PERGOLAKAN POLITIK IRAN :
Perjalanan Nation-State Dari Monarki Ke Republik Islam
Akhmad Satori, S.IP.,, M.SI.
Pendahuluan
Serangan besar kolonialisme dan Imperialisme Barat ke dunia Islam dari segala arah pada abad kesembilanbelas dan abad keduapuluh melalui dimensi pemikiran, politik ekonomi militer dan juga melalui dimensi sosial kebudayaan dengan memperlihatkan dasar-dasar ketidakmampuan dan ketertinggalan pemikiran, peradaban, politik dan ekonomi kaum muslimin, menyebabkan munculnya ide pembenahan, perubahan dan moderenisasi serta perlawanan terhadap pengaruh barat pada masyarakat Islam[1]
Angin Revolusi yang dihembuskan Barat nampaknya menimbulkan adanya upaya pembenahan di dunia Islam, serta upaya perjuangan yang membebaskan diri dari kekuasaan kolonial, membentuk dan mengembangkan negara bangsa yang merdeka dengan segala tekanan dan permasalahan modernisasi. Menurut Jhon L. Esposito, pengaruh moderenisasi tersebut banyak memberikan tekanan terhadap perubahan sistem politik negara-negara muslim terutama pada awal abad keduapuluh [2].
Masalah utama dari perubahan ini adalah bagaimana menerapkan konsep dan struktur Islam kedalam realitas sosial politik moderen yang notabene merupakan pengaruh Barat[3]. Upaya semacam ini mengambil berbagai bentuk. Upaya-upaya intelektual untuk membangun suatu moderenisme Islam berakar dalam karya-karya tokoh semacam Muhammad Abduh di Mesir dan Ahmad Khan di India, Ali Syari’ati dan Imam Khomeini di Iran dan beberapa pemikir lainnya. Selain itu, terjadi pula penyesuaian–penyesuaian penting dalam struktur-struktur kelembagaan Islam di beberapa negara muslim di kawasan-kawasan Islam yang telah ada.
Iran merupakan salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang tidak luput dari pengaruh revolusi Barat tersebut, hal ini nampak dari konstalasi politik di Iran yang telah mengalami pergolakan yang berlangsung lama, semakin menegang terutama ketika konsep negara bangsa (nation state) mulai diterapkan di Iran. Pertarungan antara ulama dan negara yang berlangsung 200 tahun terakhir menjadi potret utama masyarakat Iran yang memberikan warna tersendiri dalam perpolitikan di Iran.
Dalam sejarah Iran modern, perjuangan melawan kolonialisme dan pembentukan negara bangsa dimulai pada masa dinasti Pahlevi, namun benih-benih gagasan negara bangsa tersebut sudah ada sejak dinasti Qajar. DR. Zayar dalam bukunya Iranian Revolution; Past, Present and Future,[4] Secara garis besar Iran modern bisa dibagi menjadi tiga periode. Pada periode pertama yang dimulai pada abad ke-18, di bawah kekuasaan dinasti Qajar. Periode ini mencapai titik kulminasi pada revolusi konstitusional pada tahun 1906 (di bawah pengaruh revolusi Rusia tahun 1905).
Periode kedua (1908-1953) ditandai dengan banyaknya konflik ini mencapai klimaks pada masa pemberontakan sosial (1941-1953) yang diikuti dengan pengunduran diri Shah Reza (1926-1941). Periode ketiga (1953-1979) ditandai dengan tumbuhnya partisipasi Iran sebagai negara yang berdaulat, dengan kontrol yang kuat atas sumber daya minyak bumi, peningkatan pendapatan yang tinggi dari minyak dan pertumbuhan ekonomi yang sangat mengesankan.
Makalah ini berusaha memberikan gambaran mengenai pergolakan politik di Iran terutama perjalanan pembentukan negara Iran modern sejak masa dinasti Qajar hingga terjadinya revolusi Islam Iran tahun 1979, dan diakhir tulisan, makalah ini akan mencoba melihat pengaruh revolusi Islam Iran terhadap negara-negara muslim di kawasan lain.
