnya pengaruh keberadaan kalangan pengusaha, aktris, Jenderal Purnawirawan militer dalam tubuh parpol dikarenakan mereka memiliki kemampunan finansial yang besar dan pada saat yang sama partai politik belum memiliki sumber pembiayaan berbasis konstituen disertai tata kelola keuangan parpol yang belum profesional. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kelangsungan aktivitas partai dan lebih jauh berpengaruh terhadap independensi partai.
”I had a hungry party behind me” kata Grover Cleveland, setengah putus asa  tatkala dia diminta menghidupi partainya semasa menjabat sebagai Presiden USA (Geddes, 1994). Sangat mungkin sindrom ini akibat dari kesalahan sejak lahir, yakni parpol dikonsepsikan sebagai instrumen merebut kekuasaan demi penjajah. Ketika berhasil direbut, maka sulit mencegah sikap rebutan kekuasaan diantara mereka.[3]
Pada saat yang sama harapan pada partai politik untuk berkonstribusi dalam transisi sangat besar karena merupakan identitas pokok untuk negara dapat dikatakan demokratis yakni adanya multipartai dan pemilu. bebas.[4] Hampir seluruh kegiatan dari lembaga-lembaga negara baik dtingkat pusat hingga tingkat daerah ditentukan oleh partai politik karena itulah partai politik justru dipandang sebagai institusi yang paling bertanggungjawab terhadap kegagalan demokrasi. Partai politik merupakan pintu awal yang menjembatani proses ini sehingga tidak ada satupun negara demokrasi yang tidak mempertahankan keberadaan parpol betapapun buruknya performance parpol tersebut.[5]
Sebagian ilmuwan bahkan mengistilahkan partai politik sebagai dajjal yang dibutuhkan, ”The Necessary Evil”. Perdebaan teoritik tentang partai politik yang berlangsung sekian lama, kini kembali riuh dengan semakin menguatnya sinisme dan penolakan terhadap partai politik baik di demokrasi lama (Old Democracy) seperti Amerika dan Eropa Barat maupun di Negara Demokrasi baru (New Democracy) seperti Indonesia.[6] Diyakini secara luas bahwa demokrasi akan menemukan ajalnya dalam bentuk  chaos dan elitisme  ketika muncul beragamnya kelompok-kelompok veto, maraknya balas jasa politik dan dinamika daur pemungutan suara dimana kepentingan individu rasional atau kelompok tertentu cenderung menyebabkan irasionalitas kolektif.
Ketika Indonesia memasuki babak baru demokratisasi pasca jatuhnya Orde Baru tahun 1998, kita menyaksikan tingginya antusiasme rakyat menjemput kebebasan ditandai tingginya partisipasi dalam pemilu tahun 1999. Pucuk dipinta ulam tiba, semangat serupa dinanti-nanti pada pemilu selanjutnya di tahun 2004, namun yang terjadi justru penurunan drastis partisipasi publik dalam menyuarakan pilihan politiknya melalui partai politik.[7] Pemicu persoalan ini adalah kian meningkatnya kekecewaan dan ketidakpercayan publik terhadap parpol dan para kadernya yang sejatinya menjadi pahlawan nasib rakyat malah terkesan menikam rakyat dari belakang. Dimulai dari persoalan konflik internal yang selalu mengarah pada perpecahan parpol hingga massifnya demonstrasi kegobrokan mentalitas politisi di arena negara.[8]
Temuan yang juga menarik adalah tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi tentara bahkan melampaui tingkat kepercayaan terhadap pemerintah, dan media. Terlepas dari keanekaragaman temuan tersebut, salah satu persoalan yang hendak ditekankan disini adalah bahwa pilar-pilar demokrasi (partai politik, parlemen, kepolisian, LSM dan sistem peradilan) di negeri ini mengalami krisis kepercayaan.[9]

UANG DAN DEMOKRASI LANGSUNG
Demokrasi langsung memang mahal dibandingkan sistem otoriterian. Loyalitas dan simpati pemilih hanya dapat terbangun melalui interaksi langsung dan berkesinambungan. Apalagi ketika uang dipakai untuk membeli loyalitas tersebut. Karena uang meminjam bahasa Hermawan Sulistyo merupakan sumber kekuasaan yang elementer, untuk mendapatkan kekuasaan politik[10]. Terlepas dari pendapat tersebut, yang jelas dan yang pasti, namanya pemilihan umum dimana pun pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit jumlahnya.
Besaran dana terus meningkat dari pemilu ke pemilu sejak Orde Baru hingga hari ini. Dalam rekaman data Eep Saefullah Fatah dalam bukunya Zaman Kesempatan  menyebutkan  bahwa ongkos yang dikeluarkan oleh negara untuk penyelengaraan pemilu terlalu mahal. Biaya pemilu 1992, misalnya, adalah 199,8 miliar rupiah, sepuluh kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan biaya pemilu 1971 yang hanya 17 miliar rupiah. Ini berarti untuk memilih anggota DPR 1992-1997 diperlukan dana Rp. 499.500.000 (lihat tabel)[11]
PEMILU
BIAYA
1955
526,68
1971
16.987,88
1977
57.694.88
1982
132.000,00
1987
132.000,00
1992
199.800,00
Keterangan:
Jumlah dana di atas adalah pengeluaran pemerintah untuk membiayai pemilu. Dengan demikian, dana yang dikeluarkan oleh setiap partai untuk keperluan ikut serta pemilu belum termasuk di dalamnya.

