Penelitian

Thursday 21 October 2010

BUDAYA POLITIK PESANTREN :

STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN MIFTAHUL HUDA KECAMATAN MANONJAYA KABUPATEN TASIKMALAYA

Edi Kusmayadi, M.Si[1]

Hendra Gunawan, S.IP[2]

ABSTRACT

Political culture, is part of the culture of the society with the characteristics of a more typical. The term includes the issue of legitimacy of political culture, power regulation, government policy-making process, the activities of political parties, the behavior of the state apparatus, and the turmoil of society against the power to rule. Political activity is also entering the world of religious, economic and social activities, personal and social life at large. Thus, political culture directly affects the political life and national decisions regarding the allocation pattern of public resources.
No exception to the institution called the pesantren. Political culture in schools to some extent affect the practical political life in the boarding area itself. Pesantren and political parties actually two entities are quite far apart. Pesantren is more synonymous with education which is in contact with science and morality, while the political parties more closely on joint efforts to achieve, maintain, and seize power. Pesantren in daily life is busy with the book review that discusses the views of scholars of classical and modern about the various disciplines of Islamic religion, while political parties busy with preparing the party platform with all the strategies and political tactics to gain power for the sake of advancing the nation and state and the welfare of the people.

ABSTRAK

Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me­merintah. Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.

Tidak terkecuali dengan institusi yang disebut dengan pesantren. Budaya politik di pesantren sedikit banyak mempengaruhi kehidupan politik praktis di wilayah pesantren itu sendiri. Pesantren dan partai politik sesungguhnya dua entitas yang agak berjauhan. Pesantren lebih identik dengan pendidikan yang bersentuhan dengan keilmuan dan moralitas, sedangkan partai politik lebih dekat pada upaya bersama untuk meraih, mempertahankan, dan merebut kekuasaan. Pesantren dalam kehidupan kesehariannya sibuk dengan kajian kitab yang membahas pandangan ulama-ulama klasik dan modern tentang berbagai disiplin ilmu agama Islam, sedangkan partai politik sibuk dengan penyusunan platform partai dengan segala strategi dan taktik politik untuk memperoleh kekuasaan demi memajukan bangsa dan negara serta mensejahterakan rakyat.




I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di pesantren telah tertanam budaya tanpa pamrih dalam mengerjakan apa saja yang diperintahkan kiai, asal pekerjaan itu baik dan bermanfaat untuk umat dan orang banyak. Dalam tradisi pesantren, sikap ini disebut ikhlas dan patuh. Misalnya, kiai mengisyaratkan kepada para santrinya untuk memilih partai politik tertentu, maka mereka mematuhinya dengan dasar bahwa partai politik yang dipilihnya itu akan menegakkan politik moral, bukan hanya politik kekuasaan. Adapun di partai politik, budaya tanpa pamrih dan politik moral merupakan sesuatu yang kecil kemungkinan terjadi karena setiap tindakan yang dilakukan anggota partai telah terbentuk beberapa rumus politik, yaitu, (a) siapa mendapatkan apa?, (b) siapa mengalahkan siapa?, (c) siapa yang menjadi saingan?, dan (d) siapa yang menjadi teman seiring?. Jadi, di pesantren telah terbangun citra bahwa partai itu semestinya membangun politik moral sebagai salah satu basis utamanya dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian, politik kekuasaan yang sudah menjadi ciri utama partai politik harus didampingi dengan politik moral agar kekuasaan yang diraihnya tidak mengarah pada penghalalan segala cara.

Sebuah pesantren bisa muncul dan terkenal biasanya karena ketokohan dan aura keulamaan kiainya. Kiai dalam konteks ini adalah simbol masyarakat santri yang santun, pandai, dan berwibawa yang sangat dihormati dan dicintai pengikutnya, bahkan oleh masyarakat luas yang simpati kepadanya. Pada sisi lain, partai politik pun bisa berkembang menjadi besar, di samping karena sistem yang dibangunnya baik dan modern juga karena pemimpin partainya pintar dan memiliki karisma besar yang mampu menyedot perhatian dan simpati masyarakat luas. Itulah sebabnya pemimpin partai itu harus mampu menjadi magnet yang dapat merebut simpati rakyat dan harus berupaya sekuat tenaga untuk menyejahterakan rakyat pendukungnya.