Sejarah Iran Modern
Sejarah Iran Modern bermula dengan tampilnya rezim Dinasti Qajar. Qajar meraih tahta kekuasaannya setelah melewati periode anarkhis dan pergolakan kesukuan untuk memperebutkan kekuasaan atas Iran. Rezim mereka tidak pernah terkonsolidasikan. Dinasti Qajar menguasai Iran dari tahun 1779 sampai tahun 1925 menyerupai beberapa dinasti pendahulunya dimana ia merupakan rezim memusat yang lemah karena berhadapan dengan faktor-faktor kesukuan propinsional yang kuat, dan merupakan rezim dimana indepedensi keagamaan yang sangat tinggi.[5]
Pemerintahan pusat Dinasti Qajar merupakan pemerintah istana yang terlalu lemah untuk mengembangkan secara efektif sistem perpajakan di negeri ini[6]. Sementara itu kekuasaan tokoh-tokoh agama semakin meluas, pada abad delapanbelas sampai abad sembilanbelas, ulama Iran mencapai tingkat otonomi yang tidak tertandingi oleh masa-masa sebelumnya, yaitu kepemimpinan yang kuat, Otoritas keagamaan ulama dikenal sebagai mujtahid atau penerjemah hukum-hukum agama (syari’at), dikembangkan secara luas bahwasannya mereka memiliki hak mengambil keputusan secara independen dan hak menafsirkan permasalahan agama berdasarkan pencapaian spiritual dan intelektual mereka.[7]
Intervensi Eropa yang sangat penting adalah memodifikasi posisi rezim Qajar dan meningkatkan ketegangan yang tidak kentara antara penguasa dan ulama. Campur tangan bangsa Eropa terhadap Iran pertama kali datang dalam penaklukan dan pengukuhan pengaruh mereka melalui persaingan antara kekuatan-kekuatan Eropa[8]. Hal ini membangkitkan Qajar untuk memoderenisir dan memperkokoh perangkat kenegaraan, dan mereformasi pendidikan dengan membangun Dar al-Fanun sebuah perguruan tinggi tekhnik, serta mengorganisir kembali pasukan kavaleri dengan membentuk Brigade Cossack[9]
Reformasi tersebut menimbulkan terbentuknya strata baru pemikir modernis Islam dan intelektual didikan Barat yang cenderung terhadap moderenisasi Iran sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk melawan kekuatan asing dan untuk memperbaiki kondisi kehidupan sebagian besar masyarakatnya. Hal ini memicu timbulnya sejumlah perlawanan dari kaum intelektual dan para ulama terhadap pengaruh Asing dalam pemerintahan. Setidaknya ada beberapa peristiwa perlawanan penting yang terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Qajar ini, yaitu;
Pertama, munculnya Gerakan Tembakau[10] pada tahun 1891-1892, dibawah pimpinan Marja besar Ayatullah Al-Uzma Mirza Hasan Shirazi. Gerakan ini bertujuan menghilangkan akses dunia Barat yang menyebabkan turut campurnya mereka kedalam urusan internal negara Iran.
Kedua, Revolusi Konstitusi Iran. Peristiwa yang terjadi tahun 1905-1906 ini berhasil mengakhiri kekuasaan absolut raja, hal ini disebabkan oleh timbulnya protes dari para pedagang dan kaum ulama terhadap menguatnya pengaruh barat[11], munculnya tuntutan atas dirombaknya tradisional dan terjadinya fragmentasi di kalangan penguasa Qajar sendiri.[12] Revolusi Konstitusional ini merupakan hasil suatu persekutuan antara kaum pedagang Bazaar, ulama, cendekiawan, bangsawan pemilik tanah dan sejumlah kepala suku. Mereka kemudian terwakili di dalam Majelis (parlemen), sebuah badan yang dibentuk setelah terjadinya Revolusi ini, dan ikut menjalankan roda pemerintahan bersama raja.[13]
Pemberlakuan konstitusi baru tersebut justru merupakan awal dari sebuah pergolakan yang berkepanjangan. Kubu konstitusionalis didukung oleh ulama, pedagang, tokoh-tokoh suku mempunyai pengaruh besar di Iran, di tentang oleh kubu Shah dan Ulama konservatif serta para tuan tanah yang kaya raya yang kemudian menyebabkan terjadinya beberapa kali petempuran.
Krisis konstitusional tahun 1905-1911 menimbulkan penyatuan aspek-aspek fundamental masyarakat Islam Iran dan membangkitkan kekuatan gerakan nasionalisme awal dan perlawanan terhadap intervensi asing, namun Iran, seperti kebanyakan negara muslim lainnya masih tetap mengalami pengaruh imperialisme barat. Warisan dan dampak kehadiran dan pengaruh asing di Iran menciptakan krisis kekuasaan, krisis keabsahan dan krisis partisipasi yang saling berkaitan, yang semakin parah semasa pemerintahan dinasti Pahlevi.
