Wacana Negara Islam dalam Parlemen Konstituante : Hubungan Antagonistik Islam dan Negara di Indonesia
Oleh. Akhmad Satori, S.IP
Pendahuluan
Sejarah mencatat bangkitnya nasionalisme Indonesia pada abad ke-20, ditandai dengan mulai bermunculannya gerakan-gerakan masyarakat pribumi, berjuang menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bangsa. Tidak diragukan lagi, dalam upaya nasionalistik ini, Islam memainkan peran yang sangat menentukan eksistensi negara, bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, melainkan ia merupakan simbol kesamaan nasib (ingroup) menentang penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain.
Wacana Negara Islam di Indonesia muncul dan berkembang ketika umat Islam yang taat mengklaim bahwa Islam bukan hanya sistem teologi, tetapi juga jalan hidup yang meliputi sejumlah standar etik moral dalam kehidupan masyarakat dan negara. Secara historis, para pemimpin muslim di Indonesia berusaha menjadikan Islam sebagai dasar negara, pertama kali menjelang persiapan kemerdekaan tahun 1945 dan kedua kalinya di Parlemen Konstituante 1956-1959, namun kedua-duanya tidak berhasil.
Suatu persoalan yang menarik dan unik padahal kita ketahui mayoritas rakyat Indonesia menganut agama Islam, tetapi fakta sejarah menunjukan negara tidak memberikan kesempatan bagi politik Islam untuk berkembang, persoalan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya rasa saling curiga antara pemikir dan aktivis politik Islam dan Negara di Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa terjadi hubungan yang antagonistik antara Islam dan Negara?.
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan diatas dengan memberikan sebuah perspektif terhadap perjalanan sejarah mengenai wacana Islam yang berkembang di Indonesia, dengan fokus perkembangan wacana Islam dalam-masa-masa konstituante.
Dikotomi Politik Indonesia : Islam Vs Nasionalisme
Hubungan politik antara Islam dan Negara pada sebagian besar babakan sejarahnya merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain . Di Indonesia seperti yang di ungkap Bahtiar Effendi , akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan Negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda, selain itu kondisi politik masa Jepang membentuk BPUPKI dan siding BPUPKI, terutama ketika membicarakan dasar Negara, itu juga merupakan embrio lahirnya ketegangan antara golongan Islam dan nasionalis.
Hubungan yang tidak harmonis terutama -tetapi tidak seluruhnya- disebabkan oleh perbedaan pandangan para pendiri republik ini (yang sebagian besar muslim) mengenai negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan. Posisi Islam yang dikotomis dilihat dari segi pemahaman doktrin Islam dan interpretasinya baik oleh kalangan Internal (para pemikir dan aktivis Islam) ataupun kalangan elit politik nasional (out sider), merupakan titik awal akan munculnya ketegangan antara kedua golongan itu baik dari kalangan pemikir dan aktivis Islam maupun dari elit politik nasional Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah negara bercorak “Islam “ atau “Nasionalis”?.
Konstruk kenegaraan yang pertama mengharuskan agar Islam, karena kenyataan bahwa agama itu dianut oleh sebagian besar penduduk, diakui dan diterima sebagai dasar ideologi negara. Tetapi atas pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara yang secara sosial keagamaan bersifat majemuk, maka konstruk kenegaraan kedua menghendaki agar Indonesia di dasarkan atas Pancasila sebuah ideologi yang sudah di dekonfensionalisasi. Dalam konteks historis inilah dua kelompok yang saling bertentangan muncul dalam diskursus politik Indonesia : yaitu, kelompok Islam dan kelompok nasionalis.
Pada awalnya benturan antara kedua kelompok ini berlangsung disekitar masalah nasionalisme. Dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk mencapai kemerdekaan. Soekarno secara luas mendefinisikan nasionalisme sebagai “cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus untuk membaktikan diri dan mengabdi kepada tanah air, serta kesediaan untuk mengenyampingkan kepentingan-kepentingan golongan yang sempit. Dtempat lain ia menulis bahwa “nasionalisme adalah keyakinan, kesadaran dikalangan rakyat, bahwa mereka bersatu dalam satu kelompok, satu bangsa.
Ketika Mohammad Natsir melibatkan diri dalam perdebatan inilah maka perseteruan religio-ideologis antara kedua kelompok diatas menjadi semakin keras dan sistematis. Mereka tidak hanya terlibat dalam perdebatan religio-ideologis mengenai watak nasionalisme Indonesia, melainkan mengembangkannya ke dalam suatu tema yang lebih lebar, yaitu tentang apa yang dapat disebut sebagai Negara Indonesia merdeka dan modern yang dicita-citakan. Menurut Natsir, faham nasionalisme Soekarno bisa menjadi menjadi faham chauvinistic, ia mengkhawatirkan bergulirnya paham nasionalisme Soekarno menjadi sebuah bentuk ashabiyah baru. Yang pada akhirnya berujung kepada fanatisme. Bagi Natsir faham nasionalisme harus mempunyai sejenis landasan teologis. Natsir juga percaya, bahwa nasionalisme Indonesia harus bercorak Islami. Dalam pandangannya, Natsir berpendapat tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia itu tidak ada, karena Islam pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia.
Polemik yang terjadi diantara kedua tokoh ini, oleh Deliar Noer digambarkan sebagai dialog antara cita-cita Islam dan cita-cita barat. Dalam hal ini Natsir mewakili pandangan Islam dan Soekarno mewakili pandangan barat, karena Soekarno meskipun dengan alasan-alasan yang menurutnya berdasarkan ajaran-ajaran Islam tetapi sehaluan dengan golongan nasionalis yang menginginkan pemisahan agama dan negara.
Pengamat lain seperti Bachtiar Effendi berpendapat bahwa polemik yang terjadi antara Soekarno dan Natsir masih bersifat eksploratif. Sejak semula keduanya tidak bermaksud untuk merumuskan konsep-konsep yang siap pakai mengenai hubungan antara agama dan Negara. Namun keduanya juga bermaksud untuk menemukan titik temu (kalimatun sawa') diantara mereka. Keduanya hanya ingin menunjukan posisi-posisi ideologis politis masing-msaing. Akibatnya perdebatan-perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai perbedaan yang tampaknya tak terjembatani antara kedua kelompok yang bersebrangan.
Perjuangan Islam, Sebagai Dasar Ideologi Negara
Perebutan pengaruh politik antara Islam dan nasionalisme itu pada masa Jepang semakin ketat, karena Jepang memang lebih mengakomodasi dua kekuatan tersebut daripada kalangan pemimpin tradisional seperti priyayi, meskipun demikian Jepang tetap berhati-hati dalam memberikan kebebasan berpolitik kepada umat Islam Indonesia. Namun lambat laun cita-cita kelompok nasionalis mulai kelihatan semakin kuat dan cenderung mengalahkan cita-cita dari golongan Islam. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan BPUPKI .
