Gerakan Islam

Thursday 21 April 2011

Perjuangan Menuju Negara Islam

Kartosuwiryo, Tokoh Radikal dan Fundamentalis[1]


Faishal Shadik





Pendahuluan

            Cita penegakan syari’at Islam Nusantara tidak pernah mati sampai hari ini. Cikalnya seolah telah menghujam dalam-dalam di sanubari umat, yang jika diurut mundur hingga ke pusaran sejarah pra kemerdekaan. Para pejuang Islam jualah yang angkat senjata melawan penjajahan. Dari Tjut Nyak Dien hingga Sultan Hasanuddin, Imam Bonjol hingga Pangeran Diponegoro, berlanjut hingga suksesnya pejuang politik Islam meretas proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

            Namun gempita merdeka yang telah diproklamasikan cacat bernila. Tujuh patah kata tentang keharusan penerapan syari’at Islam bagi para pemeluknya dihapus dari pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. alasannya, hanya demi merayu hati minoritas Kristen agar urung memisahkan diri.

            Pergulatan terus berlanjut, tekad para pejuang muslim untuk menjadikan Islam nafas bagi kemerdekaan Indonesia akhirnya pupus tak tersisa, ketika Presiden Soekarno berteguh hati menolak menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Amuntai, Kalimantan Selatan, pada 27 Januari 1953, Soekarno menegaskan “yang kita inginkan adalah negara nasional yang meliputi seluruh Indonesia.” “Jika kita mendirikan negara berdasarkan Islam, banyak daerah yang penduduknya bukan Islam akan memisahkan diri.”

            Menyusul diterimanya Pancasila sebagai dasar negara oleh para elit politik bangsa dengan diterapkannya Pancasila sebagai dasar falsafah negara, maka Indonesia dalam babakan perkembangan sejarah ketatanegaraannya lantas dikenal sebagai negara Pancasila[2]. Negara pancasila yang usianya masih muda, banyak menghadapi berbagai persoalan dan tantangan, baik sosial, ekonomi maupun politik, pada awal sejarah kelahirannya. Sejauh menyangkut Islam politik, tantangan-tantangan atau bahkan “ancaman” politik -terhadap negara pancasila-[3] datang antara lain dari aksi dan gerakan DI (Darul Islam) atau NII (Negara Islam Indonesia). Gerakan ini meletus di Jawa Barat pada tahun 1949 dipimpin oleh Kartosuwiryo, salah seorang tokoh muslim beraliran keras, yang membentuk TII (Tentara Islam Indonesia) dengan tujuan utamanya untuk mendirikan negara berdasarkan Islam dan dia sendiri mengkalim dirinya sebagai Imamnya.[4]

           

 Riwayat Pendidikan dan Aktivitas politiknya

            Sekarmaji Maridjan Kartosuwiryo demikianlah nama lengkap Kartosuwiryo, berasal dari Cepu, sebuah kota kecil dan sunyi di perbatasan Jawa Tengah Jawa Timur. Lahir 7 Februari 1905, nama aslinya Sekarmaji sedangkan Marijan Kartosuwiryo adalah nama Ayahnya yang seorang pegawai Gebernemen Hindia Belanda dengan jabatan mentri kehutanan. Dari segi ekonomi ayahnya mempunyai kelebihan materi yang memungkinkan ia disekolahkan, meskipun tidak ada tanda bahwa ia belajar disalah satu sekolah Islam[5].

             Pada usia 6 tahun, Kartosuwiryo kecil masuk sekolah rakyat (tweede Inlandsche School) di desa Pamotan sebuah kota kecamatan yang memiliki lingkungan sosial cukup religius di kabupaten Rembang Selatan yang berbatasan dengan kecamatan Sedan yang keduanya merupakan parameter kota santri[6]. Dan empat tahun kemudian menginjak kelas V, 1915, ia pindah ke Hollandsh Inlandsche School (HIS) di Rembang. Selanjutnya ia diterima menjadi siswa Europeesche Lagere School (ELS), sekolah rendah bagi anak-anak Eropa di Bojonegoro dari tahun 1919 dan tamat pada tahun 1923, saat usianya 18 tahun[7].

            Sesudah menamatkan pelajarannya di Hogere Burgelijks School (HBS), SM. Kartosuwiryo melanjutkan pelajaran di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), yaitu sekolah tinggi kedokteran di Surabaya.[8] Sejak duduk di tingkat pertama NIAS 1926, Karto telah aktif terjun ke dalam partai politik. Sehingga ia hanya bertahan sampai tingkat empat, untuk kemudian dikeluarkan karena kegiatan politik yang dilakukannya dalam Liga Pemuda Islam (Jong Islamieten Bond) yang lebih mengedepankan identitas Islamnya. Kartosuwiryo menjadi ketua cabang JIB Surabaya dalam usia 18 tahun, usia yang relatif masih sangat muda tetapi sudah cukup matang[9].        

            Sekarmaji menjadi seorang yatim pada umur 20 tahun, ketika pada tahun 1925 ayahnya, Marijan Kartosuwiryo meninggal dunia. Maka setelah dikelurakan dari NIAS lantaran kegiatan politkinya, untuk beberapa waktu lamanya ia memilih bekerja menjadi guru swasta di Bojonegoro.



Kartosuwiryo, dalam Masyumi: dari Moderat hingga Garis Keras

            Kartosuwiryo pernah pula duduk dalam Masyumi dan organisasi Islam sebelumnya yakni Sarekat Islam. Namun sikap radikal dan fundamentalisnya menyebabkan ia dikeluarkan dari SI. Deliar Noer mencatat pemecatan terhadapnya dilakukan SI pada masa kepemimpinan Abikusno Tjokrosujoso[10].