Ketiga, terjadinya sejumlah pemberontakan-pemberontakan lokal yang di sebabkan oleh tekanan yang terus menerus dari para gubernur lokal, para intelektual moderen dan Ulama, dinasti ini diambang keruntuhan, Iran nyaris terbelah oleh Rusia dan Inggris, dalam keadaan ini pada tahun 1921 pemimpin Brigade Cossack Reza Shah Pahlevi berhasil melakukan kudeta menggulingkan kekuasaan raja terakhir dinasti Qajar[14].
Selain ketiga peristiwa tersebut merupakan faktor intern yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan dinasti Qajar. Terdapat sejumlah faktor eksternal seperti pecahnya Perang Dunia pertama, menguatnya pengaruh Inggris di Iran setelah revolusi Oktober di Rusia, juga menyebabkan runtuhnya dinasti Qajar pada tahun 1925. dan digantikan dengan dinasti Pahlevi yang di pimpin oleh Reza Shah Pahlevi.
Iran dan Pembentukan Negara Bangsa
Pada akhir 1920-an Reza Shah, seorang perwira militer, merebut kekuasaan dan mendirikan Dinasti Pahlevi. Terimbas oleh langkah rekan sezamannya di Turki, Mustafa Kemal (Ataturk)[15], dia memusatkan perhatiannya pada moderenisasi dan pembentukan pemerintahan terpusat yang kuat.mengandalkan angkatan bersenjata dan birokrasi modern[16]. Berbeda dengan Ataturk, Shah tidak menghapuskan lembaga-lembaga keagamaan, tetapi hanya membatasi dan mengontrol mereka.[17]
Sejak itu Iran mengalami proses pembentukan negara bangsa[18] yang serupa dengan proses yang berlangsung di Turki dan sejumlah negara lain. negara menjadi motor perkembangan ekonomi serta perkembangan kebudayaan menurut model Barat. Namun berbeda dengan Turki golongan menengah menjadi kelas penopang utama bagi rezim Pahlevi. Selain itu Shah juga mengembangkan angkatan bersenjata baru yang lebih kuat. Banyak ulama yang mendukung pengambil alihan kekuasaan oleh Reza Shah guna memulihkan monarki yang kuat untuk meredam pengaruh asing.[19]
Meskipun Reza Shah meraih kekuasaan dengan dukungan sebagian ulama yang menginginkan perbaikan, namun, Shah justru membuat kebijakan yang menyebabkan hubungannya dengan ulama memburuk terutama ketika Shah berusaha membatasi kekuasaan kaum ulama. Shah berusaha untuk mewujudkan tujuan tersebut melalui pengembangan pendidikan sekuler, pengawasan pendidikan keagamaan, pembatasan wewenang syariat dan pengadilan agama dengan mengeluarkan sejumlah undang-undang baru dan memperkuat pengadilan negeri.[20]
Menurut Lapidus,[21] sekularisasi sistem administrasi hukum dan pendidikan hanyalah bagian terkecil dari program yang lebih besar yaitu kontrol negara terhadap modernisasi ekonomi, infrastruktur dibangun pada dekade 1930-an, tata perkantoran yang baru, Bank Nasional Iran dan jaringan perkeretaapian dibangun. Semuanya atas bantuan pihak asing. Hal ini terus berlangsung sampai menjelang berakhirnya perang Dunia II[22].
Berakhirnya Perang Dunia II, Inggris dan Rusia sekali lagi mencampuri urusan pemerintah Iran demi kepentingan sendiri. Mereka memaksakan pergantian Shah dan mengangkat putranya yang belum dewasa Muhammad Reza Pahlevi tahun 1941 sebagai boneka penguasa di Iran. Antara tahun 1941 dan 1953, Iran menjalani periode pergolakan yang terbuka antara sejumlah protektor asing dan sejumlah partai politik internal. Amerka Serikat lambat laun menggeser pengaruh Inggris dan Rusia dan akhirnya menjadi pelindung utama Iran pasca perang. Salah satu alasan utama dari campur tangan Amerika Serikat adalah kekhawatirannya bahwa Iran akan memperkuat pengaruh Uni Soviet dan komunisme di Iran. Penyelesaian tersebut mengembalikan rezim yang ororiter dan terpusat
Menurut Hossien Bashiriyeh[23], ada lima landasan kekuasaan yang dibangun oleh Shah yang kemudian memicu timbulnya revolusi dan menyebabkan jatuhnya Shah. Pertama, kontrol negara yang sangat besar atas sumber - sumber keuangan, khususnya minyak; kedua, program stabilisasi dan pertubuhan ekonomi serta intervensi ekonomi rezim kedalam sistem ekonomi; ketiga, mobilisasi massa dan penciptaan suatu keseimbangan antara kelas-kelas melalui kontrol dan intervensi rejim; keempat, pembentukan hubungan-hubungan patron-client dengan kaum borjuis kelas atas, dan kelima di perluasnya peranan kekuatan penekan (khususnya SAVAK), dan ketergantungan pada barat terutama dukungan politik militer AS.[24]
Berakhirnya Sistem Monarki
Sejak tahun 1960-an, terlihat tanda-tanda awal keruntuhan Rezim Shah. Program Shah land reform[25] yang dimulai pada awal 1960-an, mendapat tantangan dari para pembaharu dan ulama, sebagian dari mereka yakin bahwa reformasi land reform yang di sponsori Shah hanyalah kepura-puraan karena Shah memastikan pembaruan disubversi untuk mempertahakan kekuasaan. Kebijakan moderenisasi dan sekularisasi Shah gagal menciptakan sistem politik yang demokratis.