Besarnya dana yang dikeluarkan dan mahalnya ongkos penyelenggaraan pemilu sudah menjadi rahasia umum. Mahalnya ongkos pemilihan juga terlihat pada pemilihan presiden yang dilakukan pada Pemilu 2004. Hal ini terlihat pada hasil survei yang dilakukan oleh majalah Tempo yang menyebutkan bahwa pasangan Hasyim Muzadi dan Megawati, membelanjakan dana iklan paling besar yakni 4.5 miliar rupiah. Lalu pasangan Wiranto-Solahudin total belanjanya 3.9 miliar rupiah, Yudoyono-Kalla 3.7 miliar rupiah dan amien-Siswono 1.5 miliar rupiah. Yang terkecil adalah belanja untuk pasangan Hamzah-Agum yakni 1 miliar rupiah[12]. Sementara Harian Kedaulatan Rakyat menurun berita yang lebih bombastis lagi. Harian ini mencatat bahwa untuk pemilihan capres membutuhkan dana sebesar 160 sampai 190 miliar rupiah. Bahkan kabarnya salah satu pasangan capres dan cawapres dari partai besar telah menyediakan dana 3 triliun rupiah untuk biaya[13]. Hingga Pemilu 2009 biaya yang harus dikeluarkan Negara mencapai 21 triliun rupiah. Suatu nilai yang sangat luar biasa, disaat rupiah terus melorot dan kemisikinan dan pengangguran terus bertambah jumlahnya. Maka sangatlah wajar apabila segenap masyarakat menyoroti, menguggat karena segala harapan ditumpahkan pada pemilu.

KETIKA BISNIS MENJADI POLITISI
Struktur pembiayaan partai politik yang didasarkan pada pragmatisme penetapan dan perjuangan agenda telah memberikan jalan bagi intervensi modal ke partai politik. Diakui atau tidak, intervensi modal ke partai politik merupakan salah satu problema krusial dalam reformasi partai politik di Indonesia. Untuk menjalankan berbagai agendanya, partai politik pada umumnya tidak memiliki basis pembiayaan yang memadai. Ketergantungan pada elit-elit partai tertentu merupakan gejala yang dapat ditemui dengan mudah. Partai politik sangat jarang mendapatkan dukungan pembiayaan dari simpatisannya.
Menurut Direktur Eksekutif Soegeng Soeryadi Syndicate, Sukardi Rinakit kegagalan partai politik mengemban fungsi sebagai penyalur aspirasi publik terjadi akibat partai politik dikuasai oleh kekuatan saudagar, jawara dan preman serta aristokrat. ”lemahnya kaderisasi pemimpin dan besarnya kebutuhan dana untuk menggerakkan mesin partai membuat partai merekrut mereka sebagai pengurus meskipun tidak memiliki kemampuan politik.”[14]
Kondisi ini mendorong persoalan nilai dan substansi kepentingan publik secara terus-menerus ditekan untuk tujuan mencapai efisiensi, efektifitas dan pragmatisme politik yang semakin dikedepankan oleh partai politik.  Modernisasi, rasionalisasi ekonomi dan birokrasi di sisi lain juga telah menciptakan struktur kerangkeng dimana masyarakat terpenjara didalamnya dan tidak memiliki pilihan kecuali menjalankan prosedur-prosedur yang telah dibakukan. Ironisnya ketika segala hal dalam sektor publik dirancang agar pemerintah dapat menjalankan secara efektif, persoalan yang paling menonjol sekarang ini justru ketidakefektifan. Peranan politik direduksi menjadi manajemen domain publik yang justru semakin dipengaruhi (dipaksa) untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai ekonomi pasar.[15]
Karena itu, kajian atas pilihan-pilihan politik yang digunakan oleh parpol dalam rekruitmen saudagar, artis, pebisnis dan purnawirawan militer penting adanya. Pilihan tersebut ikut menentukan jenis ikatan dan struktur insentif yang dikelola antara partai dengan konstituenya. Pada gilirannya akan menentukan implikasi apa yang akan terjadi pada performance parpol dalam aspek pengelolaan internal partai khususnya menyangkut kualitas kepengurusan dan kandidasi publik partai.
Dalam semangat yang sama direktur CSIS, J.Kristiadi mengatakan hal yang paling sulit ditaklukkan selama 10 tahun reformasi adalah menundukkan kekuasaan. ”Kekuasaan belum mampu dijalankan secara beradab untuk mewujudkan cita-cita bangsa menyejahterakan rakyat”. Pesona kekuasaan membuat para pemburu kekuasaan menghalalkan segala cara untuk mendapatkanya. Sikap itu merusak tatanan, kehidupan yang ada. ”bahkan mereka yang selalu mengobarkan kebenaran sanggup berbuat merusak demi merebut atau melestarikan kekuasaanya”. Sementara itu, budayawan Garin Nugroho mengatakan, saat ini banyak pejabat negara yang tidak memiliki sifat negarawanan. Mereka tidak mampu berkomunikasi dan memahami perasaan rakyat. Mereka justru asyik dengan ide dan kepentingan mereka sendiri. mereka umumnya menjadi pejabat negara secara mendadak. Mereka tidak pernah dididik untuk mejadi orang yang betul-betul memperjuangkan nasib rakyat.[16]



