Hikmah

Tuesday, 31 January 2012


Inilah Keutamaan Berbaik Sangka

REPUBLIKA.CO.ID, 
Suatu hari Rasulullah SAW mengutus Umar RA untuk menarik zakat dari para sahabat. Akan tetapi, Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas yang juga paman Nabi SAW tidak menyerahkan zakatnya. Umar pun kemudian melaporkan sikap ketiga sahabat itu kepada Rasulullah.

Mendengar laporan itu, Rasulullah bersabda, ''Tiada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat kecuali dirinya fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya. Adapun Khalid, sesungguhnya kalian telah berbuat zalim terhadapnya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku  telah mengambil zakatnya dua tahun lalu.''

Setelah itu, Rasulullah pun bersabda, ''Wahai Umar, apakah kamu tidak tahu bahwa paman seseorang itu sama seperti ayahnya?'' (HR Bukhari dan Muslim). Dari kisah itu, Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya untuk berbaik sangka kepada sesama. Nabi SAW senantiasa mengingatkan umatnya untuk menjauhi prasangka buruk.

Allah SWT juga melarang hamba-Nya  yang beriman untuk berprasangka. ''Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa... ' (QS al-Hujurat:12).  Syekh Salim bin Ied al-Hilali dalam Syarah Riyadhus Shalihin, mengungkapkan, seorang hamba Allah yang beriman hendaknya menjauhkan diri dari menuduh, menghianati keluarga, kerabat dan orang-orang bukan pada tempatnya.

Rasulullah SAW menegaskan dalam hadisnya, ''Jauhilah olehmu prasangka. Sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan yang paling dusta.'' (Muttafaq 'alaih).  Lalu apa sebenarnya prasangka itu? Dalam Alquran, prasangka disebut dengan az-Zhann. Syekh Mahmud al-Mishri dalam kitab Mausu'ah min Akhlaqir-Rasul, menjelaskan secara detail tentang jenis-jenis prasangka.

Menurut Syekh al-Mishri, ada empat macam prasangka yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, prasangka yang diharamkan. Prasangka yang termasuk kategori haram itu adalah berprasangka buruk terhadap Allah serta berprasangka buruk terhadap kaum Muslimin yang adil.

Kedua, prasangka yang diperbolehkan. ''Prasangka yang diperbolehkan adalah yang terlintas dalam hati seorang Muslim kepada saudaranya karena adanya hal yang mencurigakan,'' papar Syekh al-Mishri. Ketiga, prasangka yang dianjurkan. Menurut dia, prasangka jenis ini adalah prasangka yang baik terhadap sesama Muslim.

Keempat prasangka yang diperintahkan. Menurut Syekh al-Mishri, prasangka yang diperintahkan adalah prasangka dalam hal ibadah dan hukum yang belum ada nashnya. ''Dalam hal ibadah, kita cukup berdasarkan prasangka yang kuat, seperti menerima kesaksian dari saksi yang adil, mencari arah kiblat, menaksir kerusakan-kerusakan, dan denda pidana yang tidak ada nash yang menentukan jumlah atau kadarnya,'' ungkapnya.

Sufyan ats-Tsauri menjelaskan ada dua jenis prasangka, yakni berdosa dan tidak berdosa.  Prasangka yang berdosa, tutur ats-Tasuri,  jika seseorang berprasangka dan mengucapkannya kepada orang lain.  Sedangkan,  yang tak berdosa adalah  prasangka yang tidak diucapkan atau disebarkan kepada orang lain.

Rasulullah SAW senantiasa mendidik dan mengarahkan para sahabat agar berbaik sangka (ber-husnuzh-zhann) terhadap Allah SWT  dan manusia di sekitar mereka, agar hati mereka tetap bersatu. Tiga hari menjelang wafat, Rasulullah SAW bersabda, ''Janganlah seseorang meninggal dunia, kecuali dalam keadaan berbaik sangka terhadap Allah SWT.'' (HR Muslim, hadis sahih).