Akibatnya muncul ketidaksetujuan dan ketidakpuasan yang semakin memuncak dikalangan ulama, kelompok tradisional, kaum cendkiawan relegius, kaum marxis, golongan kiri dan golongan liberal, namun, struktur kontrol dan tekanan pemerintah tidak banyak membuka peluang untuk menyatakan secara sah sikap oposisi yang semakin kuat. Tidak adanya partisipasi politik, melemahnya otonomi nasional karena ketergantungan yang besar kepada pihak Barat, dan hilangnya identitas religio-budaya dalam masyarakat yang berkiblat ke Barat menumbuhkan kekecewaan bersama yang melintasi pebedaan politik agama dan negara.
Tahun 1963, terjadi pemberontakan besar antara mahasiswa dan tentara di Universitas Teheran dan lembaga pendidikan calon ulama di Qum, dan Ayatullah Khomeini saat itu menjadi salah satu dari marja taqlid[26] . secara publik mengecam Shah karena tentara menyerang ulamaa, karena Shah bergantung kepada Amerika Serikat dan membagun kerjasama dengan Israel.
Dua tahun kemudian, tahun 1964, beberapa kali Shah menahan Khomeini sampai akhirnya rezim Shah membuang Imam Khomeini ke Irak (sampai tahun 1978, lalu pindah ke Paris). Namun, perjuangan tidak berhenti. Lewat surat maupun rekaman suara, beliau terus membangkitkan semangat rakyat Iran untuk menegakkan Islam dan menentang kezaliman. Pada pertengahan 1970-an, Beberapa kerusuhan masih terus terjadi, demonstrasi besar-besaran menentang kekuasaan Shah diadakan di beberapa wilayah di Iran, meski rezim berhasil menghadapi kerusuhan tersebut, tetapi hal ini menandai awal kejatuhan Dinati Pahlevi.[27]
Sebelum Runtuh, monarki Pahlevi ini tampak kuat. Pertumbuhan ekonomi pada awal 1970-an tinggi. Iran menempati posisi penting dikalangan negara-negara penghasil dan pengekspor minyak[28]. Namun hal inilah yang menjadi sebab kerapuhan sistem pemerintahan Shah, yaitu terlalu bergantung pada pendapatan minyak, pengeluaran besar pemerintah mendorong tingginya angka inflasi, yang memicu pergolakan yang meruntuhkan seluruh sendi kekuasaan Shah. Puncaknya Februari 1979, merupakan saat paling bersejarah bagi Iran, revolusi Islam Iran dibawah kepemimpinan kharismatik Ayatollah Khomeini berhasil menggulingkan kekuasaan dinasti Pahlevi, dan bersamaan dengan itu berakhir pula sistem kerajaan (monarki) di Iran.