Pertarungan ideologis antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis baru berlangsung secara penuh dalam pertemuan BPUPKI, yang berlangsung akhir Mei hingga pertengahan Agustus. Seraya menegaskan kembali alur penalaran teologis dan sosiologis sebelumnya. Kelompok yang pertama menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi sebuah negara Islam, atau Islam harus menjadi dasar ideolog negara . Sedang kelompok kedua, mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional, dimana masalah-masalah agama selain mendasarkan argumen mereka kepada kenyataan bahwa Islam tidak memiliki pandangan yang tegas dan utuh mengenai hubungan agama dan negara.
Dalam badan inilah Soekarno kemudian mencetuskan idenya tentang “Pancasila” . Dalam ide tersebut pemisahan agama dan negara sudah tampak jelas, pada beberapa bagian dari idenya tersebut, ia tetap bertahan pada konsepnya tentang demokrasi dan agama, yang mengatakan bahwa bila bersifat demokratis, berarti negara dan agama harus dipisahkan dan sebaliknya bila keduannya disatukan demokrasi akan tersingkir dari kehidupan bernegara.
Dalam membahas soal nasionalisme dan ketuhanan terjadilah hubungan antagonistik yang cukup serius antara nasionalis sekuler dengan kalangan pemimpin Islam. Ketegangan itu dapat di akhiri sementara, setelah kedua pihak menerima usulan masing-masing keinginan yang bersifat ideologis dan bersyarat. Selain itu secara kualitas anggota golongan Islam di bawah dari golongan-golongan nasionalis sekuler dan priyayi jawa. BPUPKI beranggotakan 68 Orang terdiri dari 8 Orang Jepang, 15 Orang golongan Islam, 45 Orang nasionalis sekuler dan priyayi jawa. 8 orang Jepang dapat terabaikan, sebab mereka tidak terlibat dalam pembicaraan, sementara golongan priyayi berpihak kepada golongan nasionalis sekuler. Ini jelas bahwa golongan Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler yang tidak berimbang jumlah suaranya untuk membahas soal dasar negara.
Untuk mengatasi perbedaan ideologis ini, BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang untuk mempelajari kedudukan Islam. Kelompok Islam diwakili oleh Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus Salim dan Abikusno Tjokrosujoso, sedangkan kelompok Nasionalis diwakili juga oleh empat orang, yaitu Muh. Hatta, M. Yamin, Soebarjdo dan AA Maramis. Sedangkan seorang lagi bertindak sebagai ketua dan sekaligus sebagai penengah, yaitu Soekarno.
Panitia ini mencapai kompromi, yang kelak kita kenal dengan Piagam Jakarta. Ini merupakan mukaddimah pada konstitusi berdasarkan rumusan yang tampaknya disetujui semua anggotanya baik yang nasionalis maupun yang Islam. Dalam Piagam Jakarta ini, dimasukan prinsip-prinsip pancasila walaupun dengan rumusan yang berubah. Perbedaan penting adalah, pertama, urutan kelima dasar telah berubah, ketuhanan dalam konsep Soekarno diletakan dalam urutan kelima, kini menjadi yang pertama. Kedua, dalam Piagam Jakarta ini, selain ketuhanan menjadi sila pertama, juga ditambahkan tujuh kata berikut menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Namun, setelah melewati masa persidangan perubahan dari BPUPKI menjadi PPKI, akhirnya tujuh kata tersebut dirubah kembali menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” , untuk menengahi dan mencari jalan terbaik, Moh Hatta, berusaha meyakinkan wakil-wakil yang menyuarakan cita-cita Islam bahwa hanya dengan konsepsi tersebut yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat. Kemudian selanjutnya dalam hal ini Hatta berpendapat bahwa dengan perubahan tersebut, peraturan dalam rangka syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan dalam rancangan UU di DPR, yang setelah diterima DPR mengikat umat Islam Indonesia.
Peristiwa diatas menunjukan bahwa secara kuantitas keanggotaan BPUPKI umat Islam –diwakili dolongan Islam—terkalahkan oleh golongan nasionalis sekuler. Begitu pula dengan dasar negara Pancasila tanpa menambah tujuh kata yang menjamin terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam. Dalam Piagam Jakarta, ini merupakan kekalahan politik Islam. Sejak saat itulah kata Ainar Martahan Sitompul , hubungan antara agama dan Negara menjadi unik, dalam pengertian Indonesia bukan agama teokrasi tetapi juga bukan agama sekuler menurut sudut pandang ideologi.
Kondisi sekitar sidang BPUPKI dilukiskan oleh Dawam Rahardjo , bahwa perjalanan politik Islam pada dasawarsa 50-an basis-basis politik Islam sebenarnya keropos . alasan "kekeroposan" itu kata Dawam antara lain karena konstituen politik Islam gagal memberikan dukungan yang dioperlukan bagi terwujudnya sebuah tradisi pemerintahan yang kuat dan artikulasi pemikiran dan aktivisme politik yang lebih rasional dan integratif.
Pada alasan yang kedua dari Dawam di benarkan oleh Deliar Noer, menurutnya, mereka-golongan Islam- bukan tandingan Soekarno dan kawan-kawannya dalam berargumentasi secara filsafat. Realitas ini jelas suatu penurunan yang berarti. Hal ini perlu dikaitkan dengan semangat dibalik kekalahan atau kelemahan golongan Islam berdebat politis-ideologis di panggung konstitusi kenegaraan. Ini dapat ditelusuri pada suhu pollitik dan semangat perjuangan ideologis golongan Islam, yakni Islam dalam masa revolusi yang ditandai dengan terbentuknya beberapa partai Islam seperti Masyumi . Dengan demikian golongan Islam bukan "keropos" tapi "melemah" atau "terkalahkan". Kedua istilah tersebut diatas melemah dan terkalahkan mengandung perjuangan kilas balik. Artinya di balik kelemahan atau kekalahan itu mengandung semangat juang untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Islam menuju lini ideologi kehidupan bernegara sekaligus berbangsa atas dasar syariat.
Kekalahan golongan Islam dengan dihapuskanya Piagam Jakartya membuat mereka bersatu dan inilah salah satu pencerminan komitmen solideritas berbasis nasib yang sama, yakni basis keagamaan. Komitmen inilah yang melahirkan partai politik yang dapat menjadi payung organisasi Islam saat itu. Pemikiran demikian berimplikasi terhadap konflik ideologis tentang dasar negara belum berakhir. Dan ternyata masalah ini mencuat kembali pada perdebatan konstituante pada hasil pemilu 1955. Dalam pandangan Bachtiar, tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran Ideologi dan simbol—sesuatu yang mencapai klimaksnya pada perdebatan dalam konstituante pada paruh kedua dasawarsa 50-an—ketimbang substansi.
Wacana Islam dalam Masa Konstituante
Selama hampir dari lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, tidak ada hambatan serius yang menghalangi hubungan politik antara arus utama pemimpin dan aktivis Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan-perdebatan diantara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dan negara dihentikan. Mereka paling tidak untuk sementara, bersedia melupakan perbedaan ideologis diantara mereka. Dan tidak diragukan lagi pada masa itu para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.
Meskipun tidak ada benturan disana-sini, kedua kelompok diatas- Islam dan Nasionalis-mampu mengembangkan hubungan politik relatif harmonis diantara mereka. Kelompok Nasionalis dipimpin oleh Soekarno tetap memegang kemudi kepemimpinan. Sementara itu menyusul diserahkannya kekuasaan Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan mulai memperlihatkan kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional. Dengan Masyumi, yang dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya. Kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar.