Berbaik sangka kepada Allah SWT merupakan kenikmatan yang paling agung. Abu Hurairah RA meriwayatkan sabda Rasulullah SAW tentang kemuliaan berprasangka baik kepada sang Khalik. ''Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman, Aku menurut prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya saat ia mengingat-Ku. Jika ia mengingatku dalam kesendirian, Aku akan mengingatnya dalam kesendirian-Ku.''

''Jika ia mengingat-Ku dalam keramaian, Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik daripada keramaiannya. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekat kepadanya se depa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Ahmad bin Abbas an-Numri berkata, ''Sungguh aku berharap kepada Allah hingga seolah aku melihat betapa indahnya balasan Allah atas kebaikan prasangkaku.'' Syekh al-Mishri, mengungkapkan, kebersihan hati seorang Mukmin adalah salah satu hal yang penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Hati yang bersih akan memudahkan umat untuk menjalin ukhuwah Islamiyah. Salah satu cara memelihara jalinan ukhuwah Islamiyah adalah dengan berbaik sangka kepada saudara-saudara sesama Muslim. 

Sumber : Republika.co.id
Gambar : moselimgaul.wordpress.com

Hikmah

Friday, 27 January 2012


Islam yang Ramah

REPUBLIKA.CO.ID,  
Oleh KH Said Aqil Siradj
Islam ya Islam. Begitulah ucapan yang sering terlontar dari sebagian Muslim. Benar, Islam yang diyakini dan diamalkan tentu mempunyai karakteristik yang “paten”. Walaupun, faktanya pengamalan Muslim beragam sesuai mazhab yang dianutnya. Ini wajar sebagai bentuk tafsiran semesta ajaran Islam. Di sini, yang harus dicatat adalah bagaimana pengamalan Islam yang elok, penuh empati, santun, dan tidak melampaui batas. 

Kita menyadari bahwa memahami Islam secara tekstualistik dan legal-formal sering mendatangkan sikap ekstrem dan melampaui batas. Padahal, Alquran tidak melegitimasi sedikit pun segenap perilaku dan sikap yang melampaui batas. 

Dalam hal ini, ada tiga sikap yang dikategorikan “melampaui batas”. Pertama, ghuluw. Yaitu, bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespons persoalan hingga mewujud dalam sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. Kedua, tatharruf, yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi pada empati berlebihan dan sinisme keterlaluan dari masyarakat. 

Ketiga, irhab. Ini yang terlalu mengundang kekhawatiran karena bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu. Irhab adalah sikap dan tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi. “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS al-Nisa’: 171). 

Idealnya, seorang Muslim harus mendalami dan memahami ajaran Islam secara komprehensif, utuh, hingga ajaran tersebut memberikan dampak sosial yang positif bagi dirinya. Seperti disebutkan di dalam Alquran, yakni mencerna teks-teks ilahiah secara objektif, hati yang bersih, rasional, hingga mampu memunculkan hikmah yang terkandung di dalamnya. 

Alangkah kering dan gersangnya agama ini jika ternyata aspek eksoterik dalam Islam hanya sebatas legal-formal dan tendensinya tekstualistik. Sebuah ayat tentang jihad, misalnya, akan terasa gersang dan kering apabila pemahamannya dimonopoli oleh tafsir “perang mengangkat senjata”. Padahal, jihad pada masa Rasulullah merupakan satu wujud dan manifestasi pembebasan rakyat untuk menghapus diskriminasi dan melindungi hak-hak rakyat demi terbangunnya sebuah tatanan masyarakat yang beradab.

Titik puncak kesempurnaan beragama seseorang terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam dan menyelaminya sehingga sikap arif dan bijaksana (al-hikmah) bisa tersembul keluar dalam segenap pemahaman dan penafsiran itu.
 