Revolusi Islam Iran 1979
Revolusi 1979 merupakan hasil suatu protes akumulasi ketidakpuasan rakyat Iran terhadap kebijaksanaan Shah, baik dibidang ekonomi, politik, agama, maupun sosial budaya. Dan keberhasilan revolusi itu banyak ditentukan oleh dua faktor yang saling berkaitan satu sama lain. Disatu pihak terciptanya persatuan diantara kelompok-kelompok penentang Shah, baik yang berfaham nasionalisme (Front Nasional), Islamisme (organisasi- organisasi yang dibentuk kaum mullah maupun yang berfaham marxisme (Mujahiddin dan Fayden Khalq). Dipihak lain muncul Khomeini sebagai lambang “pemersatu”. Hal ini dimungkinkan oleh tradisi dan ideologi Syiah yang sangat berakar kuat di kalangan rakyat Iran[29]
Mohsen M. Milani, mencatat adanya empat faktor yang menyebabkan terjadinya Revolusi Islam Iran: (1) keberhasilan kelompok-kelompok anti-Shah dalam menggalang pesatuan, dimana sebelumnya mereka terpecah belah; (2) tampilnya Syiisme sebagai ideologi revolusioner yang memberikan landasan pembenaran bagi perjuangan melawan Shah, mempersatukan kelompok-kelompok oposisi yang berbeda, serta menjanjikan “masa depan cemerlang” bagi rakyat Iran; (3) keberhasilan kaum revolusioner dalam menarik dukungan internasional, diantaranya dengan menunjukan sikap tabah dan berpandangan jauh kedepan; dan (4) kegagalan rezim Shah dalam memanfaatkan sarana-sarana represifnya secara efektif. Shah yang menyandarkan kekuasaanya pada loyalitas pihak militer tidak berdaya, ketika militer bersikap netral dalam konflik antara pendukung Ayatollah Khomeini dan pendukung Shah.[30]
Pada bulan Februari 1979, beberapa minggu setelah Shah Pahlevi melarikan diri ke Mesir, Ayatullah Khomeini kembali ke Iran dan membentuk pemerintah tandingan dengan mengangkat Mehdi Bezargan sebagai Perdana Mentri pertama Republik Islam Iran, beberapa hari kemudian revolusi Iran mencapai kemenangan gemilang dan Khomeini merestui pembentukan partai Republik Islam dan dalam sebuah referendum pada bulan Maret–April secara resmi menyetujui berdirinya Republik Islam Iran.
Struktur politik Iran Pasca Revolusi : Republik Islam Iran
Revolusi Islam Iran melahirkan konfigurasiyang khas antara negara Iran dan Institusi Islam, bahkan revolusi ini merupakan sebuah peristiwa terbesar dalam sejarah masyarakat Iran. Revolusi tersebut menandai puncak pergolakan politik antara penguasa Iran dan kelompok ulama yang telah berlangsung lama, akibatnya terjadi perubahan yang fundamental dalam sistem ketatanegaraan Iran yang berpengaruh terhadap sistem pemerintahan Iran sekarang.
Struktur politik Iran mengalami perubahan secara besar-besaran sejak berakhirnya kekuasaan Shah. Bentuk negara berubah dari monarki-absolut dimana Shah berkuasa, menjadi sebuah republik yang berdasarkan pada ajaran agama Islam mazhab Syi’ah. Perubahan konstitusional dan institusional yang secara substantif dilakukan melalui pemilihan. Bentuk Republik Islam dan Undang-undang Dasar Republik Islam Iran secara resmi disetujui mayoritas rakyat Iran melalui referendum yang diadakan pada tahun 1979.
Majelis Ahli yang didominasi para ulama dipilih untuk membuat rancangan konstitusi, masih menyisakan krisis identitas Iran yang tercermin dalam perdebatan konstitusiaonal mengenai hakikat kepemimpinan Negara. Perdebatan-perdebatan terjadi tidak hanya antara pihak yang lebih menginginkan pemerintahan sekuler daripada pemerintahan islami, tetapi juga diantara pihak yang menginginkan Pemerintah Islam namun menolak doktrin Wilayatul Faqih [31] Khomeini (ahli otoritas tertinggi)[32]
Akhirnya pada tanggal 29 dan 30 Maret 1979 dilakukanlah referendum. Dunia menyaksikan bahwa referendum itu dilakukan dengan bebas tanpa paksaan atau intimidasi (pengamat asing pun hadir dalam referendum tersebut). Hasil referendum adalah 98,2% rakyat Iran mendukung dibentuknya negara dengan sistem pemerintahan wilayatul faqih[33]
Kekuasaan tertinggi dalam struktur politik Republik Islam Iran, berada ditangan Imam (pemimpin dalam arti pemimpin spiritual bukan imam sebagaimana keyakinan umat syiah) atau dewan kepemimpinan (Syura-ye rahbari). Hal ini memang sesuai dengan mazhab ajaran Syiah yang menerapkan prinsip imamah (keimaman) sebagai salah-satu ajaran utamanya.[34] Prinsip pemerintahan oleh faqih (wilayatul Faqih) dan keutamaan hukum Islam di abadikan dalam konstitusi Iran. Pada saat yang sama konstitusi republik Islam mempunyai pranata-pranata demokrasi konstitusi melengkapi sistem pemerintahan parlementer dengan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Pengaruh Revolusi Islam Iran terhadap Kawasan
Hjfhghhghskghdhghklz’kznxmnm.wjihwgpjgkxbjkwagklaaaafjqgjaj
Penutup
Keberhasilan Revolusi Islam Iran yang menumbangkan dinasti Pahlevi telah mengubah sistem politik dan bentuk negara Iran dari monarki absolut menjadi republik Islam[35]. Sebuah revolusi rakyat yang pertama dalam perempat terakhir abad kedua puluh melawan sebuah sistem politik otoriter modern. Namun pengalaman Iran ini tidak memberikan jawaban pasti bagi persoalan-persoalan antara Islam dan demokrasi. Namun setidaknya Iran telah menunjukan kepada dunia bahwa partisipasi politik rakyat dan konsensus merupakan bagian dari cakrawala politik di republik Islam Iran. Peristiwa ini kemudian dianggap sebagai salah satu momentum yang menentukan masa depan politik Islam serta hubungan antara kekuatan kebangkitan Islam dan perkembangan sistem politik yang demokratis.
