Penelitian

Thursday, 21 October 2010

BUDAYA POLITIK PESANTREN :

STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN MIFTAHUL HUDA KECAMATAN MANONJAYA KABUPATEN TASIKMALAYA

Edi Kusmayadi, M.Si[1]

Hendra Gunawan, S.IP[2]

ABSTRACT

Political culture, is part of the culture of the society with the characteristics of a more typical. The term includes the issue of legitimacy of political culture, power regulation, government policy-making process, the activities of political parties, the behavior of the state apparatus, and the turmoil of society against the power to rule. Political activity is also entering the world of religious, economic and social activities, personal and social life at large. Thus, political culture directly affects the political life and national decisions regarding the allocation pattern of public resources.
No exception to the institution called the pesantren. Political culture in schools to some extent affect the practical political life in the boarding area itself. Pesantren and political parties actually two entities are quite far apart. Pesantren is more synonymous with education which is in contact with science and morality, while the political parties more closely on joint efforts to achieve, maintain, and seize power. Pesantren in daily life is busy with the book review that discusses the views of scholars of classical and modern about the various disciplines of Islamic religion, while political parties busy with preparing the party platform with all the strategies and political tactics to gain power for the sake of advancing the nation and state and the welfare of the people.

ABSTRAK

Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me­merintah. Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.

Tidak terkecuali dengan institusi yang disebut dengan pesantren. Budaya politik di pesantren sedikit banyak mempengaruhi kehidupan politik praktis di wilayah pesantren itu sendiri. Pesantren dan partai politik sesungguhnya dua entitas yang agak berjauhan. Pesantren lebih identik dengan pendidikan yang bersentuhan dengan keilmuan dan moralitas, sedangkan partai politik lebih dekat pada upaya bersama untuk meraih, mempertahankan, dan merebut kekuasaan. Pesantren dalam kehidupan kesehariannya sibuk dengan kajian kitab yang membahas pandangan ulama-ulama klasik dan modern tentang berbagai disiplin ilmu agama Islam, sedangkan partai politik sibuk dengan penyusunan platform partai dengan segala strategi dan taktik politik untuk memperoleh kekuasaan demi memajukan bangsa dan negara serta mensejahterakan rakyat.




I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di pesantren telah tertanam budaya tanpa pamrih dalam mengerjakan apa saja yang diperintahkan kiai, asal pekerjaan itu baik dan bermanfaat untuk umat dan orang banyak. Dalam tradisi pesantren, sikap ini disebut ikhlas dan patuh. Misalnya, kiai mengisyaratkan kepada para santrinya untuk memilih partai politik tertentu, maka mereka mematuhinya dengan dasar bahwa partai politik yang dipilihnya itu akan menegakkan politik moral, bukan hanya politik kekuasaan. Adapun di partai politik, budaya tanpa pamrih dan politik moral merupakan sesuatu yang kecil kemungkinan terjadi karena setiap tindakan yang dilakukan anggota partai telah terbentuk beberapa rumus politik, yaitu, (a) siapa mendapatkan apa?, (b) siapa mengalahkan siapa?, (c) siapa yang menjadi saingan?, dan (d) siapa yang menjadi teman seiring?. Jadi, di pesantren telah terbangun citra bahwa partai itu semestinya membangun politik moral sebagai salah satu basis utamanya dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian, politik kekuasaan yang sudah menjadi ciri utama partai politik harus didampingi dengan politik moral agar kekuasaan yang diraihnya tidak mengarah pada penghalalan segala cara.

Sebuah pesantren bisa muncul dan terkenal biasanya karena ketokohan dan aura keulamaan kiainya. Kiai dalam konteks ini adalah simbol masyarakat santri yang santun, pandai, dan berwibawa yang sangat dihormati dan dicintai pengikutnya, bahkan oleh masyarakat luas yang simpati kepadanya. Pada sisi lain, partai politik pun bisa berkembang menjadi besar, di samping karena sistem yang dibangunnya baik dan modern juga karena pemimpin partainya pintar dan memiliki karisma besar yang mampu menyedot perhatian dan simpati masyarakat luas. Itulah sebabnya pemimpin partai itu harus mampu menjadi magnet yang dapat merebut simpati rakyat dan harus berupaya sekuat tenaga untuk menyejahterakan rakyat pendukungnya.

Dalam konteks politik moral, bagi Pesantren Miftahul Huda, politik hanyalah instrumen keduniaan untuk meraih kekuasaan dalam rangka ibadah kepada Allah SWT. Kaidah ini mempunyai konsekuensi bahwa apabila, misalnya, partai politik itu tidak mampu memotivasi dan mengarahkan masyarakat pendukungnya untuk meraih kekuasaan berdasarkan politik moral, politik itu menjadi tidak berguna sama sekali.

Bagi para santri di Pesantren Miftahul Huda, politik harus dijalankan secara santun dan menurut kaidah politik moral yang kemudian bisa membimbing para pemegang amanah kekuasaan agar tidak keluar dari rel moral agama. Hal ini perlu ditekankan karena saat ini banyak orang yang tergelincir ke dalam low politics, yaitu politik praktis yang selalu mempragmatiskan persoalan yang seharusnya berada di atas nilai-nilai luhur agama dan susila. Jadi, sebuah pesantren seharusnya dapat memosisikan dirinya secara tepat dalam arus besar (mainstream) politik nasional dan politik daerah agar jati dirinya tetap terjaga dan citranya sebagai lembaga pendidikan tetap terpelihara.

Hal ini memang sangat sulit karena Pesantren Miftahul Huda senantiasa berada dalam arus persaingan kekuatan-kekuatan politik yang mengharapkan dukungan moral dan kontribusi suara politik dari pesantren ini melalui figur kiainya. Ketika zaman Orde Baru, tidak sedikit pesantren yang dipandang lebih condong ke sebuah partai politik besar yang ketika itu menjadi penguasa negeri ini. Akan tetapi pada zaman reformasi, ketika perundang-undangan politik Indonesia menerapkan sistem multipartai, tidak sedikit pula pesantren yang menggeser bandul politiknya ke partai-partai politik baru. Perubahan orientasi dan kontribusi suara kiai ke partai-partai politik baru diibaratkan sebuah "pasangan pengantin baru" yang sedang berbulan madu, yang kemungkinan akan mencair kembali setelah "bulan madu" itu selesai[3].

Dalam konteks ini, hal yang perlu diperhatikan oleh pesantrten adalah sistem nilai yang sudah lama dibangun oleh kiai dan masyarakat pesantrennya. Apabila tidak hati-hati menghadapi setiap perubahan sosial politik nasional, orientasi pesantren akan bergeser dari tafaqquh fid-din (mendalami agama) ke tafaqquh fis-siyasah (mendalami politik) yang lebih kompleks dan berisiko tinggi (high risk). Apabila hal ini terjadi, para pengelola pesantren akan berhadapan dengan nilai-nilai baru yang bisa berdampak positif, tetapi bisa juga berdampak negatif. Dampak positif yang diperoleh pesantren adalah terbukanya akses yang lebar terhadap insfrastruktur politik dan ekonomi sehingga akan memudahkan pesantren dalam memperluas jaringan kerja sama dengan pihak luar, baik dari dalam maupun luar negeri. Akibatnya, pesantren akan dikenal lebih luas oleh masyarakat nasional dan internasional. Adapun dampak negatif yang mungkin dirasakan pesantren adalah kegamangan dan kehilangan pegangan para santri dan masyarakat pendukungnya apabila sebuah pesantren terlalu jauh terjun dalam politik praktis[4].

Dengan demikian, ketika sudah terlalu banyak tokoh Islam yang berasal dari pesantren terjun ke dunia politik praktis maka kiai sebagai panutan umat dan masyarakat luas, akan lebih tepat apabila memosisikan diri sebagai pemegang amanah mulia dalam mengantarkan para santri untuk menjadi calon ulama dan pemimpin masyarakat. Pandangan ini bukanlah mengecilkan dan menafikan ketokohan kiai dalam bidang nonpendidikan, seperti politik dan ekonomi, tetapi hal yang perlu diingat adalah menyelamatkan pesantren dari peran dan tugas utamanya sebagai lembaga tafaqquh fid-din agar tidak tergoda menjadi lembaga politik

B. Rumusan Masalah

Dalam suatu penelitian ilmiah, masalah yang akan dibahas mungkin akan telalu luas. Hal itu dikarenakan satu fenomena sosial tidak hanya terjadi oleh satu faktor, akan tetapi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan. Masalah yang kompleks dan rumit itu perlu untuk disederhanakan supaya dapat dengan mudah difahami. Untuk itu penulis merumuskan masalah ini dengan rumusan sebagai berikut:

1. Bagaimana budaya Politik di Pesantren Miftahul Huda Kabupaten Tasikmalaya?

2. Memakai model politik apakah Pesantren Miftahul Huda Kabupaten Tasikmalaya tersebut, model politik yang high politic atau low politic?

