Tatap Muka Ketiga

Friday, 26 December 2008

Filsafat Politik Islam Al-Farabi


Pokok Bahasan : Filsafat Politik Islam Al-Farabi
Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa mengetahui latar Belakang Sosial Politik,
Biografi, dan Pemikiran Politik Islam Al-Farabi


A. Latar Belakang dan Biografi kehidupan Al-Farabi
Nama lengkap Al-Farabi ialah Abu Nashar bin Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Unzalagh (257-339/870-950). Ia seorang filosof yang berusaha menggabungkan doktrin Plato dan Aristoteles dalam sebuah pemikiran filsafat. Di kalangan masyarakat Eropa ia lebih dikenal dengan nama Al-Farabius atau Avenesser. Sedang dikalangan muslim ia menerima nama gelar Al-Muallim al-Sani, “ guru kedua”, setelah Aristoteles, di mana sejumlah karya Aristoteles telah disalin ke dalam bahasa Arab berkat kegiatan penerjemahan yang diselenggarakan sebuah akademi yang didirikan di Bagdad oleh khalifah Al-Makmum. Di samping pemikirannya tentang filsafat, Al-Farabi juga memiliki keahlian dalam bidang kedokteran, matematika, logika, kimia dan musik. Dia adalah pemain kecapi istimewa. Dia melewatkan sebagian besar hidupnya di Aleppo dan mendapatkan perlindungan dari penguasa Sa’if al-Daulah.

Pada usia di atas empat puluh tahun ia meninggalkan Farab (termasuk kawasan Turkistan) pergi ke Bagdad yang pada waktu itu merupakan ibu kota ilmu pengetahuan dan ia berguru pada ilmuwan Kristen Nastura terkenal, Abu Bisyir Matta bin Yunus, penerjemah karya tulis Plato dan pemikir-pemikir Yunani yang lain. Belum puas dengan apa yang telah didapatnya dari guru itu, Farabi pergi berguru ke ilmuwan Kristen yang lain di Harran, Yuhana bin Heilan. Pada zaman pemerintahan khalifah Abbasyiah Mu’tadir. Adapun murid-murid Al-Farabi yang bisa disebutkan di sini hanyalah,teolog sekaligus filosof Jacobite Yahya ibn ‘Adi dan saudara Yahya ialah Ibrahim.

Al-Farabi adalah keturunan asli Turki dan dilahirkan di Turkistan. Ia belajar di Bagdad dan juga bepergian ke Syiria dan Mesir. Ia mengajar di Aleppo. Ia meninggal di Damaskus pada tahun 339 H atau 950 M, beberapa karyanya sekitar pemikiran filsafat Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada zaman pertengahan, sebagai seorang pemikir universal, pengaruhnya sangat besar terhadap perkembangan pemikiran bangsa Eropa. Al-Farabi merupakan orang yang menyuguhkan sebuah kunci pembuka terhadap pemahaman filsafat Aristoteles.

Al-Farabi juga berhasil dalam teori sosialnya, di mana ia menggabungkan wawasan menarik Plato dengan persyaratan Islam. Ia juga menghindari apa yang bertentangan dengannya. Dalam utopiannya, yang diuraikan dalam Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah, penguasa adalah filosof sekaligus nabi, yang menggabungkan hak istimewa dan kebajikan keduanya. Al-Farabi merasa bahwa persaudaraan Islam menghendaki agar warga menjadi seperti anggota tubuh organik, agar pekerjaan sesuai dengan kecakapan sedangkan imbalan sesuai dengan prestasi. Ia menghindari komuni Plato mengenai suami-istri (anak-pen) dan menyadari bahwa pandangan seperti itu akan menimbulkan kutukan kaum muslim terhadap dirinya. Dan dalam tulisan ini akan membahas pemikiran –filsafat- politik Islam Al-Farabi.

