Tatap Muka Keempat

Saturday 27 December 2008

Al-Mawardi Dan Teori Khilafahnya


Pokok Bahasan : Al Mawardi dan Teori Khalifahnya
Tujuan Instruksional Khusus : Mahasiswa mengetahui latar Belakang Sosial Politik,
Biografi, dan Pemikiran Politik Islam Al Mawardi
tentang Teori Khalifahnya.


A. Pendahuluan
Pergolakan politik Islam dimulai sejak Rasulullah Saw. wafat pada tahun 632 M. umat Islam dihadapkan pada suatu kenyataan untuk menentukan khalifah pengganti Rasulullah, guna memangku pimpinan tertinggi umat Islam. Dalam situasi genting tersebut, dipandang sangat perlu diselenggarakan musyawarah untuk menentukan figur seorang pemimpin umat, melalui perdebatan sengit di Tsaqifah bani Sa’idah antara kaum Muhajirin dan Anshar, maka Abu Bakar ash-Shidiq terpilih menjadi khalifah pertama umat Islam, model suksesi melalui musyawarah semacam ini, juga digunakan umat Islam dalam menentukan khalifah Umar, Utsman dan Ali, walaupun melalui perdebatan yang cukup panjang dan dengan cara yang berbeda.

Akan tetapi teori tentang kekhalifahan selalu menjadi isu kontroversial dalam sejarah umat Islam, yang terkait dengan kewenangan. Apakah kewenangan seorang khalifah sama seperti yang dimiliki Nabi?, jika Nabi memiliki kewenangan sebagai pemimpin agama sekaligus sosial politik, apakah khalifah juga memiliki kewengan yang sama atau hanya kewenangan politik?
Terlepas dari polemik di atas, nama al-Mawardi adalah salah satu tokoh terkemuka sekaligus pemikir dan peletak dasar keilmuan politik Islam penyangga kemajuan kekhalifhan Abbasiyah, tokoh yang pernah menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah ini, menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak).

Menurut al-Mawardi, khalifah selain sebagai pemimpin pemerintahan juga sebagai pemimpin agama, menurutnya, Allah mengangkat untuk umat seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) Nabi, untuk mengamankan agama dengan disertai mandat politik. Dengan demikian seorang khalifah adalah pemimpin agama dan di lain pihak pemimpin politik. Teori al-Mawardi inilah yang setidaknya melahirkan paradigma “simbiosa” agama (Syari’ah) dan negara (Politik). Keduanya berhubungan timbal-balik dan saling membutuhkan. Agama membutuhkan negara untuk mengembangkan dirinya. Dan negara meniscayakan agama sebagai pembimbing etika dan moral.

Imam atau khalifah bagi al-Mawardi merupakan sesuatu yang niscaya. Artinya, keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Karena itu, jelasnya, tanpa Imam akan timbul suasana chaos. Manusia menjadi tidak bermartabat, begitu juga suatu bangsa menjadi tidak berharga.

Makalah ini secara khusus akan mengkaji teori-teori politik al-Mawardi, khususnya pemikiran tentang khilafah, yang oleh para ahli dianggap sebuah usaha intelektual yang komprehensif. Bagaimana konsep khilafah menurut al-Mawardi, bagaimana cara pengangkatannya, dan pemecatanya. Dan juga penulis akan melakukan analisa kritis terhadap teori-teori khilafah al-Mawardi.

B. Biografi Singkat Al-Mawardi
1. Riwayat Hidup dan Karya-karya Al-Mawardi
Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi Al-Basri, nama di belakang terkait erat dengan kota kelahirannya yakni Basrah, sedangkan nama al-Mawardi adalah nama yang dinisbatkan pada profesi penjual air mawar (rose water), (Mawardi berasal dari kata ma’; air dan ward; mawar). Ia termasuk tokoh terkemuka di kalangan ulama mazhab Asy-Syafi`i, ia dilahirkan di kota Basrah Iraq pada 364 H/974 M.
Ketika kebudayaan Islam Mencapai masa-masa keemasannya di tangan para khalifah Daulah Abbasiyah. Dan meninggal di Bagdad pada tahun 450/1058 dalam usia 86 tahun.

Tempat al-Mawardi belajar dapat dibagi dalam dua tahap ; pertama. Ketika ia masih menetap di kota kelahirannya di Basrah, ia menuntut ilmu dari para ulama terkemuka di kota itu, khususnya dalam bidang Hadis dan Fiqh. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as Saimari, seorang ahli hukum mazhab Syafi'i yang terkenal. Hal ini sangat dimungkinkan sebab seperti ditulis oleh Qamaruddin Khan – Basrah pada masa itu merupakan salah satu pusat pendidikan dan pengajaran yang penting di dunia Islam; kedua, setelah ia pindah ke Bagdad, kemudian melanjutkan pelajaran hukum, tata bahasa, dan kesusastraan dari Abdullah al Bafi dan Syaikh Abdul Hamid al Isfrayini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik ilmu-ilmu agama, seperti hadis dan fiqh, juga politik, filsafat, etika dan sastra.