            Pemecatan terhadapnya tidak lepas dari sikapnya yang membuat brosur tentang masalah hijrah sebagai sikap partai tanpa lebih dahulu berkonsultasi dengan Abikusno. Konsep hijrah yang dikemukakan dalam brosur memang sangat radikal, misalnya partai SI tidak perlu turut serta dalam dewan-dewan yang dibentuk oleh pemerintah Belanda. Partai harus bersedia untuk memprotes segenap tindakan hukum atau ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda. Brosur ini sekaligus menolak sikap SI yang hanya bersikap non kooperasi. Jadi dalam persepsinya SI harus lebih radikal.

            Dalam perjalanan selanjutnya, Kartosuwiryo membentuk PSII tanding-an. Ia menilai bahwa partai SI yang dipimpin Abikusno hanyalah merupakan sekumpulan orang-orang yang telah mengkhianati perjuangan masyarakat Islam yang sebenarnya[11]. Ia kemudian menganggap dirinya merupakan kelanjutan yang sebenarnya dari SI. Kartosuwiryo yang pernah mengenyam pendidikan sekolah dokter mempunyai kecendrungan pada mistik dan pernah belajar pada beberapa orang kyai di Priangan. Kecendrungannya pada mistik inilah yang mempengaruhi sikap irasional dan menyebabkan ia terasing dari pimpinan (SI) lainnya[12].

            Pengetahuan Islam dilakukannyadengan pengenalan pribadi dengan para ulama yang berjumpa dengannya secara kebetulan. Tjokroaminoto juga memberikan sebagian pendidikan politik dan agama. Demikian juga pimpinan SI Surabaya. Namun yang lebih banyak mengisi pengetahuan agamanya adalah para pemimpin Islam pedesaan. Jalan kehidupan religiusnya lebih banyak ia dapatkan ketika ia pindah ke Malangbong, sebuah kota kecil dekat Garut dan Tasikmalaya. Disinilah ia belajar giat tentang Islam pada sejumlah Kyai, antara lain Kyai Yusuf Tauzi dan Kyai Ardiwisastra (mertuanya). Yang dalam tradisi keIslaman keduanya masuk dalam tradisi “kolot” yang menafsirkan Islam secara sempit[13].

            Pengetahuan yang diterima Karto dari kehidupannya sangat berbeda dengan tokoh-tokoh masyumi. Deliar Noer membedakan antara Kartosuwiryo dengan tokoh Masyumi lainnya, ia melihat bahwa Kartosuwiryo lebih mementingkan simbol-simbol dibanding subtansi. Hal ini dapat dilihat dari terminologi yang ia pakai seperti imam untuk kepala negara Darul Islam atau Negara Islam daripada negara Indonesia, sedangkan tentang tujuannya, antara Kartosuwiryo dan Masyumi masih dipermasalahkan, bila tujuannya berkaitan dengan subtansi, maka gerakannya tidak mempunyai kesempatan untuk dapat mengembangkan pemikirannya yang berkaitan dengan subtansi karena Kartosuwiryo sendiri menggunakan kekerasan[14].

            Selain itu, Kartosuwiryopun lebih memilih gaya kepemimpinan yang cenderung diktator dan otoriter serta menuntut ketaatan “mati” para pengikutnya. Sedangkan tokoh Masyumi lebih memilih dialog dan musyawarah dan memilih gaya kepemimpinan yang demokratis[15].

            Meskipun demikian, Kartosuwiryo pernah duduk dalam pengurus besar Masyumi, ia keluar dari Masyumi karena perbedaan visi perjuangan. Perbedaan ini tampak jelas ketika ia menolak mentah-mentah persetujuan Roem Royen. ia melihat persetujuan itu sebagai “penghianatan total”.[16] Perjanjian ini juga yang mendorong ia membangun kekuatan dan mengaplikasikannya ke wacana fisik dengan melakukan pemberontakan. Yang saat itu dalam negara merupakan satu masalah yang sangat mengkhawatirkan pemerintah Indonesia, dimana masyumi-pun memiliki kewajiban penting dalam mepertahankan keutuhan negara RI[17].       

           

DI (Darul Islam), Negara Islam Indonesia (NII) dan SM Kartosuwiryo

Sejak tahun 30-an Kartosuwiryosudah mulai secara terus terang memperkenalkan ide serta istilah Darul Islam. Tahapan-tahapan yang dilalui dalam memperjuangkan cita-cita Islam-nya dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga.

Menurut Syekh Hasan al-Banna, pendiri Jama’ah Ikhwanul Muslimin, perkembangan dakwah, tidak bisa tidak mesti melalui tahapan-tahapan antara lain: Pertama, tahap propaganda, pengenalan serta penyebaran ide untuk menyampaian kepada publik. Tahap kedua, pembentukan seleksi pendukung, penyiapan pasukan dan menyusun barisan dari kalangan massa. Kemudian tahab ketiga, adalah pelaksanaan dan kerja nyata.

Ketiga tahapan itu saling bahu membahu, mengingat kesatuan dakwah dan kuatnya hubungan satu sama lain. Setiap da’i harus menyeru, dan pada waktu yang sama ia harus menyeleksi dan mendidik sekaligus melaksanakan seluruh langkah-langkah kebijaksanaan dakwah. Akan tetapi tidak diragukan lagi, bahwa tujuan akhir dari hasil yang sempurna baru bisa dicapai setelah meratanya propaganda, banyaknya pendukung dan matangnya pembinaan.

