DIALEKTIKA ANTARA KE-ISLAMAN DAN KE-INDONESIAAN
DALAM PEMIKIRAN POLITIK NURCHOLIS MADJID
Oleh: M. Rusydi, M.Ag*
A. Pendahuluan
Dr. Nurcholish Madjid (akrab disapa Cak Nur), merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Ia cendekiawan muslim milik bangsa. Gagasan-gagasannya telah mampu menggoreskan pengaruh terhadap pemikiran ‘generasi’ setelahnya. Walaupun tentu saja, adanya pihak-pihak yang tidak menyukai pikiran-pikirannya -baik dari sesama muslim maupun non-muslim- tidak dapat dinafikan. Nurcholis sendiri merasa telah melewati ‘masa-masa yang dibaluti kesalahpahaman dan kecurigaan dalam upaya menebarkan pikiran-pikirannya’.[1] Hal tersebut, dapat diartikan bahwa gagasannya kini relatif sudah banyak diterima oleh berbagai kalangan dibandingkan sebelumnya, yang cenderung terbatas hanya pada kalangan ‘elit’ baik dari segi intelektual-keagamaan maupun ekonomi. Jika hal itu benar, maka Nurcholis layak ditempatkan dalam jajaran intelektual muslim terdepan.
Sebagai cendikiawan muslim, kajian Nurcholis tidak terbatas hanya pada permasalahan agama dalam arti sempit. Karena gagasan-gagasannya, menyentuh pula permasalahan-permasalahan yang seolah-olah berada “di luar wilayah keagamaan” seperti politik dan demokrasi, yang menurutnya merupakan konsekwensi logis dari pembicaraan mengenai agama. Karena agama berbicara mengenai etika, dan etika berimbas ke seluruh segi kehidupan. Dalam beberapa hal, pembicaraannya mengenai permasalahan “di luar wilayah keagamaan” yang diwarnai dengan munculnya jargon-jargon kontroversial tersebut, justru dicurigai sebagai upaya untuk mengelabui rezim dalam rangka kepentingan pribadi dan kelompoknya, bukan untuk kepentingan umat.
Oleh karena itu, mendeskripsikan pemikiran keagamaan DR. Nurcholis Madjid (selanjutnya disebut Nurcholis) dengan ide-ide ‘ke-Islaman ke-Indonesiaannya” yang cenderung kontroversial, menjadi menarik, terutama jika dikaitkan dengan kesediaannya menjadi kandidat calon presiden pada Pemilu 2004, sementara bangsa Indonesia yang ‘plural’ terancam berbagai proses disintegrasi. Tulisan ini lebih jauh berusaha untuk coba memahmami pemikiran politik Cak Nur dengan melakukan penelusuran terhadap beberapa tulisan, ceramah-ceramahnya, maupun wawancara terhadapnya yang telah dipublikasikan dalam obyek pemikiran tersebut.
B. Biografi Singkat Nur Cholis Madjid
Nurcholis lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 17 Maret 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di pesantren (Pesantren Darul ‘ulum Rejoso, Jombang, Jawa Timur, sampai tahun 1955, dan kemudian Pesantren Darus Salam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur sampai tahun 1960), ia menempuh studi kesarjanaan di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (mendapat BA dalam Sastera Arab th. 1965, dan Doktorandus- Sastera Arab th.1968). Kemudian tokoh HMI (Menjabat sebagai ketua HMI dua periode/1966-1971) ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago- Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang Filsafat dan Kalam Ibnu Taimiyah. Bidang yang diminatinya selain Filsafat, adalah: Pemikiran Islam, Reformasi Islam, Kebudayaan Islam, Politik dan Agama, Sosiologi Agama, serta Politik negara-negara berkembang.
Karya-karyanya yang telah diterbitkan antara lain: “The Issue of Modernization Among Muslim in Indonesia, a Participant Point of View” dalam Gloria Davies (ed.), What is Modern Indonesia Culture (Athens, Ohio, Ohio University, 1978), “Islam In Indonesia: Challenges and Opportunities” in Cyriac K. Pullabilly (ed.), Islam in Modern World (Bloomington, Indiana: Crossroads, 1982), Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang, 1982), Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987, 1988), Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta, Paramadina, 1992), Islam, Kerakyatan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993), Pintu-pintu Menuju Tuhan (Jakarta, Paramadina, 1994), Islam, Agama Kemanusiaan (Jakarta, Paramadina, 1995), Islam Agama Peradaban (Jakarta, Paramadina, 1995), “In Search of Islamic Roots for Modern Pluralism: The Indonesian Experiences.” In Mark Woodward (ed.), Toward a New Paradigm, Recent Developments in Indonesian IslamicThoughts (Teme, Arizona: Arizona State University, 1996), Dialog Keterbukaan (Jakarta, Paramadina, 1997), Cita-cita Politik Muslim Pasca Reformasi (Jakarta: Paramadina, 1999), dll.
Pekerjaannya sebagai peneliti, dijalaninya pada: Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta 1978-1984, dan sebagai Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 1984-sekarang.
Jabatan yang pernah dan sedang ia pegang antara lain: Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992-1997; Anggota Dewan Pers Nasional, 1990-1998; Ketua Yayasan Paramadina, Jakarta 1985-Sekarang; Fellow pada Eisenhower Fellowship, Philadelphia, 1990; Anggota KOMNAS HAM, 1993-Sekarang; Profesor Tamu, McGill University, Montreal, Canada, 1991-1992; Wakil Ketua, Dewan Penasehat ICMI, 1990-1995; Anggota Dewan Penasehat ICMI, 1996; Penerima Cultural Award ICMI, 1995; Rektor Universitas Paramadina Mulya, Jakarta 1998-Sekarang; Dosen, Fakultas Pasca Sarjana, Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syaruf Hadayatullah, Jakarta 1985-sekarang; dan ia merupakan Rektor Penerima “Bintang Maha Putra”, Jakarta 1998.