KRISIS PENDANAAN PARPOL
Partai politik di Indonesia pada umumnya belum mampu membangun kapasitas pembiayaan baik dari sumber-sumber internal maupun eksternal. Pembiayaan internal adalah sumber pembiayaan yang berasal dari iuran anggota dan pendukung atau konstituen yang belum menjadi anggota. Pola seperti ini lazim disebut sebagai dana basis yang mencakup sumbangan elit atau pejabat fungsionaris partai politik, bunga tabungan atau deposito; seperti misalnya yang dikembangkan di Amerika Serikat. Sumber pembiayaan eksternal atau sering disebut dengan pembiayaan non-basis terdiri dari dana pluktokratis dan dana negara. Dana pluktokratis berasal dari sumbangan dermawan atau lembaga lain yang mempunyai badan hukum. Selain itu, terkait dengan jenis dana pluktokratis, kredit juga kerap kali dianggap sebagai dana pluktokratis.  Berkenaan dengan sumber pembiayaan yang berasal dari negara, Ingrid van Biezen membagi tiga pola penyaluran dana negara kepada partai politik, yaitu (1) Penyuntikan untuk aktivitas rutin termasuk di dalamnya ongkos personal dan anggaran belanja organisasi partai politik/non-electoral activity; (2) Penghibahan dana karena keterlibatan dalam pemilu/electoral activity; serta (3) Pemasokan dana kepada fraksi partai politik di parlemen/subsidizing parliementary groups. Skema-skema pembiayaan semacam itu belum dikembangkan secara transparan dan akuntabel di Indonesia.
Pembiayaan partai politik dari keuangan negara acap kali menuai persoalan yang timbul dari dua problema dasar, yaitu menyangkut besaran dana yang akan diberikan dan pilihan partai politik yang berhak mendapatkannya. Persoalan pertama terlihat bersifat situasional, artinya, hingga hari ini, belum ada patokan yang tepat mengenai ukuran pemberian dana bagi partai politik. Dengan demikian, kebijakan atas pembiayaan negara kepada partai politik sangat tergantung dari kapasitas fiskal dari negara-negara yang bersangkutan. Terkait dengan persoalan kedua, terdapat lima mekanisme yang bisa dilakukan oleh negara dalam menyalurkan sejumlah dana kepada partai politik.
Pertama, pemberian dana dapat didasarkan pada setiap suara kontestan pemilu dengan besaran yang sama. Dengan demikian, pemberian dana tersebut tidak terkait dengan mekanisme perwakilan, dalam arti kata, pemberian dana ini tidak melihat apakah suatu partai politik memiliki wakil yang duduk di parlemen ataupun tidak. Kedua, pemberian sejumlah dana dilakukan hanya kepada partai politik yang mempunyai wakil di parleman saja. Ketiga, pemberian dana ditujukan hanya kepada partai politik yang memenuhi electoral threshold saja. Keempat, pemberian dana dalam bentuk hibah dilakukan kepada semua partai politik yang memperoleh suara. Metode ini dapat diterapkan hanya jika negara mempunyai surplus ekonomi dan hanya memiliki sedikit penduduk. Kelima, pemberian dana dilakukan kepada semua semua partai politik tetapi dengan menyertakan prasyarat dimana jumlah dana yang diberikan tidak boleh melebihi  50% dari dana yang dimiliki oleh tiap-tiap partai politik. Mekanisme kelima ini biasanya dapat menjadi pilihan jika negara telah mempunyai kemapanan struktur demokrasi.
Meski secara konseptual partai politik dimungkinkan untuk memperoleh sejumlah dukungan pembiayaan, namun pada level praksis, limitasi atas sumber pembiayaan tetap menjadi persoalan signifikan hingga saat ini. Fakta empiris menyodorkan ilustrasi dimana dukungan pembiayaan pemerintah kepada partai politik sangatlah terbatas. Kondisi ini, tentu saja, membuka peluang partai politik untuk diintervensi modal dari ranah eksternal. Potret buram atas intervensi modal ke dalam tubuh partai politik kerap dipersonifikasikan dengan hadirnya sejumlah yayasan yang memberikan dukungan finansial. Jika ditelisik lebih jauh, keberadaan yayasan-yayasan tersebut, ternyata masih di dalam kisaran pengaruh dari kelompok-kelompok bisnis tertentu. Di titik ini, sangatlah bisa dipahami, jika partai politik menjadi tidak independen dan selalu merasa dilematis manakala berhadapan dengan kepentingan kelompok bisnis yang menjadi penopang pembiayaan aktivitas politiknya.