Dalam kitab-kitab biografi misalnya disebutkan, al-Mawardi mempelajari ilmu lain selain hadis dan Fiqh yang dari para gurunya, baik sewaktu di Basrah maupun setelah berpindah ke Bagdad, namun dengan memperhatikan secara seksama kitab-kitab yang ditulis al-Mawardi telah menimba pula dari para gurunya, pengetahuan-pengetahuan tentang sastra, Gramatika (Nahwu), filsafat, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan.

Al-Mawardi merupakan penganut fiqh mazhab asy-Syafi`i dan bahkan dalam Mazhab ini nama al-Mawardi tercantum dalam deretan nama-nama para tokohnya. Oleh karena itu barangkali termasuk hal yang di luar dugaan apabila dalam beberapa kepustakaan disebutkan adanya. Sementara ulama’ yang menuduh al-Mawardi sebagai penganut paham Mu`tazilah. Dalam kitab Tabaqat asy-Syafi`iyah al-Kubra karya Taj ad-Din as-Subki, Ibn Salah dikutip sebagai salah seorang yang melontarkan tuduhan itu, meskipun Ibn Salah sendiri mengakui bahwa al-Mawardi tidak dapat dikelompokkan ke dalam golongan Mu`tazilah sepenuhnya, khususnya masalah qadar, pendapat al-Mawardi sejalan dengan pendapat Mu’tazilah; sedangkan dalam hal pokok-pokok ajaran Mu`tazilah yang lain seperti masalah status kemakhlukan Al-Qur`an, pendapat al-Mawardi tidak sejalan dengan pendapat mereka.

Pada masanya al-Mawardi diakui secara universal sebagai ahli hukum terbesar pada zamannya. Perjalanan hidup al-Mawardi banyak dihabiskan untuk memangku jabatan Qadi di berbagai kota, termasuk diantaranya pernah menjabat kepala Qadi di Uswa yang kemudian diakhirinya dengan menjabat Qadi di Bagdad. Dalam kedudukannya sebagai Qadi di Bagdad inilah pada tahun 429 H/1037 8 M, ia menerima anugrah gelar Aqda al-Qudat dari khalifah.
Jabatan lain yang disandang al-Mawardi yaitu sebagai duta keliling bagi khalifah al-Qadir, khalifah yang cendekiawan dan pecinta buku, dari 381 H. sampai dengan 422 H. yaitu sebelum al-Mawardi berusia kepala tiga.

Al-Mawardi merupakan seorang penasehat politik, dan juga merupakan tokoh diplomat yang disegani ditingkat resmi. Sikap moderat selalu ditonjolkan dalam setiap tulisannya, karena ia tidak pernah menganggap pendapatnyalah yang paling benar, maka dari itu ia dapat diterima di semua golongan dan terhindar dari konflik karena perbedaan pandangan.

Misalnya, Ibn al-Atsir (w. 1234 M.) menyatakan bahwa al-Mawardi sangat dihormati dikalangan raja-raja Bani Buwaih dan mereka selalu mengutusnya untuk menjadi penengah antara mereka dan orang-orang yang menentang mereka dan mereka menerima dan mengakui segala keputusannya. Ia juga pernah menjadi utusan al-Qaim untuk menemani Tughral Bek pada tahun 433 H. untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara para penguasa dinasti Buwaih dengan khalifah.

Al-Mawardi juga merupakan seorang penulis yang produktif, cukup banyak karya tulisannya dari berbagai cabang ilmu, dari ilmu bahasa sampai sastra, tafsir, fiqh dan ketatanegaraan, hanya saja tidak semua karya tulisnya sampai ke zaman kita. Dalam hal ini hanya sekitar 12 buku karya al-Mawardi yang masih dijumpai wujudnya baik dalam bentuk buku yang sudah tercetak maupun yang masih berbentuk manuscript (Makhtutat). Buku-buku tersebut dapat dibagi dalam tiga kelompok:

Pertama : Kitab-kitab keagamaan. Termasuk dalam kelompok ini antara lain: an-Nukat wa al-`Uyun fi Tafsir al-Qur’an al-Karim dalam bidang tafsir, Kitab al-Hawi al-Kabir yang merupakan “ensiklopedi” Fiqh as-Syafi`i yang disusun menjadi lebih dari 20 jilid, kitab Al-Iqna’ sebagai ikhtisarnya, kitab Adab Al-Qadhi, kitab A`lam al-Nubuwwah dan kitab Adab ad-Dunya Wa ad-Din.
Kedua : Buku-buku tentang politik dan kemasyarakatan yang antara lain terdiri dari: al-Ahkam as-Sulthaniyyah, kitab Nasihah al-Mulk, kitab Tashil an-Nadzar Wa Ta`jil ad-Dzafar, dan kitab Qawanin al Wazarah Wa Siyasah al-Malik.
Ketiga : Kitab-kitab tentang bahasa dan sastra. Termasuk dalam kelompok ini antara lain: kitab Fi al-Nahwu dan kitab al-Amtsal wa al-Hikam.