Di sinilah, perlunya mengedepankan wajah Islam yang ramah. Penekanan pada wajah Islam ini secara metodologi menyangkut aspek esoteris dari Islam yang lazimnya disebut dengan pendekatan sufistik. Islam yang ramah adalah wujud dari penyikapan keislaman yang inklusif dan moderat.

Ciri-ciri keberislaman seperti ini adalah penyampaian dakwah yang mengedepankan qaulan karima (perkataan yang mulia), qaulan ma’rufa (perkataan yang baik), qaulan maisura (perkataan yang pantas), qaulan layyinan (perkataan yang lemah lembut), qaulan baligha (perkataan yang berbekas dalam jiwa), dan qaulan tsaqila (perkataan yang berat). Inilah sikap-sikap keberagamaan sebagaimana diamanatkan Alquran dan sunah.
Sumber : Republika.co.id
Gambar : faithofmuslims.com

Ensiklopedi Islam : Zakat


Zakat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Zakat (Bahasa Arab: زكاة; transliterasi: Zakah) adalah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan sebagainya) menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syarak. Zakat merupakan rukun ketiga dariRukun Islam.

Sejarah zakat
Setiap muslim diwajibkan memberikan sedekah dari rezeki yang dikaruniakan Allah. Kewajiban ini tertulis di dalam Alquran. Pada awalnya, Alquran hanya memerintahkan untuk memberikan sedekah (pemberian yang sifatnya bebas, tidak wajib). Namun, pada kemudian hari, umat Islam diperintahkan untuk membayar zakat. Zakat menjadi wajib hukumnya sejak tahun 662 M. Nabi Muhammad melembagakan perintah zakat ini dengan menetapkan pajak bertingkat bagi mereka yang kaya untuk meringankan beban kehidupan mereka yang miskin.[1]. Sejak saat ini, zakat diterapkan dalam negara-negara Islam. Hal ini menunjukan bahwa pada kemudian hari ada pengaturan pemberian zakat, khususnya mengenai jumlah zakat tersebut.[2].
Pada zaman khalifah, zakat dikumpulkan oleh pegawai sipil dan didistribusikan kepada kelompok tertentu dari masyarakat. Kelompok itu adalah orang miskin, janda, budak yang ingin membeli kebebasan mereka, orang yang terlilit hutang dan tidak mampu membayar.[3]. Syari'ah mengatur dengan lebih detail mengenai zakat dan bagaimana zakat itu harus dibayarkan. Kejatuhan para khalifah dan negara-negara Islam menyebabkan zakat tidak dapat diselenggarakan dengan berdasarkan hukum lagi. [4]

Hukum zakat
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah seperti salat, haji, dan puasa yang telah diatur secara rinci berdasarkan Alquran dan Sunah. Zakat juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan ummat manusia dimana pun. apabila harta sudah mencapai haul dan nishab maka kewjiban tersbut harus dilaksanakan.

Jenis zakat
Zakat terbagi atas dua jenis yakni:
§  Zakat fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan
 muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar zakat ini setara dengan 3,5 liter (2,5 kilogram) makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan.
§  Zakat maal (harta)
Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing jenis memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.

Yang berhak menerima
Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat, yakni:
1.    Fakir - Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup.
2.    Miskin - Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
3.    Amil - Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
4.    Mu'allaf - Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya
5.    Hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya
6.    Gharimin - Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk memenuhinya
7.    Fisabilillah - Mereka yang berjuang di jalan Allah (misal: dakwah, perang dsb)
8.    Ibnus Sabil - Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.

Yang tidak berhak menerima zakat[5]
§  Orang kaya. Rasulullah bersabda, "Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yang mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari).
§  Hamba sahaya, karena masih mendapat nafkah atau tanggungan dari tuannya.
§  Keturunan Rasulullah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami (ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim).
§  Orang yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri.
§  Orang kafir.

Beberapa Faedah Zakat[6]
Faedah Diniyah (segi agama)
1.    Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari Rukun Islam yang mengantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
2.    Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-nya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
3.    Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah, yang artinya: "Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah" (QS: Al Baqarah: 276). Dalam sebuah hadits yang muttafaq "alaih Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam" juga menjelaskan bahwa sedekah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah berlipat ganda.
4.    Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Muhammad SAW.