C. Kajian Teoritis

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan beberapa teori untuk menganalisis berbagai fenomena sosial yang terkait dengan budaya politik pesantren di Cipasung Kabupaten Tasikmalaya. Teori-teori yang akan penulis gunakan antara lain:

1. Budaya Politik

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa[5].

Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu[6]. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.

Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :

a. Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.

b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.

c. Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.

d. Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau men­dorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik)[7].

Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.

2. Pesantren

Pesantren adalah bentuk pendidikan Islam di Indonesia yang telah berakar sejak berabad-abad silam. Nurcholish Madjid menyebut bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata "pesantren" mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren. Sedangkan kata "santri" diduga berasal dari istilah sansekerta "sastri" yang berarti "melek huruf", atau dari bahasa Jawa "cantrik" yang berarti seorang yang mengikuti gurunya kemana pun pergi. Pesantren setidaknya memiliki tiga unsur. Yakni santri, pondok atau asrama tempat tinggal para santri, serta kiai atau pimpinan pesantren tersebut. Dalam tradisi, kiai adalah pusat dari kehidupan pesantren. Kiai juga menjadi pusat kehidupan masyarakat sekitarnya. Baik dalam intelektualitas, religiositas, maupun sosial. Maka pesantren dan kiai mempunyai peran besar dalam sejarah bangsa ini.

D. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Tujuan penelitian adalah keingintahuan peneliti terhadap satu objek atau beberapa objek yang akan diteliti. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Bagaimana budaya Politik di Pondok Pesantren Miftahul Huda Kabupaten Tasikmalaya dan model politik yang diterapkan di pesantren Cipasung tersebut.

E. Lokasi Penelitian

Dalam suatu penelitian tempat penelitian dijadikan salah satu daya tarik untuk sebuah proyek penelitian. Namun demikian perhitungan tempat yang matang dan tepat dengan tema penelitian menjadi unsur yang tidak boleh diabaikan. Agar kesesuaian antara tempat dan tema penelitian terjalin seorang peneliti harus pandai memilih dan memilahnya. Oleh karena itu lokasi dalam penelitian ini, agar sesuai dengan tema penelitian, akan terfokus di Pesantren Pesantren Miftahul Huda Kabupaten Tasikmalaya.

F. Sasaran Penelitian

Sasaran dalam penelitian ini adalah para kyiai di Pesantren Miftahul Huda, pengurus pondok, santri pondok Pesantren Miftahul Huda dan masyarakat yang mengetahui tentang budaya politik Pesantren Miftahul Huda Kabupaten Tasikmalaya

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualititif fenomenologi. Alasan yang digunakan oleh penulis menggunakan metode penelitian ini karena metode ini menuntut bersatunya antara peneliti dengan subjek pendukung penelitian[8]. Metodologi penelitian kualitatif dengan berlandaskan fenomenologi menuntut pendekatan holistik, mendudukan objek penelitian dalam konstruksi ganda, melihat objeknya dalam konteks natural bukan parsial[9].

H. Teknik Penetapan Sampel

Dalam penelitin ini penulis akan menggunakan teknik pengambilan sampel dengan sistem purposive sampling. Artinya sampel yang diambil adalah dari partisipan yang unik atau menarik untuk diteliti[10]. Selain itu untuk ketajaman dalam dalam penelitian ini, penulis juga akan menggunakan teknik penetapan sampel dengan sistem snowball sampling. Artinya teknik pengambilan sampel dengan mengajukan pertanyaan kepada subkelompok untuk mengidentifikasi orang lain yang mungkin bisa kita teliti pula[11].

I. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan fakta empirik, baik kualitatif (bentuknya klasifikasi) maupun kuantitatif (bentuknya numerik), hasil pengamatan dan pengukuran[12]. Karena dalam penelitian ini menggunakan metode penelitain kualitatif, maka datanya dapat dikelompokan dalam 2 bentuk:

a. Data Internal. Yaitu data yang dikumpulkan oleh lembaga mengenai kegiatan internal dan hasilnya digunakan oleh yang bersangkutan.

b. Data Eksternal. Yaitu data yang dihasilkan oleh sumber dari luar. Data eksternal ini kemudian dibagai kedalam data primer dan data sekuder.

Data primer adalah data yang dihimpunsecara langsung dari sumbernya dan diolah sendiri oleh lembaga besangkutan untuk dimanfaatkan. Data primer dapat berbentuk opini subjek secara individual atau kelompok dan hasil observasi terhadap karakteristik benda, kejadian, kegiatan dan hasil pengujian tertentu.

Data Sekunder. Data penelitian yang diperoleh secra langsung melalui media perantara (dihasilkan pihak lain) atau digunakan oleh lembaga lainnya untuk suatu penelitian tertentu[13]. Bentuk ini antara lain buku-buku, dokumen, leteratur, media masa dan sumber-sumber media cetak lainnya.

Pengumpulan data selain menggunakan sample, peneliti juga menggunakan beberapa teknik, antara lain :

Observasi

Teknik pengamatan langsung (observasi) dapat dilakukan dengan mengamati secara langsung kegiatan yang dilakukan

Wawancara

Wawancara dilakukan secara mendalam atau in-depth interview pada seluruh komponen yang mengetahui gejala budaya politik Pesantren Cipasung Kabupaten Tasikmalaya dan model politik yang diterapkan di pesantren Cipasung. Dengan tujuan untuk mendapatkan data yang mempunyai kedalaman dan dapat dilakukan berkali-kali secara frekuentif sesuai dengan keperluan penelitian.

J. Metode Analisi Data

Dalam menganalisis data, penelitian ini menggunakan model analisis interaktif. Data yang berupa hasil wawancara, observasi, dan dokumen merupakan tahap pengumpulan data tetap berupa data belum siap digunakan dalam analisis, sehingga dalam melakukan analisis data interaktif diperlukan tiga komponen yang harus diperhatikan dan dipahami secara mendalam. Komponen-komponen tersebut antara lain

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Secara umum budaya politik di pesantren Miftahul huda bisa ditelusuri dari cara perjuangannya dalam menyebarkan Islam. Ada dua cara atau kelompok yang secara nyata berada dalam pesantren Miftahul Huda ini. Cara pertama, yang lebih menitikberatkan pendekatan sosio-kultural. Pendekatan dalam menyebarkan Islam dalam masyarakat adalah dengan cara penetrasi budaya dan cultural, misalnya melalui pendidiakan. Cara ini untuk menutupi cara kedua yang berorientasi pada politik. Cara kedua, dengan terbuka kepada politik, bahkan ada pula yang terlibat langsung dengan politik praktis. Kelompok ini membuka pintu (lebar-lebar) kepada para elite politik atau pejabat pemerintahan.

Dalam wawancara yang dilakukan penulis dengan salah satu pengurus di Pesantren Miftahul Huda, Abdul Aziz Affandy, tedapat tiga alasan mengapa pesantren Miftahul Huda terbuka pada politik[14]. Pertama; alasan historis yaitu tradisi yang dirintis pendiri pesantren Miftahul Huda tersebut memang terbuka kepada siapa saja, termasuk kepada para elite politik dan pejabat teras. Kedua, alasan teologis. Sebagian kalangan pesantren Miftahul Huda menganggap politik bisa dijadikan sebagai salah satu alat perjuangan dan mempermudah dakwah mereka. Mereka berpendapat, partai politik sebagai alat perjuangan yang berlandaskan kepentingan umum (mashlahah al-’ammah), bukan kepentingan kelompok, apalagi pribadi. Bukankah politik pada hakikatnya adalah seni dalam mengambil keputusan untuk kemaslahatan publik?

Ketiga, alasan strategis-pragmatis. Agar pesantren Miftahul Huda mempunyai kekuatan dan jaringan dengan kekuasaan. Sebab pesantren yang mempunyai basis massa yang jelas dan kuat, kalau kekuatannya tidak dimanfaatkan, akan terbuang percuma begitu saja. Karena itu harus ada tawar-menawar politik dan membangun “kontrak politik” dalam pengertian yang sangat pragmatis. Walaupun begitu, tidak berarti semua pengasuh pesantren Miftahul Huda harus terjun ke dunia politik, apalagi politik praktis; harus dilihat dulu kiai dan pesantrennya. Kalau kiainya sangat lugu dan tipe sufistik, alangkah baiknya tetap saja di dunia pesantren.