B. Beberapa Aspek Filsafat Politik Islam Al-Farabi
Berbicara filsafat politik Islam mau tidak mau harus bermula pada pembagian-klasik filsafat Islam ke dalam dua bagian. Pertama, Filsafat Teoritik (al-Hikmah al-Nazhariyyah) dan yang Kedua, Filsafat Praktis, (al-Hikmah al-‘Amaliyyah). Yang pertama terkait dengan hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, sedangkan kedua terkait dengan segala sesuatu sebagaimana seharusnya. Maka, jika filsafat teoritis terkait dengan fisika, metafisika dan psikologi, filsafat praktis terkait dengan etika, ekonomi dan politik. Etika mengatur tentang bagaimana seharusnya individu berprilaku, ekonomi (klasik) mengatur pengelolaan rumah tangga, sedangkan politik mengatur pengelolaan suatu kota (politea) atau negara. Tentunya, filsafat praktis mesti didasarkan atas filsafat teoritis. Dengan kata lain, di mana filsafat teoritis berakhir, di situlah filsafat praktis bermula. Maka, jika setiap pembahasan tentang ketiga bagian filsafat praktis itu selalu bermula pembahasan tentang Tuhan, alam semesta dan posisi manusia berhadapan dengan Tuhan maupun alam semesta serta apa tujuan akhir keberadaan manusia di alam semesta ini.

Dalam filsafat Abad pertengahan (termasuk filsafat Islam) memandang penciptaan sebagai bersifat teleologis (telos artinya tujuan). Di sisi lain, seluruh dunia ciptaan ini beroperasi atas suatu “mekanisme” yang tertib dan teratur (Sunnatullah). Dalam filsafat Islam, pada dasarnya alam semesta merupakan cerminan (teophany atau tajalliyat) Allah SWT, termasuk didalamnya manusia. Terhadap alam semesta, manusia dalam khazanah intelektual Islam kadang-kadang di sebut sebagai jagat cilik (mikrokosmos / al-‘alam al-shaqir) vis a vis jagat gede (makrokosmos / al-‘alam al-kabir) alam semesta itu. Dengan kata lain, sebagaimana alam semesta adalah cerminan Allah, manusia adalah cerminan alam semesta. Oleh karena itu, adalah logis untuk menjelaskan mekanisme beroperasinya alam semesta dengan pemahaman akan (sifat-sifat) Allah SWT. Dan , pada gilirannya memahami psikologi, sebagaimana juga fisiologi manusia, sebagai reflika mekanisme alam semesta tersebut. Adalah dalam filsafat politik Al-Farabi kesemuanya ditampilkan secara jelas. Itu sebabnya, meskipun dipermukaan tampak sebagai suatu filsafat politik, pemikiran Al-farabi lebih tepat di sebut sebagai filsafat psikologis / filsafat kenabian (prophetic philosophy) atau filsafat ketuhanan.

Al-Farabi dalam kehidupannya terbenam dalam dunia ilmu, sehingga ia tidak dekat dengan penguasa-penguasa Abbasyiah pada waktu itu. Dia seorang penulis yang sangat produktif. Dalam bidang filsafat, etika dan kemasyarakatan saja tidak kurang dari delapan belas buku telah ditulisnya dan tiga di antaranya tentang teori politik :

1. Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah (Pandangan-Pandangan Para Penghuni Negara Yang Utama;
2. Tahsil al-Sa’adah (Jalan Mencapai Kebahagiaan);
3. Al-Siyasah al-Madaniyyah (Politik Kenegaraan).
Adapun pemikiran tentang filsafat politik Al-Farabi antara lain :

1. Pemikiran Politik Al-Farabi tentang Kota Utama
Dalam Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota Utama) dijelaskan: Kota Utama adalah kota yang –melalui perkumpulan yang ada di dalamnya- bertujuan untuk bekerja sama dalam mendapatkan kebahagian yang sesungguhnya.