Nurcholis aktif mengikuti berbagai kegiatan internasional yang berkaitan dengan permasalahan agama, beberapa di antaranya adalah: Presenter, Seminar Internasional tentang “Agama Dunia dan Pluralisme”, Nopember 1992, Bellagio, Italy; Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Perdamaian Dunia”, April 1993, Vienna, Austria; Presenter, Seminar Internasional tentang “Islam di Asia Tenggara”, Mei 1993, Honolulu, Hawaii, USA; Presenter, Seminar Internasional tentang “Persesuaian Aliran Pemikiran Islam”, Mei 1993, Teheran, Iran; Presenter, Seminar Internasional tentang “Ekspresi-ekspresi Kebudayaan Tentang Pluralisme”, Jakarta 1995, Cassablanca, Morocco; Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, Maret 1995, Bellegio, Italy; Presenter, seminar internasional tentang “Kebudayaan Islam di Asia Tenggara”, Juni 1995, Canberra, Australia; Presenter, seminar internasional tentang “Islam dan Masyarakat sipil”, September 1995, Melbourne, Australia; Presenter, seminar internasional tentang “Agama-agama dan Komunitas Dunia Abad ke-21,” Juni 1996, Leiden, Netherlands; Presenter, seminar internasional tentang “Hak-hak Asasi Manusia”, Juni 1996, Tokyo, Jepang; Presenter, seminar internasional tentang “Dunia Melayu”, September 1996, Kuala Lumpur, Malaysia; Presenter, seminar internasional tentang “Agama dan Masyarakat Sipil”, 1997 Kuala lumpur; Pembicara, Konferensi USINDO (United States Indonesian Society), Maret 1997, Washington DC, USA; Peserta, Konferensi Internasional tentang “Agama dan Perdamaian Dunia” (Konferensi Kedua, Mei 1997, Vienna, Austria; Peserta, Seminar tentang “Kebangkitan Islam”, Nopember 1997, Universitas Emory, Atlanta, Georgia, USA; Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” Nopember 1997, Universitas Georgetown, Washington DC, USA; Pembicara, Seminar tentang “Islam dan Pluralisme”, Nopember 1997, Universitas Washington, Seattle, Washington DC, USA; Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan, MESA (Asosiasi Studi tentang Timur Tengah), Nopember 1997, San Francisco, California, USA; Sarjana Tamu dan Pembicara, Konferensi Tahunan AAR (America Academy of Religion) Akademi Keagamaan Amerika, Nopember 1997, California, USA; Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia”, Oktober 1998, Geneva, Switzerland; Presenter, Konferensi Internasional tentang “Agama-agama dan Hak-hak Asasi Manusia”, Nopember 1998 (Departemen Luar Negeri Amerika Serikat), Washington DC, USA; Peserta Presenter “Konferensi Pemimpin-pemimpin Asia”, September 1999, Brisbane, Australia; Presenter, Konferensi Internasional tentang “Islam dan Hak-hak Asasi Manusia, pesan-pesan dari Asia Tenggara”, Nopember 1999, Ito City, Japan; Peserta, Sidang ke-7 Konferensi Dunia tentang Agama dan Perdamaian (WCRP), Nopember 1999, Amman, Jordan.
Nurcholis Madjid menghembuskan nafas terakhir dengan wajah damai setelah melafalkan nama Allah pada Senin 29 Agustus 2005 pukul 14.05 WIB di Rumah Sakit Pondok Indah (RSPI), Jakarta Selatan. Cendekiawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939, itu meninggal akibat penyakit hati yang dideritanya.
C. Kerangka Teori
Perkembangan baru yang paling penting dalam dunia Islam adalah lahirnya suatu tipe baru pemikir keagamaan, yang secara kolektif disebut sebagai kaum intelektual muslim atau cendikiawan muslim.[2] Martin van Bruinessen mendefinisikan kaum intelektual muslim ini, dengan cara membandingkannya terhadap kaum ulama di satu pihak, dan kaum intelektual sekuler di pihak lain. Berbeda dengan kaum intelektual sekuler, cendikiawan muslim memiliki perhatian yang kuat terhadap Islam dan komitmen yang kuat terhadap umat Islam. Namun sebagaimana kaum intelektual sekuler, kaum intelektual muslim menaruh perhatian pada persoalan-persoalan penting bagi masyarakatnya dan mendukung pembentukan opini publik dengan turut serta dalam perdebatan-perdebatan di bidang publik. Hal ini membedakannya dengan para ulama, yang umumnya cenderung hanya memperhatikan persoalan-persoalan yang langsung berkaitan dengan permasalahan keagamaan. Karena sebagai penerjemah ajaran Islam, cendikiawan muslim melibatkan diri dengan realitas sosial dan politik dari masyarakat kontemporer, serta implikasi-implikasi filosofis dan moral dari modernitas. Selain itu, pendekatan terhadap ayat-ayat suci dan metode-metode penafsiran yang digunakan kaum intelektual muslim lebih berwawasan aliran-aliran modern dalam filsafat dan hermeneutik. Hal tersebut disebabkan karena mereka pada umumnya mendapat pendidikan di luar lembaga pendidikan keagamaan tradisional, walaupun banyak pula yang juga cukup menguasai studi Islam klasik, yang salah satu di antaranya terdapat di indonesia, yakni Nurcholis Madjid.[3]
Sedangkan M. Dawam Raharjo, membagi cendikiawan Muslim ke dalam tiga tipe. Pertama adalah ulama-cendikiawan, yakni cendikiawan yang berbasis pada pendidikan agama, dan pengetahuan umum mereka bisa diperoleh melalui proses otodidak, atau memang menjalani pendidikan umum lanjutan. Kedua adalah cendikiawan-ulama, yakni kaum cendikiawan yang berbasis pada pendidikan umum, dan pengetahuan agama mereka biasanya diperoleh dari pendidikan keluarga yang mendalam, pendidikan agama tingkat menengah atau otodidak. Ketiga adalah tipe cendikiawan yang berbasis pada pendidikan umum, tetapi pengetahuan agama mereka relatif minim dibandingkan kedua tipe cendikiawan di atas. Sungguhpun dasar pengetahuan agama mereka minim, tetapi mereka memiliki kemampuan untuk dapat mengaktualisasikan diri sebagai seorang cendikiawan dengan akhlak islami, dan komitmen perjuangan yang tinggi untuk mengembangkan Islam dan kemusliman bagi diri sendiri maupun orang lain, baik di bidang yang berkaitan dengan perkembangan agama maupun perubahan sosial pada umumnya.[4]
Sikap responsif yang sangat tinggi terhadap perubahan sosial, memang merupakan hal yang membedakan kaum cendikiawan muslim tersebut, daripada para ulama yang dalam banyak hal ternyata kurang mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang timbul dari proses modernisasi dan globalisasi. Walaupun demikian kaum intelektual muslim tersebut, tidak menunjukkan suatu sikap umum baik dalam urusan-urusan keagamaan, kehidupan budaya, ataupun kehidupan politik. Mereka kerap kali mengambil posisi yang berbeda dalam perdebatan-perdebatan yang sangat penting, dan wacana mereka bukanlah satu-satunya wacana. Kadang-kadang di antara mereka ada yang menjalin hubungan erat dengan gerakan-gerakan oposisi Islam, sementara yang lainnya lebih dekat dengan pemikiran yang resmi. Tetapi disebabkan oleh pemikirannya yang “merdeka”, maka baik pemerintah maupun gerakan-gerakan Islam seringkali mencurigai (tidak mempercayai) mereka. Kemungkinan pengaruhnya yang besar di kalangan generasi terdidik, merupakan suatu alasan tambahan untuk kecurigaan. Walaupun demikian, hingga kini tampaknya mereka belum memperoleh derajat legitimasi keagamaan yang sama dengan kaum ulama di mata publik.[5]
Bahwa Nurcholis Madjid adalah seorang cendikiawan Muslim, mungkin sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Tetapi bagaimanakah kecendikiawanan Nurcholis Madjid jika dilihat dengan kerangka pemikiran di atas, merupakan suatu masalah yang akan dijawab penelitian ini.