Dalam rangka idz-harul Haq, merealisasikan kebenaran dan memenangkan Islam, dalam pandangannya haruslah melalui tahapan-tahapan berdasarkan al-Qur’an al-Baqarah ayat 218. demikianlah tahapan imarad, yaitu iman, hijrah dan jihad. Sebagaimana tahapan perjuangan yang dilakukan Rasulullah saw, dengan memulai dakwah keimanan terlebih dahulu, setelah itu, orang-orang yang telah beriman itu diperintahkan untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah atau dari pola hidup jahiliyah menuju kehidupan yang Islami, dari kekafiran menuju keimanan. Selanjutnya mereka diwajibkan untuk berjihad fi sabilillah, guna mempertahankan keimanan serta melanjutkan misi dakwah. 

Mulanya, Sekretaris Umum Partai Sarekat Islam Hindia Timoer di Batavia ini ingin mendirikan NII secara legal, baik dengan persetujuan pemerintah di Yogyakarta ataupun karena kejatuhan Pemerintah RI[18]. Karena itulah, pada 1948, ia meminta agar Panglima Sudirman mengangkatnya menjadi "panglima" atas rakyat dan semua jajaran TNI di Jawa Barat. Selain itu, ia juga meminta sebuah daerah percobaan untuk Negara Islam yang akan didirikannya. Tapi, Sudirman menolaknya[19]. Pada 10 Februari 1948, 160 wakil organisasi Islam berkumpul di Cisayong, Jawa Barat, untuk mengadakan konferensi. Saat itu Kartosuwiryo hadir sebagai wakil Pengurus Besar Masyumi untuk Jawa Barat. Dalam konferensi tersebut, Masyumi dan semua cabang organisasinya diubah menjadi Madjlis Islam Pusat (MIP), yang dipimpin Kartosuwiryo sebagai Imam, dan yang merupakan sebuah pemerintahan Islam di daerah tersebut.

            Keputusan penting lainnya adalah pembentukan Tentara Islam Indonesia
(TII) yang telah lama direncanakan, sebagai gabungan Sabilillah, Hizbullah, dan organisasi Islam lainnya. Namun, Kartosuwiryo tak memberitahukan teman temannya di Yogyakarta tentang perubahan MIP menjadi Dewan Imamah yang dipimpinnya itu. Bahkan, pada 6 Juli 1948, ia mengirim pesan rahasia kepada Kamran (komandan teritorial Sabilillah) atas nama Pemerintah Negara Islam Indonesia (PNII) yang ditandatanganinya sendiri sebagai Imam.

            Pada 25 Agustus 1948, keluarlah maklumat pertama PNII yang memerintahkan mobilisasi dan militerisasi total dari rakyat. Dua hari kemudian, selesailah penyusunan Kanun Azasi sebagai konstitusi NII. Dalam maklumat berikutnya, Kartosuwiryo menyatakan tak mungkin lagi dapat menyelesaikan masalah dengan Belanda secara damai. Karena itu, rakyat harus disiapkan untuk menghadapi perang total. Ketika pecah Agresi Militer yang menyebabkan tertangkapnya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta oleh Belanda, Kartosuwiryo segera mempermaklumkan "perang suci semesta" demi dapat mendirikan NII. Ia menyerukan pentingnya satu kesatuan komando untuk menghindarkan politik devide et impera di masa mendatang. Ia juga menyatakan kesanggupannya memegang kesatuan komando itu sebagai pimpinan NII. Ia berharap NII akhirnya dapat dilegalisir tanpa perlu proklamasi.

            Itulah awal bagi terjadinya kerusuhan panjang yang melibatkan DI/TII, rakyat, dan TNI, yang kelak mengakibatkan kerugian besar dan kerusakan berat dalam pembangunan daerah Jawa Barat. Menurut laporan resmi, jumlah korban yang terbunuh, luka parah, dan terculik mencapai 22.895 jiwa. Sedangkan jumlah kerugian materiil saat itu diperkirakan 650 juta rupiah[20].

            Gerakan DI yang dipimpin Kartosuwiryo dalam waktu yang relatif singkat telah mendapat pengikut yang banyak, tidak hanya di Jawa Barat sebagai basis gerakan, gerakan ini juga mendapat respons dari Aceh dan Sulawesi Selatan.[21]

            Dengan pengecualian di sana-sini, Dijk berusaha untuk dapat memahami akar-akar penyebab timbulnya gerakan-gerakan yang sama di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh. Sedangkan untuk gerakan DI/TII di Jawa Tengah -meskipun Dijk memahaminya dari sisi lain-, sebenarnya dia sependapat bahwa gerakan inipun sebenarnya merupakan satu bagian dengan gerakan DI/TII Jawa Barat.[22]

            Seperti gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan yang didorong oleh kekecewaan mendalam Kahar Muzakkar terhadap kebijaksanaan pemerintah yang ingin memperkokoh kekuasaan samapai ke daerah-daerah. Demikian juga yang terjadi di Kalimantan Selatan. Bahkan untuk ini, Dijk menyebutnya sebagai “gerakan mereka yang tertindas”. ALRI Divisi IV Kalimantan Selatan yang dipimpin Hasan Basry merupakan benteng melawan Belanda. Atas jasa ini, Divisi itu di serahkan untuk membuat Pemerintahan Militer di daerah tersebut. Tetapi kekuasaan ini terpaksa lepas, ketika ternyata, hasil perundingan pemerintah Belanda-Indonesia menunjukkan hal lain; Kalimantan Selatan tidak akan menjadi bagian Wilayah republic Indonesia, melainkan jadi bagian dari daerah-daerah otonom Banjar dan Kalimantan Tenggara, dua negara anggota Republik Indonesia Serikat (RIS) yang direncanakan. Proses selanjutnya devisi ini dirubah menjadi “Divisi Lambung Mangkurat” di ikuti pula kebijaksanaan demobilisasi. Dan lebih celaka lagi jabatan-jabatan militer yang penting diserahkan kepada kelompok-kelompok yang dalam pandangan mereka, telah bekerjasama dengan Belanda atau orang-orang luar daerah. Keadaan inilah yang mendorong Ibnu Hajar, seorang eks perwira Divisi IV ALRI memberontak.