Faedah Khuluqiyah (Segi Akhlak)
1.    Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
2.    Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
3.    Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum Muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
4.    Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.

Faedah Ijtimaiyyah (Segi Sosial Kemasyarakatan)
1.    Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
2.    Memberikan dukungan kekuatan bagi kaum Muslimin dan mengangkat eksistensi mereka. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
3.    Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
4.    Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
5.    Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat.

Hikmah Zakat
Hikmah dari zakat antara lain:
1.    Mengurangi kesenjangan sosial antara mereka yang berada dengan mereka yang miskin.
2.    Pilar amal jama'i antara mereka yang berada dengan para mujahid dan da'i yang berjuang dan berda'wah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
3.    Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk
4.    Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
5.    Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan
6.    Untuk pengembangan potensi ummat
7.    Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam
8.    Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi ummat.

Zakat dalam Al Qur'an
§  QS (2:43) ("Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'".)
§  QS (9:35) (Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.")
§  QS (6: 141) (Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan).

Catatan dan referensi
1.     Smith, Huston.2001.Agama-agama Manusia.Jakarta: Obor.
2.      Heyneman, Stephen P.,2004.Islam and Social Policy. Nashville: Vanderbilt University Press.
3.      Gibb, H. A. R., 1957.Mohammedanism.London: Oxford University Press.
4.      Pass, Steven.2006. Beliefs and Practices of Muslims. Jakarta: GMP.
5.      Panduan Pintar Zakat. H.A. Hidayat, Lc. & H. Hikmat Kurnia."QultumMedia. Jakarta. 2008.".

sumber : wikipedia.org
gambar : acehinstitut.org

Ensiklopedi Islam : Shadaqah

Thursday, 26 January 2012

Shadaqah

Shadaqah atau sedekah (Bahasa Arab: صدقة) adalah pemberian seorang Muslim kepada orang lain secara sukarela dan ikhlas tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Shadaqah lebih luas dari sekedar zakat maupun infak. Karena shadaqah tidak hanya berarti mengeluarkan atau mendermakan harta. Namun shadaqah mencakup segala amal atau perbuatan baik. Dalam sebuah hadits digambarkan, “Memberikan senyuman kepada saudaramu adalah shadaqah.” (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)

Dari Abu Dzar r.a. berkata, bahwasanya sahabat-sahabat Rasulullah saw. berkata kepada beliau: “Wahai Rasulullah saw., orang-orang kaya telah pergi membawa banyak pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka dapat bersedekah dengan kelebihan hartanya.” Rasulullah saw. bersabda, “Bukankah Allah telah menjadikan untukmu sesuatu yang dapat disedekahkan? Yaitu, setiap kali tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, menyuruh pada kebaikan adalah sedekah, melarang kemungkaran adalah sedekah, dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?” Rasulullah saw. menjawab, “Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)

Sanad Hadits
Hadits di atas memiliki sanad yang lengkap (sebagaimana yang terdapat dalam Shahih Muslim, Kitab Al-Zakat, Bab Bayan Anna Ismas Shadaqah Yaqa’u Ala Kulli Nau’ Minal Ma’ruf, hadits no 1006).

Gambaran Umum Tentang Hadits
Hadits ini memberikan gambaran luas mengenai makna shadaqah. Karena digambarkan bahwa shadaqah mencakup segenap sendi kehidupan manusia. Bukan hanya terbatas pada makna menginfakkan uang di jalan Allah, memberikan nafkah pada fakir miskin atau hal-hal sejenisnya. Namun lebih dari itu, bahwa shadaqah mencakup segala macam dzikir (tasbih, tahmid dan tahlil), amar ma’ruf nahi mungkar, bahkan hubungan intim seorang suami dengan istrinya juga merupakan shadaqah. Oleh karena itulah, Rasulullah saw. secara tersirat meminta kepada para sahabatnya untuk pandai-pandai memanfaatkan segala aktivitas kehidupan agar senantiasa bernuansakan ibadah. Sehingga tidak perlu ‘gusar’ dengan orang-orang kaya yang selalu bersedekah dengan hartanya. Karena makna shadaqah tidak terbatas hanya pada shadaqah dengan harta.

