Judul Buku : Pergumulan Tak Kunjung Usai : Islam dan Negara Bangsa Di Indonesia
Editor : M. Zaenal Anwar dan A. Saifudin
Penulis : Akhmad Satori, Abu Bakar, M.Siddik Purnomo, Miski, M.Zaenal Anwar, A.Saifudin. Sulaiman Kurdi, Faisal Shadik dan Zusianna Elly T.
Penerbit : Politeia Press Yogyakarta (2007)
Tebal : xxii + 300 hlm : 14.5 x 21 cm
ISBN : 979-81384-7-3
Kala Islam Bersua Negara-Bangsa; Sebuah Pergulatan
Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia, yang menjadi tema besar dalam buku ini, merupakan diskursus yang tak kunjung habis. Dalam konteks ini, Islam bisa dilihat sebagai organisasi atau gerakan Islam hingga individu muslim. Mulai dari zaman pergerakan hingga sekarang, tema tersebut menyita perhatian khayak ramai. Mengapa? Ibarat dongeng, ia tak pernah habis untuk dikupas, digali dan dikaji. Pun secara turun temurun dari generasi ke generasi, ia selalu menyisakan wacana, perdebatan dan ketegangan yang "asyik" dinikmati dan diteliti.
Harus diakui, perjumpaaan Islam dan wacana Negara-Bangsa (Nation-State) berjalan penuh liku. Azyumardi Azra (1996) menulis, ketegangan Islam dan Negara-Bangsa dalam ruang politik modern kenegaraan modern merupakan salah satu dampak terbesar penetrasi Barat ke dunia Islam. Konsep nation-state dianggap a-historis bagi sebagian masyarakat muslim yang menolaknya.
Menariknya, ketegangan (tension) ini hampir menjadi "lagu wajib" ketika Islam bersua wacana-wacana yang berkembang seputar negara-bangsa. Di satu sisi, kalangan Islam melihat negara dengan penuh kecurigaan dan penuh tipu daya. Di sisi lain, pihak negara memandang golongan Islam sebagai pesaing potensial yang bisa merombak tatanan (baca: struktur) politik yang telah ada.
Turki merupakan fenomena yang unik. Dengan latar belakangnya sebagai wilayah yang menjadi bagian penting dalam sejarah peradaban Islam dan sekaligus "benteng terakhir" khilafah Islam, Turki justru memproklamirkan berdirinya Republik Turki. Dengan kata lain, ia telah berubah dari sistem khilafah menjadi negara-bangsa.
Apa yang terjadi di Turki tesebut, boleh jadi merembet ke Indonesia. Ketegangan ini bisa dinikmati, misalnya, ketika parlemen bersidang pada tahun 1956-1959. Perdebatan tentang negara Islam pada sidang konstituante saat itu menghadirkan suasana mencekam hampir sepanjang berlangsung persidangan, terutama terkait dasar negara yang akan dipakai, apakah Islam atau Pancasila.
Tak habis sampai disitu, ketika Soeharto dengan Orde Baru-nya hendak mempertegas hegemoninya terhadap masyarakat sipil pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, ketegangan tersebut kembali menyeruak. Aktor utamanya bernama NU. Temanya kali ini adalah tentang keharusan Pancasila sebagai asas semua organisasi di Indonesia. Sontak, hal ini menuai protes keras, terutatama yang dilakukan politisi NU di parlemen. Diawali dari sikap walk out (suatu prilaku yang "diharamkan" pada waktu Orde Baru) oleh para politisi NU di parlemen, hingga akhirnya NU memilih jalan kompromi dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Ironinya, upaya sakralisasi ideologi Pancasila sebagai asas tunggal "memakan" korban manusia yang tidak sedikit. Boleh jadi, pemaksaan asas tunggal di aras lokal bisa diwakili oleh tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984. Upaya masyarakat untuk "menawar" ideologi Pancasila membuahkan hasil stigmatisasi gerakan pengacau keamanan (GPK) hingga anggota PKI pada mereka yang mencoba menolak Pancasila sebagai satu-satunya ideologi.
Ketegangan Islam dan negara-bangsa ini disinyalir telah hadir cukup lama di Indonesia. Jika ditelusuri lebih jauh, pergumulan ini bisa dilihat sejak zaman pergerakan dengan munculnya organisasi Sarekat Islam (SI), pertentangan golongan Islam dan Komunis pada era Soekarno, hingga perjuangan Kartosuwiryo yang hendak mendirikan negara Islam.
Dalam konteks sekarang, ketegangan ini boleh jadi diwakili "kelompok radikal" seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Yang paling hangat tentu kasus terorisme yang sering disematkan kepada orang-orang macam Amrozi cs. Tak ketinggalan, dan boleh jadi ini menjadi kisah bawah tanah, ketegangan yang merembet di tingkat lembaga Depag dan IAIN dengan aktor utamanya NU-Muhammadiyah. Ketegangan ini lebih dipicu soal perebutan hegemoni kuasa dalam lembaga negara dan institusi pendidikan tinggi.