            Yang sedikit agak berbeda adalah gerakan DI/TII Aceh di bawah pimpinan Teuku Daud Beureueh. Sampai dengan kemerdekaan, Aceh tidak pernah lagi dikuasai oleh Belanda. Kelompok-kelompok yang dominant adalah kaum ulama (rakyat). Revolusi sosial, yang mencapai klimaksnya pada “Perang Cumbok” meruntuhkan kekuasaan feudal. Meskipun demikan kaum ulama masih menyatakan kesetiaan mereka pada Republik. Gerakan DI/TII Aceh timbul karena pencabutan daerah Propinsi Aceh menjadi bagian dari Propinsi Sumatera Utara.

            Situasi pemberontkan yang terjadi secara berentetan ini telah didahului oleh Kartosuwiryo di Jawa Barat. Sehingga kecemasan, kekecewaan yang merata di kalangan kelompok-kelompok ini menjadi dasar untuk melibatkan mereka dalam gerakan DI/TII. Mereka berhasil menyatukan pendapat, dan akhirnya meluaslah gerakan DI/TII ini hampir di seluruh bagian Indonesia. 



Memilih Jalan Radikal

            Persoalan pokok sejak Indonesia merdeka adalah faham penegakan negara yang tercakup dalam nasionalisme, sosialisme, dan komunisme. Tiga ideologi ini berlomba mengusahakan tegaknya ajaran masing-masing, yaitu Islam, Nasionalisme, dan Sosialisme, tarik ulur ketiga ideologi ini masih terus berjalan, kadang dengan tarik ulur kedamaian, kadang dengan tolak-menolak faham; walau seharusnya perbedaan tidak perlu berkembang menjadi permusuhan.

            Dikalangan mereka yang sefaham Islampun, baik cara maupun isi bisa memperlihatkan perbedaan, malah pertikaian. Ada yang ingin menegakkan fahamnya dengan jalan konstitusional (seperti partai-partai Islam yang ada, termasuk Masyumi – 1945, Nahdatul Ulama – tahun 1952, juga Perti dan PSII). Ada pula yang berjuang dengan radikal (DI/NII).[23]

            Sebelum mendirikan DI/TII, Kartosuwiryo tidak pernah berseberangan dengan kebijakan politik Masyumi, setidaknya sampai bulan Februari 1948. pemikiran dan cita-citanya tentang kedudukan politik di Indonesia dan tentang cara ummat Islam berjuang untuk menegakkan ajaran Islam dalam masyarakat dan negara, pada dasarnya merupakan semangat yang sama dengan yang diperjuangkan oleh Masyumi dan gerakan keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah secara umum. Pada Agustus tahun 1946 dalam brosur yang ditulis sendiri oleh Kartosuwiryo dengan judul Haluan Politik Islam, ia mengajak rakyat untuk mendukung pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan agenda revolusi nasional. Ia juga menyatakan toleransinya kepada ideologi lain[24].

            Ketika Kartosuwiryo memilih jalur radikal dalam menyalurkan aspirasinya iapun menyerang kalangan kaum nasionalis yang mencela rasa nasionalisme yang berasaskan Islam, ia menekankan bahwa Islampun mempunyai keinginan untuk meraih kemerdekaan. Hanya bedanya kaum nasionalisme melihat kemerdekaan adalah puncak tujuan, sedangkan bagi kalangan Islam kemerdekaan hanyalah satu syarat atau jembatan yang harus dilalui guna meraih kemerdekaan dan berlakunya hukum Islam di tanah air.[25]

            Pemberlakuan hukum Islam dalam pandangan Kartosuwiryo dapat ditegakkan dengan pendirian negara Islam Indonesia. Dengan tegaknya hukum Islam maka ummat Islam depat melepaskan diri dari segala bentuk penindasan di dunia dan akhirat. Hal ini di tegaskannya dalam Manifesto politik yang dikeluarkan tidak lama setelah proklamasi NII dan KMB.[26] Pada tanggal 7 Agustus 1949 Kartosuwiryo secara resmi menyatakan berdirinya NII. Dokumen menyatakan bahwa proklamasi NII berbunyi: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi maha penyayang, kami ummat Islam dari Rakyat Indonesia menyatakan berdirinya NII. Hukum yang berlaku dalam NII adalah hukum Islam.”[27]

            Pemikiran radikal Kartosuwiryo dapat dilihat dari tulisan-tulisannya. Dalam Daftar Oesaha Hijrah PSII, ia membagi klarifikasi masyarakat menjadi tiga bagian. Pertama, Masyarakat Hindia Belanda ialah masyarakat terjajah koloniale maatschappij, yang menimbulkan golongan pertuanan (heerschende group), golongan yang memerintah dan golongan yang diperintah, kelompok masyarakat ini merupakan yang terbesar pengaruhnya karena kekuasaan dan kekuatan yang ada pada dirinya. Ada hukum dan hakimnya, ada perintah dan pemerintahannya. Kedua, adalah masyarakat kebangsaan Indonesia, adalah masyarakat bangsa. Kelompok ini belum memiliki hukum dan pemerintahan sendiri, pendeknya serba kekurangan dalam segala-galanya. Ketiga, adalah masyarakat Islam atau Darul Islam, keadaannya tidak seberapa berbeda dengan yang kedua. Namun Kartosuwiryo menegaskan masyarakat yang ketiga ini tidaklah ingin berbakti kepada Ibu pertiwi atau siapapun juga, tetapi ia hanya berbakti kepada Allah yang Esa.[28]

            Kemudian ia menyodorkan konsep hijrah sebagai syarat mutlak untuk membentuk Darul Islam. Ia mendasarkan diri pada asumsi sejarah Nabi yang melakukan hijrah dengan memisahkan diri dari kaum Quraisy di Mekkah untuk pindah ke Madinah. Ia kemudian menilai hendaknya SI membentuk benih untuk memisahkan diri dari Hindia Belanda.