Dalam konteks politik moral, bagi Pesantren Miftahul Huda, politik hanyalah instrumen keduniaan untuk meraih kekuasaan dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Kaidah ini mempunyai konsekuensi bahwa apabila, misalnya, partai politik itu tidak mampu memotivasi dan mengarahkan masyarakat pendukungnya untuk meraih kekuasaan berdasarkan politik moral, politik itu menjadi tidak berguna sama sekali.

Bagi para santri di Pesantren Miftahul Huda, politik harus dijalankan secara santun dan menurut kaidah politik moral yang kemudian bisa membimbing para pemegang amanah kekuasaan agar tidak keluar dari rel moral agama. Hal ini perlu ditekankan karena saat ini banyak orang yang tergelincir ke dalam low politics, yaitu politik praktis yang selalu mempragmatiskan persoalan yang seharusnya berada di atas nilai-nilai luhur agama dan susila. Jadi, sebuah pesantren seharusnya dapat memosisikan dirinya secara tepat dalam arus besar (mainstream) politik nasional dan politik daerah agar jati dirinya tetap terjaga dan citranya sebagai lembaga pendidikan tetap terpelihara.

Hal ini memang sangat sulit karena Pesantren Miftahul Huda senantiasa berada dalam arus persaingan kekuatan-kekuatan politik yang mengharapkan dukungan moral dan kontribusi suara politik dari pesantren ini melalui figur kiainya. Ketika zaman Orde Baru, tidak sedikit pesantren yang dipandang lebih condong ke sebuah partai politik besar yang ketika itu menjadi penguasa negeri ini. Akan tetapi pada zaman reformasi, ketika perundang-undangan politik Indonesia menerapkan sistem multipartai, tidak sedikit pula pesantren yang menggeser bandul politiknya ke partai-partai politik baru. Perubahan orientasi dan kontribusi suara kiai ke partai-partai politik baru diibaratkan sebuah "pasangan pengantin baru" yang sedang berbulan madu, yang kemungkinan akan mencair kembali setelah "bulan madu" itu selesai[3].

Dalam konteks ini, hal yang perlu diperhatikan oleh pesantrten adalah sistem nilai yang sudah lama dibangun oleh kiai dan masyarakat pesantrennya. Apabila tidak hati-hati menghadapi setiap perubahan sosial politik nasional, orientasi pesantren akan bergeser dari tafaqquh fid-din (mendalami agama) ke tafaqquh fis-siyasah (mendalami politik) yang lebih kompleks dan berisiko tinggi (high risk). Apabila hal ini terjadi, para pengelola pesantren akan berhadapan dengan nilai-nilai baru yang bisa berdampak positif, tetapi bisa juga berdampak negatif. Dampak positif yang diperoleh pesantren adalah terbukanya akses yang lebar terhadap insfrastruktur politik dan ekonomi sehingga akan memudahkan pesantren dalam memperluas jaringan kerja sama dengan pihak luar, baik dari dalam maupun luar negeri. Akibatnya, pesantren akan dikenal lebih luas oleh masyarakat nasional dan internasional. Adapun dampak negatif yang mungkin dirasakan pesantren adalah kegamangan dan kehilangan pegangan para santri dan masyarakat pendukungnya apabila sebuah pesantren terlalu jauh terjun dalam politik praktis[4].

Dengan demikian, ketika sudah terlalu banyak tokoh Islam yang berasal dari pesantren terjun ke dunia politik praktis maka kiai sebagai panutan umat dan masyarakat luas, akan lebih tepat apabila memosisikan diri sebagai pemegang amanah mulia dalam mengantarkan para santri untuk menjadi calon ulama dan pemimpin masyarakat. Pandangan ini bukanlah mengecilkan dan menafikan ketokohan kiai dalam bidang nonpendidikan, seperti politik dan ekonomi, tetapi hal yang perlu diingat adalah menyelamatkan pesantren dari peran dan tugas utamanya sebagai lembaga tafaqquh fid-din agar tidak tergoda menjadi lembaga politik