Ketegangan-ketegangan inilah yang dipotret penulis buku ini. Beberapa ketegangan, misalnya soal sikap muslim terhadap komunisme atau wacana penegakan negara Islam, bahkan masih berlangsung hingga sekarang. Baik dalam skala kecil atau besar, ketegangan ini pun menjadi sebuah pergumulan yang terus berlangsung seiring dinamika sosial-politik masyarakat. Yang penting, bagaimana pergumulan ini didorong untuk memberikan manfaat bagi masyarakat, misalnya dengan menjadikan ketegangan tadi sebagai bagian dari perdebatan ilmiah. Tidak justru membuat masyarakat menjadi "korban" dari ketegangan tadi.
Last but not least, kami mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan sumbangan pada buku ini. Komunitas mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dengan konsentrasi studi ilmu politik dan ilmu pemerintahan dalam Islam angkatan 2005/2006 telah mencurahkan banyak waktu untuk menulis tema-tema yang tersaji dalam buku ini ketika mengikuti kuliah Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia. Para penyumbang tulisan ini, mayoritas adalah mereka yang mengikuti kuliah tersebut.
Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Musa Asy'arie dan Dr. A. Yani Anshori yang telah menjadi "pintu pembuka" dengan memberi pengantar yang menarik dalam kuliah tersebut. Untuk yang terakhir, kami mengucapkan terima kasih karena telah bersedia memberi kata pengantar.
Kami menyadari, tidak mencapai sesuatu yang ideal ditengah keterbatasan literatur yang ada. Namun kami berharap, sidang pembaca bisa memahami bahwa para penyumbang tulisan ini telah berusaha untuk mengatasi keterbatasan tersebut dan bekerja dibawah tekanan. Kami juga mafhum, persoalan yang tersaji dalam buku ini hanya buih kecil diantara luasnya gelombang lautan. Masih banyak hal yang mungkin belum terungkap. Di masa mendatang, kami berharap bisa memunculkan buih-buih kecil itu hingga menjadi satu gelombang.
Akhirnya, kami berharap apa yang tersaji dalam buku ini bisa memberikan manfaat dan kontribusi dalam wacana Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia. Semoga, buku ini juga menjadi "gizi" yang menambah kecerdasan kita.
Editor : M. Zaenal Anwar dan A. Saifudin
Penulis : Akhmad Satori, Abu Bakar, M.Siddik Purnomo, Miski, M.Zaenal Anwar, A.Saifudin. Sulaiman Kurdi, Faisal Shadik dan Zusianna Elly T.
Penerbit : Politeia Press Yogyakarta (2007)
Tebal : xxii + 300 hlm : 14.5 x 21 cm
ISBN : 979-81384-7-3
Kala Islam Bersua Negara-Bangsa; Sebuah Pergulatan
Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia, yang menjadi tema besar dalam buku ini, merupakan diskursus yang tak kunjung habis. Dalam konteks ini, Islam bisa dilihat sebagai organisasi atau gerakan Islam hingga individu muslim. Mulai dari zaman pergerakan hingga sekarang, tema tersebut menyita perhatian khayak ramai. Mengapa? Ibarat dongeng, ia tak pernah habis untuk dikupas, digali dan dikaji. Pun secara turun temurun dari generasi ke generasi, ia selalu menyisakan wacana, perdebatan dan ketegangan yang "asyik" dinikmati dan diteliti.
Harus diakui, perjumpaaan Islam dan wacana Negara-Bangsa (Nation-State) berjalan penuh liku. Azyumardi Azra (1996) menulis, ketegangan Islam dan Negara-Bangsa dalam ruang politik modern kenegaraan modern merupakan salah satu dampak terbesar penetrasi Barat ke dunia Islam. Konsep nation-state dianggap a-historis bagi sebagian masyarakat muslim yang menolaknya.
Menariknya, ketegangan (tension) ini hampir menjadi "lagu wajib" ketika Islam bersua wacana-wacana yang berkembang seputar negara-bangsa. Di satu sisi, kalangan Islam melihat negara dengan penuh kecurigaan dan penuh tipu daya. Di sisi lain, pihak negara memandang golongan Islam sebagai pesaing potensial yang bisa merombak tatanan (baca: struktur) politik yang telah ada.
Turki merupakan fenomena yang unik. Dengan latar belakangnya sebagai wilayah yang menjadi bagian penting dalam sejarah peradaban Islam dan sekaligus "benteng terakhir" khilafah Islam, Turki justru memproklamirkan berdirinya Republik Turki. Dengan kata lain, ia telah berubah dari sistem khilafah menjadi negara-bangsa.