Budaya politik pesantren Miftahul Huda, pada dasarnya berpangkal dari budaya politik Islam yang menempatkan seorang ulama (kyai) dalam posisi strategis, dalam menentukan aturan. Penguasa berperan sebagai penegak aturan untuk mempersatukan ummah. Karakteristik politik ini memang sudah merupakan bawaan semenjak awal mula kemunculan Islam. Hukum Islam yang merupakan hukum syariah adalah hukum suci yang digencarkan ulama atau pemimpin keagamaan Islam.

Identitas komunitas keagamaan dimantapkan (terutama menurut hukum suci-syariah) yang dilancarkan oleh pemimpin keagamaan, yakni kaum ulama dan diselenggarakan oleh para penguasa. Didalam pesantren Miftahul Huda ini berkembang suatu hubungan yang sangat unik didalam kalangan ulama yang merupakan golongan yang pasif secara politik atau patuh kepada para penguasa kendati dalam menjalankan fungsi legal agamanya para ulama ini masih tetap merupakan golongan yang otonom dan dipatuhi dalam lingkungan masyarakat dan juga dalam pesantrennya.

Hakikatnya, pesantren Miftahul Huda tidak lepas dari Islam, dan pendidikan pesantren ini bermula tidak lama setelah Islam masuk ke Indonesia. Alasannya sangat sederhana. Islam, sebagai agama dakwah, disebarkan secara efektif melalui proses transmisi ilmu dari ulama ke masyarakat (tarbiyah wa ta’lim, atau ta’dib). Proses ini di Indonesia berlangsung melalui pesantren. Hal ini dapat dibuktikan di antaranya dari metode pembelajaran di pesantren. Metode sam’ (audit, menyimak), metode syarh (penjelasan ulama) dengan secara halaqah, metode tahfiz (hafalan) dll, yang terdapat terdapat di pesantren Miftahul Huda berasal dari tradisi intelektual Islam. Hanya saja istilah yang digunakan untuk sistim ini tidak sepenuhnya merujuk kepada kata bahasa Arab.

Keberadaan kiai atau ulama di pesantren Miftahul Huda sebagai tokoh otoritatif, peserta didik, asrama dan sarana pendidikan, pendidikan agama Islam dan masjid sebagai pusat kegiatan kependidikan adalah unsur-unsur penting pendidikan pesantren yang sejatinya adalah juga unsur pendidikan Islam. Keempat unsur yang melingkupi santri ini dapat dianggap sebagai catur-pusat pendidikan. Ini lebih lengkap dibanding tri-pusat pendidikan (sekolah, masyarakat, keluarga), yang terdapat pada sistem sekolah pada pendidikan umum. Karakter pendidikan pesantren Miftahul Huda adalah menyeluruh. Artinya seluruh potensi pikir dan zikir, rasa dan karsa, jiwa dan raga dikembangkan melalui berbagai media pendidikan yang terbentuk dalam suatu komunitas yang sengaja didesain secara integral untuk tujuan pendidikan. Di dalam sistem sekolah pusat-pusat pendidikannya terpisah-pisah dan hampir tidak saling berhubungan. Di dalam kelas atau di masjid para santri diajar ilmu pengetahuan kognitif, dan di luar itu ia memperoleh bimbingan serta menyaksikan suri tauladan dari kiai atau gurunya serta kawan-kawannya.

Dengan demikian tujuan pendidikan pesantren Miftahul Huda seperti halnya tujuan kehidupan manusia didunia ini adalah ibadah, yang spektrumnya seluas pengertian ibadah itu sendiri. Dengan catur-pusat pendidikan pesantren berfungsi sebagai “melting pot”, yaitu tempat untuk mengolah potensi-potensi dalam diri santri agar dapat berproses menjadi manusia seutuhnya (insan kamil). Santri tidak hanya disipakan untuk mengejar kehidupan dunia tapi juga mempersiapkan kehidupan akhirat. Tidak hanya untuk menjadi manusia berguna bagi masyarakatnya, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya yang taat kepada Tuhannya. Pengolahan potensi diri ini didukung oleh bangunan spiritual, sistem nilai dan jiwa kedisiplinan yang kuat yang dapat klasifikasikan sedikitnya menjadi lima, yaitu Keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwwah Islamiyah, kemandirian dan kebebasan.

Peran pesantren Miftahul Huda dalam membangun negeri ini sebernarnya sama dengan peran Islam itu sendiri. Peran pesantren dalam membangunkan dunia Melayu sudah terbukti secara historis. Ia memerlukan proses transformasi konsep-konsep ke dalam pikiran masyarakat; dan pemahaman suatu konsep hanya effektif dilakukan melalui proses belajar mengajar. Penulis mewawancara seorang pengurus di pesantren itu, KH. Sholeh Nasihin:

Pesantren Miftahul Huda dalam hal ini berperan aktif dalam transformasi konsep-konsep penting dalam Islam ke tengah-tengah masyarakat. Peran Pesantren Miftahul Huda dalam merubah pandangan hidup yang statis kepada yang dinamis, rasional dan teratur inilah yang disebut dengan proses Islamisasi, kebalikan dari “akulturalisasi” (penyesuaian agama dengan kultur setempat)[15].

Sampai saat ini Pesantren Miftahul Huda masih mempunyai peranan penting dalam kehidupan berpolitik di Tasikmalaya. Politik yang membawa nama besar Pesantren sudah menjadi budaya yang begitu kental. Meski sudah ada batasan bahwa Pesantren hanya bertugas mengurus umat dan tidak mau terlibat kedalam politik praksis, keberadaannya masih dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Agar dukungan dari kyai pesantren tidak lepas, berapa upayapun dilakukan. Bahkan lawan politik tidak jarang yang mempengaruhi kyai untuk mengalihkan dukungannya. Untuk melangengkan kekuasaan maka seorang pemimimpin berusaha meminta nasihat yang akan dijalankan didalam kebijakan politiknya.

B. Analisis Hasil Penelitian

Budaya pesantren merupakan salah satu bagian setting sosial islam, yang mengakui perbedaan “takdir” manusia dalam pendekatan intelektual terhadap permasalahan yang terungkap didunia empirik. Tradisi pesantren merupakan salah satu bentuk budaya akulturasi budaya indonesia dengan ajaran islam. Kesetimbangan itu, tradisi pesantren tidak kita temui di negara islam yang lain kecuali hanya indonesia.

Praktek keislaman yang di bumbui budaya lokal semacam itu, pernah diungkap oleh Simon Van Den Berg dalam kata pengantarnya untuk terjemahan bahasa inggris terhadap buku tahafud al-Tahafud milik Ibnu Rush. Van Den Berg menulis demikian”mungkin bisa dikatakan bahwa santa maria yang di bangun atas minerva (dewi kebijaksanaan romawi sama dengan dewi athena yunani) adalah lambang budaya Eropa. Tapi tidak boleh dilupakan bahwa masjid pun dibangun diatas kuil Yunani”. Dalam batasan tersebut, tradisi pesantren juga termasuk lambang Budaya Islam lokal seperti yang dimaksud oleh Van den Berg. Cuma konteks geografisnya berbeda. Karena dia orang Eropa, tentu saja Van den Berg memilih Yunani dan Romawi sebagai lambang akulturasi Budaya.sesuai dengan latar belakang geografis tempat Van den Berg tinggal. Sementara tradisi pesantren yang berkembang diatas unsur agama Islam dan Budaya Jawa, memiliki latar biografis Indonesia sesuai dengan tempat dimana pesantren itu ada[16]. Walau konteks geografisnya berbeda, tradisi dipesantren memiliki determinasi akulturasi budaya yang sama dengan lambang budaya Eropanya Van den Berg, yakni sama-sama dipengaruhi dan mempengaruhi cara-cara menerapkan ajaran Islam. Sebagai contohnya adalah Pesantren Miftahul Huda.

Pesantren Miftahul Huda adalah adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya modal keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pengertian tradisional di sini menunjuk bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan agama (Islam) telah hidup sejak 300 – 500 tahun lalu dan telah menjadi bagian yang mengakar dalam kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, dan telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Tradisional bukan berarti tetap tanpa mengalami perubahan. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia.

Pesantren Miftahul Huda sejak awal kelahirannya telah menjadikan pendidikan sebagai way of life. Pembentukan kepribadian muslim yang dilakukan oleh pesantren Miftahul Huda justru hampir seluruhnya terjadi di luar ruang belajar. Hubungan, interaksi, dan pergaulan sehari-hari santri dengan kyai, atau santri dengan sesamanya, bahkan santri dengan masyarakat di sekitar lingkungan pesantren Miftahul Huda adalah sumber pembelajaran utama dalam rangka pembentukan kepribadian muslim yang dicita citakan pesantren. Pola hubungan santri-kyai dan santri-santri sebagai proses pembentukan kepribadian muslim dalam pendidikan pesantren adalah merupakan kesinambungan dan pelestarian tradisi, budaya, serta nilai-nilai Islam yang ditanamkan oleh Islam.