LEMAHNYA PENGAWASAN
Sekalipun terdapat kompleksitas masalah dalam membatasi arus modal masuk kedalam partai politik ketika memasuki moment suksesi akan tetapi masih ada logika baru yang bisa dikembangkan untuk mengurangi pengaruh praktek politik uang dalam suksesi yakni dengan memperkuat institusi pengawas pemilu dalam hal ini Bawaslu. Jika partai politik tidak ingin dibatasi sumber dan besaran pendanaan yang akan diperoleh setidaknya negara mampu mengawasi peruntukan atau pemakaian dana tersebut agar tetap berorientasi pada pembiayaan praktek politik yang berkualitas bagi demokrasi semahal apapun itu. Bawaslu hingga detik ini telah disepakati akan diletakkan sebagai lembaga strategis, kuat dan berperan penting mengawasi jalanya proses pemilu akan tetapi implementasi di lapangan upaya memperkuat lembaga ini masih sering mengalami “penyaderaan” politik dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan suksesi. Sejumlah riset mencoba mengindetifikasi masalah-masalah tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh NGO Indonesian Power for Democracy (IDW) Yogyakarta yang melihat beberapa faktor eksternal yang menghambat kinerja Panwaslu adalah [17]:
Pertama, rekrutmen dan pembentukan Panwaslu yang terlambat. Di beberapa daerah seperti NTT, Papua, Maluku dan sebagainya, Panwaslu baru dibentuk menjelang dua minggu sebelum penyelenggaraan Pilkada. Bahkan di NTT, Panwaslu Kabupaten barn dibentuk menjelang dua hari pemungutan suara.[18]
Kedua, problem anggaran. Dana yang dialokasikan untuk pengawasan Pilkada, tidak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan untuk mengawai penyelenggaraan Pilkada itu sendiri. Di beberapa daerah seperti di Papua, Irian jaya Barat, Kalimantan Selatan dan sebagainya, kebanyakan anggota Panwaslu menge­luh karena kekurangan anggaran dalam pengawasan Pilkada mereka. Implikasinya, Panwaslu menjalankan pengawasa Pilkada asal-asalan, bahkan tidak serius menangani kasus-kasus pelanggaran yang terjadi dalam Pilkada.
Ketiga, kesekretariatan atau tempat kerja. Panwaslu tidak bisa bekerja dengan baik karena tidak adanya tempat kerja yang memadai. Selama ini, kebanyakan anggota Panwaslu Pilkada nebeng kantor dengan KPUD, sehingga terjadilah hubungan "kong kali kong" atau perselingkuhan kepentingan antara KPUD dengan Panwaslu. Hal ini menyebabkan banyaknya laporan kecurangan pengawasan Pilkada yang berhenti di meja Panwaslu. Tidak ada tindaklanjutnya.
Keempat, daerah pengawasan yang sangat luas dengan personil yang tebatas ditambah dengan kapasitas yang rendah. Berhubungan dengan kerja-kerja pengawasan tersebut, berikut adalah beberapa problem pengawasan Pilkada yang melibatkan Panwaslu. Dengan kata lain, terjadinya kecurangan dalam penye­lenggaraan Pilkada, karena terdapat masalah internal dan eksternal yang dialami oleh Panwaslu.

REFORMASI  KEUANGAN PARTAI POLITIK
Demokrasi sebenarnya tidak mempersoalkan kandidat kaya ataupun miskin, tidak mempersoalkan besar kecilnya biaya suksesi. Jauh lebih penting dari semua itu adalah semahal apapun  sejauh dipergunakan dengan cara-cara yang mendidik dan bermoral maka itu adalah pertanda demokrasi yang sehat. Menjadi persoalan ketika kita menuduh demokrasi kita kemahalan dan pada saat yang sama harga yang mahal itu terjadi sebagai akibat banyaknya aktivitas poltik yang tidak mendidik dan bermoral bagi pendidikan poltiik masyarakat.  Setidaknya ada beberapa hal yang menarik diperhatikan untuk menghadirkan eksistensi partai politik yang mampu terlembaga dan berdaya saing dalam demokrasi dengan biaya politik yang tidak mencekik kandidatnya.
           