Asbabul Wurud Hadits
Hadits ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan beberapa Muhajirin yang fakir, dimana mereka ‘terpaksa’ meninggalkan harta benda mereka di Mekah, sehingga mereka merasa tidak dapat bershadaqah. Ketika pertanyaan mereka terlontar ke Rasulullah saw., beliau memberikan jawaban yang dapat menenangkan jiwa dan pikiran mereka.

Makna Hadits
Hadits ini muncul dengan latar belakang ‘kegundahan hati’ para sahabat, manakala mereka merasa tidak dapat optimal dalam beribadah kepada Allah swt.. Karena mereka merasa bahwa para sahabat-sahabat yang memiliki kelebihan harta, kemudian menshadaqahkan hartanya tersebut, tentulah akan mendapatkan derajat yang lebih mulia di sisi Allah swt.. Sebab mereka melaksanakan shalat, puasa, namun mereka bersedekah, sedangkan kami tidak bersedekah, kata para sahabat ini.
Akhirnya Rasulullah saw. sebagai seorang murabbi sejati memberikan motivasi serta dorongan agar mereka tidak putus asa, dan sekaligus memberikan jalan keluar bagi para sahabat ini. Jalan keluarnya adalah bahwa mereka dapat bershadaqah dengan apa saja, bahkan termasuk dalam hubungan intim suami istri. Oleh karenanya tersirat bahwa Rasulullah saw. meminta kepada mereka agar padai-pandai mencari peluang ‘pahala’ dalam setiap aktivitas kehidupan sehari-hari, agar semua hal tersebut di atas terhitung sebagai shadaqah.

Pengertian Shadaqah
Secara umum shadaqah memiliki pengertian menginfakkan harta di jalan Allah swt.. Baik ditujukan kepada fakir miskin, kerabat keluarga, maupun untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Makna shadaqah memang sering menunjukkan makna memberikan harta untuk hal tertentu di jalan Allah swt., sebagaimana yang terdapat dalam banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah Al-Baqarah (2): 264 dan Al-Taubah (9): 60.
Kedua ayat di atas menggambarkan bahwa shadaqah memiliki makna mendermakan uang di jalan Allah swt. Bahkan pada ayat yang kedua, shadaqah secara khusus adalah bermakna zakat. Bahkan banyak sekali ayat maupun hadits yang berbicara tentang zakat, namun diungkapkan dengan istilah shadaqah.
Secara bahasa, shadaqah berasal dari kata shidq yang berarti benar. Dan menurut Al-Qadhi Abu Bakar bin Arabi, benar di sini adalah benar dalam hubungan dengan sejalannya perbuatan dan ucapan serta keyakinan. Dalam makna seperti inilah, shadaqah diibaratkan dalam hadits: “Dan shadaqah itu merupakan burhan (bukti).” (HR. Muslim)
Antara zakat, infak, dan shadaqah memiliki pengertian tersendiri dalam bahasan kitab-kitab fiqh. Zakat yaitu kewajiban atas sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu dan untuk kelompok tertentu.
Infak memiliki arti lebih luas dari zakat, yaitu mengeluarkan atau menafkahkan uang. Infak ada yang wajib, sunnah dan mubah. Infak wajib di antaranya adalah zakat, kafarat, infak untuk keluarga dan sebagainya. Infak sunnah adalah infak yang sangat dianjurkan untuk melaksanakannya namun tidak menjadi kewajiban, seperti infak untuk dakwah, pembangunan masjid dan sebagainya. Sedangkan infak mubah adalah infak yang tidak masuk dalam kategori wajib dan sunnah, serta tidak ada anjuran secara tekstual ayat maupun hadits, diantaranya seperti infak untuk mengajak makan-makan dan sebagainya.
Shadaqah lebih luas dari sekedar zakat maupun infak. Karena shadaqah tidak hanya berarti mengeluarkan atau mendermakan harta. Namun shadaqah mencakup segala amal atau perbuatan baik. Dalam sebuah hadits digambarkan, “Memberikan senyuman kepada saudaramu adalah shadaqah.”
Makna shadaqah yang terdapat dalam hadits di atas adalah mengacu pada makna shadaqah di atas. Bahkan secara tersirat shadaqah yang dimaksudkan dalam hadits adalah segala macam bentuk kebaikan yang dilakukan oleh setiap muslim dalam rangka mencari keridhaan Allah swt. Baik dalam bentuk ibadah atau perbuatan yang secara lahiriyah terlihat sebagai bentuk taqarrub kepada Allah swt., maupun dalam bentuk aktivitas yang secara lahiriyah tidak tampak seperti bertaqarrub kepada Allah, seperti hubungan intim suami istri, bekerja, dsb. Semua aktivitas ini bernilai ibadah di sisi Allah swt.