Untuk alasan itu maka Syahrir (pemimpin PSII) memperkirakan bahwa jika pemilihan umum diselenggarakan, maka Masyumi- yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan muslim modern (muhammadiyah) yang mempunyai basis anggota di perkotaan dan ortodoks (NU) yang jumlah anggotanya lebih besar dikalangan pedesaan- akan memperoleh 80% suara.
Sejak itu konfigurasi politik Indonesia terbagi menjadi tiga Ideologi besar yang dimotori oleh partai-partai politik yang semakin bermunculan pada waktu itu. Partai-partai tersebut terbagi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kekuatan besar, yaitu; kekuatan politik dengan ideologi Islam, yang diwakili olek Masyumi (berdiri 7 November 1945), PSII (1947), PERTI dan NU (1952), sedangkan ideologi Nasionalis (sekuler) diwakili oleh PNI dan ideologi Marxis-Sosialis diwakili oleh Partai Sosialis (1945), PKI (1945), Partai Buruh Indonesia (1945) dan Persindo, serta partai-partai lainya yang dapat dikategorikan kedalam mainstream ideologis di atas.
Menjelang pemilu, pertarungan ideologi pun semakin meruncing. Ideologi politik yang paling besar dan berpengaruh ketika itu adalah Islam,
Nasionalisme, dan Komunisme.
Pendahuluan
Sejarah mencatat bangkitnya nasionalisme Indonesia pada abad ke-20, ditandai dengan mulai bermunculannya gerakan-gerakan masyarakat pribumi, berjuang menentang kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan bangsa. Tidak diragukan lagi, dalam upaya nasionalistik ini, Islam memainkan peran yang sangat menentukan eksistensi negara, bukan saja merupakan mata rantai yang mengikat tali persatuan, melainkan ia merupakan simbol kesamaan nasib (ingroup) menentang penjajah asing dan penindas yang berasal dari agama lain.
Wacana Negara Islam di Indonesia muncul dan berkembang ketika umat Islam yang taat mengklaim bahwa Islam bukan hanya sistem teologi, tetapi juga jalan hidup yang meliputi sejumlah standar etik moral dalam kehidupan masyarakat dan negara. Secara historis, para pemimpin muslim di Indonesia berusaha menjadikan Islam sebagai dasar negara, pertama kali menjelang persiapan kemerdekaan tahun 1945 dan kedua kalinya di Parlemen Konstituante 1956-1959, namun kedua-duanya tidak berhasil.
Suatu persoalan yang menarik dan unik padahal kita ketahui mayoritas rakyat Indonesia menganut agama Islam, tetapi fakta sejarah menunjukan negara tidak memberikan kesempatan bagi politik Islam untuk berkembang, persoalan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya rasa saling curiga antara pemikir dan aktivis politik Islam dan Negara di Indonesia. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa terjadi hubungan yang antagonistik antara Islam dan Negara?.
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan diatas dengan memberikan sebuah perspektif terhadap perjalanan sejarah mengenai wacana Islam yang berkembang di Indonesia, dengan fokus perkembangan wacana Islam dalam-masa-masa konstituante.
Dikotomi Politik Indonesia : Islam Vs Nasionalisme
Hubungan politik antara Islam dan Negara pada sebagian besar babakan sejarahnya merupakan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain . Di Indonesia seperti yang di ungkap Bahtiar Effendi , akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan Negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda, selain itu kondisi politik masa Jepang membentuk BPUPKI dan siding BPUPKI, terutama ketika membicarakan dasar Negara, itu juga merupakan embrio lahirnya ketegangan antara golongan Islam dan nasionalis.
Hubungan yang tidak harmonis terutama -tetapi tidak seluruhnya- disebabkan oleh perbedaan pandangan para pendiri republik ini (yang sebagian besar muslim) mengenai negara Indonesia merdeka yang dicita-citakan. Posisi Islam yang dikotomis dilihat dari segi pemahaman doktrin Islam dan interpretasinya baik oleh kalangan Internal (para pemikir dan aktivis Islam) ataupun kalangan elit politik nasional (out sider), merupakan titik awal akan munculnya ketegangan antara kedua golongan itu baik dari kalangan pemikir dan aktivis Islam maupun dari elit politik nasional Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas adalah apakah negara bercorak “Islam “ atau “Nasionalis”?.
Konstruk kenegaraan yang pertama mengharuskan agar Islam, karena kenyataan bahwa agama itu dianut oleh sebagian besar penduduk, diakui dan diterima sebagai dasar ideologi negara. Tetapi atas pertimbangan bahwa Indonesia adalah negara yang secara sosial keagamaan bersifat majemuk, maka konstruk kenegaraan kedua menghendaki agar Indonesia di dasarkan atas Pancasila sebuah ideologi yang sudah di dekonfensionalisasi. Dalam konteks historis inilah dua kelompok yang saling bertentangan muncul dalam diskursus politik Indonesia : yaitu, kelompok Islam dan kelompok nasionalis.
Pada awalnya benturan antara kedua kelompok ini berlangsung disekitar masalah nasionalisme. Dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk mencapai kemerdekaan. Soekarno secara luas mendefinisikan nasionalisme sebagai “cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus untuk membaktikan diri dan mengabdi kepada tanah air, serta kesediaan untuk mengenyampingkan kepentingan-kepentingan golongan yang sempit. Dtempat lain ia menulis bahwa “nasionalisme adalah keyakinan, kesadaran dikalangan rakyat, bahwa mereka bersatu dalam satu kelompok, satu bangsa.
Ketika Mohammad Natsir melibatkan diri dalam perdebatan inilah maka perseteruan religio-ideologis antara kedua kelompok diatas menjadi semakin keras dan sistematis. Mereka tidak hanya terlibat dalam perdebatan religio-ideologis mengenai watak nasionalisme Indonesia, melainkan mengembangkannya ke dalam suatu tema yang lebih lebar, yaitu tentang apa yang dapat disebut sebagai Negara Indonesia merdeka dan modern yang dicita-citakan. Menurut Natsir, faham nasionalisme Soekarno bisa menjadi menjadi faham chauvinistic, ia mengkhawatirkan bergulirnya paham nasionalisme Soekarno menjadi sebuah bentuk ashabiyah baru. Yang pada akhirnya berujung kepada fanatisme. Bagi Natsir faham nasionalisme harus mempunyai sejenis landasan teologis. Natsir juga percaya, bahwa nasionalisme Indonesia harus bercorak Islami. Dalam pandangannya, Natsir berpendapat tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia itu tidak ada, karena Islam pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia.
Polemik yang terjadi diantara kedua tokoh ini, oleh Deliar Noer digambarkan sebagai dialog antara cita-cita Islam dan cita-cita barat. Dalam hal ini Natsir mewakili pandangan Islam dan Soekarno mewakili pandangan barat, karena Soekarno meskipun dengan alasan-alasan yang menurutnya berdasarkan ajaran-ajaran Islam tetapi sehaluan dengan golongan nasionalis yang menginginkan pemisahan agama dan negara.