Tidak semua orang cenderung atau berkeinginan mengetahui kebahagiaan yang merupakan tujuannya dan juga tujuan setiap asosiasi dan cara mencapai kebahagian itu. Sebagian besar, pada kenyataannya, sangat membutuhkannya. Kendatipun seseorang tahu kebahagiaan dan cara mencapainya, baik tahu sendiri atau karena mendapat pengetahuan dan bimbingan dari seorang guru, sudah barang tentu tidak sendirinya dia akan berbuat menurut pengetahuannya bila tidak ada rangsangan dari luar. Jadi, ia membutuhkan orang yang akan membuatnya berbuat demikian.

Di sisi lain, tak semua orang mempunyai kapasitas untuk memimpn atau memandu orang lain atau kemampuan untuk menasehati orang lain untuk berbuat hal-hal tertentu. Ada orang yang banyak memiliki keduanya atau hanya salah satunya saja. Sebagian lain memiliki sedikit dan sebagian lain lagi malah tak memiliki keduanya. Menurut Al-Farabi, dengan demikian ada tiga kelompok orang, dari segi kapasitas untuk memimpin, yaitu untuk memandu dan menasehati: Penguasa tertinggi/penguasa sepenuhnya, penguasa subordinate (tingkat kedua) yang berkuasa dan sekaligus dikuasai dan yang dikuasai sepenuhnya.

Penguasa tertinggi, dengan demikian, adalah Nabi atau Imam yang merupakan pemberi hukum. Mereka menggariskan pendapat dan tindakan untuk komunitasnya melalui wahyu dari Tuhan. Mereka adalah orang yang memiliki keahlian yang sempurna dalam kearifan teoritis dan praktis yakni keahlian memerintah atau politik.

Lalu bagaimana jika penguasa tertinggi itu tidak ada? Al-Farabi pun menjelaskan dalam Al-Fushul Al-Mutaza’ah tentang persyaratan pemimpin utama (al-ra’is al-awwal) di sebuah Kota Utama itu, ia (penguasa tingkat dua) harus mengetahui hukum-hukum yang telah digariskan oleh penguasa-penguasa yang lalu. Juga ia sendiri bijak dan memiliki pandangan-pandangan yang sehat sehingga dapat menafsirkan dan menerapkan hukum dan situasi yang baru serta memiliki kemampuan persuasive dan representasi imajinatif.

Dan dalam karya-karya Al-Farabi bahwa mendidik dan menyempurnakan semua penduduk kota – yang pada akhirnya atau membuat mereka mengusai pengetahuan teoritik sehingga dapat menjalani kehidupan kontemplatif dan filosofis – merupakan tujuan Kota Utama ini, sekalipun Al-Farabi menekankan bahwa mayoritasnya tidak mampu mengurusi urusan-urusan seperti itu.

Untuk memahami makna Kota Utama dalam filsafat politik Al-Farabi, Al-Farabi pun menjelaskan kota-kota lain yang bukan kota utama.

Al-Farabi menyebut tiga kelompok kota, “Kota Jahiliah” (al-Madaniyyah al-Jahiliyyah), “Kota Fasiq” (al-Madinah al-Fasiqiyyah), “Kota yang Berubah” (al-Madinah al-Mubaddilah), dan “Kota Sesat” (al-Madinah al-Dhalalah).

1.a. Kota Jahiliah adalah: kota yang warganya tak tahu tentang kebahagiaan yang sebenarnya. Jika mereka diarahkan secara benar kepadanya, mereka tetap tidak memahaminya atau tak percaya kepadanya.