B. Rumusan Masalah

Dalam suatu penelitian ilmiah, masalah yang akan dibahas mungkin akan telalu luas. Hal itu dikarenakan satu fenomena sosial tidak hanya terjadi oleh satu faktor, akan tetapi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Masalah yang kompleks dan rumit itu perlu untuk disederhanakan supaya dapat dengan mudah difahami. Untuk itu penulis merumuskan masalah ini dengan rumusan sebagai berikut:

1. Bagaimana budaya Politik di Pesantren Miftahul Huda Kabupaten Tasikmalaya?

2. Memakai model politik apakah Pesantren Miftahul Huda Kabupaten Tasikmalaya tersebut, model politik yang high politic atau low politic?

C. Kajian Teoritis

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan beberapa teori untuk menganalisis berbagai fenomena sosial yang terkait dengan budaya politik pesantren di Cipasung Kabupaten Tasikmalaya. Teori-teori yang akan penulis gunakan antara lain:

1. Budaya Politik

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa[5].

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu[6]. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.

Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :

a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.

b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.

c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.

d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men­dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik)[7].

Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.

2. Pesantren

Pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di Indonesia yang telah berakar sejak berabad-abad silam. Nurcholish Madjid menyebut bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata "pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seorang yang mengikuti gurunya kemana pun pergi. Pesantren setidaknya memiliki tiga unsur. Yakni santri, pondok atau asrama tempat tinggal para santri, serta kiai atau pimpinan pesantren tersebut. Dalam tradisi, kiai adalah pusat dari kehidupan pesantren. Kiai juga menjadi pusat kehidupan masyarakat sekitarnya. Baik dalam intelektualitas, religiositas, maupun sosial. Maka pesantren dan kiai mempunyai peran besar dalam sejarah bangsa ini.

D. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan penelitian adalah keingintahuan peneliti terhadap satu objek atau beberapa objek yang akan diteliti. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana budaya Politik di Pondok Pesantren Miftahul Huda Kabupaten Tasikmalaya dan model politik yang diterapkan di pesantren Cipasung tersebut.

E. Lokasi Penelitian

Dalam suatu penelitian tempat penelitian dijadikan salah satu daya tarik untuk sebuah proyek penelitian. Namun demikian perhitungan tempat yang matang dan tepat dengan tema penelitian menjadi unsur yang tidak boleh diabaikan. Agar kesesuaian antara tempat dan tema penelitian terjalin seorang peneliti harus pandai memilih dan memilahnya. Oleh karena itu lokasi dalam penelitian ini, agar sesuai dengan tema penelitian, akan terfokus di Pesantren Pesantren Miftahul Huda Kabupaten Tasikmalaya.

F. Sasaran Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah para kyiai di Pesantren Miftahul Huda, pengurus pondok, santri pondok Pesantren Miftahul Huda dan masyarakat yang mengetahui tentang budaya politik Pesantren Miftahul Huda Kabupaten Tasikmalaya

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualititif fenomenologi. Alasan yang digunakan oleh penulis menggunakan metode penelitian ini karena metode ini menuntut bersatunya antara peneliti dengan subjek pendukung penelitian[8]. Metodologi penelitian kualitatif dengan berlandaskan fenomenologi menuntut pendekatan holistik, mendudukan objek penelitian dalam konstruksi ganda, melihat objeknya dalam konteks natural bukan parsial[9].

H. Teknik Penetapan Sampel

Dalam penelitin ini penulis akan menggunakan teknik pengambilan sampel dengan sistem purposive sampling. Artinya sampel yang diambil adalah dari partisipan yang unik atau menarik untuk diteliti[10]. Selain itu untuk ketajaman dalam dalam penelitian ini, penulis juga akan menggunakan teknik penetapan sampel dengan sistem snowball sampling. Artinya teknik pengambilan sampel dengan mengajukan pertanyaan kepada subkelompok untuk mengidentifikasi orang lain yang mungkin bisa kita teliti pula[11].

I. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan fakta empirik, baik kualitatif (bentuknya klasifikasi) maupun kuantitatif (bentuknya numerik), hasil pengamatan dan pengukuran[12]. Karena dalam penelitian ini menggunakan metode penelitain kualitatif, maka datanya dapat dikelompokan dalam 2 bentuk:

a. Data Internal. Yaitu data yang dikumpulkan oleh lembaga mengenai kegiatan internal dan hasilnya digunakan oleh yang bersangkutan.

b. Data Eksternal. Yaitu data yang dihasilkan oleh sumber dari luar. Data eksternal ini kemudian dibagai kedalam data primer dan data sekuder.

Data primer adalah data yang dihimpunsecara langsung dari sumbernya dan diolah sendiri oleh lembaga besangkutan untuk dimanfaatkan. Data primer dapat berbentuk opini subjek secara individual atau kelompok dan hasil observasi terhadap karakteristik benda, kejadian, kegiatan dan hasil pengujian tertentu.

Data Sekunder. Data penelitian yang diperoleh secra langsung melalui media perantara (dihasilkan pihak lain) atau digunakan oleh lembaga lainnya untuk suatu penelitian tertentu[13]. Bentuk ini antara lain buku-buku, dokumen, leteratur, media masa dan sumber-sumber media cetak lainnya.

Pengumpulan data selain menggunakan sample, peneliti juga menggunakan beberapa teknik, antara lain :

Observasi

Teknik pengamatan langsung (observasi) dapat dilakukan dengan mengamati secara langsung kegiatan yang dilakukan

Wawancara

Wawancara dilakukan secara mendalam atau in-depth interview pada seluruh komponen yang mengetahui gejala budaya politik Pesantren Cipasung Kabupaten Tasikmalaya dan model politik yang diterapkan di pesantren Cipasung. Dengan tujuan untuk mendapatkan data yang mempunyai kedalaman dan dapat dilakukan berkali-kali secara frekuentif sesuai dengan keperluan penelitian.

J. Metode Analisi Data

Dalam menganalisis data, penelitian ini menggunakan model analisis interaktif. Data yang berupa hasil wawancara, observasi, dan dokumen merupakan tahap pengumpulan data tetap berupa data belum siap digunakan dalam analisis, sehingga dalam melakukan analisis data interaktif diperlukan tiga komponen yang harus diperhatikan dan dipahami secara mendalam. Komponen-komponen tersebut antara lain

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Secara umum budaya politik di pesantren Miftahul huda bisa ditelusuri dari cara perjuangannya dalam menyebarkan Islam. Ada dua cara atau kelompok yang secara nyata berada dalam pesantren Miftahul Huda ini. Cara pertama, yang lebih menitikberatkan pendekatan sosio-kultural. Pendekatan dalam menyebarkan Islam dalam masyarakat adalah dengan cara penetrasi budaya dan cultural, misalnya melalui pendidiakan. Cara ini untuk menutupi cara kedua yang berorientasi pada politik. Cara kedua, dengan terbuka kepada politik, bahkan ada pula yang terlibat langsung dengan politik praktis. Kelompok ini membuka pintu (lebar-lebar) kepada para elite politik atau pejabat pemerintahan.

Dalam wawancara yang dilakukan penulis dengan salah satu pengurus di Pesantren Miftahul Huda, Abdul Aziz Affandy, tedapat tiga alasan mengapa pesantren Miftahul Huda terbuka pada politik[14]. Pertama; alasan historis yaitu tradisi yang dirintis pendiri pesantren Miftahul Huda tersebut memang terbuka kepada siapa saja, termasuk kepada para elite politik dan pejabat teras. Kedua, alasan teologis. Sebagian kalangan pesantren Miftahul Huda menganggap politik bisa dijadikan sebagai salah satu alat perjuangan dan mempermudah dakwah mereka. Mereka berpendapat, partai politik sebagai alat perjuangan yang berlandaskan kepentingan umum (mashlahah al-’ammah), bukan kepentingan kelompok, apalagi pribadi. Bukankah politik pada hakikatnya adalah seni dalam mengambil keputusan untuk kemaslahatan publik?