Apa yang terjadi di Turki tesebut, boleh jadi merembet ke Indonesia. Ketegangan ini bisa dinikmati, misalnya, ketika parlemen bersidang pada tahun 1956-1959. Perdebatan tentang negara Islam pada sidang konstituante saat itu menghadirkan suasana mencekam hampir sepanjang berlangsung persidangan, terutama terkait dasar negara yang akan dipakai, apakah Islam atau Pancasila.
Tak habis sampai disitu, ketika Soeharto dengan Orde Baru-nya hendak mempertegas hegemoninya terhadap masyarakat sipil pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, ketegangan tersebut kembali menyeruak. Aktor utamanya bernama NU. Temanya kali ini adalah tentang keharusan Pancasila sebagai asas semua organisasi di Indonesia. Sontak, hal ini menuai protes keras, terutatama yang dilakukan politisi NU di parlemen. Diawali dari sikap walk out (suatu prilaku yang "diharamkan" pada waktu Orde Baru) oleh para politisi NU di parlemen, hingga akhirnya NU memilih jalan kompromi dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Ironinya, upaya sakralisasi ideologi Pancasila sebagai asas tunggal "memakan" korban manusia yang tidak sedikit. Boleh jadi, pemaksaan asas tunggal di aras lokal bisa diwakili oleh tragedi Tanjung Priok pada tahun 1984. Upaya masyarakat untuk "menawar" ideologi Pancasila membuahkan hasil stigmatisasi gerakan pengacau keamanan (GPK) hingga anggota PKI pada mereka yang mencoba menolak Pancasila sebagai satu-satunya ideologi.
Ketegangan Islam dan negara-bangsa ini disinyalir telah hadir cukup lama di Indonesia. Jika ditelusuri lebih jauh, pergumulan ini bisa dilihat sejak zaman pergerakan dengan munculnya organisasi Sarekat Islam (SI), pertentangan golongan Islam dan Komunis pada era Soekarno, hingga perjuangan Kartosuwiryo yang hendak mendirikan negara Islam.
Dalam konteks sekarang, ketegangan ini boleh jadi diwakili "kelompok radikal" seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Yang paling hangat tentu kasus terorisme yang sering disematkan kepada orang-orang macam Amrozi cs. Tak ketinggalan, dan boleh jadi ini menjadi kisah bawah tanah, ketegangan yang merembet di tingkat lembaga Depag dan IAIN dengan aktor utamanya NU-Muhammadiyah. Ketegangan ini lebih dipicu soal perebutan hegemoni kuasa dalam lembaga negara dan institusi pendidikan tinggi.
Ketegangan-ketegangan inilah yang dipotret penulis buku ini. Beberapa ketegangan, misalnya soal sikap muslim terhadap komunisme atau wacana penegakan negara Islam, bahkan masih berlangsung hingga sekarang. Baik dalam skala kecil atau besar, ketegangan ini pun menjadi sebuah pergumulan yang terus berlangsung seiring dinamika sosial-politik masyarakat. Yang penting, bagaimana pergumulan ini didorong untuk memberikan manfaat bagi masyarakat, misalnya dengan menjadikan ketegangan tadi sebagai bagian dari perdebatan ilmiah. Tidak justru membuat masyarakat menjadi "korban" dari ketegangan tadi.
Last but not least, kami mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah memberikan sumbangan pada buku ini. Komunitas mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dengan konsentrasi studi ilmu politik dan ilmu pemerintahan dalam Islam angkatan 2005/2006 telah mencurahkan banyak waktu untuk menulis tema-tema yang tersaji dalam buku ini ketika mengikuti kuliah Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia. Para penyumbang tulisan ini, mayoritas adalah mereka yang mengikuti kuliah tersebut.
Kami juga menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Musa Asy'arie dan Dr. A. Yani Anshori yang telah menjadi "pintu pembuka" dengan memberi pengantar yang menarik dalam kuliah tersebut. Untuk yang terakhir, kami mengucapkan terima kasih karena telah bersedia memberi kata pengantar.
Kami menyadari, tidak mencapai sesuatu yang ideal ditengah keterbatasan literatur yang ada. Namun kami berharap, sidang pembaca bisa memahami bahwa para penyumbang tulisan ini telah berusaha untuk mengatasi keterbatasan tersebut dan bekerja dibawah tekanan. Kami juga mafhum, persoalan yang tersaji dalam buku ini hanya buih kecil diantara luasnya gelombang lautan. Masih banyak hal yang mungkin belum terungkap. Di masa mendatang, kami berharap bisa memunculkan buih-buih kecil itu hingga menjadi satu gelombang.
Akhirnya, kami berharap apa yang tersaji dalam buku ini bisa memberikan manfaat dan kontribusi dalam wacana Islam dan Negara-Bangsa di Indonesia. Semoga, buku ini juga menjadi "gizi" yang menambah kecerdasan kita.
No comments:
Post a Comment