Daftar Pustaka
Bayat, Mangol, “Islam di Iran Pada Masa Pahlavi dan Setelahnya : Sebuah Revolusi Kebudayaan” dalam Jhon L. Esposito (ed), Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1986., h.139-167
Duta Besar Republik Islam Iran, “Pikiran dan Pandangan Politik Imam Khomeini”, makalah Seminar Nasional akhir tahun, Iran, Islam, dan Barat, tanggal 23 Desember 2006, Yogyakarta.
Esposito Jhon L. dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
________ (ed), Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, terj.A. Rahman Zainudin, Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1986.
________ (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1, terj. Eva YN., Bandung: Penerbit Mizan, 2001.
________ (ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 4, terj. Eva YN., Bandung: Penerbit Mizan, 2001.
Lapidus, Ira. M, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3, terj. Ghufron A. Mas’adi Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999.
Meuleman, Johan Hendrik, “ Dinamika Abad Ke-20 ”, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 6, Dawam Rahardjo (ed), (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h.7-43
Sihbudi, Riza, “ Politik Parlemen dan Oposisi di Iran Paca Revolusi “ dalam Jurnal Ilmu Politik Vol. 11, Jakarta : 1991, h. 31-44
________ , Biografi Politik Imam Khomeini, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1996
________ , “ Revolusi Iran: Sebuah Pandangan Sosiologi Politik “, Timbangan Buku “ The State and Revolution in Iran 1968-1982 “ karya Hossein Bashiriyah (London & Canberra: Croom Helm, 1984), dalam Jurnal Ilmu Politik 2, 1986, h. 112-115
________ , “ Tinjauan Teoritis dan Praktis atas Konsep Vilayat-I Faqih ”: Sebuah Pengantar, dalam Jurnal Ulumul Quran Jilid 5, h. 72-84
Tamara, Natsir, Revolusi Iran, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1988
Zayar, DR, Iranian Revolution; Past, Present and Future, di akses di www.google.com/search/revolusi.
[1] Lihat dalam makalah Duta Besar Republik Islam Iran, Pikiran dan Pandangan Politik Imam Khomeini, makalah Seminar Nasional akhir tahun, Iran, Islam, dan Barat, tanggal 23 Desember 2006, Yogyakarta.
[2] Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999). dalam Bab Pendahuluan, h. 2-3
[3] Ibid., h.4
[4] Perikasa dalam DR. Zayar, Iranian Revolution; Past, Present and Future, di akses di www.google.com/search/revolusi.
[5] Ira. M Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian 3, terj. Ghufron A. Masadi. (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), h. 31-33
[6] Kekuasaan dinasti-dinasti Iran terdahulu di bangun atas struktur kekuasaan yang absolut, dimana para raja (Shah) memiliki otoritas politik yang sangat besar. tetapi struktur negara yang absolut mulai memudar (disintegrate) pada masa kekuasaan dinasti Qajar.