Pengamat lain seperti Bachtiar Effendi berpendapat bahwa polemik yang terjadi antara Soekarno dan Natsir masih bersifat eksploratif. Sejak semula keduanya tidak bermaksud untuk merumuskan konsep-konsep yang siap pakai mengenai hubungan antara agama dan Negara. Namun keduanya juga bermaksud untuk menemukan titik temu (kalimatun sawa') diantara mereka. Keduanya hanya ingin menunjukan posisi-posisi ideologis politis masing-msaing. Akibatnya perdebatan-perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai perbedaan yang tampaknya tak terjembatani antara kedua kelompok yang bersebrangan.
Perjuangan Islam, Sebagai Dasar Ideologi Negara
Perebutan pengaruh politik antara Islam dan nasionalisme itu pada masa Jepang semakin ketat, karena Jepang memang lebih mengakomodasi dua kekuatan tersebut daripada kalangan pemimpin tradisional seperti priyayi, meskipun demikian Jepang tetap berhati-hati dalam memberikan kebebasan berpolitik kepada umat Islam Indonesia. Namun lambat laun cita-cita kelompok nasionalis mulai kelihatan semakin kuat dan cenderung mengalahkan cita-cita dari golongan Islam. Hal ini dibuktikan dengan pembentukan BPUPKI .
Pertarungan ideologis antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis baru berlangsung secara penuh dalam pertemuan BPUPKI, yang berlangsung akhir Mei hingga pertengahan Agustus. Seraya menegaskan kembali alur penalaran teologis dan sosiologis sebelumnya. Kelompok yang pertama menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi sebuah negara Islam, atau Islam harus menjadi dasar ideolog negara . Sedang kelompok kedua, mengusulkan dibentuknya sebuah negara kesatuan nasional, dimana masalah-masalah agama selain mendasarkan argumen mereka kepada kenyataan bahwa Islam tidak memiliki pandangan yang tegas dan utuh mengenai hubungan agama dan negara.
Dalam badan inilah Soekarno kemudian mencetuskan idenya tentang “Pancasila” . Dalam ide tersebut pemisahan agama dan negara sudah tampak jelas, pada beberapa bagian dari idenya tersebut, ia tetap bertahan pada konsepnya tentang demokrasi dan agama, yang mengatakan bahwa bila bersifat demokratis, berarti negara dan agama harus dipisahkan dan sebaliknya bila keduannya disatukan demokrasi akan tersingkir dari kehidupan bernegara.
Dalam membahas soal nasionalisme dan ketuhanan terjadilah hubungan antagonistik yang cukup serius antara nasionalis sekuler dengan kalangan pemimpin Islam. Ketegangan itu dapat di akhiri sementara, setelah kedua pihak menerima usulan masing-masing keinginan yang bersifat ideologis dan bersyarat. Selain itu secara kualitas anggota golongan Islam di bawah dari golongan-golongan nasionalis sekuler dan priyayi jawa. BPUPKI beranggotakan 68 Orang terdiri dari 8 Orang Jepang, 15 Orang golongan Islam, 45 Orang nasionalis sekuler dan priyayi jawa. 8 orang Jepang dapat terabaikan, sebab mereka tidak terlibat dalam pembicaraan, sementara golongan priyayi berpihak kepada golongan nasionalis sekuler. Ini jelas bahwa golongan Islam berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler yang tidak berimbang jumlah suaranya untuk membahas soal dasar negara.
Untuk mengatasi perbedaan ideologis ini, BPUPKI membentuk panitia kecil yang terdiri dari sembilan orang untuk mempelajari kedudukan Islam. Kelompok Islam diwakili oleh Abdul Kahar Muzakkir, Wachid Hasyim, Agus Salim dan Abikusno Tjokrosujoso, sedangkan kelompok Nasionalis diwakili juga oleh empat orang, yaitu Muh. Hatta, M. Yamin, Soebarjdo dan AA Maramis. Sedangkan seorang lagi bertindak sebagai ketua dan sekaligus sebagai penengah, yaitu Soekarno.
Panitia ini mencapai kompromi, yang kelak kita kenal dengan Piagam Jakarta. Ini merupakan mukaddimah pada konstitusi berdasarkan rumusan yang tampaknya disetujui semua anggotanya baik yang nasionalis maupun yang Islam. Dalam Piagam Jakarta ini, dimasukan prinsip-prinsip pancasila walaupun dengan rumusan yang berubah. Perbedaan penting adalah, pertama, urutan kelima dasar telah berubah, ketuhanan dalam konsep Soekarno diletakan dalam urutan kelima, kini menjadi yang pertama. Kedua, dalam Piagam Jakarta ini, selain ketuhanan menjadi sila pertama, juga ditambahkan tujuh kata berikut menjadi “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Namun, setelah melewati masa persidangan perubahan dari BPUPKI menjadi PPKI, akhirnya tujuh kata tersebut dirubah kembali menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” , untuk menengahi dan mencari jalan terbaik, Moh Hatta, berusaha meyakinkan wakil-wakil yang menyuarakan cita-cita Islam bahwa hanya dengan konsepsi tersebut yang mempunyai peluang untuk diterima oleh mayoritas rakyat. Kemudian selanjutnya dalam hal ini Hatta berpendapat bahwa dengan perubahan tersebut, peraturan dalam rangka syariat Islam yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan dalam rancangan UU di DPR, yang setelah diterima DPR mengikat umat Islam Indonesia.
Peristiwa diatas menunjukan bahwa secara kuantitas keanggotaan BPUPKI umat Islam –diwakili dolongan Islam—terkalahkan oleh golongan nasionalis sekuler. Begitu pula dengan dasar negara Pancasila tanpa menambah tujuh kata yang menjamin terhadap pelaksanaan syariat ajaran-ajaran Islam. Dalam Piagam Jakarta, ini merupakan kekalahan politik Islam. Sejak saat itulah kata Ainar Martahan Sitompul , hubungan antara agama dan Negara menjadi unik, dalam pengertian Indonesia bukan agama teokrasi tetapi juga bukan agama sekuler menurut sudut pandang ideologi.
Kondisi sekitar sidang BPUPKI dilukiskan oleh Dawam Rahardjo , bahwa perjalanan politik Islam pada dasawarsa 50-an basis-basis politik Islam sebenarnya keropos . alasan "kekeroposan" itu kata Dawam antara lain karena konstituen politik Islam gagal memberikan dukungan yang dioperlukan bagi terwujudnya sebuah tradisi pemerintahan yang kuat dan artikulasi pemikiran dan aktivisme politik yang lebih rasional dan integratif.