Macam-Macam Shadaqah
Rasulullah saw. dalam hadits di atas menjelaskan tentang cakupan shadaqah yang begitu luas, sebagai jawaban atas kegundahan hati para sahabatnya yang tidak mampu secara maksimal bershadaqah dengan hartanya, karena mereka bukanlah orang yang termasuk banyak hartanya. Lalu Rasulullah saw. menjelaskan bahwa shadaqah mencakup:
1. Tasbih, Tahlil dan Tahmid
Rasulullah saw. menggambarkan pada awal penjelasannya tentang shadaqah bahwa setiap tasbih, tahlil dan tahmid adalah shadaqah. Oleh karenanya mereka ‘diminta’ untuk memperbanyak tasbih, tahlil dan tahmid, atau bahkan dzikir-dzikir lainnya. Karena semua dzikir tersebut akan bernilai ibadah di sisi Allah swt. Dalam riwayat lain digambarkan:
Dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw. berkata, “Bahwasanya diciptakan dari setiap anak cucu Adam tiga ratus enam puluh persendian. Maka barang siapa yang bertakbir, bertahmid, bertasbih, beristighfar, menyingkirkan batu, duri atau tulang dari jalan, amar ma’ruf nahi mungkar, maka akan dihitung sejumlah tiga ratus enam puluh persendian. Dan ia sedang berjalan pada hari itu, sedangkan ia dibebaskan dirinya dari api neraka.” (HR. Muslim)
2. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Setelah disebutkan bahwa dzikir merupakan shadaqah, Rasulullah saw. menjelaskan bahwa amar ma’ruf nahi mungkar juga merupakan shadaqah. Karena untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi mungkar, seseorang perlu mengeluarkan tenaga, pikiran, waktu, dan perasaannya. Dan semua hal tersebut terhitung sebagai shadaqah. Bahkan jika dicermati secara mendalam, umat ini mendapat julukan ‘khairu ummah’, karena memiliki misi amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam sebuah ayat-Nya Allah swt. berfirman:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. Ali Imran (3): 110]
3. Hubungan Intim Suami Istri
Hadits di atas bahkan menggambarkan bahwa hubungan suami istri merupakan shadaqah. Satu pandangan yang cukup asing di telinga para sahabatnya, hingga mereka bertanya, “Apakah salah seorang diantara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan shadaqah?” Kemudian dengan bijak Rasulullah saw. menjawab, “Apa pendapatmu jika ia melampiaskannya pada tempat yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya pada yang halal, ia akan mendapat pahala.” Di sinilah para sahabat baru menyadari bahwa makna shadaqah sangatlah luas. Bahwa segala bentuk aktivitas yang dilakukan seorang insan, dan diniatkan ikhlas karena Allah, serta tidak melanggar syariah-Nya, maka itu akan terhitung sebagai shadaqah.
Selain bentuk-bentuk di atas yang digambarkan Rasulullah saw. yang dikategorikan sebagai shadaqah, masih terdapat nash-nash hadits lainnya yang menggambarkan bahwa hal tersebut merupakan shadaqah, diantaranya adalah:
4. Bekerja dan memberi nafkah pada sanak keluarganya
Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam sebuah hadits: Dari Al-Miqdan bin Ma’dikarib Al-Zubaidi ra, dari Rasulullah saw. berkata, “Tidaklah ada satu pekerjaan yang paling mulia yang dilakukan oleh seseorang daripada pekerjaan yang dilakukan dari tangannya sendiri. Dan tidaklah seseorang menafkahkan hartanya terhadap diri, keluarga, anak dan pembantunya melainkan akan menjadi shadaqah.” (HR. Ibnu Majah)