Adapun teori-teori politik al-Mawardi adalah terangkum karya magnum opus-nya al-Ahkam al-Sulthaniyyah Dalam karyanya ini, termuat prinsip-prinsip politik kontemporer dan kekuasaan, yang pada masanya dapat dikatakan sebagai pemikiran maju, bahkan sampai kini sekalipun. Misalnya, dalam kitab itu dibahas masalah pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, jabatan wali pidana. Selain itu, juga dibahas masalah imam shalat, zakat, fa'i dan ghanimah (harta peninggalan dan rampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, masalah dokumen negara dan lain sebagainya.

Mengenai kitab ini, Qamar-ud Din Khan menganggapnya sebagai karangan ilmiyah pertama ilmu politik dan administrasi pemerintahan dalam perjalanan sejarah Islam. Demikian juga para orientalis seperti nampak dalam tulisan Donald P. Little menganggapnya sebagai dokumen kunci dalam perkembangan pemikiran politik Islam. Komentar yang hampir sama dilontarkan pula oleh Leonard Binder. Al-Mawardi adalah pemikir politik pertama yang menjelaskan mekanisme pemilihan kepala negara dan pemecatannya baik dengan sendirinya maupun oleh hal-hal ekskternal.

2. Kondisi Sosial-politik pada Masa Al-Mawardi
Kondisi sosial-politik di dunia Islam pada masa al-Mawardi, yakni sejak menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik daripada masa al-Farabi, dan bahkan lebih parah. Kekhalifahan yang berpusat di Baghdad yang merupakan otak peradaban sekaligus jantung negara Islam, lambat laun mulai meredup, kekhalifahan di Baghdad sama sekali tidak memiliki arti apa-apa, secara de facto kekuasaan berada di tangan sultan-sultan Buwaihiyyah yang menjalankan pemerintahan tanpa refrensi kepada Imam di Baghdad yang dinyatakan sebagai Amir al-Mukminin. Al-Biruni (w. 1048 M./440 H.) yang menyaksikan secara langsung kehidupan politik pada masa ini menyatakan, ”yang tinggal di tangan para khalifah Bani Abbas hanyalah masalah agama dan kepercayaan saja, bukan urusan politik duniawi. Para pemimpin yang ada dari anak cucu Abbas sekarang hanya sebagai kepala Islam, bukan raja.”

Sampai terdengar sebuah usaha mengganti kekhalifahan Arab dengan kekuasan yang berbangsa Turki atau Persia, bahkan khalifah bukan dari keturunan Arab dan tidak dari keturunan Quraisy. Tututan itu menimbulkan reaksi dari golongan yang ingin mempertahankan kekuasaan harus dari keturunan Arab atau Quraisy. Khalifah al-Qadir dan penggantinya, al-Qaim menjadi tergerak untuk berusaha memperoleh kembali kejayaan nenek moyang mereka yang hilang. Al-Mawardi termasuk golongan yang ingin mempertahankan kekhalifahan dari berkebangasaan Arab dan Quraisy.

Al-Ahkam al-Sulthaniyyah-nya al-Mawardi diduga kuat ditulis untuk dipersembahkan kepada Khalifah al-Qadir Billah dan Penggantinya al-Qaim Billah. Seperti dinyatakan oleh al-Mawardi pada bagian pendahuluan bukunya, bukunya ini dimaksudkan untuk memenuhi perintah dari orang yang wajib ditaati (Khalifah), agar dengan demikian ia (Khalifah) dapat mengetahui pelbagai pendapat mazhab tentang hak dan kewajiban khalifah sehingga ia dapat menuntut dan menunaikannya demi keadilan dan kebenaran dan keadilan dalam segala kebijaksanaan yang ditempuhnya.

Pernyataan al-Mawardi di atas memperkuat pendapat para sarjana yang menyatakan bahwa buku itu ditulis adalah sebagai suatu upaya untuk mempertahankan para khalifah Bani Abbsiyah dalam menghadapi para Amir Buwaih yang memang memiliki kontrol yang efektif terhadap pemerintahan mereka. Jadi, penyusunan teori-teori politik al-Mawardi didorong terutama oleh permintaan pihak khalifah yang telah lama merasakan bahwa prestise dan hak-haknya telah begitu merosot sehingga hampir dilupakan orang, tergusur oleh dominasi dan tekanan para Amir Buwaih.

C. Teori Khilafah Menurut al-Mawardi
Persoalan keagamaan dan politik yang muncul pada sekitar abad pertama dan kedua Islam ialah persoalan pemilihan dan pengganti khalifah dan Imam. Istilah khalifah atau Imam sering dipakai secara bergantian, tetapi sampai batas tertentu keduanya bisa dibedakan. Istilah khalifah terutama untuk menunjuk pemimpin umat yang menjalankan fungsi-fungsi temporal Nabi, sedangkan Imam digunakan untuk menunjukkan kapasitasya sebagai pemimpin keagamaan. Dalam perkembangan selanjutnya istilah khalifah tidak hanya diartikan sebagai pengganti Nabi, akan tetapi menjadi wakil Tuhan sejalan dengan perkembangan fungsi dari jabatan itu dan perubahan watak dan karakternya. Dari perkembangan ini sangat jelas, semula khalifah yang diangkat melalui persetujuan umat melalui pemilihan dan bai’at, berubah menjadi kekuasaan mutlak dari Tuhan, inilah biasanya sebuah kepemimpinan dijalankan dengan diktator, otoriter dan lain-lain.