            Dalam tafsiran selanjutnya, ia tidak saja berusaha pisah dari Hindia Belanda tapi juga dari RI dan membentuk “Negara” tersendiri yang menurutnya berdasarkan Islam. Hal ini ia ditegaskannya dengan melihat Darul Islam berbeda tujuan dari Indonesia raya, dimana didalamnya tiap-tiap muslim dapat melaksanakan hukum-hukum Islam dengan seluas-luasnya baik yang berkaitan dengan syhasiyah maupun idjti’hadiyah.[29]

            Bukti Kartosuwiryo memisahkan diri dari RI sebagaimana yang dianalisa Van Dijk bahwa sejumlah pengumuman telah disebarkan atas nama NII. Misalnya setelah aksi militer Belanda II dan ditangkapnya petinggi RI, ia mengumumkan sebagai Imam NII yang kemudian hendak merealisasikan pembentukan dewan Imamah. Kondisi ini baginya merupakan peluang untuk menggantikan pemerintah RI dengan Pemerintah NII. Selain itu juga dapat dilihat dari seruan untuk melakukan perang suci bersama Tentara Islam Indonesia untuk membantu rakyat guna menyelesaikan revolusi Islam agar NII segera dapat ditegakkan.[30]

            Kartosuwiryolah yang pertama kali menciptakan istilah Negara Islam Indonesia. Hal ini dijelaskan oleh Muhammad Natsir karena pada tahun 1930-an tidak ada istilah itu, yang ada adalah negara “berdasarkan Islam”.[31] Untuk negara Islam Indonesiapun ia siapkan bendera dengan warna merah putih dengan bulan sabit. Sedangkan maksud dan tujuan pembentukan NII adalah menegakkan NII jika perlu dengan kekerasan sekalipun. [32]

            Bentuk Negara Islam kemudian diperjuangkannya di luar parlemen. Untuk menopang Negara Islam yang diperjuangkannya, ia membentuk gerakan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia yang digunakan untuk menentang pemerintah RI. Dari segi waktu gerakan ini bertahan cukup lama, juga dari segi gerakan mereka mendapat simapatisan yang cukup luas. Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera khususnya Aceh, Kalimantan dan Sulawesi Selatan serta beberapa tempat di Indonesia Timur yang mayoritas penduduknya Islam seperti Bima di NTB.[33]

            Para pengikut DI sangat ekstrem dalam memandang pancasila. Bagi mereka, Pancasila tidak memiliki kekuatan moral untuk dijadikan dasar negara. Lebih ekstrem, kedudukan Pancasila justru akan membahayakan kedudukan agama Islam. Jika Pancasila dibiarkan tersebar dalam masyarakat, maka ummat Islam akan menjadi murtad.[34]

            Dalam perjuangan ide-idenya, Kartosuwiryopun mendapatkan banyak perlawanan. Tidak saja dri tentara tapi juga dari kalangan muslim lainnya terutama dari tokoh Masyumi. Sebenarnya Natsirpun pernah menawarkan jalan “damai” kepadanya agar ia kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi. Tapi iapun menjawab surat itu dengan mengatakan “Sayang saya sudah terlebih dahulu memaklumkan proklamsi NII pada tanggal 7 Agustus 1949.”.

            Ternyata tidak hanya Natsir yang berupaya mengajaknya, KH. Masjkur yang pernah menjadi Mentri Agama dari NU-pun pernah juga mencoba menemui Kartosuwiryo tapi juga mengalami kegagalan. Ia selalu tidak ada ditempat dan sengaja menghindari pertemuan dengan Mentri Agama.[35]        



Pengadilan Politik: SM. Kartosuwiryo sebagai Terdakwa

            Pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintah RI dan Belanda mengadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag. Diantara hasilnya adalah: Negara RI berubah bentuk menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), Soekarno diangkat sebagai Presiden RIS. RIS harus menghancurkan NII dan RIS membayar rampasan perang. Sebagai wujud pelaksanaan putusan KMB, maka sekitar tahun 1950-1951 terjadi per-tempuran di mana-mana antara TNI yang dibantu Belanda melawan Tentara Islam Indonesia.

            Pada tanggal 21 September 1953, Abu Daud Beureuh yang sebelumnya menjadi gebernur militer untuk daerah Aceh dan Sumatera Timur, menyatakan bergabung dengan pemerintah Negara Islam Indonesia. Teungku Daud Beureuh kemudian memberontak pada pemerintah RI. Sebab utama dari pemberontakan tersebut antara lai, karena tuntutan rakyat Aceh untuk menjadikan Aceh sebuah Propinsi ditolak oleh Kabinet Natsir (Masyumi). Pada gilirannya, tuntutan tersebut dapat dipenuhi oleh cabinet Ali Sastroamojoyo, tetapi sudah terlambat, sebab rakyat Aceh telah mengumumkan pemberontakannya pada tanggal 21 September 1953. dan cabinet Natsir akhirnya terguling oleh mosi Hadikusumo (PNI) mengenai PP 39

Berturut-turut setelah itu, pada tahun 1953, Ibnu Hajar dari Kalimantan Selatan beserta 1 devisi angkatan lautnya bergabung dengan NII. Diikuti oleh Qahar Muzakkar dari Sulawesi Selatan dengan 2 devisi angkatan daratnya. Terakhir yang menyatakan diri bergabung dalam pangkuan Negara Islam Indonesia adalah Mayor Munawar beserta ank buahnya dari batalyon 426 Kudus Jawa Tengah.

