Hisab dan Rukyat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia,
ensiklopedia bebas
Hisab adalah perhitungan
secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas
mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang
nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat
dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat
dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari
terbenam (maghrib), karena
intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta
ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib)
waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal
tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan
(kalender)tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan.
Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.
Hisab
'Hisab secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab
sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk
memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi
penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu
salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal
sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini
penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta
awal Dzulhijjahsaat
jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan
bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut
perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda
langit (khususnya Matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh
perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah
mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi
dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang
praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan.
Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang
atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak
terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.
Rukyat
Salah satu contoh hasil
pengamatan kedudukan hilal
Rukyat adalah aktivitas
mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak
setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau
dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang
terbenamnya Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan
berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari).
Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah
memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat.
Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek,
maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan
masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya.
Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat
bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari
sebesar 7 derajat. [1]
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan
peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu
dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut
Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk
bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan
awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara
langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup
dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus
benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan
sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:
Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan
(kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila
hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender)
berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan
berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah
(istikmal)".
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul
Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah
Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab.
Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan
bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.
Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan
(kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah
terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan
terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada
petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa
melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari
terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal
Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan
tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal
lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk
menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab
Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus
bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah
perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan
QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.
Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan
(kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah
Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura(MABIMS), dan dipakai
secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi
Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
§ Pada saat Matahari
terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan
sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
§ Pada saat bulan
terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan
kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk
menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan kondisi.
§ Ketinggian hilal kurang
dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum
masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
§ Ketinggian hilal lebih
dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini.
Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal.
Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat
dalam kondisi ini.
§ Ketinggian hilal antara
0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat.
Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal
berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode
rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil
melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga
malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab
mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada
ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga
dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini terjadi
pada penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.
Di Indonesia, secara
tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni setiap tanggal
29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia melalui Badan Hisab
Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan visibilitas hilal), dan
dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang memutuskan apakah pada malam tersebut
telah memasuki bulan (kalender) baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi
30 hari. Prinsip Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis
Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga
terdapat kriteria lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang
berbeda.
Rukyat Global
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan
(kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri
melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah
memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya.
Perbedaan Kriteria
Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang
berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat
adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya
Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang
Sabtu (4 April) sesuai
hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan
pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan
pendapat pada tahun 1993 dan 1994.Pada
tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam kalender resmi Indonesia
sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Tetapi sidang isbat
memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Sementara itu,
Muhammadiyah tetap pada pendirian semula awal Syawal jatuh pada 30 Agustus
2011. Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan
tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan
kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu
perbedaan.
Referensi
§ Moon Calculator Program
& Documentation, oleh Dr. Monzur Ahmed, 2001
§ Wikipeda.com