Pada alasan yang kedua dari Dawam di benarkan oleh Deliar Noer, menurutnya, mereka-golongan Islam- bukan tandingan Soekarno dan kawan-kawannya dalam berargumentasi secara filsafat. Realitas ini jelas suatu penurunan yang berarti. Hal ini perlu dikaitkan dengan semangat dibalik kekalahan atau kelemahan golongan Islam berdebat politis-ideologis di panggung konstitusi kenegaraan. Ini dapat ditelusuri pada suhu pollitik dan semangat perjuangan ideologis golongan Islam, yakni Islam dalam masa revolusi yang ditandai dengan terbentuknya beberapa partai Islam seperti Masyumi . Dengan demikian golongan Islam bukan "keropos" tapi "melemah" atau "terkalahkan". Kedua istilah tersebut diatas melemah dan terkalahkan mengandung perjuangan kilas balik. Artinya di balik kelemahan atau kekalahan itu mengandung semangat juang untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan Islam menuju lini ideologi kehidupan bernegara sekaligus berbangsa atas dasar syariat.
Kekalahan golongan Islam dengan dihapuskanya Piagam Jakartya membuat mereka bersatu dan inilah salah satu pencerminan komitmen solideritas berbasis nasib yang sama, yakni basis keagamaan. Komitmen inilah yang melahirkan partai politik yang dapat menjadi payung organisasi Islam saat itu. Pemikiran demikian berimplikasi terhadap konflik ideologis tentang dasar negara belum berakhir. Dan ternyata masalah ini mencuat kembali pada perdebatan konstituante pada hasil pemilu 1955. Dalam pandangan Bachtiar, tema-tema politik Islam lebih bergulir pada tataran Ideologi dan simbol—sesuatu yang mencapai klimaksnya pada perdebatan dalam konstituante pada paruh kedua dasawarsa 50-an—ketimbang substansi.
Wacana Islam dalam Masa Konstituante
Selama hampir dari lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, tidak ada hambatan serius yang menghalangi hubungan politik antara arus utama pemimpin dan aktivis Islam dengan kelompok nasionalis. Perdebatan-perdebatan diantara mereka mengenai corak hubungan antara Islam dan negara dihentikan. Mereka paling tidak untuk sementara, bersedia melupakan perbedaan ideologis diantara mereka. Dan tidak diragukan lagi pada masa itu para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru berdiri dan mencegah Belanda untuk kembali berkuasa.
Meskipun tidak ada benturan disana-sini, kedua kelompok diatas- Islam dan Nasionalis-mampu mengembangkan hubungan politik relatif harmonis diantara mereka. Kelompok Nasionalis dipimpin oleh Soekarno tetap memegang kemudi kepemimpinan. Sementara itu menyusul diserahkannya kekuasaan Indonesia pada Desember 1949, kelompok Islam perlahan mulai memperlihatkan kekuatannya yang besar dalam diskursus politik nasional. Dengan Masyumi, yang dibentuk pada November 1945, sebagai wakil politik mereka satu-satunya. Kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang besar.
Untuk alasan itu maka Syahrir (pemimpin PSII) memperkirakan bahwa jika pemilihan umum diselenggarakan, maka Masyumi- yang saat itu merupakan gabungan dari kalangan muslim modern (muhammadiyah) yang mempunyai basis anggota di perkotaan dan ortodoks (NU) yang jumlah anggotanya lebih besar dikalangan pedesaan- akan memperoleh 80% suara.
Sejak itu konfigurasi politik Indonesia terbagi menjadi tiga Ideologi besar yang dimotori oleh partai-partai politik yang semakin bermunculan pada waktu itu. Partai-partai tersebut terbagi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kekuatan besar, yaitu; kekuatan politik dengan ideologi Islam, yang diwakili olek Masyumi (berdiri 7 November 1945), PSII (1947), PERTI dan NU (1952), sedangkan ideologi Nasionalis (sekuler) diwakili oleh PNI dan ideologi Marxis-Sosialis diwakili oleh Partai Sosialis (1945), PKI (1945), Partai Buruh Indonesia (1945) dan Persindo, serta partai-partai lainya yang dapat dikategorikan kedalam mainstream ideologis di atas.
Menjelang pemilu, pertarungan ideologi pun semakin meruncing. Ideologi politik yang paling besar dan berpengaruh ketika itu adalah Islam,
Nasionalisme, dan Komunisme.
Dalam masa krisis ini perjuangan partai politik Islam berakhir dari praktis ke perjuangan ideologis dalam majelis konstituante. Dalam majelis ini partai-partai Islam meraih 230 kursi, sedangkan partai-partai lainnya (Nasionalis, Protestan, Katolik, Sosialis, Komunis) mendapat 286 kursi. Dengan demikian perimbangan antara kedua kelompok tersebut, sekali lagi 4 : 5. Karena parpol Islam hanya meraih 230 kursi (45 %), menurut UUDS 50, bahwa penetapan UUD baru harus didukung dua pertiga konstituante yang hadir, maka tidak mungkin para politisi Islam dapat men-goal-kan ideologi Islam sebagai dasar Negara kecuali ada dukungan partai politik lainnya. Faktanya, pihak Islam tidak terwakili secara layak, baik dalam badan penyelidik (25 %) maupun dalam panitia persiapan (12 %), hanya dalam panitia sembilan yang merumuskan piagam Jakarta kelompok Islam terwakili secara memadai (44 %).
Untuk mengikuti perdebatan tentang dasar negara dalam parlemen konstituante ini, beberapa peristiwa penting dalam masa 1950-1955 harus kita perhatikan .Pertama, dalam masa-masa itu parlemen konstituante memang menghadapi masalah-masalah berat dalam melaksanakan tugasnya krena beragamnya aliran-aliran politik di dalam tubuh majelis itu. kedua, Pertikaian
antar militer, pergolakan daerah melawan pusat, dan ekonomi yang semrawut tetap membuat masa depan tampak suram. Akhirnya kesepakatan-kesepakatan mengenai bagaimana merumuskan batang tubuh konstitusi lebih mudah dicapai dibandingkan dengan usaha untuk mencapai kesepakatan mengenai dasar negara.
Majelis konstituante bersidang dari bulan November 1956 sampai juni 1959, masalah-masalah yang dibicarakan, dalam majelis ini meliputi masalah –masalah bentuk Negara, bahasa, bendera, hak-hak asasi manusia, Dasar Negara dan lain-lain isu konstitusional yang relevan. Selain masalah dasar negara , di mana seluruh kekuatan partai Islam bersatu menghadapinya, majelis konstituante tidak menerima kesulitan yang berarti dalam menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, bahkan sudah mencapai 90 % dari tugas-tugas itu dirampungkan.
Yang paling alot memang adalah perdebatan tentang msalah dasar Negara, konstituante dihadapkan pada tiga pilihan yang mewakili tiga kelompok kepentingan, apakah menjadikan pancasila sebagai dasar negara, ataukah Islam seperti yang di perjuangkan kelompok Islam, atau mungkin menjadikan ideologi sosial ekonomi sebagai dasar negara Indonesia, persoalannya menjadi sangat pelik ketika ketiga kelompok tersebut telah mengeluarkan argumennya dan pendukungnya masing-masing.