C. Perkembangan Pemikirannya
Babakannya sebagai pembaharu, dapat dikatakan dimulai ketika ia melontarkan gagasan kontroversialnya mengenai sekularisasi pada awal 70-an. Oleh karena iti, perkembangan pemikirannya akan diteliti sejak awal 70-an tersebut sampai sekarang. Dalam hal ini, penulis akan mengklasifikasikan perkembangan pemikirannya menjadi tiga fase, yakni 1) fase 70-an sampai dengan keberangkatannya kuliah di luar negeri; 2) fase setelah kedatangannya dari Chicago sampai masa sebelum reformasi (1984-1997); dan 3) fase pasca reformasi sampai sekarang, dengan melihat tulisan-tulisan, ceramah-ceramah, dan wawancara terhadapnya sesuai masa-masa tersebut.
Dalam suatu kesempatan pada tanggal 13 Januari 1970, Nurcholis menyampaikan pidatonya yang berjudul “ Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat”. Pidatonya tersebut banyak menimbulkan reaksi publik yang bergulir di media massa, terutama: terhadap ide sekularisasi yang sebenarnya lebih bermakna “menduniawikan” nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi, dan melepaskan kecenderungan umat Islam mengukhrawikannya, termasuk dalam hal politik (misalnya usulan mendirikan negara Islam). Oleh karena itu, iapun mempopulerkan jargon Islam Yes Partai Islam No, juga dalam kesempatan tersebut. [6] Respon paling keras antara lain dikemukakan oleh H.M. Rasyidi.[7] Dalam suatu acara yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) di tahun 1972, Nurcholis menggunakan kesempatan ini untuk sedikit-banyak mengurangi kesalah-pahaman atas ide-ide yang ditawarkan pada pidato sebelumnya. Maka ia menjelaskan kembali ide-idenya, antara lain melalui uraiannya mengenai prinsip iman dan amal salih, di mana ia menjelaskan bahwa: dimensi kehidupan duniawi yang material adalah ilmu, sedangkan dimensi kehidupan ukhrawi adalah iman, yang pendekatannya harus dibedakan karena pebrbedaan-perbedaan dimensional tersebut.[8] Nurcholis mengakui adanya kekasaran dalam ceramah-ceramahnya saat itu, dan menyebutnya sebagai “sebuah kesalahan besar yang bersifat taktis”, tetapi ia tidak memungkiri ide-ide yang telah diungkapkannya tersebut.[9]
Pada fase kedua (sekembalinya dari Chicago), kajian-kajian Nurcholis, terutama yang ia lakukan bersama Klub Kajian Agama (KKA) di Paramadina, dilakukannya dengan sofistikasi historis dan filosofis yng lebih baik. Ia kerapkali menjadi salah satu dari dua pembicara dalam diskusi bulanan yang diadakan KKA dengan tema-tema yang beragam dan berkesinambungan, yang menurutnya merupakan suatu upaya memahami ajaran-ajaran Islam secara komprehensif, sehingga ajaran tersebut dapat lahir kembali dengan wajah ‘kultural’ dan inklusif. Sebagaimana tampak dalam keterlibatannya pada event-event internasional, pluralisme juga menjadi topik kajian Nurcholis. Makalah-makalahnya dalam forum tersebut (KKA) telah dipubliasikan dalam bentuk buku. Dalam batas-batas tertentu, Nurcholis tetap mencoba mengaktualkan gagasan-gagasan pembaruan pada era 70-an, dengan substansi yang lebih mendalam. Pada fase ini, Nurcholis banyak terlibat dalam perdebatan-perdebatan mengenai masalah-masalah keagamaan dan keindonesiaan yang terjadi pada masa itu, yang antara lain terekam dalam wawancara-wawancara yang dilakukan terhadapnya oleh media massa.
Dalam fase berikutnya, seiring bergulirnya reformasi, ide-ide sosial-politik Nurcholis kembali menemukan konteksnya di tengah ancaman disintegrasi bangsa dan konflik-konflik berbau SARA. Kesediaannya untuk dicalonkan menjadi kandidat presiden pada Pemilu 2004 yang dikemukakannya dalam salah satu jumpa pers, nampaknya menunjukan bahwa Nurcholis sudah mulai “turun gunung”, dari dataran teoritis ke dataran praktis. Kecenderungannya untuk lebih bersedia dicalonkan oleh partai politik yang tidak menggunakan label ‘Islam’ (dalam hal ini Golkar), tampak sinkron dengan ide Islam yes, Partai Islam No, yang pernah ia lontarkan.[10] Suatu perkembangan yang masih harus dibuktikan kelanjutannya.