Tujuan pendidikan pesantren Miftahul Huda bukan untuk mengerjakan kepentingan kekuasan (powerfull), uang, dan keagungan duniawi. Tetapi, kepada para santri ditanamkan bahwa belajar atau menuntut ilmu adalah semata-mata karena melaksanakan perintah Allah dan rasul-Nya, mencari keridoan Allah, serta menghilangkan kebodohan, sebagai sarana memasyaraktkan ajaran Islam di muka bumi dalam wujud amar ma’ruf nahyu munkar. Diantara cita-cita pesantren adalah latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kecuali kepada Tuhan. Pesantren Miftahul Huda, dengan demikian, lebih mengutamakan faktor keikhlasan hati baik dari pihak santri dan wali santri, ataupun dari pihak kyai, para pengajar, dan komponen pimpinan pesantren.

Keterlibatan pesantren Miftahul Huda dalam Politik di Indonesia mengalami perubahan besar. Dulu di masa Orde Baru, pesantren merasa tidak nyaman jika didekati politisi.. Bahkan banyak Pesantren dengan dai-dainya yang sangat keras mengkritik pemerintah dalam setiap pergelaran dakwahnya. Bisanya da’i yang seperti ini menyedot banyak pengunjung. Akan tetapi, sekarang situasinya berbeda. Pesantren di Indonesia termasuk juga pesanten Miftahul Huda sudah tidak lagi alergi terhadap partai politik; apa pun posisinya, sebagai partai pemerintah atau partai oposisi.

Hal ini nampak jelas bahwa pesantren Miftahul Huda setelah jatuhnya Orde Baru justru memainkan posisi yang strategis dalam percaturan politik. Pesantren Miftahul Huda masih dianggap memiliki kekuatan penyedot suara. Tak heran jika banyak politisi yang datang ke pesantren untuk meminta restu. Ditariknya pesantren oleh partai-partai politik mengakibatkan perubahan orientasi kyai pesantren. Berpolitik sudah tidak dianggap tabu. Bahkan dianggap memperjuangkan agama. Maka berbondong-bondonglah kyai menjadi anggota legislatif dari partai apa pun, baik partai nasionalis maupun partai Islam. Kyai yang pada awalnya bergerak di jalur kultural, yang dalam bahasa Clifford Greetz disebut cultural broker (makelar budaya), sekarang ini, sudah berubah. Garis perjuangan Pesantren Miftahul Huda pelan-pelan mulai bergeser seiring dengan perubahan politik di tanah air. Maka Pesantren ini pun mulai merambah wilayah struktural (politik praktis) dengan segala jargon politiknya yang amat mengesankan. Setelah diamati dan diperiksa sepak terjang pesantren dalam kancah politik praktis ternyata membawa perubahan pada penilaian masyarakat terhadap kyai pesantren.

Di pesantren Miftahul Huda pendidikan teknologi tidak pernah dikesampimgkan. Terutama dalam menumbuhkan Islamic technological-attitude (sikap benar berteknologi secara Islami) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga santri memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas untuk melek teknologi. Suatu saat mereka diharapkan mampu merebut teknologi, dan mengembangkan teknologi tersebut dengan nilai-nilai kepesantrenan yang kental.. Santri pesantren Miftahul Huda diberi pelajaran untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara-cara yang elegan dan beradab. Dengan kata lain, Pesantren selalu mengajarkan santrinya bagaimana membangun keshalehan spiritual yang diambil dari berbagai sumber, mulai dari yang klasik sampai kontemporer.

Penanaman nilai moral spiritual ini yang nantinya harus ditransformasikan ke dalam masyarakat. Dengan demikian maka alumninya mempunyai tradisi klasik yang mungkin tidak didapatkan dari lemabaga pendidikan lain. Tempaan disiplin dan filosofi yang membekas bagi para santri ketika mereka berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Inilah karakteristik unik yang selalu melekat pada pesantren dan setiap warganya. Dari sini kita dapat melihat bahwa pendidikan pondok pesantren Miftahul Huda cukup terbuka dan tidak monoton atau kolot. Pesantren dapat menyesuaikan dan sekaligus membawa dirinya dalam segala situasi dan kondisi. Namun demikian perubahan zaman tidak dapat memudarkan eksistensi pesantren dan bahkan menjadi momentum untuk mengembangkan pola pendidikan yang lebih mampu melahirkan pemikir-pemikir Islam yang siap terjun di masyarakat dalam kondisi dan situasi apapun.

DAFTAR PUSTAKA

A.A. Said Gatara dan Dzulkiah Said, SosiologiPolitik. Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Bandung, CV Pustaka Setia, 2007

Adian,Husaeni, 2007, Pesantren dan Pergulatan Politik Modern, Gramedia, Jakarta,

Almond, Gabriel A. dan Verba Sidney. 1990. Budaya Politik Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Bina Aksara. Jakarta

Apter,E. David. 1988. Pengantar Analisa Politik, alih bahasa Yasogama. CV Rajawali. Jakarta

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta.

Budiardjo, Miriam. 2000. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Charles Kurzman, “Islam Liberal dan Konteks Islamnya”, dalam, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, 2001, Jakarta: Paramadina,

Gunawan, Muhamad, 2006, Sejarah pesantren di Nusantara, Pustaka Pelajar,Jakarta

Harrison, Lisa Metodologi Penelitian Politik, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007

Miles, Mathew dan A. Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. UI Press. Jakarta

Moleong, Lexy J. 2000. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung

Muhajir, Noeng “Metodologi Peneltian Kualitatif Edisi IV, Jogjakarta, Rake Sarasin, 2000

Subakti, Ramlan. 1999. Memahami Ilmu Politik. Gramedia Widiasarana. Jakarta

Ruslan, Rosadi “Metode Peneltian. Public Relatios dan Komunikasi, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004

Sumber Lain

http://mjieschool.multiply.com/journal/item/30/BUDAYA_POLITIK

http://www.komunitaspesantren.or.id/comments.php?id=P207_0_8_0_C



[1] Pembantu Dekan FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya

[2] Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi

[3] Fadlil Munawwar Manshur, Pesantren Dalam Tarik-menarik Partai Politik, http://www.mail- archive.com/mediacare@yahoogroups.com/msg21916.html. diakses tanggal senin jam 10, 12/14/2010

[4] ibid

[5] Ruslan, Budaya Politik, http://mjieschool.multiply.com/journal/item/30/BUDAYA_POLITIK

Diakses pada hari senin jam 10, 12/14/2010

[6] Dalam A.A. Said Gatara dan Dzulkiah Said, SosiologiPolitik. Konsep dan Dinamika Perkembangan Kajian, Bandung, CV Pustaka Setia

[7] Almond, Gabriel A. dan Verba Sidney. 1990. Budaya Politik Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima Negara. Bina Aksara. Jakarta

[8] Noeng Muhajir, “metodologi peneltian kualitatif” hal 19

[9] ibid hal 18

[10] Lisa Harrison, “Metodologi Penelitian Politik” hal 26.

[11] Ibid hal 25

[12] hand out mata kuliah “Statistik Sosial” oleh Harun Ar Rasyid

[13] Rosadi Ruslan, “Metode Peneiltian. Public Relatios dan Komunikasi”. Hal 137

[14] Wawancara pada selasa, 6 Juli 2010

[15] Wawancara tanggal 12 Juli 2010

[16] Charles Kurzman, “Islam Liberal dan Konteks Islamnya”, kata pengantar pada buku yang dieditnya, Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi (Jakarta: Paramadina, 2001), hal. xv-xvii.

Khasanah Islam

Friday, 15 October 2010

AKULTURASI BUDAYA ISLAM LOKAL

(Studi Perbandingan Islam di India, Afrika, Indonesia, dan Balkan)

Akhmad Satori[1]

ABSTRACT

This paper seeks to provide a picture of how the acculturation process that takes place between Islam and other cultures and how far the Islamic culture influenced the local culture The focus of this paper is a cultural comparative study between India, Africa, Indonesia and the culture of the Balkans.

ABSTRAK

Tulisan ini berupaya untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana proses akulturasi yang terjadi antara Islam dan kebudayaan-kebudayaan lain dan sejauhmana kebudayaan Islam berpengaruh terhadap kebudayaan lokal tersebut Adapun fokus tulisan ini studi perbandingan antara adalah kebudayaan India, Afrika , Indonesia dan kebudayaan Balkan.