Menyaksikan dukungan dari berbagai daerah terhadap NII, rezim Soekarno yang berpaham komunis merasa terancam kedudukannya, maka mulailah dia mencari dukungan dengan memperalat umat Islam untuk menghadapi saudaranya sesama muslim yang bergabung dalam NII, dan ternyata mendapat sambutan dari kalangan Nahdhiyyin (NU).  Bahkan ia menyebutkan bahwa pelarian tentara RI yang mengungsi dari daerah pertahanan di Jawa Barat ke Yogyakarta sebagai hijrah untuk melaksanakan perjanjian Renville yang merugikan perjuangan bangsa Indonesia. Kaum muslimin yang bergabung dalam berbagai aksi militer ketika itu, mendengar kata hijrah, langsung saja mengasosisasikan langkah mereka sebagai hijrah Nabi saw dan para sahabat dari Mekkah ke Madinah. Dengan taktik ini Soekarno memang berhasil menghimpun dukungan dari umat Islam.

Selanjutnya, pertengahan 1960, dimulailah penumpasan dan pengisolasian gerakan DI/TII di Kabupaten Lebak (termasuk Korem Banten) melalui pelaksanaan konsep Perang Wilayah yang dipimpin Pangdam Siliwangi Ibrahim Adjie. Dalam keadaan terdesak, pada 11 Juni 1961, pihak DI mengeluarkan Perintah Perang Semesta. Banyak yang menyerah, tak sedikit pula yang mati. Namun, Kartosuwiryo tetap bertahan. Meski sakit parah, ia masih sempat memerintahkan membunuh Presiden Soekarno ketika sedang mengikuti salat Idul Adha di halaman Istana Negara, tahun 1962.

            Akhirnya, Kartosuwiryo tertangkap. Di depan Sidang Mahkamah Angkatan Darat, 16 Agustus 1962, ia dituntut hukuman mati karena didakwa bersalah atas kegiatan makar untuk merobohkan Negara RI dan dan makar untuk membunuh Kepala Negara. Pada 5 September 1962, Kartosuwiryo menemui ajalnya di hadapan regu penembak dari keempat angkatan.

           


Penutup

            Holk H. Dengel, penulis Darul Islam dan Kartosuwiryo, Angan-angan yang Gagal[36], menyimpulkan bahwa di satu sisi sebenarnya Islam berhasil menjadi kekuatan nasional. Namun, di sisi lain, ia gagal menjadi simbol politik dan faktor pemersatu rakyat Indonesia. Kalaupun DI/TII mampu bertahan selama 15 tahun,[37] hal itu dikarenakan ketaatan dan kesetiaan (dengan sumpah) para anggota gerakan terhadap Kartosuwiryo sebagai Imam dan Panglima Tertinggi.

            Dengan demikian, gerakan-gerakan DI secara tragis mengalami kehancuran dan gagallah usaha mereka untuk mendirikan negara yang berdasarkan Islam di Indonesia. Negara Indonesia yang berdasarkan pancasila tetap hidup dan mampu bertahan. Yang perlu dicatat bahwa mayoritas umat Islam, baik kalangan tokoh-tokoh agama maupun tokoh-tokoh sosial-politiknya, sama sekali tidak memberikan dukungan moril dan legitimasi agama dan politik terhadap gerakan-gerakan DI tersebut. Ini berarti bahwa, secara tegas gerakan DI itu adalah gerakan kelompok-kelompok sempalan (splinter groups) dan sama sekali bukan merupakan representasi mainstream (arus utama) dari entitas aspirasi politik mayoritas umat Islam Indonesia.

            Dalam lebaran sejarah masa kini, hancurnya harakah Islamiyah, baik secara politik maupun militer, seringkali disebabkan karena para eksponen Islam gampang dibeli dan mudah diadu domba oleh lawan tanpa disadari. Kemudian terbukanya gerbang qila qa qala. Awalnya tak terasa, kebiasaan mencela pemimpin dalam hal keteguhan dan kesungguhannya memegang prinsip jama’ah, kemampuan serta kelayakannya memimpin harakah. Selanjutnya meragukan kebenaran serta keabsahan konsep harakah yang dibuat oleh para pendahulu. Bermula dari keraguan ini, tumbuhlah krisis kepercayaan, krisis ukhuwah, krisis solidaritas yang berakibat goyahnya bangunan harakah. Jika sejak awal para mujahid berjuang ke arah tegaknya khilafah, akibat berbagai krisis ini, yang tegak bukan khilafah, melainkan merebaknya khilafiyah.