Kota Jahiliah ini, pada gilirannya dibagi menjadi enam yaitu:
1. Kota Kebutuhan Dasar (al-Madinah al-Dharuriyah) yang didalamnya para warga bekerja sama untuk menghasilkan kebutuhan dasar bagi kelangsungan hidup dan kesehatan badan.
2. Kota Jahat (al-Madnah al-Nadzarah) yang warganya bekerja sama untuk meraih kekayaan dan kemakmuran secara berlebih-lebihan dan diperuntukan untuk kebutuhan badan.
3. Kota Rendah (al-Madinah al-Khassah) yang didalamnya para warga memburu kesenangan dan hanya kesenamgan jasmani yang di cari.
4. Kota Kehormatan (timokratik) tujuan para warga kota ini adalah untuk meraih kehormatan, pujian dan kesenangan di antara bangsa-bangsa melalui kata-kata maupun perbuatan dan untuk meraih kemuliaan serta keagungan. Kota ini boleh jadi semacam meritokrasi, yang didalamnya status seseorang ditentukan oleh kelebihan yang dimilikinya, baik dalam kemuliaan, keturunan, kekayaan, kekuasaan dalam masyarakat. Dalam Al-Siyasah Al-Madaniyyah, Al-Farabi menyebut kota ini sebagai kota yang terbaik di antara “kota-kota jahiliah”, hanya saja jika kecintaan mereka pada kehormatan terlalu berlebihan, kota ini bisa berubah menjadi kota para tiran.
5. Kota Despotik (al-Madinah al-Taqhallub) adalah kota yang warganya bekerja sama dengan suatu tujuan: berkuasa atas orang lain dan mencegah agar orang lain tak berkuasa atasnya.
6. Kota Demokratis, dalam filsafat politik Al-Farabi adalah kota yang tujuan penduduknya adalah kebebasan, yang setiap penduduk melakukan apa yang dikehendakinya tanpa sedikitpun dikekang kehendaknya. Dalam konteks inilah Al-Farabi menyebutkan bahwa lama kelamaan dapat bermunculan orang-orang bijak di kota seperti ini. Oleh sebab itu, menurut Al-Farabi, Kota seperti ini memiliki kelebihan maupun keburukan yang lebih besar dibandingkan dengan kota-kota jahiliah lainnya. Semakin besar, semakin berperadaban, semakin padat penduduknya semakin produktif dan semakin sempurna kota ini, semakin besar pula kebaikan dan keburukan yang ada di kota ini.

Namun, karena orang bijak, kalau dia memerintah, akan mengarahkan tindakan-tindakan rakyat kebahagiaan, maka penduduk kota ini tak mengangkatnya menjadi penguasa. Penduduk hanya menginginkan penguasa yang memudahkan penduduk mencapai keinginannya dan melicinkan bagi penduduk untuk mendapatkan dan sekaligus melestarikan apa yang diinginkannya.

Ringkasnya, walaupun berpandangan bahwa kota demokratis merupakan satu di antara enam jenis Kota Jahiliah, Al-Farabi percaya bahwa membangun kota utama dan menegakkan pemerintahan orang bijak lebih efektif dan jauh lebih mudah dengan menggunakan kota demokratis.

1.b.Kota Fasiq adalah kota yang sesungguhnya memahami tentang kebahagiaan sejati, tentang Tuhan, terbimbing dan percaya pada tindakan-tindakan yang akan membawa kepada kebahagiaan –sebagaimana warga kota utama- hanya saja, setelah semuanya ini, mereka menolak untuk berbuat sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan mereka itu.

1.c. Kota yang berubah-rubah (al-Madinah al-Mutabaddilah) ialah kota/negara yang penduduknya semula mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki negara utama tetapi kemudian mengalami kerusakan.

1.d. Kota Sesat. Para warga kota ini sesungguhnya menghendaki kebahagiaan di akhirat, tapi memiliki kepercayaan keliru mengenai hal-hal yang dapat membawa mereka kepada kebahagiaan sejati itu. Pemimpin utama mereka (boleh jadi) adalah seseorang yang berpura-pura menerima wahyu dan kemudian menciptakan kesan yang salah seperti itu lewat pemalsuan, penipuan dan pengalabuan.

2. Pemikiran Al-Farabi tentang Masyarakat yang Sempurna
Menurut Al-Farabi, terdapat tiga macam masyarakat yang sempurna: Pertama, masyarakat sempurna besar ialah: gabungan banyak bangsa yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama dengan kata lain, masyarakat sempurna besar adalah perserikatan bangsa-bangsa. Kedua, masyarakat sempurna sedang adalah masyarakat yang terdiri dari dari satu bangsa yang menghuni di satu wilayah dari bumi ini atau masyarakat sempurna sedang adalah negara nasional. Ketiga, masyarakat sempurna kecil adalah masyarakat yang terdiri dari para penghuni satu kota atau masyarakat sempurna kecil adalah negara-kota.