Teori-teori tentang kekhalifahan memang sudah ada sekitar abad pertama Islam misalnya saja pandangan kelompok-kelompok religio-politik seperti khawarij, syi’ah, mu’tazilah dan sunni, akan tetapi hanya berbicara disekitar pentingnya mengangkat khalifah, fungsi kekhalifahan, akan tetapi tidak disebut secara eksplisit bagaiamana mikanisme pengangkatan seorang khilafah dan lain-lain. Al-Mawardi menyajikan secara lengkap teori tentang kekhalifahan, sistem hukum dan pemeritahan dalam Islam sebagaimana terdapat dalam al-Ahkam as-Sulthoniyyah. Adapun teori-teori khilafah menurut al-Mawardi akan penulis jelaskan sebagai berikut:

1. Arti dan Fungsi Khilafah
Khilafah (Imamah) menurut al-Mawardi adalah pemimpin agama dan di lain pihak pemimpin politik. Pernyataan ini terdapat dalam kitab al-Ahkam as-Sulthoniyyah, tentang ‘Aqd al-Imamah dengan pernyataan:

الإمامة موضوعة لخلافة النبوة فى حراسة الدين وسياسة الدنيا

Pernyataan di atas sebagaimana ditulis oleh Yusuf Musa, dapat dianggap sebagai definisi Imamah yang identik dengan khilafah, dan sekaligus mejelaskan fungsi dari kekhilafahan, ada dua macam: pertama, menjaga kelangsungan pelaksanaan ajaran agama; kedua, mengatur dan mengelola urusan-urusan dunia. Dengan ini tampak jelas bahwa khalifah adalah orang yang menggantikan fungsi Nabi setelah beliau meninggal, yakni memiliki fungsi keagamaan sekaligus sosial politik.

Membentuk institusi khilafah (Imamah) menurut al-Mawardi hukumnya adalah wajib. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah kewajiban itu ditentukan oleh rasio atau nass, dalam hal ini al-Mawardi tidak mengemukakan pendapatnya sendiri secara tegas, ia hanya mengutip pendapat-pendapat al-Asy’ari, Syi’ah, bahkan Mu’tazilah, akan tetapi, disisi yang lain al-Mawardi menyatakan kewajiban khilafah berdasarkann wahyau tidak berdasarkan akal, pendapat ini secara umum sama dengan pendapat al-Asy’ari dan bertolak belakang dengan pedapat Mu’tazilah. Dan teori al-Mawardi yang menyatakan khalifah harus dipilih dengan nyata juga bertentangan dengan pendapat Syi’ah. Terlepas dari polemik diatas, secara eksplisit al-Mawardi ingin menekankan pentingnya seorang Khalifah harus terdiri dari orang yang adil yang harus dipenuhi oleh seorang kahlifah. Mengenai kewajiban menegakkan Imamah adalah mempunyai status wajib kifayah, sehingga manakala sudah ada seseorang yang memenuhi syarat yang tampil memegang tampuk Imamah, maka gugurlah kewajiban yang lain. Dengan terbentuknya institusi Imamah atau Khilafah dengan salah satu dari kedua macam caranya seperti yang akan dikupas dalam kupasan-kupasan berikutnya, menjadi kewajiban segenap ummat untuk mengetahui adanya pelimpahan wewenang Khilafah itu kepada pemangkunya. Hanya saja pengetahuan umat ini tidak mencakup pengetahuan tentang nama dan sifat-sifat sang Khalifah. Sesuai dengan pendapat Jumhur, pengetahuan umat ini cukup dengan pengetahuan secara garis besar saja, tanpa harus mengatahui secara terperinci, karena hal ini memang sulit untuk terrealisir.

Dalam hubungannya dengan orang yang memegang tampuk Khilafah ini, gelar yang dipakai adalah KhaIifah. Hanya saja apakah Khalifah di sini mengandung arti Khalifah (pengganti) Rasulullah atau Khalifah Allah, al-Mawardi nampak lebih cenderung kepada Imamah seperti telah dikutip di atas, Khalifah bertugas menggantikan Rasulullah dalam mengatur umatnya. Namun demikian terhadap pendapat yang memegangi pengertian kedua yang beralasan bahwa pada hakekatnya Khalifah juga menjalankan hak-hak Allah mengenai hambanya, sesuai dengan ayat 165 Surat al-An'am al-Mawardi tidak secara tegas menyalahkannya. Sebegitu jauh yang dilakukan al-Mawardi hanyalah menyatakan bahwa Jumhur ‘ulama menolak pemberian Khalifah Allah ini dan menganggap orang yang menggunakannya sebagai orang orang yang jahat, sebab penggantian hanya dimungkinkan dalam huhungannya dengan orang yang tidak pernah mati, yang hal ini pulalah yang melatar belakangi penolakan Abu Bakar tatkala kepadanya dipanggilkan gelar Khalifah.