5. Membantu urusan orang lain
Dari Abdillah bin Qais bin Salim Al-Madani, dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, “Setiap muslim harus bershadaqah.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah, jika ia tidak mendapatkan (harta yang dapat disedekahkan)?” Rasulullah saw. bersabda, “Bekerja dengan tangannya sendiri kemudian ia memanfaatkannya untuk dirinya dan bersedekah.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau bersabda, “Menolong orang yang membutuhkan lagi teranaiaya.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Mengajak pada yang ma’ruf atau kebaikan.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, “Menahan diri dari perbuatan buruk, itu merupakan shadaqah.” (HR. Muslim)
6. Mengishlah dua orang yang berselisih
Dalam sebuah hadits digambarkan oleh Rasulullah saw.: Dari Abu Hurairah r.a. berkata, bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, “Setiap ruas-ruas persendian setiap insan adalah shadaqah. Setiap hari di mana matahari terbit adalah shadaqah, mengishlah di antara manusia (yang berselisih adalah shadaqah).” (HR. Bukhari)
7. Menjenguk orang sakit
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Abu Ubaidah bin Jarrah ra berkata, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang menginfakkan kelebihan hartanya di jalan Allah swt., maka Allah akan melipatgandakannya dengan tujuh ratus (kali lipat). Dan barangsiapa yang berinfak untuk dirinya dan keluarganya, atau menjenguk orang sakit, atau menyingkirkan duri, maka mendapatkan kebaikan dan kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya. Puasa itu tameng selama ia tidak merusaknya. Dan barangsiapa yang Allah uji dengan satu ujian pada fisiknya, maka itu akan menjadi penggugur (dosa-dosanya).” (HR. Ahmad)
8. Berwajah manis atau memberikan senyuman
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw. bersabda: Dari Abu Dzar r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menganggap remeh satu kebaikan pun. Jika ia tidak mendapatkannya, maka hendaklah ia ketika menemui saudaranya, ia menemuinya dengan wajah ramah, dan jika engkau membeli daging, atau memasak dengan periuk/kuali, maka perbanyaklah kuahnya dan berikanlah pada tetanggamu dari padanya.” (HR. Turmudzi)
9. Berlomba-lomba dalam amalan sehari-hari (baca: yaumiyah)
Dalam sebuah riwayat digambarkan: Dari Abu Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Siapakah di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah saw. bersabda, “Siapakah hari ini yang mengantarkan jenazah orang yang meninggal?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah saw. bertanya, “Siapakah di antara kalian yang hari ini memberikan makan pada orang miskin?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah saw. bertanya kembali, “Siapakah di antara kalian yang hari ini telah menengok orang sakit?” Abu Bakar menjawab, “Saya, wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.” (HR. Bukhari)


Sumber : Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas dan Dakwatuna.com : http://www.dakwatuna.com/2008/04/573/makna-shadaqah/#ixzz1kXUJvPVf
Gambar : ennyer.blogspot.com
 

Most Reading