Bagaimanapun, jika meneliti perkembangan pemikiran Nurcholis, nampak adanya konsistensi di dalamnya. Ia tetap menawarkan corak Islam yang lebih bersifat spiritual dengan menekankan esensinya, daripada corak keberagamaan yang dibauri aroma fanatisme dan keseragaman yang ingin diwujudkan dalam bentuk legal-formal. Bagi masyarakat banyak (terutama awam), terkadang memerlukan waktu lama untuk mengapresiai tawaran-tawaran pemikirannya tersebut, dan Nurcholis sendiri memang memaklumi hal itu
D. Kerangka Dasar Pemikiran Politik Nurcholis Madjid: Ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan
Pemikiran Ibn Taymiyyah (661-728 H/ 1263-1328 M), seorang mujaddid yang menjadi kajian disertasinya, tampaknya banyak mempengaruhi kerangka berfikir seorang Nurcholis Madjid.[11] Sebagaimana Ibn Taymiyyah yang konsep dasar pembaruannya diletakkan pada penegakkan tauhid, Nurcholis juga mendasarkan pemikirannya pada prinsip iman, di mana tauhid menjadi pokoknya.
Menurut Nurcholis, iman berhakikat dinamis, karena merupakan keadaan jiwa atau rohani yang penuh apresiasi kepada Tuhan, yang tumbuh oleh adanya penghayatan yang menyeluruh akan sifat-sifat Tuhan. Iman ini sangat individual dan spiritual sifatnya, oleh karena itu harus tumbuh dari pilihan yang bebas dan merdeka tanpa paksaan dari luar.[12]
Iman tak berarti hanya “percaya” akan adanya Allah. Tetapi harus pula mempercayai Allah dalam ‘kualitas’-Nya, sebagai satu-satunya yang bersifat keilahian atau ketuhanan dan merupakan kebenaran mutlak, dan sama sekali tidak memandang adanya kualitas serupa kepada sesuatu apapun selain-Nya.[13] Dengan kata lain, pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, konsekwensinya harus melahirkan “desakralisasi” pandangan terhadap selain Tuhan, yakni dunia dan masalah-masalahnya, serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya (bersifat duniawi).[14]
Dengan adanya kesadaran akan ketakterbatasan dan kemutlakan Tuhan, akan menumbuhkan kesadaran atas keterbatasan dirinya. Kesadaran ini merupakan permulaan dari sikap memerima dan terbuka terhadap nilai-nilai kemanusiaan (duniawi) yang mengandung kebenaran, walaupun berasal dari siapa saja dan dari mana saja. Apalagi pada dasarnya, manusia diciptakan Allah dalam fitrah dan berwatak hanif (yaitu cenderung terikat pada kebenaran).[15] Dan -mencari kebenaran yang lapang dan toleran, tanpa kefanatikan dan tidak membelenggu jiwa- (al-hanifiyyah as-samhah) menurut Nurcholis merupakan esensi beragama atau cara beragama yang benar.[16]
Lebih jauh menurut Nurcholis, pada prinsipnya, nilai keagamaan (agama apapun) tidak mungkin berlawanan dengan nilai kemanusiaan, sebagaimana nilai kemanusiaan semestinya tidak bertentangan dengan nilai keagamaan. Karena agama tidak dibuat sebagai penghalang bagi kemanusiaan.[17] Sehingga dengan menumbuhkan sikap terbuka dan dialog terhadap warisan-warisan kemanusiaan (peradaban) yang universal, dapat melahirkan agama peradaban, atau dalam kasus Islam “Islam Peradaban”.[18] Karena menurutnya, nila-nilai universal selalu ada pada inti ajaran-ajaran agama, dan nilai-nilai tersebut, dapat mempertemukan seluruh umat manusia. Untuk dapat memiliki kekuatan yang efektif sebagai dasar etika sosial masyarakat, maka nilai-nilai universal tersebut harus dikaitkan kepada kondisi nyata ruang dan waktu.[19]
Dalam hal ini, sebagai seorang muslim, Nurcholis berusaha menginterpretasikan ajaran agamanya (Islam) dalam konteks masyarakatnya di sini (Indonesia) dan masa kini. Lahirlah pemikiran ke-Islaman-ke-Indonesiaannya, yakni dengan berusaha menampilkan Islam dengan wajah kultural, produktif, dan konstruktif, yang resposif pada tantangan zaman dan membawa kebaikan bagi semua. Oleh karena itu, menurutnya eksklusivisme umat Islam harus segera diakhiri, dan tidak memandang satu sama lain dengan pola-pola yang absolutistik. Maka inklusivisme (serba meliputi siapa saja) harus ditumbuhkan, bahkan harus melindungi hak agama-agama lain atau memberikan hak dari setiap agama untuk eksis di dalam suatu hubungan sosial yang toleran dan saling menghargai.[20]
Dengan demikian, Nurcholis mengembangkan pemikirannya dalam kerangka dasar Iman, yang bukan hanya sekedar ungkapan kosong, namun menuntut perwujudan lahiriah, atau eksternalisasinya dalam tindakan-tindakan nyata kehidupan manusia yang tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu.[21]
E. Pokok-pokok Pikiran Nurcholis Madjid
Gagasan sekularisasi Nurcholis, lahir dari dasar pemikiran bahwa tauhid (iman), yang berarti pemutlakan transendensi semata-mata kepada Tuhan, konsekwensinya harus melahirkan “desakralisasi” pandangan terhadap selain Tuhan, yakni dunia dan masalah-masalahnya, serta nilai-nilai yang bersangkutan dengannya (bersifat duniawi). Obyek dari ‘desakralisasi’ ini, ialah segala sesuatu yang bersifat duniawi, baik moral (nilai-nilai), maupun material (benda-benda).
‘Sekularisasi’ ini, menurut Nurcholis, dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai khalifah Allah di bumi, yang dengan fungsinya tersebut, berarti Allah telah memberikan ruang bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri, cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya. Sehingga dengan demikian, manusia dituntut untuk terus menumbuhkan kreativitas.
Jadi sekularisasi tidak dimaksudkan sebagi penerapan sekularisme,[23] tetapi yang dimaksud adalah menerapkan sesuatu yang bersifat duniawi dan ukhrawi secara semestinya. Sekularisasi (temporalizing) ini, terutama diperlukan karna adanya kecenderungan umat Islam dalam mengukhrawikan sesuatu yang sebenarnya bersifat duniawi, yang cerminannya antara lain terlihat dari fanatisme umat yang berlebihan terhadap ‘Islam’ yang sebenarnya hanyalah tradisi yang bersifat duniawi, karena Islam dianggap senilai dengan tradisi. Hal inilah membuat kaum muslim, kurang dapat memberikan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia ini.