MEMBIAYAI POLITIK KESEHARIAN
Partai politik acapkali disebut sebagai Pseudo organization. Partai seperti organisasi semu yang hanya muncul pada saat moment suksesi dan perhelatan pembagian kue kekuasaan di tubuh pemerintahan semata. Kemanakah partai dalam politik keseharian?. Adapun politik keseharian yang jamak disodorkan ke publik adalah berubahnya panggung reperesentasi politik menjadi panggung konflik personal politisi, dari peran mediator konflik menjadi pemicu konflik, dari suluh informasi menjadi pengeruh informasi publik hingga yang terparah adalah sebagai penggeruk uang Negara.[19] Dengan tabiat buruk partai dan politisi tersebut maka wajar jika kandidat politisi harus melakukan berbagai cara membeli loyalitas pemilih demi mendapat merek bermoral dalam waktu yang sangat singkat.
Betulkah semua kegobrokan itu bisa dibeli dengan politik instan mengandalkan uang?. Betulkah uang dapat mengabaikan urgensi politik keseharian?. Fakta yang menarik untuk menjawab pertanyaan itu bisa dimulai dengan melirik data tingginya angka swing voters sejak pemilu 2004 hingga pemilu 2009. Ditandai dengan semakin tingginya angka Golput dan perpindahan suara. Yang menarik bahwa partai-partai tua, mengakar serta kuat dari segi pendanaan mengalami penurunan perolehan suara yang cukup signifikan. Mulai dari yang terendah 3 % dan tertinggi lebih dari 8%. Angka-angka ini relatif mudah pula didapatkan pada moment sukesi Pemilu legislatif ataupun Pilkada di level lokal. Disisi lain partai-partai relatif baru dengan akar basis sosial dan kemampuan finansial yang cukup terbatas justru mampu memperoleh peningkatan suara yang cukup signifikan dan menyalip partai-partai tua tadi. Artinya, partai politik yang banyak uang bukanlah jaminan akan dapat memelihara loyalitas pemilih apalagi meningkatkan jumlah pendukungnya.
Terdapat kompleksitas interaksi poltik yang dibutuhkan dalam keseharian lebih dari sekedar logika uang. Dalam keseharian kader partai politik harus akrab dengan kemampuan memperjuangkan  inovasi programatik dalam pemerintahan, menjadi mediator aspirasi Dapil, pendidikan pemilih, kegiatan sosial, mediator konflik elit dan komunal, pemberi informasi publik yang cepat, obyektif dan proporsional serta pengkaderan. Kegiatan tersebut bukan hanya memberi peluang mengakarnya sosok poltisi tetapi juga memperkuat pembasisan partai politik kepada masyarakat. Pembiaran atas politik keseharian lambat laun menggerus loyalitas pemilih dan memilih apatis ataupun berpindah ke lain hati.[20] Ini adalah isyarat untuk tidak terlalu percaya akan uang, jikapun memiliki uang maka beri tempat yang layak pada metode yang memanusiakan pemilih.[21] 
Dari pembelajaran ini pula memberi isyarat pentingnya merevitalisasi peran dari organisasi sayap partai. Selama ini sayap partai hanya dimaknai sebatas pintu-pintu memperoleh kandidat politisi, tim sukses, alat mobilisasi massa, tenaga keamanan, panitia kegiatan, hingga staf sekretariat. Dalam frame yang lebih produktif mereka harus dipergunakan untuk mengelola agenda-agenda pengakaran partai melalui kegiatan poltik, ekonomi dan sosial budaya. Karena itu pengkaderan mereka juga harus diperkuat, bukan sekedar sebatas pertemanan, jaringan politik dan lobby atau karena jawara tetapi juga membutuhkan kecakapan dalam analisis sosial politik, rancangan program dan komunikasi massa. Trend hari ini menunjukkan partai politik dari partai kelas teri hingga kelas kakap mulai mengadopsi metode ini.[22] Poltiik keseharian dengan menanusiakan pemilih jauh lebih mengakar dalam ingatan, lebih mendidik, lebih hemat, lebih transparan, dan lebih bermoral.