Di pentas politik praktis dengan segala keuntungan jangka pendeknya yang mungkin dijanjikan, partai-partai Islam mungkin saja bersatu atau lebih sering bersaing satu sama lain . politik praktis menawarkan kedudukan dan kekuasaan yang ada kalanya sangat menggiurkan. Tidak demikian halnya dengan iklim yang meliputi siding-sidang parlemen konstituante, dalam parlemen ini, suasana panas lebih di sebabkan kesungguhan mempertahankan pendirian politik yang diyakininya, lebih-lebih sewaktu membicarakan masalah dasar Negara. Kekuatan politik Islam dalam siding-sidang parlemen seakan melupakan persaingan mereka dipentas politik praktis. Oleh karena itu , tanpa adanya usaha kompromi antara para pendukung dasar Pancasila dan para pendukung dasar Islam, telah dapat diduga sejak awal bahwa kemungkinan besar Konstituante tidak akan berhasil mengambil keputusan mengenai dasar negara.
Dalam masa-masa ini usaha-usaha untuk kompromi memang telah diperlihatkan sejak awal dimulainya perdebatan tentang dasar negara pada pertengahan tahun 1957, setelah semua pihak diberikan kesempatan seluas-luasnya mengemukakan argumentasi mengapa mereka mengajukan pancasila atau Islam sebagai landasan negara. Maka konstituante akhirnya membentuk panitia Perumus dasar Negara yang terdiri atas 18 orang mewakili 1957, panitia ini menyampaikan rancangan rumusan kompromi mengenai dasar Negara kepada siding paripurna konstituante, rumusan ini antara lain mengatakan :
"Jalan kompromi (tentang dasar negara) dapat ditempuh dengan mengumpulkan segala sila (dalam pancasila) yang dapat dipertanggungjawabkan. Dapat ditetapkan, agama yang dianut oleh jumlah rakyat yang mutlak terbanyak menjadi agama resmi negara...."
Mengenai dasar Negara pertama yang menjadi bahan perdebatan sengit antara pendukung dasar Islam dan dasar Pancasila. Rumusan kompromi itu mengatakan :
Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat yang sosialistis yang ber-Tuhan Yang Maha Esa dengan pengertian bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata dengan dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menurut Islam, Kristen, Katolik, dan lain-lain agama yang berada di tanah air kita.
Dasar negara selanjutnya ialah : persatuan bangsa yang diwujudkan dengan sifat-sifat gotong royong, perikemanusiaan, kebangsaan, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Tokoh-tokoh golongan Islam pada umumnya dapat menerima rumusan kompromi itu dan menganggapnya sebagai itikad baik bersama menyelesaikan masalah besar yang dihadapi oleh konstituante. Rumusan kompromi itu memang belum disahkan oleh sidang paripurna konstituante karena semua pihak bersepakat untuk menunda dahulu pembicaraan mengenai dasar negara sambil menyelesaikan materi pasal-pasal dalam batang tubuh konstitusi.
Ketika konstituante memasuki sidang tahun terakhir tanggal 24 April 1959, masih tersedia waktu sekitar delapan bulan bagi majelis untuk menyelesaikan pekerjaannya. Banyak pengamat, termasuk tokoh-tokoh partai merasa optimis dalam sisa waktu itu Konstituante akan berhasil menyelesaikan tugasnya dengan semakin banyaktitik-titik temu diantara berbagai pandangan mengenai soal-soal penting dalam perumusan materi-materi konstitusi. Tetapi suatu inisiatif yang dating dari luar majelis Konstituante akhirnya membuat majelis terbelah menjadi dea kubu yang saling berlawanan. Inisiatif dari luar itu datang dari Presiden Soekarno, Dewan Menteri Pimpinan Perdana Menteri Djuanda, dan Kalangan TNI Angkatan Darat yang dipimpin oleh Mayjen A.H. Nasution.
Presiden Soekarno, sejak awal tahun 1957 telah gencar mengkampanyekan gagasannya untuk menerapkan "Demokrasi Terpimpin" yang dianggapnya merupakan demokrasi timur yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa. Presiden Soekarno tampaknya kurang puas dengan perkembangan demokrasi di Indonesia kala itu, yang dinilainya bercorak liberal dan sering menimbulkan gontok-gontokan antara partai yang bersaing. Dengan bubarnya kabinet Ali II, maka Presiden Soekarno menerapkan gagasan Demokrasi Terpimpin itu. Beberapa bulan kemudian Soekarno berhasil melahirkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang menandai berakhirnya era parlemen Konstituante.
Demikianlah akhrnya perdebatan tentang masalah dasar negara itu di selesaikan diluar Parlemen, yaitu dengan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959 dengan mengukuhkan pancasila sebagai dasar Negara bersama dengan menetapkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante, tetapi dengan konsiderasi bahwa piagam Jakarta menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Endang S. Anshori, bahwa pembubaran konstituante lebih banyak disebabkan karena koalisi antara ABRI dengan Soekarno yang merasa kepentingan politiknya terancam jika demokrasi parlementer terus menerus diterapkan.
Islam Substansialistik : Format Hubungan Ideal Islam dan Negara
Deskripsi perjalanan historis diatas, secara tegas menunjukan bahwa suhu politik yang tertampung dalam majelis konstituante tidak dapat mendinginkan pertarungan cita-cita ideologis antara golongan Islam dengan golongan nasionalis, yang keduanya memang sudah lama bersitegang. Hal ini menunjukan bahwa sampai dengan saat itu hubungan Islam dan Negara tidak pernah bersentuhan. Lalu, jenis Islam manakah yang dapat menjamin terbinanya hubungan yang baik antara Islam dan Negara bangsa di Indonesia?
Hasil diskursus politik masa konstituante, seperti dianalisis oleh Bachtiar Effendi, menunjukan bahwa pemikiran dan praktek politik Islam masa lalu mengalami kesenjangan yang tidak terjembatani dengan ide-ide politik kalangan nasionalis. Padahal kalangan nasionalis ini sebagian terdiri dari orang-orang muslim yang taat, mereka tidak mendukung gagasan politik yang ingin menghubungkan Islam dengan negara secara formalistik dan legalistik.
Tuntutan ideologis tentang perjuangan dasar negara Islam pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia hingga –paling tidak dasawarsa 1950-an, memang logis dan wajar, sebab kondisi politik membuka peluang untuk berkompetisi secara aktif baik bagi golongan Islam maupun golongan nasionalisme. Dasar utama landasan perjuangan Islam harus memahami secara formalistik dan legalistik, sebab Islam adalah agama sekaligus sistem politik. Oleh sebab itu, jika Islam dipaksakan sebagai agama yang bersifat substansialistik pada masa itu, berarti Islam hanya bersentuhan dengan nilai-nilai ajarannya saja. Padahal negara yang baru terbentuk dan masih mencari format dasar negara maka suatu keniscayaan Islam harus dipikirkan dan di praktekan dalam tataran ideologis dan simbolis.
Oleh sebab itu, tawaran Bachtiar Effendi tersebut memunculkan pemikiran baru Islam untuk menciptakan sebuah sintesa Islam dan Negara yang secara sosiologis garis keagamaan sesuai. Sejauh ini upaya-upaya tersebut dilakukan dengan cara mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan dan aktifitas politik yang dianggap sesuai dengan situasi sosial keagamaan masyarakat Indonesia.