A. Pendahuluan

Akulturasi dan Asimilasi budaya merupakan sebuah keniscayaan. Tak ada satu bangsa dan budaya pun yang terhindar dari proses tersebut. Kemajuan suatu bangsa bahkan tergantung kepada sejauh mana ia mampu meminjam, menyerap, dan mengambil alih berbagai unsur positif budaya lain, untuk kemudian mengintegrasikannya secara kreatif ke dalam arus dinamika budayanya sendiri[2]

Proses akulturasi dan asimilasi budaya ini sangat mencolok di awal pertumbuhan peradaban Islam (abad ke-8 sampai ke-10). Saat itu, hubungan intelektual antara dunia Islam dan dunia sekitarnya tampak lancar, akrab, dan kukuh. Al-Qur’an mendorong umat Islam generasi awal untuk menimba, mengambil alih dan memanfaatkan khasanah intelektual budaya dan peradaban yang mendahuluainya.

Kebudayaan Islam membawa pengaruh terhadap kebudayaan lain yang disinggahinya, dari masa kemasa dari satu kawasan kekawasan lainnya, Islam smemberikan corak tersendiri terhadap warna budaya lokal. Kekayaan Intelektual, dan hasil arsitektur budaya tersebut melekat ketat dengan kultur Islam sehingga menghasilkan berbagai macam karya seni yang tidak ternilai hargannya. Pranata-pranata sosial dan institusi kelembagaan juga tidak lepas dari pengaruh Islam, bahkan tradisi, adat serta bahasa juga sangat terpengaruh dengan kebudayaan Islam.

Islam dengan wujud dan formasi keagamaannya tidak mungkin memisahkan diri dan menolak budaya local dimana Islam itu singgah, meletakan binner antara Islam dengan budaya lokal, berarti memisahkan kehendak untuk disingkirkan oleh kelompok besar yang meyakini akan terciptanya akulturasi budaya Islam dan budaya lain[3]. Dalam Islam nilai-nilai universal seperti keadilan, persamaan, dan kemanusiaan mendapatkan porsi yang luas. Dalam konteks Islam di Indonesia misalnya, Islam masa awal mampu bersimbiosis dengan budaya lokal yang sudah barang tentu pula mengedepankan prinsip-prinsip yang sama. Titik temu ini selanjutnya dikemas dalam format dakwah yang tidak melulu mendudukan masyarakat lokal sebagai tertuduh dan salah, akan tetapi mereka berangkat dari kekayaan dan pengetahuan yang dimilikinya.[4]

Tulisan ini berupaya untuk memberikan gambaran mengenai bagaimana proses akulturasi yang terjadi antara Islam dan kebudayaan-kebudayaan lain dan sejauhmana kebudayaan Islam berpengaruh terhadap kebudayaan lokal tersebut Adapun fokus tulisan ini studi perbandingan antara adalah kebudayaan India, Afrika , Indonesia dan kebudayaan Balkan.

B. Akulturasi Islam dengan Budaya Lokal

Islam adalah agama yang bersifat universal dan berlaku disetiap zaman dan tempat. Dalam penyebarannya Islam menghadapi sistem nilai yang beragam. Namun akomodasi kultural melalui proses akulturasi dan asimilasi memperlihatkan interaksi yang cukup intens antara agama yang bersifat universal dengan nilai, norma, serta praktek sosial yang bersifat lokal. Islam tidak hanya mempertimbangkan tradisi tersebut dalam proses penyebarannya, tetapi juga telah melakukan berbagai proses pembaruan dengan pembentuk tradisi baru.

Sejarah mencatat bahwa proses akomodasi Islam berlangsung secara berbeda-beda di tempat yang berbeda dan ditentukan oleh cara pendekatan para penyiar Islam dalam memperkenalkan agama ini. Bagaimana mereka memahami tradisi lokal agar strategi Islamisasi dapat terlaksana. Hal ini kemudian sangat berhubungan dengan tiga prakondisi yang penting, pertama, bagaimana proses masuknya Islam ke daerah tersebut, kedua, bagaimana strategi Islamisasi itu dijalankan, dan terakhir sejauh mana kebudayaan ini menrespon dan menyerap kebudayaan Islam. Berikut ini akan di gambarkan studi mengenai proses akulturasi tersebut di beberapa tempat, seperti India, Afrika, Indonesia dan Balkan.

1. Perkembangan Kebudayaan Islam di India

a. Masuknya Islam di India.

Awal masuknya Islam ke India bisa di klasifikasikan menjadi dua jalur ; yaitu, jalur formal dan jalur Informal. Secara formal proses awal Islamisasi di India terbagi menjadi empat tahap. Tahap pertama, pada zaman Nabi Muhammad, Islam menyebar melalui media pedagangan dan hanya sebagian kecil masyarakat India yang mendapatkan pengaruh ajaran Islam. Tahap berikutnya, pada masa Umayyah, Islam dibawa pasukan Islam di bawah pimpinan Muhammad bin Qasim dengan cara penetration pacifique[5] dan berhasil membangun pranata sosial yang harmonis dan mulai terjalin asimilasi peradaban antara arab dengan India. Tahap ketiga semasa dinasti Ghazni, Islam menyebar melalui penaklukan-penaklukan terutama dipimpin oleh sultan Mahmud dengan berbagai motif. Ia melakukan tujuh belas kali penaklukan dan semuanya berhasil dimenangkan. Tahap keempat, semasa Dinasti Ghuri (Muhammad Ghuri), Islam mulai berkuasa secara permanen. [6]

Selain secara formal melalui aktivitas penaklukan dan ekspansi, Islamisasi yang terjadi di India juga dilakukan melalui jalur informal. Ada tiga cara masuknya Islam ke India secara Informal yaitu perdagangan, perkawinan dan peranan sufi atau alim ulama, [7]

Pertama, jalur Perdagangan. Jauh sebelum Yunani mengenal India (utusan) orang-orang arab sudah memiliki hubungan yang erat dengan dunia timur. Melalui media perdagangan mereka singgah ke pelbuhan India dengan membawa produk dari Asia Tengah, Afrika, bahkan dari Eropa. Kemudian mereka menukar dengan komoditi-komoditi Timur di bandar-bandar tersebut. Melalui perdagangan hubungan Arab India menjadi harmonis. [8]

Penaklukan Muhammad bin Qasim di India (Sind dan Mutan) menyebabkan semakin banyak orang-orang Arab yang menetap di sana dan melakukan perdagangan dengan orang-orang pribumi. Menurut keterangan Varthema dan Barbosa yang mengunjngi India Timur (Bangladesh) pad awal abad ke XVI M bahwa mereka banyak menemukan pemukiman para pedagang Arab dan Persia. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan dengan Arab sejak sebelum terjadi penaklukan. [9]

Kedua, peranan Alim Ulama dan Sufi. Sejak pertama kali Islam masuk, ajaran Islam dibaw oleh para Ulama , Sufi dan pasukan –pasukan Islam dari Arab, Yaman, Persia, Turki dan Asia Tengah. Pengaruh Islam sangat Besar terhadap kehidupan masyarakat. Peranan ulama dan sufi dalam menyiarkan agama Islam di tanah India sangat besar yang ditunjukan dengan banyaknya jumlah mereka yang datang ke India. Mereka ternasuk golongan pertama yang menyebarkan agama Islam sebelum Islam masuk ke India secara formal. Ketika pemerintah Islam berkuasa di India peran mereka tidak berkurang bahkan semakin besar memjukan agama Islam di negeri itu.

Ketiga, lewat saluran Perkawinan. Para ahli sejarah menentukan bahwa kaum muslim yang datang ke India, di samping membawa agama Islam, juga mempunyai kecakapn ilmu pengetahuan pengobat yang mereka miliki. Dari aktivitas ini banyak penduduk India yang tertarik kepada agama Islam dan banyak juga yang akhirnya menjalih hubungan perkawinan antara orang islam denganpenduduk setempat.