DIVERSIFIKASI SUMBER PENDANAAN PARPOL
Harian Kompas begitu lugas dalam memberitakan kemeriahan sebuah kampanye pemilihan dan sekaligus mempertanyakannya darimana dana sebesar itu diperoleh? Untuk lebih jelas, Kompas menulis:
Hiruk-pikuk kampanye beberapa waktu yang lalu serba meriah dan jor-joran seolah masih membuat orang banyak terlarut. Keterlarutan orang dalam kampanye kerana dimeriahkan panggung besar lengkap dengan para artis nan jelita, ditambah pernak-pernik kampanye serba gratis dan mobilisasi tinggi para kandidat untuk sekedar mendatangi calon konstituennya, lomba iklan kampanye di media massa, serta semua aktivitas yang jelas menuntut tidak sedikit.
Lantas darimana uang untuk membiayai itu semua?[23] 
Pertanyaan ini tentu saja tidak gampang untuk dijawab. Kendati pun demikian, Arnold Steinberg[24] dalam bukunya Kampanye Politik dalam Praktek setidaknya memberikan sebuah jawaban. Arnold menyebutkan ada tujuh varian model penyumbang dalam pemilu menurut motivasinya, antara lain; (1) Penyumbang ideologis. Penyumbang jenis ini biasanya sama dengan ideologi yang dianut sang kandidat. Bahkan penyumbang ideologi seringkali berpikir secara besar dan bukan secara sempit. Ia ingin memiliki presiden, legislatif, gubernur atau semua jabatan politik yang mengandung  kemungkinan ‘mengamankan negara’; (2) Penyumbang kepada satu masalah. Penyumbang ini hanya tertarik satu masalah, sehingga ia bersedia mendukung seorang kandidat yang pendiriannya terhadap masalah tersebut, menyenangkan hatinya; atau seorang kandidat yang bersaing dengan seorang yang menduduki  pendirian,  salah  mengenai masalah tersebut; (3) Penyumbang kepada kandidat. Sang kandidat disini menjadi tujuan perhatian bagi penyumbang. Kepribadiannya, kariernya, gayanya, misinya, pembawaannya, pandangannya tentang masalah, cara berbicara, gagasanya, dan citra keseluruhanya adalah unsur-unsur yang dapat memikat perhatian penyumbang ini; (4) Penyumbang pencari keuntungan. Penyumbang ini mencari kesempatan untuk bertemu dengan kandidat terpilih ingin mengajukan pandangannya. Penyumbang ini tidak hanya mencari kontak atau pengaruh saja melainkan bertujuan menyuap sang kandidat dengan mengharap imbalan di kemudian hari berupa keputusan suara yang menggulingkan kepentingannya; (5) Penyumbang sosial.  Penyumbang ini mendukung sewaktu kampanye secara sosial Kampanye dapat diterima atau merupakan salah satu yang membimbing kearah “kewarganegaraan yang baik” alasannya warga negara yang baik harus berpartisipasi secara aktif dalam menyokong kandidat-kandidat yang patut diangkat menduduki jabatan umum; (6) Penyumbang di masalah.  Penyumbang ini bukanlah seorang pemberi yang ideologis ia tidak mengenal relefansi filsafat yang tegas dan yang pasti begitu pula tidak tergabung dalam suatu pergerakan. Bersamaan dengan itu dia tertarik kepada sang kandidat bukan karena pendidikan dalam suatu masalah yang mempunyai kepentingan tunggal melainkan posisi sang kandidat terhadap berbagai masalah yang menarik perhatiannya; (7) Penyumbang kepada partai politik. Penyumbang ini setia kepada parpol tertentu, dan ia mendukung kandidat yang disetujui partai tersebut, atau yang menganut garis partai tersebut atau yang menurut hematnya terikat pada partai politik tersebut. Penyumbang demikian itu mungkin adalah seorang penyumbang tetap kepada partai politik tertentu.
Dari seluruh daftar potensi sumber kekuangan partai tersebut boleh dikata penyumbang pencari keuntunganlah yang banyak terjadi. Konstituen hanya diperlakukan sebatas penyumbang suara semata yang pada akhirnya lebih terikat pada simbol dan jargon partai namun renggang dari relasi kandidat publik. Keterbatasan penyumbang juga dikarenakan gagalnya kandidat publik membangun preferensi programamtik kepada publik sehingga publik tidak mengetahui persis program yang memiliki kemanfaatan terhadap posisi politiknya. Keterbatasan ini memancing minimnya pemerhati yang hendak menyumbang berdasarkan isu dan program. Lebih lanjut kegagalan komunikasi politik kandidat dalam praktek politik keseharian dan hanya ingin dipilih pada saat pemilu saja memaksa partai politik harus membeli loyalitas kepada pemilih untuk mendapatkan suara. Melalui berbagai bentuk gratifikasi, money politics dan sebagainya. Pengeluran politik tidak mesti harus semahal itu sekiranya dalam politik keseharian konstituen sering disapa dan didengar kepentinganya sehingga mereka tetap merasa bagian dari partai itu sepanjang waktu bukan hanya pada moment Pilkada saja.

PERTANGGUNGJAWABAN DANA PEMILU
Herbert E Alexander dalam bukunya Financing Politics mempunyai titik simpul yang sama. Menurut Herbert[25] ada enam hal yang harus dijadikan konsensus bersama bagi partai politik khususnya dalam mengelola dan mempertanggungjawabkan dana pemilu, yakni: (1) Menentukan bersama-sama dalam pengeluaran-pengeluaran seperti biaya komunikasi melalui media massa oleh para kandidat pada masa kampanye pemilu; (2) Menetapkan suatu batasan tertinggi sumbangan baik yang berasal dari kantong sang kandidat, kerabat dekat maupun sumbangan lainya; (3) Mengharuskan agar para kandidat untuk menyerahkan salinan laporan-laporan mereka kepada pejabat terkait; (4) Mengharuskan kepada setiap partai politik dan kandidalnya untuk melaporkan keseluruhan pengeluarannya, termasuk dengan memasukan secara detail nama lengkap, alamat dan pekerjaan serta tempat perusahaan para penyumbangnya dilengkapi dengan tanggal, tujuan, dan jumlahnya; (5) Mengharuskan kepada para kandidat menyerahkan salinan sebanyak jumlah pengeluaran sesuai dengan yang ditetapkan; (6) Keterbukaan publik untuk memberikan berbagai info kepada publik baik selama maupun setelah kampanye.
Letak persoalan dari seluruh daftar prinsip-prinsip pembiayaan partai politik tersebut adalah tidak adanya ketegasan dan kepastian penerapan aturan tersebut pada moment suksesi sesungguhnya.[26] Pelanggaran yang dilakukan partai politik tidak selalu identik dengan pembatalannya sebagai peserta pemilu karena itu memakan ongkos sosial yang sangat besar. Sanksi lain sebenanrnya tersedia yakni skorsing masa kampanye ataupun denda. Yang ingin kita buktikan bahwa parpol dalam moment suksesi bukanlah sekedar perayaan kebebasan berdemokrasi akan tetapi pembelajaran politik kepada rakyat dan kandidat publik. Agar semua orang tahu bahwa membangun kekuasaan dengan cara-cara kotor adalah penyakit demokrasi. Tidak peduli seberapa bebas dan seberapa kaya calon kandidat publik, yang penting kebebasan dan kekayaan itu digunakan secara bermartabat dan mendidik bagi rakyat.