Ide sekularisasi yang sebenarnya diusung Nur Cholish lebih bermakna “menduniawikan” nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi, dan melepaskan kecenderungan umat Islam mengukhrawikannya, termasuk dalam hal politik (misalnya usulan mendirikan negara Islam). Oleh karena itu, iapun mempopulerkan jargon Islam Yes Partai Islam No, dalam pikiran politiknya. [24] Kenyataan-kenyataan tersebut juga berimbas terhadap gagasan-gagasannya sekitar persesuaian antara idealitas agama dan realitas politik.
Dalam konstelasi pemikiran mengenai relasi Islam dan Negara, telah disadari oleh Nur Cholish bahwa tidak mudah menemukan rekonsiliasi antara idealitas agama dalam realitas politik. Apabila kenyataan itu dibentangkan dari masa-masa awal sejarah politik (yang khas islam) akan terdapat begitu banyak pemikiran menimbulkan pernyataan-pernyataan dan polemik yang pada garisbesarnya berkisar pada wajib tidaknya umat Islam mendirikan negara, bagaimana susunan dan bentuk negara, siapa yang berhak menduduki jabatan kepala negara, bagaimana posisi syari’ah dalam kaitannya dengan mekanisme pemerintahan dan lain sebagainya. Bahkan pada zaman modern ini timbul persoalan yang menyangkut apakah agama harus bersatu dengan negara, atau apakah Islam memerintahkan umatnya untuk membentuk dan mendirikan ‘negara Islam’ atau tidak. [25]
Munculnya persoalan-persoalan di atas sesungguhnya karena di samping merupakan tantangan-tantangan modernitas, juga disebabkan karena baik al-Qur’an maupun Hadis tidak memberikan penjelasan secara tegas bagaimana konsep Islam dalam persoalan-persoalan kenegaraaan. Tidak ada ayat atau Hadis yang menyebutkan dan menggariskan secara detil serta konseptual bentuk pemerintahan di dalam Islam. Bahkan Rasulullah pun tidak mewariskan konsepsi kenegaraan yang baku. Hal ini mengindikasikan bahwa sistem kenegaraan merupakan sesuatu yang masih terbuka untuk berkembang. Di pihak lain hal tersebut menunjukkan pula bahwa bentuk negara di dalam Islam bukan merupakan sesuatu yang esensial ketimbang unsur-unsur, sendi-sendi dan prinsip-prinsip etis di dalam menjalankan roda pemerintahan.[26]
Dari sinilah kontroversi mengenai bagaimana relasi Islam dan negara muncul. Bahkan, dalam setiap babakan dalam sejarah Islam, selalu muncul tesis yang berkembang dan merepresentasikan semangat zamannya dalam hal pencarian relasi yang sesuai antara Islam dan negara. Karena itu, usaha pencarian konsep negara adalah salah satu isu sentral dalam sejarah pemikiran politik manapun tak terkecuali pemikiran politik Islam.[27]
Pencarian konsep tentang negara telah dimulai jauh sebelum pemikir-pemikir politik muslim muncul. Dalam diskursus pemikiran politik yang berkembang sejak zaman Yunani kuna, konsepsi negara merupakan subyek yang banyak diminati oleh para filosof. Secara demikian, sangat beralasan jika Munawir Sjadzali mensinyalir bahwa dalam upaya pencarian konsep tentang negara, pemikir-pemikir politik Islam dipengaruhi alam pikiran Yunani, terutama Plato. Meskipun kadar keterpengaruhan itu berbeda intensitasnya antara satu pemikir dengan pemikir lainnya.[28]
Oleh karena itu, usaha pencarian konsepsi negara dalam sejarah pemikiran politik Islam tentu mengandung maksud dan tujuan tertentu. Maksud dan tujuan itu, seperti diintrodusir Din Syamsuddin, dapat dilihat dari dua hal. Pertama untuk menemukan idealitas Islam tentang negara dengan menekankan aspek teoritis dan formal, dimulai dengan pertanyaan konseptual ‘bagaimana bentuk negara dalam ‘Islam’ dan bertolak dari asumsi bahwa Islam mempunyai konsep tertentu tentang negara. Kedua untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara dengan memberikan penekanan pada aspek praksis dan substansial. Aspek kedua ini berusaha menjawab pertanyaan konseptual ‘bagaimana isi negara menurut Islam’, dan bertolak dari asumsi bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara, akan tetapi menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa landasan etis dan moral. Meskipun kedua maksud tersebut berbeda dalam pendekatan, namun keduanya mempunyai tujuan yang sama, yakni berusaha menemukan rekonsiliasi antara idealitas agama dan realitas politik.[29]
Rekonsiliasi antara cita-cita agama dan realitas politik menjadi tugas utama pemikiran politik Islam. Karena seringkali idealitas agama dan realitas politik dalam sejarah Islam, menampilkan fenomena kesenjangan dan pertentangan. Fenomena ini menurut Din Syamsuddin, paling tidak bersumber dari dua sebab, yaitu (a) terdapat perbedaan konseptual antara ‘agama’ dan ‘negara’ yang menimbulkan kesulitan pemaduannya dalam praktek, dan b) terdapat penyimpangan praktek politik dari etika dan moralitas agama. Artinya, meskipun seluruh umat Islam mempunyai keyakinan yang sama, namun dalam hal implementasi etika dan moralitas agama itu dalam dimensi politik berbeda secara diametral antara satu kelompok dengan kelompok lain.[30] Kenyataan itu, berimplikasi pula dalam hal pencarian solusi yang dapat ditawarkan dalam usaha menengarai kesenjangan hubungan antara agama dan negara.
Oleh karena itu, dalam usaha merekonsiliasi kesenjangan hubungan antara agama dan negara, dimensi sosio-kultural dan politik tidak dapat dinafikan. Karena dimensi-dimensi itu akan menentukan konstruksi pemikiran mereka dalam hal pencarian relasi yang sesuai antara agama dan politik. Yang pertama mengandung arti bahwa konsepsi tersebut sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat di mana ia dikembangkan, dan yang kedua mengandung arti bahwa konsepsi tersebut lahir dalam suatu konstelasi politik tertentu, karenanya tidak dapat dilepaskan dari motif dan tujuan politis.[31]
Dengan demikian, Nur Cholish lebih mengusung ide sekularisasi dalam pemikiran politiknya, akan tetapi segera perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan istilah sekularisasi di sini adalah dengan menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya duniawi, termasuk dalam hal politik (misalnya usulan mendirikan negara Islam). Karena seringkali idealitas agama dan realitas politik dalam sejarah Islam, menampilkan fenomena kesenjangan dan pertentangan. Di pihak lain hal tersebut menunjukkan pula bahwa bentuk negara di dalam Islam bukan merupakan sesuatu yang esensial ketimbang unsur-unsur, sendi-sendi dan prinsip-prinsip etis di dalam menjalankan roda pemerintahan.