WaAllahu a’alam


Daftar Pustaka




Ali, Fachry, Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik Jakarta; Pustaka Antara, 1984, Cet I



Anshori, Ahmad Yani, Dari Darul Islam hingga al-Jama’ah al-Islamiyyah, makalah         yang disampaikan dalam acara Launcing dan Bedah Buku Membongkar Jama’ah Islamiyyah karya Nasir Abbas tanggal 21 Nopember 2005



Awwas, Irfan S. Menelusiri Perjalanan Jihad SM. Kartosuwiryo, Proklamator        Negara Islam Indonesia, Yogyakarta, Wihdah Press, cet II, 1999



Azra, Azyumardi dan Umam, Saiful, Mentri-mentri Agama RI: Sebuah Biografi Sosial Politik Jakarta; Depag dan PPIM-IAIN, 1998



Boland, Bj, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta; Grafitipers, 1985



Dijk, C. Van, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, Jakarta; Grafitipers, 1985



Gonggong, Anhar, Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot Hingga Pemberontak             Jakarta; Gramedia, 1992



Holk H. Dengel, Darul Islam dan Kartosuwiryo, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan, 1995



Ismail. Faisal, Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur Yogyakarta, LESFI, Cet II, 2002



Kartosuwiryo, Sekaradji Maridjan, Daftar Oesaha Hijrah PSII, Malangbong, 1940.



Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta; LP3ES, 1982



Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional, Jakarta; Grafitipers, 1987



Pingardi, SM Kartosuwiryo, Jakarta; Aryaguna, 1964



Purwoko, Dwi, Islam Konstitusional Vs Islam Radikal, Depok; Permata Artistika Kreasi, 2002



Puar, Yusuf Abdullah, Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan          dan Perjuangan, Jakarta; Pustaka Antar

















Lampiran:



Teks Proklamasi NII






         Bismillahirrahmanirrahim,

Asyhaduan laIlaha illAllah, wa asyhaduanna Muhammadarrasulullah.

Kami umat Islam bangsa Indonesia menyatakan

berdirinya Negara Islam Indonesia.

Maka hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu adalah hukum Islam.

         Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar

                                                              Madinah Indonesia, 12 Syawwal 1368H

                                                                               7 Agustus 1948M

                                                              Atas nama umat Islam bangsa Indonesia

                                                                        Imam Negara Islam Indonesia

                   



                                                             SEKARMAJI MARIJAN KARTOSUWIRYO



Penjelasan Singkat:

  1. Alhamdulillah, maka Allah telah berkenan mencurahkan karunia-Nya yang maha besar atas umat Islam bangsa Indonesia ialah: Negara Islam Indonesia, yang meliputi seluruh Indonesia.
  2. Negara Karunia Allah itu adalah “Negara Islam Indonesia”, atau dengan kata lain “ad-Daulatul Islamiyah”, atau “Darul Islam”, atau dengan singkatan yang sering dipakai orang “DI”. Selanjutnya hanya dipakai satu istilah resmi yaitu: NEGARA ISLAM INDONESIA
  3. sejak bulan September 1945, ketika datangnya Belanda ke dan di Indonesia, khususnya ke dan di pulau Jawa, atau sebulan kemudian dari pada Proklamasi berdirinya “Negara Republik Indonesia”, maka revolusi nasional yang mulai menyala pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, merupakan “perang”, sehingga sejak masa itu seluruh Indonesia di dalam keadaan perang.
  4. Negara Islam Indonesia tumbuh di masa perang, di tengah-tengah revolusi nasional, yang pada akhir kemudiannya, setelah nskah Renville dan umat Islam bangsa Indonesia bangun serta berbangkit melawan keganasan penjajah dan perbudakan yang dilakukan oleh Belanda, beralih sifat dan wujudnya, menjadilah revolusi Islam atau perang suci.
  5.  Insya Allah, perang suci atau revolusi Islam itu akan berjalan terus hingga:
    1. Negara Islam Indonesia berdiri dengan sentosa dan tegak teguhnya, ke luar dan ke dalam, 100% de facto dan de yure di seluruh Indonesia.
    2. Lenyapnya segala macam penjajahan dan perbudakan.
    3. Terusirnya segala musuh Allah, musuh agama dan musuh Negara dari Indonesia.
    4. Hukum Islam berlaku dengan sempurnanya di seluruh Negara Islam Indonesia.
  6. Selama itu, Negara Islam Indonesia merupakan Negara Islam di masa perang atau Darul Islam fi waktil harbi.
  7. Maka segala hukum yang berlaku pada masa itu, di dalam lingkungan Negara Islam Indonesia adalah hukum Islam di masa perang.
  8. Pada dewasa ini perjuangan kemerdekaan nasional yang di usahakan hampir selama empat tahun itu, kandaslah sudah.
  9. Proklamasi ini disiarkan ke seluruh dunia, karena umat Islam bangsa Indonesai berpendapat dan berkeyakinan, bahwa kini sudahlah tiba saatnya melakukan wajib suci yang serupa itu, bagi menjaga keselamatan Negara Islam Indonseia dan segenap rakyatnya, serta bagi memelihara kesucian agama, terutama sekali bagi: Mendhahirkan Keadilan Allah di Dunia.
  10. Semoga Allah membenarkan Proklamasi Berdirinya Negara Islam Indonesia itu jua adanya. Bismillahi…. Allahu Akbar!!!






            [1] Radikal secara politik dapat diberi makna sangat keras dalam memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Sedangkan fundamentalis dapat diartikan sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat “kolot” dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali keajaran agama yang mereka anggap benar.


                [2] Faisal Ismail. Pijar-pijar Islam Pergumulan Kultur dan Struktur (Yogyakarta, LESFI, Cet II, 2002) Hlm. 48-49 


                [3] Ada pemberontakan DI/TII Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo di Jawa Barat (1948), Andi Abdul Azis di Sulawesi Selatan (1950), DI/TII Daud Beureueh di Aceh (1953). Berikutnya ada pemberontakan Perlawanan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan (1957-1960) dan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak (PGRS)-Pasukan Rakyat Kalimantan Utara (Paraku) di Kalimantan Barat (1962) lihat G.T. Situmorang DEMI NEGARA, TAK ADA KATA BERHENTI BERJUANG, Catatan menyambut Hari Juang Kartika, 15 Desember 2005.