REFERENSI
Arnold Steinberg. 1981. Kampanye Politik dalam Praktek. PT Intermasa. Jakarta

Dreze dan Sen. Crook and Sverrisson, Moore dan Putzet. 2003. Reformasi Politik dan Pemberdayaan Masyarakat. Soetoro eko, APMD press Yogyakarta tahun.

Eep Saefullah Fatah. 2000. Zaman Kesempatan. Mizan. Bandung

Gregorius Syahdan dan Mohtar Haboddin. 2009. Evaluasi Kritis Penyelenggraan Pilkada di Indonesia. IPD dan Konrad Adeneuer Stiftung. Yogyakarta

Hermawan Sulistyo dan A. Kadar. 2000. Uang dan Kekuasaan dalam Pemilu 1999. KIPP. Jakarta

I Ketut Putra Erawan, Riswandha Imawan dkk. 2006. Parpol, Pemilu dan Parlemen. PLOD UGM dan JIP Fisipol UGM. Yogyakarta

Riswandha Imawan. 2007. Partai Politik di Indonesia : Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri. Working Paper Edisi No.1 Pascasarjana Program Ilmu Politik UGM & Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Yogyakarta

Herbert E. Alexander. 2003. Financing Polities. Narasi. Yogyakarta
Ichlasul Amal. 1988. Teori-Teori Mutakhir Partai Politik. Tiara Wacana. Yogyakarta

Hans-Dieter Klingemann, Richard I. Hofferbert, Ian Budge. 2000. Partai, Kebijakan dan Demokrasi. JENTERA bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Peter Calvert. 1995. Proses Suksesi Politik. Tiara Wacana. Yogyakarta

Robert Michels. 1984. (Terj) Partai Politik Kecenderungan Oligarkis Dalam Birokrasi. Rajawali Press. Jakarta

Sumber Lain :

Kompas, Rabu 30 april 2008. : Saudagar-Jawara Kuasai Parpol : Banyak Pejabat Tidak Negarawan.

Kompas, 12 September 2008: Pemimpin Nasional : Sipil masih merasa inferior terhadap militer. Analisa ini diangkat dari hasil survey Pride Indonesia tentang Peluang Tokoh Latar Belakang Militer dalam Kancah Politik Nasional.
Kompas 4 agustus 2008.

Kompas, 6 Agustus 2004.

Kedaulatan Rakyat, 24 Mei 2004

Pos Kupang, 15 Mei 2008.

Tempo, 20 Juni 2004.