Kebebasan Berpikir, “Idea of Progress”, dan Sikap Terbuka[32]
Sebagai kelanjutan dari gagasan di atas, Nurcholis mengusung ide tentang perlunya kebebasan berfikir, sehingga memunculkan pikiran-pikiran segar yang mempunyai daya dobrak psikologis (psychological striking force) yang dapat merespon tuntutan-tuntutan segera, dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik dibidang ekonomi, politik, maupun sosial. dengan kata lain, umat islam harus mampu mengambil inisiatif-inisiatif dalam pembangunan masyarakat yang bersifat duniawi.
Dengan demikian, pintu ijtihad bagi Nurcholis (sebagaimana Ibn taymiyyah) adalah tetap terbuka, dan merupakan keharusan bagi umat untuk memahami agamanya. Bahkan menurut Nurcholis, jika benar-benar konsisten terhadap ajaran agamanya, seorang muslim harus terbuka terhadap ide-ide kemajuan (idea of progress), serta bersedia mendengarkan perkembangan ide-ide kemanusiaan dengan spektrum seluas mungkin, kemudian memilih di antaranya, yang menurut ukuran-ukuran obyektif mengandung kebenaran (universal). Sehingga dengan mengoptimalkan rasio dan akal pikiran yang ada padanya, harus terlibat dalam upaya menemukan cara-cara yang terbaik bagi kehidupan kolektif manusia.
Pluralisme
Kemajemukan atau pluralitas umat manusia adalah kenyataan yang telah menjadi kehendak Tuhan. Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal adan menghargai (Q.S. alHujurat (49):13). Menurut Nurcholis, dalam ayat ini terkandung makna pluralisme, yaitu suatu sistem nilai yang memandang secara positif-optimis terhadap kemajemukan itu sendiri, dengan menerimanya sebagai kenyataan, dan berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu.[33]
Dalam mengembangkan ide pluralisme ini, sebagai seorang muslim Nurcholis mengembangkannya dari pemahaman terhadap kitab sucinya yakni al-Qur’an. Dari penelusurannya terhadap al-Qur’an tersebut, dia menemukan penegasan-penegasan pandangan atau prinsip-prinsip al-Qur’an , yang mendasari dialog antar umat berbagai agama, Karena pada dasarnya, agama adalah sistem simbol yang mempunyai asal atau inti yang sama, walupun manifestasi sosio kulturalnya secara historis berbeda-beda. Al-Qur’an menghendaki agar fenomena lahiriah (agama sebagai sistem simbol) itu tidak menghalangi usaha menuju titik temu antara semuanya. Karena walaupun rumusan linguistik dan vebal keyakinan keagamaan itu berbeda-beda, dapat dipastikan bahwa eksternalisasi keimanan itu dalam dimensi sosial-kemanusiaannya tentu sama, karena menyangkut kerja nyata.[34]
Dalam hal klaim kebenaran agama, Nurcholis menganggap perlu adanya relativisme dalam beragama. Karena pandangan seseorang tentang pemahamannya mengenai suatu agama, tentu diaku-nya sebagai yang paling benar dan paling tepat mengenai agama itu. Tapi sebagai suatu entitas, pasti mengenai entitas yang lain, dan orang lain belum tentu mempunyai pemahaman yang sama terhadap agama itu, karena perbedaan sudut pandangnya.[35]
Perhatiannya yang sangat besar terhadap gagasan dan permasalahan pluralsme agama, menjadikan Nurcholis pantas dijuluki sebagai salah satu tokoh pluralisme di Indonesia. Namun demikian, sebagai suatu wacana, gagasan-gagasan Nurcholis (terutama mengenai plurlisme) mengundang banyak kritikan. Beberapa di antaranya akan diuraikan pada bagian berikut ini.
F. Kritik Terhadap Pemikiran Nurcholis Madjid
Budhy Munawar Rahman, ‘anak asuhnya’ dalam pemikiran-pemikiran keagamaan, mengkritik ide pluralisme Nurcholis dalam bukunya Islam Pluralis.[36] Rahman mengatakan bahwa titik tolak kesatuan pandangan tentang agama-agama (yang dalam istilah Firthjof Schuon mungkin boleh disebut filsafat perennial/perennial philosophy) yang digagas Nurcholis, adalah jelas bersifat islam, atau belum bersifat universal jika dilihat dari sudut epistimologi agama-agama. Sehingga ‘teologi inklusifnya’ seolah-olah hanya merupakan proyeksi Islam atas agama lain. Walaupun memang berbagai konsep yang dikemukakan Nurcholis pada awalnya memang hanya untuk konsumsi atau untuk memperluas pandangan umat Islam-Indonesia (yang belakangan cenderung menyempit ke arah anggapan bahwa agamanya sendiri yang paling benar), namun agar bisa memberi sumbangan dalam proses dialog antar Iman, maka konsep-konsepnya perlu diperlebar lagi dengan memberi perhatian terhadap agama-agama lain, dan tidak hanya berangkat dari idiom-idiom Islam.
Kritik yang sangat keras dikemukakan oleh Nur Khalik Ridwan, peneliti jebolan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Melalui buku Pluralisme Borjuis (Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur), Khalik melakukan kajian kritis atas gagasan pluralisme Nurcholis. Khalik menganggap pemikiran Nurcholis, kendati memiliki tingkat liberalisasi tinggi, serta didukung penguasaan khazanah Islam klasik dan modern, telah menjadi semacam rezim kebenaran atau hegemoni intelektual bercorak logosentris. Pribadinya cenderung dikultuskan, dan gagasannya “disakralkan”.
Berdasarkan hasil lacakan atas genealogi keluarga dan komunitas sosialnya, Khalik menyebut Nurcholis berasal dari lingkaran Islam borjuis. Tipologi Islam borjuis digunakan Khalik untuk mengidentifikasi kelas mengengah atas muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan, ideologinya condong ke Masyumi-HMI, dan cenderung mengusung simbol-simbol Islam formal. Menurut Khalik, pluralisme Nurcholis, yang bertumpu pada gagasan Islam agama universal, tetap berputar di orbit komunal partikular karena masih melihat kebenaran agama lain dengan perspektif agama sendiri.