2. Syarat-syarat Khalifah dan Cara Pengangkatannya
Dalam kaitannya dengan pengangkatan Khalifah, al-Mawardi menyebutkan adanya dua kelompok atau "lembaga", yakni :
a. Ahl al-Ikhtiyar (kelompok pemilih khalifah), dan
b. Ahl al-Imamah (kelompok yang salah seorang diantaranya berhak dipilih sebagai Khalifah)
Kedua kelompok inilah menurut al-Mawardi yang dibebani kewajiban untuk membentuk institusi Imamah atau Khilafah. Adapun terhadap pihak-pihak di luar kelompok di atas, tertundanya perwujudan Khilafah bukanlah merupakan tanggung jawab mereka.
Masing-masing orang yang duduk dalam setiap kelompok ini diharuskan memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Ahl al-Ikhtiyar ada tiga :
1) Keadilan yang mencakup pelbagai syaratnya.
2) Ilmu yang dapat mengantarkannyaa kepada pengetahuan tentang siapakah yang berhak memegang tampuk khilafah menurut syarat-syarat yang telah ditentukan.
3) Pendapat yang sehat dan kebijaksanaan yang memungkinkan orang untuk mampu memilih orang yang paling pantas memegang tampuk Khilafah.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Ahl al-Imamah, al-Mawardi menyebut tujuh butir :
1) Keadilan menurut syarat-syaratnya yang menyeluruh.
2) Ilmu yang memungkinkan untuk melakukan ijtihad dalam kasus-kasus hukum yang yang terjadi.
3) Sehat indera pendengaran, penglihatan dan perasaan.
4) Terhindarnya anggota-anggota tubuh dari kekurangan dan cacat.
5) Pikiran yang sehat yang memungkinnya dapat mengatur rakyat dan mengelola kemaslahatan.
6) Kegagah beranian yang memungkinkannya untuk dapat melindungi kekuatan dan wilayah negara dan melakukan jihad terhadap musuh.
7) Keturunan yang dalam hal ini Khalifah haruslah berasal dari suku Quraisy.

Adapun terhadap persyaratan-persyaratan Ahl al-Imamah ada beberapa hal yang perlu dikemukakan:
Pertama: meskipun persyaratan yang dikemukakan nampak cukup terperinci namun terasa pula bahwa persyaratan tersebut tidak menampung secara tegas dan tersurat syarat-syarat yang sangat prinsip, seperti yang dikemukakan oleh ulama-ulama lain. Sebagai contoh, al-Mawardi tidak mengemukakan syarat Islam dan Laki-laki bagi seorang Khalifah. Meskipun demikian tidak dapat disimpulkan bahwa al-Mawardi membolehkan seorang non muslim untuk menjadi Khalifah. Tidak disebutkannya Islam sebagai salah satu syarat Khalifah oleh al-Mawardi, mungkin disebabkan karena masalahnya sudah sangat begitu jelas, atau mungkin pula di dasarkan atas pertimbangan bahwa ia telah mencakup dalam pengertian keadilan dengan syarat-syarat yang menyeluruh. Terlepas dari kedua kemungkinan di atas suatu hal yang jelas adalah bahwa dalam kupasannya tentang wizarah, al-Mawardi tidak membolehkan wanita menjadi Wazir Tanfiz maupun Wazir Tafwid dan tidak membolehkan orang kafir zimmi untuk menjadi Wazir Tafwid.

Dari kenyataan di atas, dapat ditarik suatu analogi bahwa apabila dalam masalah Wizarah, Islam dan laki-laki merupakan persyaratan yang penting, terlebih lagi dalam masalah Khalifah.
Kedua: adanya beberapa butir persyaratan yang memerlukan penjelasan dan batasan Iebih lanjut. Sebagai contoh, dapat ditunjuk persyaratan ilmu yang memungkinkan seorang Khalifah untuk melakukan ijtihad. Seperti ditulis oleh Yusuf Musa, persyaratan ilmu sampai batas yang sedemikian ini dapat saja dikesampingkan, mengingat pertimbangan bahwa dalam bidang ijtihad ini Khalifah dapat memanfaatkan bantuan para ulama yang mampu dalam bidang ini. Demikian juga dengan beberapa persyaratan yang lain.

Kemudian al-Mawardi memberikan penekanan yang istimewa terhadap syarat yang ke tujuh yang menyatakan seorang khalifah harus terdiri dari keturunan bani Quraisy, dan telah menjadi ijma' para sahabat, yang berlandaskan pada Nass yang berupa hadis-hadis Nabi, seperti yang dikutip Abu Bakar sebagai argumen untuk menolak pandangan Sa’ad Ibn ‘Ubadah di Tsaqifah Bani Sa’idah, hadis : الأئمة من قريش dan قدموا قريشا ولا تقدموها. Oleh karena itu mengenai persyaratan bani Quraisy ini tidak seorang pun yang merasa keberatan.