Sebagaimana Plato dan Aristoteles, Al_Farabi berpendapat di antara tiga macam masyarakat sempurna tersebut maka negara-kota merupakan sistem atau pola politik yang terbaik dan terunggul. Beberapa pengamat sejarah Ilmu Politik Islam menganggap aneh pendapat Farabi itu, oleh karena pada waktu itu dia hidup pada zaman di kala Islam telah terbagi menjadi semacam negara-negara nasional, yang masing-masing terdiri dari banyak kota dan desa serta berwilayah luas, tetapi Farabi tidak seorang diri dalam hal ini. Aristoteles juga menganggap bahwa negara-kota merupakan kesatuan politik yang terbaik di Yunani meskipun waktu itu Yunani telah menjadi daerah jajahan Macedonia, dan sistem negara-kota sudah tidak berfungsi lagi. Sehingga pendapat Farabi ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa dalam idealisasi pola politik, ia tidak menghiraukan kenyataan-kenyataan politik pada zaman ia hidup.

3. Pemikiran Al-Farabi tentang Masyarakat yang Tidak Sempurna
Adapun masyarakat-masyarakat yang tidak atau belum sempurna, menurut Farabi adalah penghidupan sosial ditingkat desa, kampong, lorong dan keluarga dan di antara tiga bentuk pergaulan yang tidak atau belum sempurna itu, maka kehidupan sosial di dalam rumah atau keluarga merupakan masyarakat yang paling tidak sempurna. Keluarga merupakan bagian dari masyarakat lorong yang merupakan bagian dari masyarakat kampung dan masyarakat kampung merupakan bagian dari masyarakat negara-kota. Hanya bedanya, kampung merupakan bagian dari negara-kota, sedangkan desa hanya merupakan pelengkap untuk melayani kebutuhan negara-kota. Tampaknya Farabi menganggap bahwa tiga unit pergaulan sosial tersebut tidak merupakan masyarakat-masyarakat yang sempurna karena tidak cukup lengkap untuk berswasembada dan mandiri dalam memulai kebutuhan para warganya, baik kebutuhan ekonomi, sosial, budaya maupun spiritual.

4. Syarat-Syarat Pimpinan Negara Menurut Al-Farabi
Sesuai dengan teorinya bahwa penghuni negara itu terbagi dalam banyak kelas, Farabi berpendapat bahwa tidak semua warga negara mampu dan dapat menjadi kepala negara. Yang dapat dan boleh menjadi kepala negara utama hanyalah anggota masyarakat atau manusia yang paling sempurna, tentunya dari kelas yang tertinggi, dibantu oleh orang-orang pilihan juga dari kelas yang sama. Mereka tunduk di bawah pimpinan kepala negara dan atas nama ia memimpin warga-warga dari kelas dibawah, hal itu berarti bahwa warga-warga negara selain kepala negara tidak sama tingkatnya satu sama lain. Tinggi dan rendah tingkat mereka ditentukan oleh dekat dan jauhnya dari kepala negara.

Menurut Farabi kepala bagi negara yang utama itu haruslah seorang pemimpin yang arif dan bijaksana yang lahir dari watak alami juga melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta latihan yang menyeluruh dengan disiplin ketat. Bagi Farabi, pemimpin negara itu bolehlah seorang filsuf yang mendapat kemakrifatan melalui pikiran dan rasio dan dapat juga seorang Nabi yang mendapatkan kebenaranya lewat wahyu. Adapun syarat-syarat pimpinan negara itu adalah: (1) lengkap anggota tubuhnya, (2) baik daya pemahamannya, (3) tinggi intelektualitasnya, (4) pandai mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya, (5) pencinta pendidikan dan gemar mengajar, (6) tidak boleh rakus atau loba dalam hal makanan, minuman, dan wanita, (7) pencinta kejujuran dan pembenci kebohongan, (8) berjiwa besar dan berbudi luhur, (9) tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan-kesenangan dunia yang lain, (10) pencinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim, (11) tanggap dan tidak sukar diajak menegakan keadilan dan sebaliknya sulit untuk melakukan atau menyetujui tindakan keji atau kotor, dan (12) kuat pendirian terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme tidak penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil.