Misalnya dalam konteks ahlulkitab, Nurcholis hanya terpaku pada agama formal dan mengesampingkan “paham-paham keagamaan” masyarakat adat yang terkesan primitif namun kaya kearifan. Gagasan Nurcholis tentang sekularisasi (menghindarkan umat dari kecenderungan mengukhrawikan persoalan duniawi tanpa kecuali gagasan negara Islam) dan modernisasi (menganjurkan umat berpikir rasional dengan mendukung pembangunan) dinilai Khalik sebagai strategi buat mengelabui rezim otoritarian Orde Baru. Agar komunitas Islam borjuis tidak terus-menerus larut dalam trauma kepahitan politik dibubarkannya Masyumi.
Ide Islam yes, partai Islam no, yang diintroduksi Nurcholis saat Soeharto mengebiri partai berbasis agama dan ideologi pada awal 1970-an, dinilai Khalik sebagai strategi neo-Masyumi untuk bersimbiosis dengan kepentingan rezim, agar mereka tidak lagi dituduh mengusung formalisme Islam ke arena politik, dan agar Soeharto memandang pewaris Masyumi menyantuni Islam substantif. Tak mengherankan baginya bila mereka banyak yang jadi petinggi Golkar dan terserap ke birokrasi pemerintahan.
Lebih jauh lagi, Pluralisme Nurcholis di mata Khalik, tidak memiliki sensitivitas pembebasan bagi kaum buruh, petani miskin di pedesaan, penghuni kampung kumuh, gelandangan, dan “sampah masyarakat” perkotaan lainnya yang rentan ketidakadilan sekaligus pengambinghitaman. Konsepsi Nurcholis tentang Islam sebagai agama keadilan, agama kemanusiaan, dan agama peradaban hanya bisa diakses kaum profesional dan eksekutif muda bergelimang duit, namun kerontang spiritual, melalui berbagai kursus filsafat keagamaan yang diselenggarakan Paramadina di hotel-hotel berbintang. Tak mengherankan pula bila Khalik menyebut kinerja Nurcholis sebagai pluralisme borjuis.
Sayang, kerangka sosiologi pengetahuan John B. Thompson, dalam Studies in the Theory of Ideology (1985), kurang didayagunakan Khalik untuk mempertajam hasil analisis. Kendati disajikan dengan langgam subjektivitas yang meledak-ledak, menurut J. Soemardinata, refleksi Khalik terhadap Nurcholis sudah menggunakan metode analisis nonmarxis, berangkat bukan dari dogmatisme agama, melainkan keprihatinan iman orang melarat, dan menyantuni heterogenitas agama dalam perjumpaannya dengan Islam.[37]
G. Simpulan dan Penutup
Nurcholis Madjid dengan kemampuannya mengartikulasikan nilai-nilai ajaran agamanya (Islam) dalam konteks sosial historis yang nyata, yang ditopang dengan penguasaannya dalam berbagai bidang ilmu (baik filsafat klasik maupun kontemporer, bahasa Arab, sejarah, dll.) merupakan pemikir yang termasuk ‘langka’, dan bisa disebut sebagai penarik gerbong pembaruan Islam di Indonesia.
Produktivitas yang berujud karya-karya yang ia lahirkan, menunjukan bahwa Islam mampu memberikan inspirasi moral “berbangsa” dengan keimanan sebagai dasar pemikirannya, serta menekanankan pentingnya esensi ajaran-agama dibandingkan bentuk legal formalnya,
Dengan pemikiran ke-Islaman-ke-Indonesiaannya, Nurcholis berusaha menampilkan Islam dengan wajah kultural, produktif, dan konstruktif, yang resposif pada tantangan zaman dan membawa kebaikan bagi semua komponen masyarakat, sehingga Islam yang didengungkanya adalah Islam inklusif.
Sebagai sebuah human construction, pemikiran-pemikiran Nurcholis patut diapresiasi tanpa meninggalkan sikap kritis, karena sebagaimana yang dikemukakannya, kebenaran pemahaman keagamaan merupakan kebenaran yang bersifat relatif, yang harus terus diuji nilainya, di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral, maupun historis.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. Syafi’i. (Pewawancara) “Menatap masa depan Islam”dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No.1. Vol. 5, Th. 1994.
Bakker, Antoni dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Bruinessen, Martin van. Kata Pengantar untuk Farish A Noor, “ Suara Baru Tentang Islam” dalam Dick van Der Meij (ed.), Dinamika Kontemporer Dalam Masyarakat Islam, Jakarta: INIS, 2003.
Madjid, Nurcholis. Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1998.
_______, “ Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan”, dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001.
_______, Islam doktrin Dan Peradaban, Jakarta : Paramadina, 1992.
_______, “Islam, Iman, dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran Ilahi” dalam Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995.
_______, “Kata Pengantar” dalam, Komarudin Hidayat, dkk. (ed), Passing Over, Melintasi Batas Agama, Jakarta: Gramedia pustaka, 1998.
_______, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1995.
Muryadi, Wahyu. (Pewawancara), “Mencari Kebenaran Yang Lapang” dalam Tempo, 31 Oktober 1992.
Pratiknya, Ahmad W. “Anatomi Cendikiawan Muslim, Potret Indonesia”, dalam Amin Rais (ed.), Islam Di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1986.
Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001.
Raharjo, M. Dawam. Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Bandung: Mizan, 1999.
Ridwan, Nur Khalik. Pluralisme Borjuis, Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur. Yogyakarta: Lki S, 2002.
Sumardianta, J. Pustakawan, GATRA, Nomor 36 Beredar Senin 22 Juli 2002.
* Penulis adalah alumni Program Studi Hukum Islam Konsentrasi Muamalat Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang
[1] Nurcholis Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 1998), h.333.
[2] Cendikiawan (intelektual) ialah orang yang karena pendidikannya –baik formal, informal, maupun non formal, mempunyai perilaku cendikia, yang tercermin dalam kemampuannya menatap, menafsirkan, dan merespon lingkungan sekitarnya dengan sifat: kritis, kreatif, obyektif, analitis, dan bertanggung-jawab. Karena sifat-sifat tersebut menjadikan cendikiawan memiliki wawasan dan pandangan yang luas, yang tidak dibatasi ruang dan waktu. Lihat Ahmad W. Pratiknya, “Anatomi Cendikiawan Muslim, Potret Indonesia”, dalam Amin Rais (ed.), Islam Di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1986), h. 3.