Ketiga, alasan strategis-pragmatis. Agar pesantren Miftahul Huda mempunyai kekuatan dan jaringan dengan kekuasaan. Sebab pesantren yang mempunyai basis massa yang jelas dan kuat, kalau kekuatannya tidak dimanfaatkan, akan terbuang percuma begitu saja. Karena itu harus ada tawar-menawar politik dan membangun “kontrak politik” dalam pengertian yang sangat pragmatis. Walaupun begitu, tidak berarti semua pengasuh pesantren Miftahul Huda harus terjun ke dunia politik, apalagi politik praktis; harus dilihat dulu kiai dan pesantrennya. Kalau kiainya sangat lugu dan tipe sufistik, alangkah baiknya tetap saja di dunia pesantren.

Budaya politik pesantren Miftahul Huda, pada dasarnya berpangkal dari budaya politik Islam yang menempatkan seorang ulama (kyai) dalam posisi strategis, dalam menentukan aturan. Penguasa berperan sebagai penegak aturan untuk mempersatukan ummah. Karakteristik politik ini memang sudah merupakan bawaan semenjak awal mula kemunculan Islam. Hukum Islam yang merupakan hukum syariah adalah hukum suci yang digencarkan ulama atau pemimpin keagamaan Islam.

Identitas komunitas keagamaan dimantapkan (terutama menurut hukum suci-syariah) yang dilancarkan oleh pemimpin keagamaan, yakni kaum ulama dan diselenggarakan oleh para penguasa. Didalam pesantren Miftahul Huda ini berkembang suatu hubungan yang sangat unik didalam kalangan ulama yang merupakan golongan yang pasif secara politik atau patuh kepada para penguasa kendati dalam menjalankan fungsi legal agamanya para ulama ini masih tetap merupakan golongan yang otonom dan dipatuhi dalam lingkungan masyarakat dan juga dalam pesantrennya.

Hakikatnya, pesantren Miftahul Huda tidak lepas dari Islam, dan pendidikan pesantren ini bermula tidak lama setelah Islam masuk ke Indonesia. Alasannya sangat sederhana. Islam, sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui proses transmisi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim, atau ta’dib). Proses ini di Indonesia berlangsung melalui pesantren. Hal ini dapat dibuktikan di antaranya dari metode pembelajaran di pesantren. Metode sam’ (audit, menyimak), metode syarh (penjelasan ulama) dengan secara halaqah, metode tahfiz (hafalan) dll, yang terdapat terdapat di pesantren Miftahul Huda berasal dari tradisi intelektual Islam. Hanya saja istilah yang digunakan untuk sistim ini tidak sepenuhnya merujuk kepada kata bahasa Arab.

Keberadaan kiai atau ulama di pesantren Miftahul Huda sebagai tokoh otoritatif, peserta didik, asrama dan sarana pendidikan, pendidikan agama Islam dan masjid sebagai pusat kegiatan kependidikan adalah unsur-unsur penting pendidikan pesantren yang sejatinya adalah juga unsur pendidikan Islam. Keempat unsur yang melingkupi santri ini dapat dianggap sebagai catur-pusat pendidikan. Ini lebih lengkap dibanding tri-pusat pendidikan (sekolah, masyarakat, keluarga), yang terdapat pada sistem sekolah pada pendidikan umum. Karakter pendidikan pesantren Miftahul Huda adalah menyeluruh. Artinya seluruh potensi pikir dan zikir, rasa dan karsa, jiwa dan raga dikembangkan melalui berbagai media pendidikan yang terbentuk dalam suatu komunitas yang sengaja didesain secara integral untuk tujuan pendidikan. Di dalam sistem sekolah pusat-pusat pendidikannya terpisah-pisah dan hampir tidak saling berhubungan. Di dalam kelas atau di masjid para santri diajar ilmu pengetahuan kognitif, dan di luar itu ia memperoleh bimbingan serta menyaksikan suri tauladan dari kiai atau gurunya serta kawan-kawannya.