[1] Tulisan ini dipresentasikan pada Seminar Nasional : Demokrasi Boros, Hak-hak Rakyat Keropos. Yang diselenggarakan atas Kerjasama Lab. Ilmu Politik Unsoed, Depdagri dan LSM Babad. Bertempat di Fisip Unsoed  tgl 22 Desember 2011.   
[2] Dosen Ilmu Politik Fisip Unsoed. Purwokerto. Jawa Tengah.
[3] Riswandha Imawan “Partai Politik di Indonesia : Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri” Working Paper Edisi No.1 Pascasarjana Program Ilmu Politik UGM & Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM. Yogyakarta. 2007.
[4] Hampir seluruh kegiatan politik besar dari pusat hingga daerah kemudian penentuan pejabat public eksekutif, legislative, yudikatif, Panglima, Kapolri, Dubes, Pejabat lembaga sampiran Negara ditentukan oleh kader-kader partai politik di legislative.
[5] Hingga hari ini belum ada satu teoripun yang bisa membantah teori populer yang menyatakan bahwa ”no democracy without political party”. Partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Sebagai suatu organisasi, partai politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat, mewakili kepentigan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik yang absah legitimate dan damai. Uraian lebih lanjut dapat dilihat : Ichlasul Amal ”Teori-Teori Mutakhir Partai Politik” Tiara Wacana Yogya 1988.
[6] I Ketut Putra Erawan, Riswandha Imawan dkk. ”Parpol, Pemilu dan Parlemen” PLOD UGM dan JIP Fisipol UGM 2006.
[7] Data ini telah dilansir sejak tahun 2004 oleh LP3ES & Cesda. Banyak pihak pemerhati demokrasi melihat kontigensi ini sebagai ancaman terhadap konsolidasi dan pendalaman demokrasi Indonesia sehingga berbagai forum dan media mengangkat berbagai kritik dan diskusi lanjut atas masalah ini temasuk keinginan untuk mendorong program reformasi partai politik (Kompas, 2 Juni 2003). Ketidakpopuleran partai politik tidak hanya dialami oleh negara demokrasi baru seperti Indonesia dan kawasan Asia Tenggara (Asia Barometer 2004), Negara maju yang lebih jauh dan lebih lama menerapkan demokrasi seperti Belanda, Inggris, Jerman, partai politik juga mengalami masalah serupa. Di Inggris bahkan dari tahun ke tahun tingkat keperayaan terhadap parpol terus menurun, tahun 2004 hanya 10% responden yang menyatakan percaya terhadap parpol. (Asia Barometer 2005).    
[8] Studi ini disarikan dari hasil laporan survey LP3ES dan Partnership tentang Potret Tata Kelola Kelembagaan Partai Politik di Indonesia yang disampaikan pada Pertemuan Konsultasi Partai Politik. Yogyakarta, 21 Mei 2008.
[9]  I Ketut Putra Erawan, Riswandha Imawan dkk. ”Parpol, Pemilu dan Parlemen” PLOD UGM dan JIP Fisipol UGM 2006.
[10] Periksa Hermawan Sulistyo dan A. Kadar, Uang dan Kekuasaan dalam Pemilu 1999, Jakartra; KIPP, 2000, hlm. 3.
[11] Eep Saefullah Fatah, Zaman Kesempatan  Bandung:Mizan, 2000. Hlm. 124.
[12]  Tempo, 20 Juni 2004.
[13]  Kedaulatan Rakyat, 24 Mei 2004
[14] Kompas, Rabu 30 april 2008. : Saudagar-Jawara Kuasai Parpol : Banyak Pejabat Tidak Negarawan.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Lihat Gregorius Syahdan dan Mohtar Haboddin “Evaluasi Kritis Penyelenggraan Pilkada di Indonesia”. IPD dan Konrad Adeneuer Stiftung. Yogyakarta. 2009. Hal. 57.
[18] Ibid. Pemilihan gubemur dan wakil gubernur Nusa Tenggara Timur akan segera digelar bulan Juni mendatang. Akan tetapi sampai sekarang seperti Kabupaten Ende, di Flores belum terbentuk panitia pengawas pemilu. Dari 20 kabupaten/ kota di NTT masih ada enam kabupaten yang belum dibentuk panwaslu menghadapi pemilihan gubemur dan wakil gubernur itu. Keenam kabupaten dimaksud adalah Ende, Manggarai, Manggarai Tirnur, Belu, Sikka, dan Lembata. Pembentukan panwaslu tingkat Kabupaten Ende terkendala, karena DPRD setempat menolak untuk membentuknya dengan alasan tak ada dasar hukum yang kuat. Dari dua regulasi yang menjadi acuan, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 - semuanya tak memberikan kepastian hukum bagi DPRD kabupaten membentuk panwaslu untuk Pilkada di tingkat provinsi itu. Pihak pemprov dan DPRD tingkat I telah meminta agar DPRD kabupaten berkoordinasi dengan bupati untuk segera membentuk panwaslu. Pembentukkan panwaslu memang penting. Tapi persoalannya tak ada kewenangan bagi DPRD kabupaten untuk membentuknya. Baca Lengkapnya Dalam Pos Kupang, 15 Mei 2008.
[19] Banyak pemikir politik mulai meyakini bahwa teori fungsi partai politik dan perwakilan politik sebagai media pengkaderan, komunikasi, sosialisasi, rekruitmen politik dan sebagainya sudah tidak relevan lagi. Hampir semua peran terseut telah diambil alih oleh media, NGO, peneliti dan pengamat. Satu-satunya fungsi yag masih tersisa yang mereka miliki hanya fungsi membentuk pemerintahan.
[20] Sebagai contoh : ketika suara PDIP mengalami penurunan drastic pada pemilu 2004 dan 2009 maka banyak politisi PDIP menyatakan masyarakat Nasionalis sudah meninggalkan PDIP. Ibu Megawati selaku Ketua Umum Partai justru mengatakan, bukan mereka yang meninggalkan PDIP tapi PDIP lah yang meninggalkan mereka. PDIP kemudian melakukan perbaikan kinerja dan moral kader, menyehatkan partai politik dan mendirikan sayap partai baru yaitu Baitul Muslimin yang diorientasikan untuk menjemput pemilih Muslim Nasionalis.
[21] Dalam UU Partai Politik No. 2  Tahun 2011 sudah menyatakan secara eksplisit bahwa kampanye politik harus mengarah pada upaya pendidikan politik.
[22] Golkar contohnya, dibawah kepemimpinan Abu Rizal Bakrie banyak melakukan kegiatan social terlembaga 2 tahun terakhir ini seperti Golkar mengelola program pengentasan kemiskinan, bantuan modal usaha, pelatihan life skill dan pelatihan analisis politik bagi kader-kader mudanya dengan melibatkan perguruan tinggi dan aktifis Lsm.
[23] Harian Kompas, 6 Agustus 2004.
[24] Arnold Steinberg, Kampanye Politik dalam Praktek, Jakarta; PT Intermasa, 1981, hlm. 201-209
[25] Diaptasi dari karya Herbert E. Alexander, Financing Polities, Yogyakarta:Narasi, 2003. hlm. 77-78
[26] Sebagai perbandingan, laporan keuangan Pilpres AS telah diterima oleh pemerintah tiga hari setelah penentuan pemenang dan melaporkan hasil audit pemerintah tiga bulan kemudian sementara Indonesia banyak partai politik yang tidak melaporkan keuaganp partainya hingga mendekati pemilu selanjutnya atau sekitar 5 tahun lalu.  
Gambar : acehinstitute.org

No comments:

 

Most Reading