[7] Hubungan antara ulama dengan rezim tidak jelas, namun dibalik kelemahan dinasti Qajar, terdapat preseden sejarah yaitu kolaborasi antara elit penguasa dan elit ulama, Ibid, h. 33. selain itu ada kontrovensi bahwa apakah ulama dengan mengintervensi kebijakan raja, merupakan pembelaan terhadap kedaulatan rakyat, gagasan demokratis, kepentingan kelembagaan ataukah hanya untuk kepentingan pribadi. Namun konsensusnya adalah bahwa apapun alas an pribadinya banyak ulama yang mendukung tantangan terhadap campur tangan asing dan pemerintahan Shah yang salah. Penjelasan ini dapat diihat dalam, entri “ Iran ”, dalam Jhon L. Esposito (ed) Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1, terj. Eva YN., dkk, ( Bandung: Penerbit Mizan), h.330
[8] wilayah-wilayah Iran jatuh ketangan Rusia pada 1804-1813 dan 1825-1828. Inggris menghentikan ambisi territorial Iran di Afganistan dalam konflik 1836-1838 dan 1856-1857. Shah-Shah dinasti Qajar memberikan konsensi dan hak kapitulasi kepada pihak asing, yang memungkinkan Inggris, Rusia, Perancis, Belanda, Swedia, Belgia dan Hunggaria mendominasi berbagai bidang. Dari angkutan dan perbankan hingga keamanan dalam negeri. Konsensi yang terpenting adalah konsensi Reuters 1871 (Pertambangan, perbankan dan Jalan Kereta Api), Regie Tembakau 1891 dan konsensi D’Arcy 1901 (minyak).. Shahrugh Akhavi, h. 330
[9] Brigade Cossack adalah pasukan militer yang di latih dan diorganisir secara khusus oleh penasihat Rusia dan Austria dan dibentuk antara tahun 1887-1880. Lapidus, h.36
[10] Gerakan Tembakau terjadi pada tahun 1891-1892, ketika ulama dipimpin olehAyatullah Shirazi, menggunakan khumus kaum Syi’ah, khususnya saudagar Bazar, untuk mendanai protes kolektif dalam menentang regie Tembakau (monopoli tembakau oleh Inggris), gerakan ini disebut gerakan pertama bangkitnya bangsa Iran untuk mendapatkan hak-hak mereka dari negara-negara asing dan penindasan kerajaan Iran. Gerakan ini menjadi awal gerakan konstitusi, yang menyebabkan perkembangan berarti bagi politik dan social dalam sejarah Iran, dalam makalah Duta Besar Republik Islam Iran, Pikiran dan Pandangan Politik Imam Khomeini, makalah Seminar Nasional akhir tahun, Iran, Islam, dan Barat, tanggal 23 Desember 2006, Yogyakarta.
[11] Selama gerakan sosial yang dikenal sebagai gerakan Konstitusi 1905, banyak ulama masa ini memperingatkan Dinasti Qajar dengan istilah zulm (menindas keadilan Imam Ghaib). Para pedagang umumnya cemas dengan arus barang-barang asingdan kemudahan yang diberikan kepada pihak asing untuk menjual barang-barang mereka di Iran akibatnya banyak yang mengalami kemunduran dan kebangkrutan akibat wiraswastawan Eropa. dalam Shahrugh Akhavi, entri “ Iran ”, dalam Jhon L. Esposito (ed) Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1, terj. Eva YN., dkk, ( Bandung: Penerbit Mizan), h.330
[12] Lihat Riza Sihbudi, “ Revolusi Iran: Sebuah Pandangan Sosiologi Politik “, Timbangan Buku “ The State and Revolution in Iran ” karya Hossein Bashiriyah (London & Canberra : Croom Helm, 1984),h.203 dalam Jurnal Ilmu Politik 2, 1986, h. 112-115. lihat Juga Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 5
[13] Riza Sihbudi, Biografi Politik Imam Khomeini, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 6
[14] Lihat dalam Shahrugh Akhavi, entri “ Iran ”, dalam Jhon L. Esposito (ed) Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1, terj. Eva YN., dkk, ( Bandung: Penerbit Mizan), h.329-337
[15] Mustafa Kemal Ataturk, merupakan penggagas moderenisme di Turki disebut juga bapak pendiri Republik Turki, melakukan serangkaian pembaharuan politik dan moderenisasi politik dengan berupaya mendirikan sebuah negara bangsa yang modern yang cenderung ke demokrasi sosial yaitu gagasan yang berasal dari Eropa reformasi yang dicangkokan pada Turki merdeka melalui dua konsep komplementer: semangat kontemporer dan Nasionalisme. Lihat M. Naim Turfan, entri “ Mustafa Kemal Ataturk ”, dalam Jhon L. Esposito (ed) Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1,terj. Eva YN. dkk, (Bandung: Penerbit Mizan), h.217-219
[16] Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h.68-69
[18] Perlu di ketahui bahwa pembentukan negara bangsa di Iran merupakan ilmbas dari beberapa revolusi yang terjadi di Barat. Seperti yang di kemukakan Ira M. Lapidus, bahwa revolusi Perancis dan revolusi Amerika sama-sama mengakibatkan perubahan besar di bidang politik dan kecakapan bernegara. Mereka membidani kelahiran negara kebangsaan moderen yang dibangun berdasarkan persamaan dan partisipasi relatif warga negara, kekentalan identifikasi penduduk dengan kultural politik, nasional. mereka juga memprakarsai pembentukan institusi parlemen yang memungkinkan penyebarluasan perwakilan politik, dan struktur negara yang menggabungkan penggunaan kekuasaan dan kepentingan otonomi earga dan kebebasan politik masing-masing warga negara. Dalam Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian ketiga, h.6
[19] Meuleman, Johan Hendrik, Dinamika Abad Ke-20, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 6, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h. 30
[23] Hossein Bashiriyah, “The State and Revolution in Iran 1968-1982 ” karya (London & Canberra : Croom Helm, 1984),h.203 dalam Jurnal Ilmu Politik 2, 1986, h. 112-115.