Dengan demikian tujuan pendidikan pesantren Miftahul Huda seperti halnya tujuan kehidupan manusia didunia ini adalah ibadah, yang spektrumnya seluas pengertian ibadah itu sendiri. Dengan catur-pusat pendidikan pesantren berfungsi sebagai “melting pot”, yaitu tempat untuk mengolah potensi-potensi dalam diri santri agar dapat berproses menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Santri tidak hanya disipakan untuk mengejar kehidupan dunia tapi juga mempersiapkan kehidupan akhirat. Tidak hanya untuk menjadi manusia berguna bagi masyarakatnya, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya yang taat kepada Tuhannya. Pengolahan potensi diri ini didukung oleh bangunan spiritual, sistem nilai dan jiwa kedisiplinan yang kuat yang dapat klasifikasikan sedikitnya menjadi lima, yaitu Keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwwah Islamiyah, kemandirian dan kebebasan.

Peran pesantren Miftahul Huda dalam membangun negeri ini sebernarnya sama dengan peran Islam itu sendiri. Peran pesantren dalam membangunkan dunia Melayu sudah terbukti secara historis. Ia memerlukan proses transformasi konsep-konsep ke dalam pikiran masyarakat; dan pemahaman suatu konsep hanya effektif dilakukan melalui proses belajar mengajar. Penulis mewawancara seorang pengurus di pesantren itu, KH. Sholeh Nasihin:

Pesantren Miftahul Huda dalam hal ini berperan aktif dalam transformasi konsep-konsep penting dalam Islam ke tengah-tengah masyarakat. Peran Pesantren Miftahul Huda dalam merubah pandangan hidup yang statis kepada yang dinamis, rasional dan teratur inilah yang disebut dengan proses Islamisasi, kebalikan dari “akulturalisasi” (penyesuaian agama dengan kultur setempat)[15].

Sampai saat ini Pesantren Miftahul Huda masih mempunyai peranan penting dalam kehidupan berpolitik di Tasikmalaya. Politik yang membawa nama besar Pesantren sudah menjadi budaya yang begitu kental. Meski sudah ada batasan bahwa Pesantren hanya bertugas mengurus umat dan tidak mau terlibat kedalam politik praksis, keberadaannya masih dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Agar dukungan dari kyai pesantren tidak lepas, berapa upayapun dilakukan. Bahkan lawan politik tidak jarang yang mempengaruhi kyai untuk mengalihkan dukungannya. Untuk melangengkan kekuasaan maka seorang pemimimpin berusaha meminta nasihat yang akan dijalankan didalam kebijakan politiknya.

B. Analisis Hasil Penelitian

Budaya pesantren merupakan salah satu bagian setting sosial islam, yang mengakui perbedaan “takdir” manusia dalam pendekatan intelektual terhadap permasalahan yang terungkap didunia empirik. Tradisi pesantren merupakan salah satu bentuk budaya akulturasi budaya indonesia dengan ajaran islam. Kesetimbangan itu, tradisi pesantren tidak kita temui di negara islam yang lain kecuali hanya indonesia.

Praktek keislaman yang di bumbui budaya lokal semacam itu, pernah diungkap oleh Simon Van Den Berg dalam kata pengantarnya untuk terjemahan bahasa inggris terhadap buku tahafud al-Tahafud milik Ibnu Rush. Van Den Berg menulis demikian”mungkin bisa dikatakan bahwa santa maria yang di bangun atas minerva (dewi kebijaksanaan romawi sama dengan dewi athena yunani) adalah lambang budaya Eropa. Tapi tidak boleh dilupakan bahwa masjid pun dibangun diatas kuil Yunani”. Dalam batasan tersebut, tradisi pesantren juga termasuk lambang Budaya Islam lokal seperti yang dimaksud oleh Van den Berg. Cuma konteks geografisnya berbeda. Karena dia orang Eropa, tentu saja Van den Berg memilih Yunani dan Romawi sebagai lambang akulturasi Budaya.sesuai dengan latar belakang geografis tempat Van den Berg tinggal. Sementara tradisi pesantren yang berkembang diatas unsur agama Islam dan Budaya Jawa, memiliki latar biografis Indonesia sesuai dengan tempat dimana pesantren itu ada[16]. Walau konteks geografisnya berbeda, tradisi dipesantren memiliki determinasi akulturasi budaya yang sama dengan lambang budaya Eropanya Van den Berg, yakni sama-sama dipengaruhi dan mempengaruhi cara-cara menerapkan ajaran Islam. Sebagai contohnya adalah Pesantren Miftahul Huda.