Bani Quraisy yang merupakan syarat khalifah senantiasa dipertahankan dari masa ke masa. Akan tetapi apabila kita akan melakukan penelitian secara kofrehensif menyangkut masalah autentitas kedua hadis di atas maupun yang menyangkut segi pengertian yang dikandungnya agaknya tidak mugkin dalam makalah yang sederhana ini. menarik apa yang dilakukan oleh Ibn khaldun ia mencoba menempatkan syarat etnik dalam konteks sosiologis, artinya Ibn Khaldun tidak menolak syarat etnis di atas, melainkan menghubungkan persyaratan Quraisy dengan arti penting 'asabiyyah (solidaritas kelompok) dapat dianggap sebagai suatu sikap yang bijaksana.

Cara pengangkatan Khalifah, menurut al-Mawardi ada dua cara yang bisa ditempuh:
a. Pemilihan oleh Ahl al-'Aqd wa al-Hall;
b. Penunjukan atau penetapan oleh Khalifah sebelumnya.
Dalam huhungannya dengan cara pertama, al-Mawardi membahasnya dengan sangat terperinci dengan menampilkan berbagai pendapat dalam setiap masalah, dilengkapi dengan pelbagai argumentasi, baik seeara logika, Nash agama maupun dari as-Sawabiq at-tarikhiyyah.
Penting untuk dikemukakan di sini pernyataan Qamar-ud Din Khan bahwa prinsip pemilihan Khalifah ini, secara jelas dihadapkan kepada pengakuan (klaim) Syi'ah tentang wasi. Demikian pula dalam hubungannya dengan teori al-Mawardi tentang kebolehan orang yang Mafdul (kurang utama) untuk menjadi khalifah sementara masih ada orang yang Afdal (lebih utama), menurut Qamaruddin juga ditujukan untuk melawan pendapat Syi'ah.

Al-Mawardi juga berpendapat, diangkatnya dua orang Khalifah yang memerintah dua negeri dengan tegas al-Mawardi menyatakan hahwa keduanya tidak sah khalifahnya, dengan alasan tidak boleh ada dua orang khalifah dalam satu masa. Adapun apabila diantara keduanya dapat diketahui khalifah yang lebih dahulu dibai’at, maka dalam kasus ini khalifah yang lebih dahulu dibai’at itulah yang berhak menjadi khalifah.

Pendapat al-Mawardi ini berbeda dengan pendapat al-Baghdadi, yang menyatakan dapat dibenarkan mengangkat dua khalifah asalkan kedua negeri tersebut dipisahkan oleh laut yang menghalangi sampainya pertolongan antara pihak yang satu dengan yang lainnya, pendapat ini sejalan dengan pendapat al-Asy’ari. Qomaruddin Khan berpendapat, dengan teorinya ini, al-Mawardi bermaksud menegaskan ketidaksahan khalifah Fatimiyah di Mesir dan khalifah Bani Umayyah di Andalusia.

Kedua cara pengangkatan khalifah meneurut al-Mawardi adalah berdasarkan ijma', (kesepakatan sahabat). Ijma' ini disandarkan pula pada dua hal yang dilakukan kaum muslimin terdahulu yang ternyata tidak diingkari kebolehannya. Kedua hal yang dimaksud ialah:
1) Tindakan Abu Bakar menunjuk ‘Umar sebagai penggantinya.
2) Tindakan ‘Umar menunjuk Ahl asy-Syura untuk memilih khalifah diantara mereka.
Dalam hal cara kedua ini, al-Mawardi membahasnya dengan sangat terperinci pula, antara lain dalam hubungannya dengan status orang yang ditunjuk, apakah ia masih dalam kaitan kekeluargaan dengan orang (khalifah) yang mengangkatnya ataukah tidak. Jika antara anak, ayah dan kerabat-kerabat yang lain dalam hal prosedur yang harus ditempuh bagi sahnya penunjukkan itu.

3. Pemecatan Seorang Khalifah dari Jabatannya
Seorang khalifah dapat dipecat dari jabatannya ketika ia berubah sifatnya sebagai seorang khalifah. Perubahan sifat khalifah yang membuatnya diturunkan dari jabatannya, ada dua hal:
1. kredibilitas pribadinya rusak,
2. terjadi ketidaklengkapan pada anggota tubuhnya.
Rusaknya kredibilitas pribadinya dapat terjadi karena ia melakukan perbuatan yang fasik, hal itu disebabkan oleh dua hal: ia mengikuti syahwatnya dan mengikuti perkara yang syubhat, artinya ia banyak melakukan perkara-perkara yang dilarang oleh agama, mengikuti syahwatnya dan lain-lain, dan ia melakukan takwil terhadap perkara yang subhat sehingga ia menghasilkan takwil yang menyalahi kebenaran.