Bagian tersesar orang-orang India yang masuk aga ma Islam berasal dari kalangan umat Budha dan orang-orang Hindu kelas bawah yang bagi mereka kesederhanaan, persamaan, persaudaraan dalam agama, dan sistem sosial Islam sangat menarik bagi penyelamat dari penderitaan dan tirani oleh golongan Brahmana. Meskipun demikian, tidak sedikit juga orang-orang Hindu dari kelas atas yang masuk Islam terutama melalui perkawianan dengan muslim.[10]

b. Hasil Akulturasi Islam dan Budaya Lokal

Dalam bidang Ilmu pengetahuan, hubungan Islam dengan India terjalin dengan baik dan menjadi pertukaran budaya antara keduanya, banyak buku India yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab pada abad ke-8. Begitu pula dengan bidang seni dan bangunan. Bangunan-bangunan yang didirikan oleh para Sultan India antara lain, Istana Kerajaan, Benteng, Mesjid, 0tugu orang-orang besar, perlindungan bagi orang-orang miskin. Dalam rancangan bangunannya, merupakan campuran gaya Syiria, Bizantium, Mesir, dan Iran, sedangkan detailnya Hindu, Jaina atau Budha. Perpaduan antara gaya Islam dan Hindu tersebut menghasilkan evolusi gaya yang kadang-kadang disebut Indo-Muslim, Arsitektur Indo-Muslim adalah arsitektur Muslim yang menampilkan detail sifat-sifat tertentu dari seni bangunan Hindu. Semakin banyak ahli muslim yang memasuki India, maka pengaruh Hindu semakin berkurang sedikit demi sedikit.

Bahasa juga merupakan salah satu aspek yang berubah, pada zaman Dinasti Ghaznawi dan Ghuri, para sultan berbahasa Turki di Istana, sedangkan di kantor berbahasa Persi. Para tentara muslim , ketika berbelanja kepasar mengalami kesulitan berkomunikasi sengan masyarakat yang memakai bahasa parkit dan sansakerta, dan akhirnya menghasilkan bahasa baru yaitu Urdu sedangkan pengaruh bahasa sansakerta melahirkan bahasa Bangla.

2. Perkembangan Kebudayaan Islam di Afrika

a. Masuknya Islam ke Afrika

Setelah Amru bin Ash membuka Mesir, pada abad ke XI mulailah gerakan dakwah Islam dilancarkan dengan giatnya, hingga suku-suku penghuni padang pasir itu banyak memeluk Islam dan banyak didirikan kerajaan-kerajaan dan pusat-pusat Islam yang besar yang telah memberi kesan dalam penyebaran Islam. Perkembangan ini berjalan dengan pesatnya antara abad ke-11 dan ke-17 dengan medan utamanya Afrika selatan dan selatan Sudan. Dakwah Islam di afrika –terutama di kalangan bangsa-bangsa kulit hitam, terlebih lagi didaerah yang diairi sungai Senegal dan niger- dilakukan oleh golongan Barbar dari Afrika Utara.

Penaklukan Afrika Utara merupakan suatu peristiwa penting bagi kekuasaan Muawiyah. Pada masa ini, Afrika ditaklukan oleh Uqabah, akan tetapi, orang-orang Islam mengalami Kemunduran yang hebat di Afrika ketika pada tahun 683 M, orang-orang Barber dibawah kepemimpinan Koselia bangkit memberontak dan mengalahkan Uqabah, yang bersama seluruh tentaranya tewas dalam pertempuran, namun setelah beberapakali peperangan Khalifah Abdul Malik kembali menaklukan Afrika sekali lagi berada di bawah kekuasaan bani Umayyah.[11]

b. Proses Islamisasi di Afrika

Berbeda dengan proses masuknya Islam di Mesir dan Afrika Utara,. pembentukan masyarakat Islam diAfrika sub-sahara sama dengan yang terjadi di Indonesia. Sementara masyarakat Islam di timur tengan dan di Anak benua India terbentuk melalui penaklukan oleh ekspansi militer, maka Islam di Afrika tersebar luas melalui migrasi pedagang-pedagang Muslim, sejumlah guru dan pengkut sufi.

Pada dasarnya umat Muslim merupakan kelompok minoritas yang terlindungi di tengah-tengah masyarakat non-muslim. Biasanya mereka mengislamkan para penguasa lokal dan membentuk sebuah elit gabungan antara penguasa dengan pedagang muslim.[12] Di beberapa wilayah lain di sub sahara Afrika, para pedagang, komunitas patronalis (pengembala) dan pertanian, kelompok tentara dan para guru, memiliki peranan yang sangat penting dalam memperluas identitas Islam.[13] Mereka biasanya membangun persekutuan mulai dari ikatan kekeluargaan maupun jaringan perdagangan. Dari sanalah para alim ulama dan wali menyelenggarakan pengajaran Islam dan memberikan pengabdian kepada pemimpin lokal.

c. Pengaruh Islam dalam Kebudayaan Afrika

Di beberapa wilayah lain seperti di kawasan volta, biasanya pedagang-pedagang Muslim berintegrasi kedalam masyarakat umum dengan menikahi perempuan-perempuan setempat dan membentuk sejumlah keluarga. Anak keturunan dari perkawinan tersebut biasanya mearisi kepemimpinan kesukuan dan menimbulkan proses pengislaman warga setempat. Sejumlah perayaan hari besar diselenggarakan dengan penanggalan muslim tetapi didalamnya tidak mengandung corak keislaman yang jelas.[14]

Islam juga telah tersebar melalui migrasi orang-orang Arab yang mendorong warga setempat menggunakan identitas Islam, dan mengembangkan sebuah kultur arab-afrika dalam bahasa, arsitektur dan busana. Ibnu Batuta yang berkunjung ke Moghadisu (wilayah Afrika Timur) sekitar tahun 1332 M, menyaksikan kota-kota tersebut dalam kemakmuran dan kultur yang tinggi, ia menggambarkan wilayah itu sebagai komunitas muslim dengan sebuah madrasah dan ulama madzhab Syafi’I dan menyaksikan pengaruh Arab dalam seremoni kerajaan dan ritual-ritual lainnya.[15]

3. Perkembangan Kebudayaan Islam di Indonesia

a. Masuknya Islam di Indonesia

Sampai saat ini keterangan mengenai bagaimana masuknya Islam di Indonesia masih banyak diperdebatkan oleh kalangan ahli sejarah, sehingga sampai sekarang belum ada kata sepakan mengenai kapan sebenarnya Islam pertama kali masuk dan berkembang di Indonesia. Namun bagaimanapun kebanyakan teori-teori tersebut menghubungkan kedatangan Islam ke Indonesia dengan perdagangan dan usaha-usaha menjelajah lautan yang dilakukan oleh orang-orang Islam ke Asia Tenggara dan Asia Timur Raya.

Teori kedatangan Islam ke Indonesia dapat diambil kesimpulan menjadi dua bagian. Pertama, bahwa Agama Islam datang ke Indonesia melalui Persi dan Gujarat, dan yang kedua, mengatakan bahwa agama Islam itu datang langsung dari jazirah Arab ke Indonesia.[16] Demikian pula dengan tahun kedatangan Islam itu, para ahli sejarah mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Sebagian mengatakan Islam datang ke Indonesia pada abad ke-7 dan sebagian lain berpendapat pada abad ke-13.[17]

b. Proses Islamisasi di Indonesia.

Dalam kaitan ini, proses Islamisasi di kawasan Indonesia harus dilihat dari fase-fase kontak sosial budaya antara para penatang muslim dengan penduduk setempat[18]. Pertama, fase kehadiran para pedagang muslim di nusantara, kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar kewilayah Asia Tenggara sejak permulaan abad Masehi, hal ini didasarkan dari literature arab yang terdapat beritatentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara. Paul Whealty mengemukankan bahwa diantara penulis Arab hingga abad ke-14, hanya Abu Dulaf (abad ke-10) dan Ibnu Battuthah yang benar-benar melakukan perjalanan ke Asia Tenggara sampai ke negeri Cina, sedangkan penulis lain hanya berlayar hingga India atau sekitar teluk Persia.[19]

Kedua, fase terbentuknya kerajaan Islam (13-16 M), kedatangan Islam ke Indonesia sejak abad ke-8 dan di samudra pasai pada abad ke-13 M muncul sebagai kerajaan yang bercorak Islam dan berkembang hingga awal abad ke-16 M.[20] Sejak Kerajaan Samudera Pasai tumbuh dan berkembang, maka perkembangan Islam melalui fese Kerajaan semakin meluas, dari mulai kerajaan Malaka sampai ke kerajaan Demak pada masa-masa selanjutnya, Islam mengalami erkembangan yang sangat pesat.

Ketiga, fase pelembagaan Islam. Pengaruh penyebaran Islam di kerajaan Pasai meluas ke Aceh, Pesisir Sumatra, semenanjung Malaka, Demak, Gersik, Banjarmasin dan Lombok. Ini terbukti dengan ditemukannya bentuk-bentuk makam disemenanjung Melayu, terutam,a batu nisannya, yang menyerupai nisan-nisan Aceh. Daerh yang agak terlambat menerima penrkembangan Islam diluar daerah yang telah disebutkan, ialah Sulawesi, walaupun beberapa tempat seperti Buton dan Selayar serdasarkan tradisi setempat telah menerima pengaruh Islam dari Ternate.pada pertengahan abad ke-16. dengan demikian bisa dikatakan bahwa sejak permulaan abad ke-17, Islam telah dterima di hampir seluruh wilayah Nusantara.