Pesantren Miftahul Huda adalah adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya modal keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian tradisional di sini menunjuk bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam) telah hidup sejak 300 – 500 tahun lalu dan telah menjadi bagian yang mengakar dalam kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Tradisional bukan berarti tetap tanpa mengalami perubahan. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia.

Pesantren Miftahul Huda sejak awal kelahirannya telah menjadikan pendidikan sebagai way of life. Pembentukan kepribadian muslim yang dilakukan oleh pesantren Miftahul Huda justru hampir seluruhnya terjadi di luar ruang belajar. Hubungan, interaksi, dan pergaulan sehari-hari santri dengan kyai, atau santri dengan sesamanya, bahkan santri dengan masyarakat di sekitar lingkungan pesantren Miftahul Huda adalah sumber pembelajaran utama dalam rangka pembentukan kepribadian muslim yang dicita citakan pesantren. Pola hubungan santri-kyai dan santri-santri sebagai proses pembentukan kepribadian muslim dalam pendidikan pesantren adalah merupakan kesinambungan dan pelestarian tradisi, budaya, serta nilai-nilai Islam yang ditanamkan oleh Islam.

Tujuan pendidikan pesantren Miftahul Huda bukan untuk mengerjakan kepentingan kekuasan (powerfull), uang, dan keagungan duniawi. Tetapi, kepada para santri ditanamkan bahwa belajar atau menuntut ilmu adalah semata-mata karena melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya, mencari keridoan Allah, serta menghilangkan kebodohan, sebagai sarana memasyaraktkan ajaran Islam di muka bumi dalam wujud amar ma’ruf nahyu munkar. Diantara cita-cita pesantren adalah latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kecuali kepada Tuhan. Pesantren Miftahul Huda, dengan demikian, lebih mengutamakan faktor keikhlasan hati baik dari pihak santri dan wali santri, ataupun dari pihak kyai, para pengajar, dan komponen pimpinan pesantren.

Keterlibatan pesantren Miftahul Huda dalam Politik di Indonesia mengalami perubahan besar. Dulu di masa Orde Baru, pesantren merasa tidak nyaman jika didekati politisi.. Bahkan banyak Pesantren dengan dai-dainya yang sangat keras mengkritik pemerintah dalam setiap pergelaran dakwahnya. Bisanya da’i yang seperti ini menyedot banyak pengunjung. Akan tetapi, sekarang situasinya berbeda. Pesantren di Indonesia termasuk juga pesanten Miftahul Huda sudah tidak lagi alergi terhadap partai politik; apa pun posisinya, sebagai partai pemerintah atau partai oposisi.

Hal ini nampak jelas bahwa pesantren Miftahul Huda setelah jatuhnya Orde Baru justru memainkan posisi yang strategis dalam percaturan politik. Pesantren Miftahul Huda masih dianggap memiliki kekuatan penyedot suara. Tak heran jika banyak politisi yang datang ke pesantren untuk meminta restu. Ditariknya pesantren oleh partai-partai politik mengakibatkan perubahan orientasi kyai pesantren. Berpolitik sudah tidak dianggap tabu. Bahkan dianggap memperjuangkan agama. Maka berbondong-bondonglah kyai menjadi anggota legislatif dari partai apa pun, baik partai nasionalis maupun partai Islam. Kyai yang pada awalnya bergerak di jalur kultural, yang dalam bahasa Clifford Greetz disebut cultural broker (makelar budaya), sekarang ini, sudah berubah. Garis perjuangan Pesantren Miftahul Huda pelan-pelan mulai bergeser seiring dengan perubahan politik di tanah air. Maka Pesantren ini pun mulai merambah wilayah struktural (politik praktis) dengan segala jargon politiknya yang amat mengesankan. Setelah diamati dan diperiksa sepak terjang pesantren dalam kancah politik praktis ternyata membawa perubahan pada penilaian masyarakat terhadap kyai pesantren.