Adapun ketidak lengkapan anggota tubuh ada tiga macam:
1. kekurangan pada pancaindra,
2. kekurangan pada anggota tubuh, dan
3. kekurangan dalam melakukan gerakan.
Kekurangan dalam pancaindra ada tiga macam:
1. yang dapat menghalangi seseorang untuk memangku jabatan khalifah,
2. yang tidak menghalangi untuk memangku khalifah, dan
3. kekurangan pacaindra yang diperselisihkan pengaruhnya terhadap seseorang untuk memangku jabatan khalifah.

Kekurangan pada anggota tubuh yang dapat meghalangi seseorang memangku jabatan khalifah ada dua macam:
1. hilangnya akal,
2. hilangnya penglihatan.

Kehilangan kecakapan dalam melakukan gerakan menurut al-Mawardi ada dua macam, yaitu hajr (terkuasai) dan qahr (tertawa). Pengertian hajr adalah jika pembantu-pembantunya menguasaimya dan merebut kendali pemerintahan darinya, namun mereka tidak memperlihatkan kemaksiatan dan membuat kesulitan terhadap masyarakat. Hal itu tidak menggugurkan jabatanya dan tidak pernah merusak legalitas jabatannya. Akan tetapi, harus diperhatikan tindakan orang-orang yang menguasai kendali pemerintahannya itu, jika berjalan sesuai hukum agama dan keadilan, ia boleh diakui sebagai pelaksana kebijakan. Hal itu dilakukan agar tidak mengganggu jalannya pelaksanaan urusan-urusan agama, yang dapat membuat kerusakan umat. Akan tetapi jika tindakan-tindakan mereka keluar dari rel agama dan keadilan, maka meurut al-Mawardi ia tidak dapat diakui lagi sebagai khalifah dan harus dipecat dari jabatan kekhalifahanya.

Pengertian qahr adalah jika khalifah jatuh dalam tawanan musuh dan tidak dapat membebaskan dirinya dari penawanan itu. Menurut al-Mawardi, ia harus dipecat dari jabatannya karena tidak mungkin dapat menjalankan tugasnya untuk mengatur urusan umat, baik musuh yang menawannya itu adalah kalangan musyrikin maupun kaum muslimin yang memberontak. Umat dapat memilih calon dari orang yang memang mempunyai kapabilitas menjadi khalifah.
Mengenai pemecatan jabatan khalifah al-Mawardi tidak menjelaskan secara mendetail bagaiaman cara atau mekanisme pemecatan khalifah yang tidak layak lagi dan siapa yang berwenang melakukan pemecatan itu.

D. Bebearapa Kritik Terhadap Teori Khilafah Al-Mawardi
Kritik tajam seringkali dilontarkan oleh para pengkaji al-Mawardi, baik dari kalangan sarjana-sarjana Muslim maupun para orientalis. Misalnya saja, kritik yang dilontarkan Hasan Ibrahim Hasan, bahwa al-Mawardi membahas khilafah secara teoritis dan tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa yang terjadi pada dan sebelum masanya. Von Kremer juga menyatakan al-Mawardi menulis teorinya sama sekali tidak mempertimbangkan keadaan politik pada masanya.

Perincian-perincian teori politik al-Mawardi di atas, dapat dipahami bahwa kedudukan khalifah dalam teori politik al-Mawardi menjadi begitu dominan. Hal semacam inilah banyak menuai kritik khususnya tentang masalah penunjukkan, kritik paling keras dilontarkan oleh Qamaruddin Khan yang menandaskan bahwa teori penunjukkan inilah yang mencabut cita-cita demokratis yang sangat berakar dalam politik Islam.

Agaknya kedudukan penunjukan sebagai suatu cara yang berdiri sendiri bagi pengangkatan khalifah, masih sangat perlu dipertanyakan. Beberapa penulis muslim seperti M.D. Al-Rayes, Abdul Karim Zaidan dan Muhammad Yususf Musa, cendrung menganggap “penunjukan” dari khalifah sebelumnya hanya sekedar pencalonan belaka yang masih memerlukan persetujuan atau bai’at umat. Dalam hubungan ini pula Yusuf Musa menganggap bahwa timbulnya pendapat seperti yang dikutup dari al-Mawardi di atas disebabkan karena ketidak telitian dalam memakaikan ungkapan.

Sementara itu syarat khalifah harus dari keturunan Quraisy dapat dipahami dari perspektif dua kemungkinan: pertama, tidak adanya orang non Quraisy yang dianggap mampu menjadi khalifah, atau hanya suku Quraisylah yang selama itu dapat melahirkan pemimpin yang baik. Dan kedua, al-Mawardi tidak bisa mengelak dari realitas poltik yang ada pada saat itu, yang menganggap suksesi secara turun temurun sebagai suatu kelaziman politik. Dari kasus ini antara lain muncul kesan bahwa teori al-Mawardi lebih bersifat memberikan justifikasi terhadap khalifah Abbasiyah.