Dalam perkembangannya di Nusantara, Islam telah diterima dengan jalan damai. Hampir tidak pernah ada ekspedisi militer untuk Islamisasi. Cara yang ditempuh oleh para mubaligh Islam ialah dengan cara damai (ukhuwah Islamiyah), sehingga Islam dapat berkembang dihampir seluruh wilayah nusantara.

c. Pengaruh Islam Terhadap Kebudayaan di Indonesia

Erat dengan proses islamisasi maka orang-orang muslim dapat pula membentuk dan mendirikan pesantren-pesantren, madrasah-madrasah. Melalui kelembagaan di masyarakat tersebut maka Islam dapat pula disebarkan dan dikembangkan kedaerah lingkungannya dan daerah-daerah diluarnya. Proses perkawinan antara pedagang muslim dengan anak-anak bangsawan Indonesia, juga dapat mempercepat pembentukan dan perkembangan Islam dari inti sosial yaitu keluarga hingga masyarakat lingkungannya. Akibat perkawinan orang-orang Muslim dengan anak-anak bangsawan atau raja-raja maka proses penyebaran lebih dipercepat pula karena secara tidak langsung dalam pandangan masyarakat setempat orang muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat-sifat charisma bangsawan. Lebih-lebih pedagang-pedagang besar itusetelah melakukan perkaeinan dengan anak bangsawan atau raja, kemudian diangkat dalam susunan birokrasi kerajaan, sebagai syahbandar, kadi atau jabatan-jabatan lainnya.

Proses penyebaran Islam melalui saluran perdagangan dan perkawinan dengan pribumi ini jelas menguntungkan kedua belah pihak. Bagi pedagang-pedagang Muslim merasa lebih produktif usahanya, karena selain mereka mudah dalam mendapatkan izin perdagangan juga memudahkan untuk lebih menyebarkan ajaran agama Islam kepada masyarakat. Proses Islamisasi juga terjadi melalui pendekatan sosial budaya. Unsur-unsur budaya setempat seperti bahasa, tulisan, arsitektur, kesenian juga diselaraskan dengan apa yang dimiliki oleh Islam. Adat makeuta alam adalah hasil dari pengejawantahan antara adat Aceh dan Islam.

4. Perkembangan Kebudayaan Islam di Balkan

a. Masuknya Islam ke daerah Balkan

Sejak abad ke-9 umat Islam telah mendatangi semenanjung Balkan, Eropa Timur. Tetapi laut menjadi penghalang utama. Keinginan ini baru terwujud secara formal pada abad ke-15 Ketika itu dinasti Usmani dipimpin oleh Murad II, namun ambisinya untuk menaklukan semenanjung Balkan terhalang oleh pasukan dari Hunggaria dan Hunayind. Namun di bawah pimpinan Muhammad II Seorang sultan yang melakukan banyak penaklukan untuk masuk ke Eropa timur, dengan sejumlah kapal perang dinasti Usmani, ia berhasil menerobos pintu gerbang negara itu.

Sultan Muhammad al-Fatih terlebih dahulu menaklukan konstatinopel (Istambul), kemudian tahun 1458–1460 M, ia berhasil menaklukan Athena dan daerah sekitarnya, lalu disusul dengan penaklukan Serbia tahun 1459 M dan Bosnia tahun 1463 M. Para pemimpin dan rakyat Bosnia yang sebelumnya mendapatkan tekanan dari kelompok etnik serbia yang menganut kristen ortodok dan orang kroasia yang katolik kemudian memeluk agama Islam, bahkan selanjutnya memimpin perjuangan di perbatasan sebelah utara yang menjadi benteng pertahanan umat Islam di garis perbatasan. Dengan takluknya daerah Eropa Timur ini, Islam pun tersebar di kalangan penduduk, bahkan sampai tahun 1994 M, di kawasan ini khususnya Bosnia Herzegovina, Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya.[21]

Posisi geografis Balkan merupakan salah satu faktor utama dan yang membuka peluang pengenalan rakyat Balkan kepada agama Islam. Keberadaan kawasan Balkan diantara negara-negara Islam dan Romawi Kristen merupakan peluang pertama pengenalan rakyat di kawasan ini dengan umat Islam lewat perdagangan. Perdagangan kaum Iliri penduduk Balkan dengan umat Islam Arab, Persia dan Turki merupakan kesempatan kehadiran para pedagang muslim di kota-kota pelabuhan laut Adriatik bahkan ke kawasan yang lebih jauh dari pantai laut ini.

Kepingan uang emas dan perak Arab yang telah ditemukan oleh para arkeolog dan kisah perjalanan yang telah ditulis pada era ini membuktikan hal tersebut. Pada masa lalu transaksi jual beli merupakan tujuan pertama para pedagang. Para pedagang muslim telah ikut membawa budaya dan pandangan baru bersama mereka. Hal ini terjadi ketika sejumlah muslimin menempati kota-kota pelabuhan di kawasan Balkan dan dengan berlalunya zaman, jumlah mereka semakin bertambah dan meninggalkan pengaruh pada masyarakat setempat.[22]

Kondisi politik dan agama yang dimiliki oleh rakyat Balkan, ikut memainkan peran dalam menarik mereka kepada agama Islam. Bangsa yang paling lama sekali tinggal di Balkan ialah kaum Iliri. Pada abad keenam dan ke-7 M, orang-orang Slowakia telah datang ke kawasan tersebut. Kedatangan orang-orang Slowakia ke Balkan dan upaya mereka untuk menegakkan agama Kristen telah menyebabkan timbulnya banyak pemberontakan dan peperangan. Sebagian besar dari bentrokan ini, lebih banyak diwarnai oleh sentimen keagamaan daripada sentiman etnis dan sebagai dampak dari pemaksaan agama Kristen. Selain itu kondisi ekonomi yang buruk, tekanan agama dan perang yang tidak berkesudahan juga telah menjadi lahan penerimaan agama yang memiliki ajaran keadilan, persamaan, anti kezaliman dan yang berdasarkan keyakinan kepada keesaan Tuhan, yang tidak terdapat pada agama-agama lain.[23]

b. Pengaruh Islam di Balkan

Sejarah Islam memasuki Balkan, banyak sekali mengalami distorsi, sehingga tergambarkan seolah-olah penduduk kawasan ini menerima Islam karena paksaan dan di bawah ancaman pedang para penguasa Utsmani. Di sebagian buku sejarah Eropa, kehadiran Islam di Balkan dikatakan sebagai hasil dari persaingan agama dan politik berbagai etnis yang tinggal di kawasan ini. Analisa tentang sejarah masuknya Islam ke daratan Eropa seperti ini, sebenarnya merupakan pengabaian peran nilai-nilai Islam yang mulia dan karya peradabannya yang sangat berharga dalam menarik bangsa Eropa Timur ini ke dalam agama Islam. Sampai sekarang masih banyak peninggalan Islam yang terpelihara di wilayah ini. Antara lain dua mesjid dengan arsitektur Turki yang sangat indah yaitu Mesjid Raya Husri Bek dengan menara yang menjulang ke angkasa dan Mesjid Begova[24].

Terdapat juga sebuah perpustakaan Islam dengan kekayaan Khazanah keislaman yang dimilikinya. Perpustakaan ini pernah menjadi perpustakaan terbesar ketiga di Eropa. Disana tersimpan tidak kurang dari 15 ribu manuskrip karya keislaman yang tertulis dengan bahasa Arab, Persia dan Turki -Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali dan manuskrip karya penyair Persia Nuruddin Abdur Rahman- tersimpan dengan baik di perpustakaan ini. Selain itu terdapat pula sebuah perguruan Tinggi Islam yang bernama Perguruan Ghazi Bek yang didirikan tahun 1537 M, dan merupakan salah satu perguruan tertua di Balkan dengan jumlah mahasiswa yang cukup banyak. [25]

C. Perbandingan Akulturasi

Dari uraian mengenai beberapa perkembangan kebudayaan Islam di beberapa daerah seperti yang di kemukakan diatas, dengan menggambarkan bagaimana jalur masuknya Islam, proses Islamisasi dan pengaruhnya terhadap kebudayaan lokal, maka kiranya dapat kita komparasikan sebagai berikut:

Aspek Akulturasi

Akulturasi Kebudayaan Lokal dengan Islam

India

Afrika

Indonesia

Balkan

Masuknya Islam ke kawasan tsb.