Penutup
Islam sebagai agama doktrin yang bersifat holistik dalam tingkat pemahaman telah menimbulkan keragaman interpretasi. Karena itu, ketika Islam berhadapan dengan negara terutama dalam masalah yang bersifat ideologis, Islam perlu bersifat transformatif dan akomodatif. Satu sisi Islam bertindak sebagai pemersatu bangsa dan negara, dan di sisi lain Islam sebagai kekuatan utama penopang negara.
Pengalaman sejarah perjuangan Islam Indonesia -terutama pada masa konstituante- membuktikan pada kita bahwa Islam seharusnya di tempatkan pada posisi yang mendukung terhadap keberadaan negara, Islam tidak harus di pahami dan di paksakan sebagai agama sekaligus sistem politik, hubungan antagonistik antara Islam dan negara tampaknya tidak akan terwujud apabila Islam dan negara dibawah tataran ideologis-simbolistis, formalistik-legalistik dan diposisikan tidak sesuai dengan wilayah keagamaan dan wilayah kenegaraan, apalagi mengabaikan hubungan yang akomodatif.
Pandangan mengenai Islam yang legalistik formalistik tampaknya memancing munculnya ketegangan–ketegangan dalam sebuah masyarakat yang secara sosial keagamaan dan kultural bersifat heterogen. Pada sisi lain apa yang disebut sebagai Islam yang substansialistik –yakni mendahulukan keadilan, kesamaan, partisipasi dan mussyawarah- dapat memberi landasan yang penting bagi pengembangan sintesis yang sesuai antara Islam dan negara, dalam rangka membentuk kembali hubungan politik antara keduanya. Wallahua’lam
Daftar Pustaka
Anshari , Endang. S, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta : Penerbit Gema Insani Press, 1997.
Effendi, Bachtiar, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998.
Kahin, George Mc Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia : Refleksi PergumulanLahirnya Republik, UNS Press, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia : Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta : Penerbit Gema Insani Press, 1996.
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Islam dan Masalah Keagamaan, Study Tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta : LP3ES, 1987.
_______ , Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung : Penerbit Mizan, 1993.
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1970, Jakarta : Grafiti Press, 1987
________ , Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 , Jakarta : LP3ES, 1980.
________ , Permikiran Politik di Negeri Barat, Bandung : Mizan, 2001
Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik, Cet. II, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 1997
Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990.
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta : Gema Insani Press, 1996
Yatim, Badri, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
Untuk mengikuti perdebatan tentang dasar negara dalam parlemen konstituante ini, beberapa peristiwa penting dalam masa 1950-1955 harus kita perhatikan .Pertama, dalam masa-masa itu parlemen konstituante memang menghadapi masalah-masalah berat dalam melaksanakan tugasnya krena beragamnya aliran-aliran politik di dalam tubuh majelis itu. kedua, Pertikaian
antar militer, pergolakan daerah melawan pusat, dan ekonomi yang semrawut tetap membuat masa depan tampak suram. Akhirnya kesepakatan-kesepakatan mengenai bagaimana merumuskan batang tubuh konstitusi lebih mudah dicapai dibandingkan dengan usaha untuk mencapai kesepakatan mengenai dasar negara.
Majelis konstituante bersidang dari bulan November 1956 sampai juni 1959, masalah-masalah yang dibicarakan, dalam majelis ini meliputi masalah –masalah bentuk Negara, bahasa, bendera, hak-hak asasi manusia, Dasar Negara dan lain-lain isu konstitusional yang relevan. Selain masalah dasar negara , di mana seluruh kekuatan partai Islam bersatu menghadapinya, majelis konstituante tidak menerima kesulitan yang berarti dalam menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, bahkan sudah mencapai 90 % dari tugas-tugas itu dirampungkan.
Yang paling alot memang adalah perdebatan tentang msalah dasar Negara, konstituante dihadapkan pada tiga pilihan yang mewakili tiga kelompok kepentingan, apakah menjadikan pancasila sebagai dasar negara, ataukah Islam seperti yang di perjuangkan kelompok Islam, atau mungkin menjadikan ideologi sosial ekonomi sebagai dasar negara Indonesia, persoalannya menjadi sangat pelik ketika ketiga kelompok tersebut telah mengeluarkan argumennya dan pendukungnya masing-masing.
Di pentas politik praktis dengan segala keuntungan jangka pendeknya yang mungkin dijanjikan, partai-partai Islam mungkin saja bersatu atau lebih sering bersaing satu sama lain . politik praktis menawarkan kedudukan dan kekuasaan yang ada kalanya sangat menggiurkan. Tidak demikian halnya dengan iklim yang meliputi siding-sidang parlemen konstituante, dalam parlemen ini, suasana panas lebih di sebabkan kesungguhan mempertahankan pendirian politik yang diyakininya, lebih-lebih sewaktu membicarakan masalah dasar Negara. Kekuatan politik Islam dalam siding-sidang parlemen seakan melupakan persaingan mereka dipentas politik praktis. Oleh karena itu , tanpa adanya usaha kompromi antara para pendukung dasar Pancasila dan para pendukung dasar Islam, telah dapat diduga sejak awal bahwa kemungkinan besar Konstituante tidak akan berhasil mengambil keputusan mengenai dasar negara.
Dalam masa-masa ini usaha-usaha untuk kompromi memang telah diperlihatkan sejak awal dimulainya perdebatan tentang dasar negara pada pertengahan tahun 1957, setelah semua pihak diberikan kesempatan seluas-luasnya mengemukakan argumentasi mengapa mereka mengajukan pancasila atau Islam sebagai landasan negara. Maka konstituante akhirnya membentuk panitia Perumus dasar Negara yang terdiri atas 18 orang mewakili 1957, panitia ini menyampaikan rancangan rumusan kompromi mengenai dasar Negara kepada siding paripurna konstituante, rumusan ini antara lain mengatakan :
"Jalan kompromi (tentang dasar negara) dapat ditempuh dengan mengumpulkan segala sila (dalam pancasila) yang dapat dipertanggungjawabkan. Dapat ditetapkan, agama yang dianut oleh jumlah rakyat yang mutlak terbanyak menjadi agama resmi negara...."
Mengenai dasar Negara pertama yang menjadi bahan perdebatan sengit antara pendukung dasar Islam dan dasar Pancasila. Rumusan kompromi itu mengatakan :
Negara Republik Indonesia berdasarkan atas kehendak menyusun masyarakat yang sosialistis yang ber-Tuhan Yang Maha Esa dengan pengertian bahwa akan terjaminlah keadilan sosial yang wajar dan kemakmuran yang merata dengan dirahmati oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang menurut Islam, Kristen, Katolik, dan lain-lain agama yang berada di tanah air kita.
Dasar negara selanjutnya ialah : persatuan bangsa yang diwujudkan dengan sifat-sifat gotong royong, perikemanusiaan, kebangsaan, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Tokoh-tokoh golongan Islam pada umumnya dapat menerima rumusan kompromi itu dan menganggapnya sebagai itikad baik bersama menyelesaikan masalah besar yang dihadapi oleh konstituante. Rumusan kompromi itu memang belum disahkan oleh sidang paripurna konstituante karena semua pihak bersepakat untuk menunda dahulu pembicaraan mengenai dasar negara sambil menyelesaikan materi pasal-pasal dalam batang tubuh konstitusi.