                [4] Penuturan lebih lanjut tentang gerakan Darul Islam, baca, mislanya C. Van Dijk, Rebellion under the Banner of Islam: The Darul Islam in Indonesia (The Hague: Martinus Nijhoff, 1981).


                [5] C. Van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta; Grafitipers, 1983) hlm. 12  


                [6] Ahmad Yani Anshori, Dari Darul Islam hingga al-Jama’ah al-Islamiyyah (makalah yang disampaikan dalam acara Launcing dan Bedah Buku Membongkar Jama’ah Islamiyyah karya Nasir Abbas tanggal 21 Nopember 2005) hlm. 3


                [7] Irfan S. Awwas, Menelusiri Perjalanan Jihad SM. Kartosuwiryo, Proklamator Negara Islam Indonesia (Yogyakarta, Wihdah Press, cet II, 1999) hlm. 7-8


                [8] Di kota inilah ia bertemu dengan tokoh Agus Salim dan HOS. Cokrtoaminoto, pemimpin Syarikat Islam, yang cita-cita politik keduanya menghendaki sebuah negara Islam di Nusantara. Dan kemudian menjadi bapak asuh, pemimbing rohani dan mentor politiknya sekaligus, lihat Irfan, Menelusuri, hlm. 9


                [9] Yani Anshori, Dari…, hlm. 3


                [10] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta; LP3ES, 1982) hlm. 155


                [11] Dijk, Darul Islam…, hlm. 26


                [12] Deliar, Gerakan…, hlm. 166


                [13] Pingardi, SM Kartosuwiryo…, (Jakarta; Aryaguna, 1964) hlm. 20


                [14] Lihat Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta; Grafitipers, 1987) hlm. 430


                [15] Noer, Partai…, hlm. 183


                [16] Dijk, Darul…, hlm. 82


                [17] Bj Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, (Jakarta; Grafitipers) hlm. 58


                [18] SM Kartosuwiryo, Sikap Hidjah. Dikutip dari Holk H. Dengel, Darul Islam, hlm. 20


                [19] Deliar Noer dan Dengel sependapat bahwa Kartosuwiryo pada dasarnya telah menggagas suatu negera Islam sejak sidang KPK PSII (Komite Pembela Kebenaran Partai Syarekat Islam Indonesia) dalam bulan Maret 1940 di Malangbong. Juga ditegaskan oleh Dengel bahwa proklamasi negara Islam Indonesia oleh Kartosuwiryo dimaklumatkan sebagai suatu reaksi terhadap perjanjian renville dan penarikan mundur pasukan Republik Indonesia ke Yogyakarta dan Jawa Tengah. Lebih jauh ini dianggap sekedar salah paham dan kurangnya komunikasi antara Kartosuwiryo dengan Panglima Besar Jendral Sudirman yang sedang memimpin gerilya TNI. Lihat, Dengel, Darul…. Hlm 3


            [20] Lihat, Victor Silaen, reporter jalanan, Kesia-siaan Mimpi Negara Teokrasi, 21 Feb 2006


                [21] Selain Daud Beureuh dan Kahar Muzakkar yang tertarik pada DI, Kartosuwiryopun berusaha untuk dapat mempengaruhi para ulama yang berpengaruh di Jawa. Ia berusaha mempengaruhi KH. Wahib Wahab, putera tertua pendiri pesantren Tambak Beras yang juga pernah menjabat sebagai Menteri Agama pada masa Demokrasi terpimpin. Namun ia menolak ajakan Kartosuwiryo meskipun dijanjikan sebagai Panglima DI/TII. Ia tampaknya mempunyai satu prinsip: apakah untuk mengejar cita-cita yang disebut “baik” harus disertai dengan perbuatan buruk, sebagaiman yang dilakukan oleh Kartosuwiryo dan para pengikutnya? Lihat, Azyumardi Azra dan Saiful Umam, Mentri-mentri Agama RI: Sebuah Biografi Sosial Politik (Jakarta; Depag dan PPIM-IAIN, 1998) hlm.192 


                [22] Fachry Ali, Islam, Pancasila dan Pergulatan Politik (Jakarta; Pustaka Antara, 1984, Cet I) hlm. 31-32


                [23] Dwi Purwoko, Islam Konstitusional Vs Islam Radikal, (Depok; Permata Artistika Kreasi, 2002) hlm. v-vi


                [24] Deliar. Partai…, hlm. 190


                [25] Holk, Darul…. Hlm. 14


                [26] Irfan, Menelusuri…, hlm xvii


                [27] B.J Boland, Pergumulan, hlm. 62


                [28] Sekaradji Maridjan Kartosuwiryo, Daftar Oesaha Hijrah PSII, Malangbong, 1940. hlm. 4-5


                [29] Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot Hingga Pemberontak (Jakarta; Gramedia, 1992) hlm. 104


                [30] Dijk, Darul…, hlm. 80-81


                [31] Anhar, Abdul…, 127


                [32] Yusuf Abdullah Puar, Muhammad Natsir: 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan (Jakarta; Pustaka Antara) hlm. 174


                [33] Anhar, Abdul…, hlm. 5


                [34] Ibid, hlm. 142


                [35] Azyumardi, Mentri…, hlm. 65


                [36] Holk H. Dengel, Darul Islam, hlm. 3


                [37] Dwi, Islam, hlm 54

No comments:

 

Most Reading