50% dengan jalan damai dan 50% dengan Ekspansi

50% dengan jalan damai dan 50% dengan Ekspansi

100 % dengan jalan Damai

100% dengan Ekspansi militer

Saluran Islamisasi

Formal :

1. Penaklukan,

2. Penetration- Pacifique

Informal :

1. Perdagangan,

2. Mubaligh/Sufi

3. Perkawinan

1. Penaklukan

(Mesir dan Afrika Utara)

2. Perkawinan

3. Tasawuf

4. Perdagangan

(Afrika Sub Sahara)

5. Migrasi

1. Perdagangan

2. Perkawinan

3. Tasawuf

4. Pendidikan

5. Kesenian

6. Politik

1. Penaklukan

2. Tasawuf

Pengaruh Islam terhadap Budaya, Ilmu Pengetahuan, Kelembagaan, dan Seni Arsitektur

1. Mesjid Agra.

2. Bahasa Urdu,Bangla dll.

3. Istana Kerajaan,

4. Benteng Pertahanan, dll

1. Tarekat-tarekat

2. Ritual dengan penanggalan Islam

3. Arsitektur Bangunan : Mesjid Qynawan

4. Bahasa, dll.

5. Bentuk Bangunan Mesjid,Mesjid Demak, dll

6. Pesantren

7. Tembang Para Wali

8. Wayang,dll.

1. Perguruan Tinggi Ghazi Bek,

2. Perpustakaan,

3. Mesjid Husri Bek,

4. Mesjid Begove

Perkembangan Islam di beberapa wilayah diatas menunjukan bahwa Islam pada dasarnya masuk dan berkembang dengan cara damai. Fakta sejarah mrncatat bahwa ajaran Islam sebagai ajaran selalu disebarkan dengan cara damai[26] melalui jalan dakwah. Tetapi sebagai kekuatan politik Islam tersebar baik dengan jalan damai maupun dengan jalam peperangan. Walaupun Islam dapat menaklukan dan menguasai suatu daerah dengan jalan damai atau peperangan, penguasa Islam tidak memaksakan ajaran-ajaran Islam pada penduduknya. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar ajaran Islam yang tidak membenarkan adanya paksaan dalam agama. Berdasarkan hal tersebut, di dalam Islam dikenal istilah ahl al-dzimmah (kaum dzimmi), yaitu penduduk non muslim yan berdiam di wilayah Islam. Mereka di jamin hak-haknya dan diperlakukan sama dengan penduduk yang beragama Islam.

Banyaknya pengaruh Islam terhadap budaya, ilmu pengetahuan, kelembagaan, dan seni arsitektur membuktikan bahwa Islam mampu untuk berakulturasi secara sempurna dan akomodatif terhadap budaya lokal. Islam lewat ajarannya memunculkan spirit pembebasan atas keterkungkungan masyarakat feudal yang telah ada sebelumnya. Islam tidak lagi memandang perbedaan kasta, suku, dan warna kulit. Dengan prinsip-prinsip inilah Islam lambat laun dapat diterima dengan lapang dada oleh masyarakat lokal di mana Islam itu hadir.

D. Penutup

Islam merupakan agama bangsa-bangsa yang tersebar di pertengahan bumi yang terbentang dari tepi laut Afrika sampai tepi laut Pasifik Selatan, dari padang rumput Siberia hingga ke Pelosok kepulauam Asia Tenggara yang terdiri dari; bangsa Berber, Afrika, Sudan, arab, Timur Tengah, Turki, Iran, Asia Tengah, Afghanistan, Pakistan, India, Cina, Indonesia, bahkan hingga dataran Eropa yang secara keseluruhan jumlah mereka mencapai satu setengah milyar lebih. Dari sisi etnis, bahasa, budaya, sistem politik, adat, organisasi lokal serta pola kebudayaan dan tekhnologi, mereka menampilkan keberagaman kemanusiaan, namun Islam menyatukan mereka.

Nilai universalitas Islam, mampu bersanding secara akulturatif, sehingga mampu dijadikan spirit untuk menggapai kesejahteraan. Meskipun seringkali tidak menjadi totalitas kehidupan mereka, namun Islam terserap dalam konsep, aturan keseharian, memberikan tata ikatan kemasyarakatan, memenuhi hasrat mereka meraih kebahagiaan hidup. Karena keberagaman tersebut, Islam berkembang menjadi keluarga terbesar ummat manusia.

Daftar Pustaka

Amin Abdullah, Penerjemahan Karya Klasik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan peradaban, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005

Fachruddin, M. Fuad, Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta : Penerbit Bulan Bintang, 1985.

Hasjmy, A, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Penerbit bulan Bintang, 1995.

_________ , Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia : Kumpulan Prasaran Pada seminar di Aceh, Medan : Penerbit al-Ma’arif, 1993

Karim, M. Abdul, Sejarah Islam di India, Yogyakarta : Penerbit Bunga Grafis, 2003

_________ , Islam Nusantara, Yogyakarta : Pustaka Book publisher, 2007.

Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian Kesatu dan dua, Jakarta : Penerbit Grafindo Persada, 1999

_________ , Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian Ketiga, Jakarta : Penerbit Grafindo Persada, 1999

Mahmuddunnasir, Syed, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung : Penerbit Rosda Karya, 1991.

Mansur, Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : global Pustaka Utama, 2004

Sadjali, Munawwir, Islam dan Tata Negara : Ajaran, Sejarah derta Pemikiran, Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia Press, (edisi kelima), 1993

_________ , Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1993



[1] Ketua Program Studi Ilmu Politik Fisip Universitas Siliwangi

[2]Amin Abdullah, Penerjemahan Karya Klasik, dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan peradaban, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,2005),hal.15

[3] Ahmad Syafii Maarif, “Sublimitas Islam di Indonesia”,dalam pengantar buku Islam Nusantara karya M. Abdul Karim, (Yogyakarta Pustaka Book Publisher, 2007), hal. 5-6

[4] Ibid, hal 6s

[5] Penetration pacifique merupakan istilah untuk ekspansi yang dilakukan oleh Islam, dengan strategi penetrasi dan penaklukan wilayah-wilayah yang ada di sekitar lautan pasifique.

[6] Karim, Sejarah Islam di India, (Yogyakarta : Penerbit Bunga Grafis, 2003),hal. 1

[7] Jalur Informal yang dimaksudkan adalah …menurut M. Abd. Karim, keterangan mengenai jalur formal hanya sedikit yang dapat diketahui. Ibid., hal. 6

[8] Edwin Arnold, India Revisited (Trubnerald.co, 1886) hal.41-53. lihat juga dalam M Abdul Karim, Sejarah Islam di India, (Yogyakarta : Penerbit Bunga Grafis, 2003),hal. 41

[9] Ibid., hal.42

[10] Ibid., hal 47

[11] Wilayah Afrika yang di sebut diatas adalah Mesir dan sebagian besar Afrika Utara, mencakup libiya, serta wilayah-wilayah yang terbentang dari Aljazair hingga Maroko, yang dikenal orang-orang Arab sebagai “al-Maghribi” lihat dalam Syed Mahmudunnasir, Islam , konsepsi dan sejarahnya (Bandung : Penerbit Rosda Karya, 1991), hal. 313-314.

[12] Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, bagian Kesatu dan dua, (Jakarta : Penerbit Grafindo Persada, 1999) hal. 750

[13] Ibid, hal 766

[14] Ibid., hal 772

[15] Ibid., hal 810-811

[16] Tokoh-tokoh yang mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia melalui Parsi dan Gujarat , antara lain : C. Snouck Hurgronje, H.J. Vsn den Berg, Husein Djajadiningrat, H. Kraemer, dan lain-lain. Sedangkan Groveneveld, Hamka, T.W. Arnold dan lain-lain mengatakan bahwa Islam datang ke Indonesia langsung dari Jajirah Arab. Lihat makalah Drs. M. Dien Majid, Islam di Aceh Tengah dan Kaitannya dengan Perlak dan Pasai, dalam A. Hasymy (ed), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia : Kumpulan Prasaran Pada seminar di Aceh, (Medan : Penerbit al-Ma’arif, 1993)hal.471-472

[17] Ibid.,hal.472

[18] Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban : Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998) hal.55-61

[19] Ibid., hal.56

[20] Ibid., hal 57

[21] Nina Armando (Ed) Sejarah Masuknya Islam dalam Ensiklopedi Islam Modern Jilid II (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal. 32.

[22] Lihat Kehadiran Islam di Balkan dalam Sirah Nabawiyah & Islam ( Redaksi 07 Jan 2005) dalam. www.google.com

[23] Ibid, www.google.com

[24] Ibid.,Nina, hal 33

[25] Ibid., hal.. 34

[26] Q.S. al-Baqarah : 256, “tidak ada paksaan untuk( memasuki) agama Islam”

 

Most Reading