5. Pengaruh Iklim atas Watak dan Prilaku Manusia
Al-Farabi mungkin merupakan pemikir pertama yang berpendapat bahwa manusia tidak sama satu sama lain, disebabkan oleh banyak faktor, antara lain faktor iklim dan lingkungan tempat mereka hidup.Di wilayah yang amat panas, dingin dan sedang, juga faktor makanan, minuman, menurut Farabi, faktor-faktor tersebut banyak berpengaruh dalam pembentukan watak, pola pikir, prilaku, orientasi atau kecenderungan ataupun adapt istiadat. Oleh karena itu tidak sebagaimana Plato, Farabi melepaskan harapan untuk dapat mewujudkan persamaan, kesatuan dan keseragaman di antara umat manusia.

6. Peran dalam Menyampaikan Ide-Ide tentang Filsafat
Dalam Tahsil Al-Sa’adah disebutkan untuk menjadi filosof betul-betul sempurna, seseorang harus memiliki ilmu-ilmu teoritis dan daya untuk menggali ilmu-ilmu itu demi kemanfaatan orang lain sesuai dengan mereka. Al-Farabi, mengikuti Plato, berpendirian bahwa setiap filosof sejati dibebani tugas untuk mengkomunikasikan filsafat mereka kepada orang lain dan bahwa tugas ini sangat penting untuk memenuhi ideal filsafat. Dari sini dapat disimpulkan bahwa seni retorika, puisi dan dialektika sepanjang mereka menjadi sarana penting untuk berkomunikasi dengan masyarakat manusia merupakan bagian integral filsafat dan pelengkap yang diperlukan bagi ilmu demonstrative.

C. Urgensi Filsafat Politik Islam Al-Farabi
Sebagaimana dijelaskan di atas, dalam hal negara ideal menurut Al-Farabi dipimpin oleh filosof, raja dan nabi. Mereka inilah yang memegang puncak pemimpin tertinggi dalam piramida sosial. Tipe filosof adalah mereka memiliki keahlian intelektual yang teoritis dan praktis, rasional juga kritis. Fenomena ini muncul pada masyarakat Yunani kuno. Plato adalah salah satu yang berpengaruh pada diri Al-Farabi. Menurut Plato, sebuah masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang dipimpin oleh seorang filosof. Mengapa? Karena seorang filosof mengerti makna hidup, tentang hal-hal yang baik dan buruk sedangkan nalar masyarakat awam tidak sekritis para filosof, sehingga kepemimpinan masyarakat ataupun negara sebaiknya diserahkan kepada filsuf.

Tipologi kedua adalah raja, yang memiliki ciri-ciri ini adalah: 1. ia berada dipuncak piramida sosial setelah menggeser atau menjatuhkan penguasa sebelumnya. 2. warisan dari garis keturunan, 3. loyalitas kekuatan tentara.

Tipologi ketiga yaitu nabi, jika legitimasi kekuasaan filsuf karena kekuatan penalaran, dan raja karena kekuatan tentara dan garis keturunan maka legitimasi kepemimpinana nabi yang menonjol adalah moral dan kecintaannya pada rakyat.

Agaknya Al-Farabi juga menyadari tentang “sulit”nya menemukan pemimpin ideal (sebagaimana syarat-syarat yang dijelaskan Al-Farabi) baik yang berasal dari filosof, raja ataupun nabi.