[3] Martin van Bruinessen, Kata Pengantar untuk Farish A Noor, “ Suara Baru Tentang Islam” dalam Dick van Der Meij (ed.), Dinamika Kontemporer Dalam Masyarakat Islam, (Jakarta: INIS, 2003), h. 159.
[4] M.Dawam raharjo, Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, (Bandung: Mizan, 1999), h.41.
[5] Bruinessen, dalam Van der Meij, Dinamika…, h. 160.
[6] Nurcholis Madjid, “ Keharusan Pembaruan.., 484-494.
[7] Nurcholis Madjid, Dialog Keterbukaan…, h..155.
[8] Nurcholis Madjid, “ Keharusan Pembaruan.., h. 495-505.
[9] Ibid., h. 484
[10] Sebagai fenomena politik, kesedian Nurcholis dicalonkan sebagai kandidat presiden dalam Pemilu 2004 mendatang masih unpredicable.
[11] Di samping dipengaruhi Ibn Taymiyyah, menurut Djaka Soetapa, pemikiran Nurcholis Madjid tampaknya di pengaruhi pula oleh Hervi Coop, penulis buku The SecularCity, dan Molt Mann dengan The Thelogy of Hope-nya. Perkuliahan Metodologi Penelitian Agama, Program S3, PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 7 Nopember, 2003.
[12] Nurcholis Madjid, “ Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan”, dalam Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-isu Global, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 496-497.
[13] Nurcholis Madjid,, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1995), h.4-5.
[14] Nurcholis, “Keharusan Pembaruan…”, h. 488.
[15]Nurcholis, “Keharusan Pembaruan…”, h. 491.
[16] Wahyu Muryadi (Pewawancara), “Mencari Kebenaran Yang Lapang” dalam Tempo, 31 Oktober 1992.
[17] Nurcholis Madjid, Islam doktrin Dan Peradaban, (Jakarta : Paramadina, 1992), h..xvi
[18] M. Syafi’i Anwar (Pewawancara) “Menatap masa depan Islam”dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No.1. Vol. 5, Th. 1994.
[19] Nurcholis, Islam Doktrin.., h. xii.
[20] Nurcholis Madjid, Dialog Keterbukaan…, h. 127-129.
[21] Lihat Nurcholis Madjid, “Islam, Iman, dan Ihsan Sebagai Trilogi Ajaran Ilahi” dalam Budhy Munawar Rachman, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), h.. 469.
[22] Nurcholis Madjid, “ Keharusan Pembaruan.., h.487-489
[23] Sekularisme adalah nama untuk sebuah ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup, yang fungsinya sangat mirip dengan sebuah agama baru. Lihat Ibid.., h. 484
[24] Nurcholis Madjid, “ Keharusan Pembaruan.., 484-494.
[25] Bandingkan dengan Yusril Ihza Mahendra, “Harun Nasution Tentang Islam dan Masalah Kenegaraan”, dalam LSAF, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam (Jakarta : LSAF, 1989), h. 219.
[26] Harun Nasution dan Azyumardi Azra, Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1985), h. 10.
[27] Pemikiran politik Islam sesungguhnya merefleksikan upaya pencarian landasan intelektual bagi fungsi dan peranan negara atau pemerintahan sebagai faktor instrumental untuk memenuhi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, baik lahiriah maupun batiniah. Pemikiran politik Islam, dalam hal ini, merupakan ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks dan proses politik yang sedang berlangsung. Lihat M. Din Syamsuddin, “Usaha Pencarian Konsep Negara , h. 4-6.
[28] Misalnya, al-Farabi sangat dipengaruhi oleh Plato, dalam hal mengadakan idealisasi bagi semua aspek kehidupan bernegara. Konsepsinya tentang negara begitu ‘utopian’, sehingga hampir sama dengan konsepsi ‘Negara Sempurna’-nya Plato.
[29] Din Syamsuddin, “ Usaha Pencarian….”, h.5.
[30] John L. Esposito, (ed)., Islam In Asia Religion, Politic and Society (New York : Oxford Univ. Press, 1987), h. 13.
[31] Banyak fakta yang mendukung proposisi itu. Misalnya, Ibn ‘Abi Rabi’, al-Farabi, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Khaldun, dapat dikatakan mewakili pemikiran politik Islam pada zaman mereka masing-masing, yakni klasik dan pertengahan. Pemikir-pemikir politik Islam itu, pada dasarnya menerima dan tidak mempertentangkan lagi keabsahan sistem monarki yang mereka temukan pada zaman mereka masing-masing. Sultan atau Raja memerintah atas dasar turun temurun dan bersifat mutlak, berdasarkan prinsip bahwa ia adalah bayangan Tuhan di bumi. Maka ketaatan kepada Raja atau kepala pemerintahan adalah mutlak tanpa ‘reserve’, karena ketaatan kepada pimpinan dipandang merupkan kewajiban agama. Hanya al-Mawardi yang mengemukakan teori tentang kontrak sosial dan secara jelas menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu kepala negara dapat diturunkan dari tahta, meskipun tanpa rincian mengenai mekanisme penurunan itu. Sebaliknya golongan Mu’tazilah sepaham dengan golongan Khawarij berpendapat bahwa pengangkatan Imam atau pemimpin bukan merupakan kewajiban agama. Dengan demikian kekuasaan Khalifah, Sultan atau Raja tidak lagi didasarkan mandat dari Tuhan dan bila mereka menyeleweng dapat saja diganti jika dikehendaki rakyat. Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tatanegara ………., h. 204.
[32]Nurcholis Madjid, “ Keharusan Pembaruan..,h. 489-492
[33]Nurcholis, Islam Doktrin.., h. ixxv
[34] Nurcholis Madjid, “Kata Pengantar” dalam, Komarudin Hidayat, dkk. (ed), Passing Over, Melintasi Batas Agama, ( Jakarta: Gramedia pustaka, 1998), h.xxxviii.
[35] Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, (Jakarta: Paramadina, 1995), h.242.
[36] Budhy Munawar Rachman, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2001), h. 62-63.
No comments:
Post a Comment