Di pesantren Miftahul Huda pendidikan teknologi tidak pernah dikesampimgkan. Terutama dalam menumbuhkan Islamic technological-attitude (sikap benar berteknologi secara Islami) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga santri memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi. Suatu saat mereka diharapkan mampu merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi tersebut dengan nilai-nilai kepesantrenan yang kental.. Santri pesantren Miftahul Huda diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab. Dengan kata lain, Pesantren selalu mengajarkan santrinya bagaimana membangun keshalehan spiritual yang diambil dari berbagai sumber, mulai dari yang klasik sampai kontemporer.

Penanaman nilai moral spiritual ini yang nantinya harus ditransformasikan ke dalam masyarakat. Dengan demikian maka alumninya mempunyai tradisi klasik yang mungkin tidak didapatkan dari lemabaga pendidikan lain. Tempaan disiplin dan filosofi yang membekas bagi para santri ketika mereka berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Inilah karakteristik unik yang selalu melekat pada pesantren dan setiap warganya. Dari sini kita dapat melihat bahwa pendidikan pondok pesantren Miftahul Huda cukup terbuka dan tidak monoton atau kolot. Pesantren dapat menyesuaikan dan sekaligus membawa dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Namun demikian perubahan zaman tidak dapat memudarkan eksistensi pesantren dan bahkan menjadi momentum untuk mengembangkan pola pendidikan yang lebih mampu melahirkan pemikir-pemikir Islam yang siap terjun di masyarakat dalam kondisi dan situasi apapun.

DAFTAR PUSTAKA

A.A. Said Gatara dan Dzulkiah Said, SosiologiPolitik. Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Bandung, CV Pustaka Setia, 2007

Adian,Husaeni, 2007, Pesantren dan Pergulatan Politik Modern, Gramedia, Jakarta,

Almond, Gabriel A. dan Verba Sidney. 1990. Budaya Politik Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Bina Aksara. Jakarta

Apter,E. David. 1988. Pengantar Analisa Politik, alih bahasa Yasogama. CV Rajawali. Jakarta

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta.

Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Charles Kurzman, “Islam Liberal dan Konteks Islamnya”, dalam, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, 2001, Jakarta: Paramadina,

Gunawan, Muhamad, 2006, Sejarah pesantren di Nusantara, Pustaka Pelajar,Jakarta

Harrison, Lisa Metodologi Penelitian Politik, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007

Miles, Mathew dan A. Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. UI Press. Jakarta

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung

Muhajir, Noeng “Metodologi Peneltian Kualitatif Edisi IV, Jogjakarta, Rake Sarasin, 2000

Subakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasarana. Jakarta

Ruslan, Rosadi “Metode Peneltian. Public Relatios dan Komunikasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004

Sumber Lain

http://mjieschool.multiply.com/journal/item/30/BUDAYA_POLITIK

http://www.komunitaspesantren.or.id/comments.php?id=P207_0_8_0_C



[1] Pembantu Dekan FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya

[2] Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi

[3] Fadlil Munawwar Manshur, Pesantren Dalam Tarik-menarik Partai Politik, http://www.mail- archive.com/mediacare@yahoogroups.com/msg21916.html. diakses tanggal senin jam 10, 12/14/2010

[4] ibid

[5] Ruslan, Budaya Politik, http://mjieschool.multiply.com/journal/item/30/BUDAYA_POLITIK

Diakses pada hari senin jam 10, 12/14/2010

[6] Dalam A.A. Said Gatara dan Dzulkiah Said, SosiologiPolitik. Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Bandung, CV Pustaka Setia

[7] Almond, Gabriel A. dan Verba Sidney. 1990. Budaya Politik Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Bina Aksara. Jakarta

[8] Noeng Muhajir, “metodologi peneltian kualitatif” hal 19

[9] ibid hal 18

[10] Lisa Harrison, “Metodologi Penelitian Politik” hal 26.

[11] Ibid hal 25

[12] hand out mata kuliah “Statistik Sosial” oleh Harun Ar Rasyid

[13] Rosadi Ruslan, “Metode Peneiltian. Public Relatios dan Komunikasi”. Hal 137

[14] Wawancara pada selasa, 6 Juli 2010

[15] Wawancara tanggal 12 Juli 2010

[16] Charles Kurzman, “Islam Liberal dan Konteks Islamnya”, kata pengantar pada buku yang dieditnya, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. xv-xvii.

No comments:

 

Most Reading