[25] Land Reform adalah salah satu program yang di kembangkan pada saat berkuasanya Shah, sebagian sarjana percaya bahwa pembaharuan hanya berfungsi mengganti aristokrasi tradisional di pedesaan dengan negara dan tidak pernah dimaksudkan untuk menguntungkan petani, imbasnya hanya keluarga kaya yang mempunyai lahan pertanian menjadi pemilik mutlak, sedangkan mayoritas besar buruh petani tetap tak memiliki lahan
[26] Pada tahun 1962, Ayatullah Ruhullah Khomeini diangkat menjadi marji’ taqlid. Sebelumnya, kegiatan beliau di bidang politik dilakukan dengan cara belajar, mengajar, dan menulis buku (diantara buku karya beliau adalah Kashf al-Ashrar yang berisi ajaran Islam tentang perjuangan melawan kezaliman dan Wilayah Al-Faqih). Setelah diangkat menjadi marji’ taklid, beliau memulai perjuangan politiknya secara terbuka dan gaungnya menggema ke seluruh pelosok Iran.
[27] William O. Beeman, entri “ Revolusi Iran 1979” dalam Jhon L. Esposito (ed) Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern Jilid 1, terj. Eva YN., dkk, ( Bandung: Penerbit Mizan), h.337
[28] Setelah kenaikan minyak pada tahun 1973, ekonomi Iran mulai tumbuh pesat GNP terus tumbuh, tetapi keuntungan hanya dinikmati oleh kalangan elit masyarakat. Akhirnya Shah mencapai sasaran yang sulit dipahami. Karena mereka yang berkuasa tidak dipilih, dana-dana ini memberi mereka lisensi yang hamper tak terbatas dalam berkuasa. Akibatnya masyarakat Iran khususnya kalangan bawah mulai menderita., Ibid, h. 339
[29] Lihat Riza Sihbudi, Revolusi Iran: Sebuah Pandangan Sosiologi Politik,…, h.114. Perlu dicatat bahwa Ideologi Syi’ah yang berakar kuat dalam keyakinan masyarakat Irang sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan revolusi Islam Iran. Aktor Intelektual revolusi Islam Iran selain Imam Khomaeni adalah Ali Syari’ati, ia berhasil menerjemahkan secara mudah ideologi Syi’ah menjadi revolusioner dengan paradigma sosiologis Marxis.
[31] Istilah Wilayatul Faqih ini berarti pemerintahan berdasarkan faqih, yang di dasarkan pada prinsip imamah dalam ajaran Syi’ah. konsep ini merupakan konsep yang ditawarkan oleh Imam Khomeini, sebenarnya gagasan ini sudah lama ada namun kembali dipopulerkan oleh Khomeini.
[32] Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim: Problem dan Prospek (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 79-80
[33] Lihat Riza Sihbudi, Politik Parlemen dan Oposisi di Iran Paca Revolusi dalam Jurnal Ilmu Politik Vol. 2, ( Jakarta : 1991),,h. 31
[34] Riza Sihbudi, dalam Pengantar buku Biografi Politik Imam Khomeini…,h. 61
[35] Perbedaan mencolok antara keduanya adalah, jika sebelum revolusi Iran merupakan negara sekuler maka Iran pasca revolusi merupakan negara semi teokratis yang didominasi kaum mullah atau ulama syiah. Lihat Riza Sihbudi, Politik Parlemen dan Oposisi di Iran Paca Revolusi dalam Jurnal Ilmu Politik Vol. 2, (Jakarta : 1991),,h. 31
No comments:
Post a Comment