Dalam konteks wacana Ilmu Politik kontemporer tipologi di atas sangat “membingungkan”. Disinilah tipologi atau model berbeda dari narasi deskriptif tentang figur seorang raja, filosof atau nabi. Artinya, bisa saja seorang raja mendekati tipologi nabi ataupun filosof tetapi seorang nabi diyakini oleh pengikutnya mengatasi supremasi raja maupun filosof. Inilah yang membedakan antara Al-Farabi yang memasukan “kenabian” (seperti: moralitas ataupun nilai-nilai ilahiah) dalam wacana negara ideal dibandingkan Plato.

Dalam wacana lainnya, Al-Farabi menulis bahwa”…dari demokratis lebih efektif dan jauh lebih mudah dibangun Kota Utama dan ditegakkan pemerintahan orang bijak dibanding dengan Kota Jahiliah”, hal ini sama sekali dapat dipahami sebagai apreasiasi Al-Farabi mengenai Kota itu sendiri.Dengan kata lain, menurut Al-Farabi kota demokratis adalah kota kedua yang terbaik setelah Kota Utama. Sikap Al-Farabi terhadap masalah ini sangatlah jelas. Begitu pula penekanannya pada sifat ideal dari Kota Utama yang aristokrasi dan otokratis. Kota tersebut mempunyai kecenderungan apapun, yang buruk maupun yang baik dan memberikan lebih banyak ruang bagi kemunculan orang-orang bijak.

D. Penutup
Pemikiran-pemikran filsuf politik Al-Farabi memberikan pengaruh yang besar atas banyak pemikir muslim dan Yahudi, khususnya sejak abad ke 13. Filsafat politik Al-Farabi sendiri kiranya layak untuk mendapatkan perhatian dengan alasan: Pertama, Al-Farabi adalah filosof politik Islam par excellence. Filosof-filosof muslim yang datang setelahnya terbukti tak banyak beranjak dari apa yang telah dikembangkan oleh Al-Farabi. Hal ini seperti diakui oleh para filosof penerusnya. Tokoh-tokoh dari kalangan Islam, seperti: Ibnu Sina, Al-Razi, Al-Thusi maupun dari lingkungan agama lain; seperti Maimonides dan Ibn Gabirol mengakui bahwa kualitas filsafat Al-Farabi –khususnya di bidang politik- sulit dilampui. Kedua, banyak peneliti mengenai pemikiran Al-Farabi percaya bahwa filsafat tokoh ini merupakan suatu upaya yang cukup berhasil untuk mengakomodasikan ajaran-ajaran Islam ke dalam batang tubuh frilsafat klasik betapapun kontroversialnya.. Ketiga, meskipun abad pertengahan, filsafat politik Al-Farabi -seperti diungkapkan oleh Ibrahim Madkour, seorang ahli filsafat Islam terkemuka- ia mengandung pengertian-pengertian modern bahkan kontemporer



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka. Jakarta: Pondok Firdaus.1996.
Atiqul. M Haque, Wajah Peradaban : Menelusuri Jejak Pribadi-Pribadi Besar Islam, Bandung: Zaman. 1995
Al-Farabi. Abi Nasr, Ara Ahlul Madinah Al-Fadilah.Al-Azhar. t.t
Bertens. K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.1983
Cyril. Glasse, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Grafindo.1996.
Hidayat. Komaruddin, Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisi Modernitas. Jakarta: Paramadina.1998.
Madjid. Nurkholis (ed), Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Obor.1994.
Nasr. Sayyed Hossein dan Oliver Leiman. Ensiklopedi Tematis: Filsafat Islam Bagian Pertama. Bandung: Mizan. 2003
---------------------------. Ensiklopedi Tematis: Filsafat Islam Bagian Kedua. Bandung: Mizan.2003.
Syadzali. Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press.1993.
Suhelmi. Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gremedia. 2001
Ismail R. al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi. Atlas Budaya Islam: Menjelazah Khazanah Peradaban Gemilang. Bandung. Mizan. 2003.

No comments:

 

Most Reading