Demikian pula, sistem pemilihan khalifah melalui mekanisme ahl al-Halli wa al-‘aqdi hanya berlaku dalam teori yang didasarkan pada peraktek yang terjadi pada Umar bin Khattab yang membentuk komisi untuk memilih peggantinya. Secara faktual mekanisme ini tidak pernah berjalan pada masa Abbasiyah. Dengan lebih jelas, meskipun mikanisme penunjukanpengganti khalifah pernah terjadi pada masa Abu Bakar, namun sebagai basis teoritis untuk mendukung praktek penunjukan pengganti khalifah sebagaiaman yang terjadi pada masa Abbasiyah. Al-Mawardi juga tidak menjelaskan bagaiamana ahl al-Ikhtiyar atau ahl al-’aqdi wa al-hall itu diangkat, dan dari kalangan mana, berdasarkan kualifikasi pribadi atau perwakilan kelompok.
Dalam hal ini termasuk juga pemecatan khalifah, sekalipun al-Mawardi menyatakan ketidak mampuan khalifah menegakkan keadilan, memelihara agama dan lain-lain, akan tetapi dalam sejarahnya tidak pernah ada khalifah yang di pecat di tengah jalan karena melakukan pelanggaran. Hampir dalam semua kasus, penggantian khalifah dilakukan karena ia meninggal dunia, tanpa melihat kualitas moral dan kecakapan orang yang menggantinya.
Karenanya, teori poltik al-Mawardi terlihat adanya ambiguitas, kadangkala al-Mawardi berfikir dan bersikap normatif terhadap kasus-kasus tertentu, dan realistis-pragmatis untuk kasus-kasus lainnya. Sikap demikian ini tidak lepasdari situsi politik dan keagamaa yang berkembang pada masa Abbasiyah terutama Abad ke 10-11 M.

E. Kesimpulan
Setelah melakukan kajian tentang teori-teori politik al-Mawardi, maka bisa diambil kesimpulan bahwa, eksposisi pemikiran politik al-Mawardi mencerminkan akomodasi terhadap realitas dan praktek politik pada masanya. Bahkan beberapa pemikirannya memberikan justifikasi terhadap khalifah. Suatu analisis yang patut dikemukakan yang terkait dengan wajibnya pengangkatan adalah berdasarkan wahyu, tidak berdasarka pertimbangan akal.

Sebagai suatu buku yang ditulis atas permintaan khalifah yang sedang berkepentingan untuk memperjuangkan kembalinya wibawa yang sudah hilang sejak lama, adalah wajar apabila teori-teori politik yang ditulis al-Mawardi dalam al-Ahkam as-Sultaniyyah menampakkan kecenderungan untuk memberi konsesi yang besar kepada khalifah.

Teori al-Mawardi tentang tidak bolehnya berbilang khalifah dalam satu masa mempunyai kaitan yang serta dengan situasi pemerintahan dunia Islam yang sudah terpecah belah dalam beberapa khalifah dimasanya. Terlepas dari adanya pelbagai kritik terhadap beberapa teori politik al-Mawardi, namun kedudukan kitab al-Ahkam as--Sultaniyyah sebagai karya tulis ilmiah pertama dalam ilmu politik dan administrasi pemerintahan dalam perjalanan sejarah Islam tidak dapat diingkari.


F. Daftar Pustaka
Al-Atsir, Ibn, al-Kamil fi al-Tarikh, X, Beirut: Dar ash-Shadir, 1966.
Al-Mawardi, Adab ad-Dunya Wa al-Din, Musthafa al-Saqa (ed.), Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
…………, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, (Terj.) Beirut: Maktabah al-Islamy, 1996.
Al-Rayes, M.D., an-Nadariyyat as-Siyasiyyah al-Islamiyyah, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, 1957.
Arafah, Khamami Zada dan Arif R., Diskursus Politik Islam, Jakarta: LSIP, 2004.
Fuad, Nur Mufid dan A. Nur, Bedah al-Ahkamus Sulthaniyah al-Mawardi, Mencari Konsep Kelembagaan Politik Era Abasiyah, Surabaya: Pustaka Progressif, 2000.
Hasan, Hasan Ibrahim, Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Tsaqafi wa al-Ijma’i, IV, Kairo: Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1965.
Khan, Qamar-ud Din, Al-Mawardi’s Theory of The State, Chicago: The University of Chicago, 1983.
Khalikan, Ibn, Wafat al-‘Ayan wa al-Anba’ al-Abna’ az-Zaman, Jilid III, DR. Ihsan Abbas (ed.), Beirut: Dar al-Tsaqofah, 1970.
Lambton, State and Government in Medieval Islam, London: Oxford University Press, 1981.
Litle, Donald P., “New Look at al-Ahkam as-Sulthaniyah” dalam The Muslim World, No 1, vol. LXI, 1957.
Ma’arif, Ahmad Syafi’ie, Islam as The Basis of the State, Chicago: The University of Chicago, 1983.
Musa, Muhammad Yusuf, Nidzam al-Hukm fi al-Islam, Cairo: Dar al-Ma’arif, 1964.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993.
Zaidan, Abdu al-Karim, al-Fard wa al-Daulah fi asy-Syari’ah al-Islamiyah, Gary, Ind: IIFSO, 1970.

No comments:

 

Most Reading