Ketika konstituante memasuki sidang tahun terakhir tanggal 24 April 1959, masih tersedia waktu sekitar delapan bulan bagi majelis untuk menyelesaikan pekerjaannya. Banyak pengamat, termasuk tokoh-tokoh partai merasa optimis dalam sisa waktu itu Konstituante akan berhasil menyelesaikan tugasnya dengan semakin banyaktitik-titik temu diantara berbagai pandangan mengenai soal-soal penting dalam perumusan materi-materi konstitusi. Tetapi suatu inisiatif yang dating dari luar majelis Konstituante akhirnya membuat majelis terbelah menjadi dea kubu yang saling berlawanan. Inisiatif dari luar itu datang dari Presiden Soekarno, Dewan Menteri Pimpinan Perdana Menteri Djuanda, dan Kalangan TNI Angkatan Darat yang dipimpin oleh Mayjen A.H. Nasution.
Presiden Soekarno, sejak awal tahun 1957 telah gencar mengkampanyekan gagasannya untuk menerapkan "Demokrasi Terpimpin" yang dianggapnya merupakan demokrasi timur yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa. Presiden Soekarno tampaknya kurang puas dengan perkembangan demokrasi di Indonesia kala itu, yang dinilainya bercorak liberal dan sering menimbulkan gontok-gontokan antara partai yang bersaing. Dengan bubarnya kabinet Ali II, maka Presiden Soekarno menerapkan gagasan Demokrasi Terpimpin itu. Beberapa bulan kemudian Soekarno berhasil melahirkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, yang menandai berakhirnya era parlemen Konstituante.
Demikianlah akhrnya perdebatan tentang masalah dasar negara itu di selesaikan diluar Parlemen, yaitu dengan Dekrit Presiden tertanggal 5 Juli 1959 dengan mengukuhkan pancasila sebagai dasar Negara bersama dengan menetapkan kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante, tetapi dengan konsiderasi bahwa piagam Jakarta menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Endang S. Anshori, bahwa pembubaran konstituante lebih banyak disebabkan karena koalisi antara ABRI dengan Soekarno yang merasa kepentingan politiknya terancam jika demokrasi parlementer terus menerus diterapkan.
Islam Substansialistik : Format Hubungan Ideal Islam dan Negara
Deskripsi perjalanan historis diatas, secara tegas menunjukan bahwa suhu politik yang tertampung dalam majelis konstituante tidak dapat mendinginkan pertarungan cita-cita ideologis antara golongan Islam dengan golongan nasionalis, yang keduanya memang sudah lama bersitegang. Hal ini menunjukan bahwa sampai dengan saat itu hubungan Islam dan Negara tidak pernah bersentuhan. Lalu, jenis Islam manakah yang dapat menjamin terbinanya hubungan yang baik antara Islam dan Negara bangsa di Indonesia?
Hasil diskursus politik masa konstituante, seperti dianalisis oleh Bachtiar Effendi, menunjukan bahwa pemikiran dan praktek politik Islam masa lalu mengalami kesenjangan yang tidak terjembatani dengan ide-ide politik kalangan nasionalis. Padahal kalangan nasionalis ini sebagian terdiri dari orang-orang muslim yang taat, mereka tidak mendukung gagasan politik yang ingin menghubungkan Islam dengan negara secara formalistik dan legalistik.
Tuntutan ideologis tentang perjuangan dasar negara Islam pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia hingga –paling tidak dasawarsa 1950-an, memang logis dan wajar, sebab kondisi politik membuka peluang untuk berkompetisi secara aktif baik bagi golongan Islam maupun golongan nasionalisme. Dasar utama landasan perjuangan Islam harus memahami secara formalistik dan legalistik, sebab Islam adalah agama sekaligus sistem politik. Oleh sebab itu, jika Islam dipaksakan sebagai agama yang bersifat substansialistik pada masa itu, berarti Islam hanya bersentuhan dengan nilai-nilai ajarannya saja. Padahal negara yang baru terbentuk dan masih mencari format dasar negara maka suatu keniscayaan Islam harus dipikirkan dan di praktekan dalam tataran ideologis dan simbolis.
Oleh sebab itu, tawaran Bachtiar Effendi tersebut memunculkan pemikiran baru Islam untuk menciptakan sebuah sintesa Islam dan Negara yang secara sosiologis garis keagamaan sesuai. Sejauh ini upaya-upaya tersebut dilakukan dengan cara mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaan dan aktifitas politik yang dianggap sesuai dengan situasi sosial keagamaan masyarakat Indonesia.
Penutup
Islam sebagai agama doktrin yang bersifat holistik dalam tingkat pemahaman telah menimbulkan keragaman interpretasi. Karena itu, ketika Islam berhadapan dengan negara terutama dalam masalah yang bersifat ideologis, Islam perlu bersifat transformatif dan akomodatif. Satu sisi Islam bertindak sebagai pemersatu bangsa dan negara, dan di sisi lain Islam sebagai kekuatan utama penopang negara.
Pengalaman sejarah perjuangan Islam Indonesia -terutama pada masa konstituante- membuktikan pada kita bahwa Islam seharusnya di tempatkan pada posisi yang mendukung terhadap keberadaan negara, Islam tidak harus di pahami dan di paksakan sebagai agama sekaligus sistem politik, hubungan antagonistik antara Islam dan negara tampaknya tidak akan terwujud apabila Islam dan negara dibawah tataran ideologis-simbolistis, formalistik-legalistik dan diposisikan tidak sesuai dengan wilayah keagamaan dan wilayah kenegaraan, apalagi mengabaikan hubungan yang akomodatif.
Pandangan mengenai Islam yang legalistik formalistik tampaknya memancing munculnya ketegangan–ketegangan dalam sebuah masyarakat yang secara sosial keagamaan dan kultural bersifat heterogen. Pada sisi lain apa yang disebut sebagai Islam yang substansialistik –yakni mendahulukan keadilan, kesamaan, partisipasi dan mussyawarah- dapat memberi landasan yang penting bagi pengembangan sintesis yang sesuai antara Islam dan negara, dalam rangka membentuk kembali hubungan politik antara keduanya. Wallahua’lam
Daftar Pustaka
Anshari , Endang. S, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta : Penerbit Gema Insani Press, 1997.
Effendi, Bachtiar, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998.
Kahin, George Mc Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia : Refleksi PergumulanLahirnya Republik, UNS Press, 1995.
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia : Kompilasi Aktual Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta : Penerbit Gema Insani Press, 1996.
Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Islam dan Masalah Keagamaan, Study Tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta : LP3ES, 1987.
_______ , Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung : Penerbit Mizan, 1993.
Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1970, Jakarta : Grafiti Press, 1987
________ , Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 , Jakarta : LP3ES, 1980.
________ , Permikiran Politik di Negeri Barat, Bandung : Mizan, 2001
Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik, Cet. II, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 1997
Sjadzali, Munawir., Islam dan Tata Negara : Ajaran, sejarah dan Pemikiran, Jakarta :Universitas Indonesia Press, 1990.
Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta : Gema Insani Press, 1996
Yatim, Badri, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.
No comments:
Post a Comment