BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN POLITIK MAHMUD AHMADINEJAD
M. Siddik Purnomo
A. Biografi dan Karir Politik Mahmud Ahmadinejad
Mahmud Ahmadinejad, begitu nama lengkap Presiden Iran keenam ini. Dia lahir di Aradan pada tanggal 28 Oktober 1956. Dia terpilih menjadi presiden pada 24 Juni 2005 melalui pemilihan umum yang demokratis. Dia didukung oleh sebagian besar rakyat Iran yang menginginkan sebuah perubahan.
Sebelum terpilih sebagai presiden, Ahmadinejad menjabat sebagai walikota Teheran, terhitung mulai 3 Mei 2003. Keberhasilannya dalam menjalankan roda pemerintahan di Teheran kian melambungkan namanya. Terlebih setelah namanya terpilih sebagai salah satu nominasi finalis untuk pemilihan “Word Mayor 2005” (walikota terbaik sedunia). Selain dikenal sebagai seorang pengajar bergelar doktor, Ahmadinejad dikenal konservatif dalam beragama. Pandangan-pandangannya yang konservatif, menjadikannya dibenci sekaligus dipuja lawan maupun kawan politiknya.
Bagi Barat dan AS, Ahmadinejad merupakan seorang pembangkang yang harus segera dilengserkan dan singkirkan dari kursi kekuasaan. Namun bagi rakyat Iran, negara-negara muslim, Kuba, Venezuela, Bolivia, dan negara-ngara Amerika Latin lainnya, Ahmadinejad merupakan seorang revolusiner sekaligus sahabat yang harus disambut kehadirannya dalam percaturan politik dunia. Sikapnya yang kritis dan tegas terhadap Barat dan AS, menjadikannya bagian dari “poros setan” versi AS, yaitu poros penentang dan menolak tunduk akan aturan dan hegemoni negara adidaya AS.
1. Kehidupan Pribadi dan Pendidikan Mahmud Ahmadinejad
Ahmadinejad lahir di Aradan, kawasan udik sekitar 120 kilometer arah tenggara Teheran. Dia anak keempat dari tujuh bersaudara. Orangtuanya, Ahmad Saborjihan, memberinya nama Mahmud Saborjihan saat lahir. Dia menggunakan nama itu hingga sebuah keputusan besar mendorong keluarganya hijrah ke Teheran pada paruh kedua tahun 50-an.
Mahmud Saborjihan sendiri sepenuhnya merujuk pada bahasa Persia. Mahmud berakar dari kata Muhammad; dia yang terpuji. Sementara Saborjihan berarti pelukis karpet—pekerjaan yang digeluti sebagian besar masyarakat Aradan.
Di Aradan, keluarga Saborjihan dulunya tinggal disebuah rumah sederhana. Dengan membuka toko kelontong, ayah Ahmadinejad berupaya menafkahi ketujuh orang anaknya. Tapi apalah daya, pekerjaan ini sukar menghidupkan perapian dapur rumah mereka. Kemudian dia beralih profesi sebagai tukang pangkas rambut. Tapi, pekerjaan ini pun sukar diharapkan. Maka dari itu, pada akhir era 50-an, keluarga Saborjihan mengambil sebuah keputusan besar: meninggalkan Aradan dan hijrah ke Teheran, kota yang diharapkan dapat memberikan kehidupan yang lebih baik dan layak bagi keluarga Ahmadinejad.
Di Teheran, keluarga Saborjihan mengontrak rumah di kawasan pekerja di timur kota. Di sini, ayah Ahmadinejad tak bisa meneruskan profesi lamanya di Aradan. Dia merintis dan menggantungkan hidup keluarganya dari bekerja sebagai seorang pandai besi. Di Teheran kala itu, tukang besi adalah profesi masyarakat kelas keempat, satu strata dengan pekerja pabrik, industri kayu, pertambangan, kereta api, dok kapal, supir truk, penjaga toko dan lain sebagainya. Tak ada statistik berapa jumlah mereka kala itu, tapi seorang sosiolog memperkirakan mereka mencapai 2,4 juta jiwa dan terus membengkak seiring arus masuk imigran dari daerah. Yang terakhir ini menjadikan pojok-pojok Teheran semakin sesak dan kumuh. Di antara mereka yang tak punya keahlian, sebagian memilih menjadi buruh bangunan. Dan jika tak ada pekerjaan bangunan, banyak di antara mereka yang beralih profesi sebagai penjaja makanan, pedagang asongan, dan tukang cuci. Yang terparah di antara mereka bahkan harus menerima kenyataan pahit hidup di kota: mengemis demi sesuap nasi. Menjelang Revolusi 1979, masyarakat yang terpinggirkan ini menjadi bahan bakar utama revolusi dengan sebutan “mustad’afin” yang ternafikan hak-haknya. Pada 1940, mereka hanya 16% dari total tenaga kerja. Pada medio 1970, mereka menguasai 34% dari angkatan kerja.
Bagi jutaan imigran baru seperti keluarga Saborjihan, Teheran layaknya sarden. Mereka harus menerima kenyataan hidup berdesak-desakan. Namun, dipemukiman sesak Teharen dan kota-kota besar lainnya di Iran, agama bisa menjadi perekat komunitas dan solidaritas sosial-sesuatu yang mereka dambakan sejak meninggalkan daerah. Jadilah mereka mengarahkan kehidupannya di seputar masjid dan menerima bimbingan sosial kaum mullah. Agama menjadi pengganti komunitas mereka yang musnah. Modernisasi justru membatu memperkuat komunitas tradisional. Dan keluarga Saborjihan terimbas gerakan itu. Mungkin ini pula yang melatari Ahmad mengubah nama anaknya, Mahmud Saborjihan, menjadi Mahmud Ahmadinejad. Nama tersebut mengisyaratkan nilai dan prinsip-prinsip religiuisme, serta semangat dalam mencari taraf hidup yang jauh lebih baik.
Seiring perjalanan waktu, Ahmadinejad kecil mulai tumbuh menjadi anak yang akrab dengan nilai-nilai Islami. Pola pikir konservatif dan fundamentalisnya, memang sudah mengakar sejak kecil. Jenjang demi jenjang pendidikan ia tempuh di Teheran. Di bawah himpitan ekonomi, Ahmadinejad tertempa untuk memiliki semangat dan jiwa pejuang hidup. Sampai akhirnya, ia memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Univeritas Antarbangsa. Selanjutnya Ahmadinejad belajar di Iran University of Science and Technology (IUST), dan lulus sebagai sarjana di bidang Tehnik Sipil di universitas tersebut pada tahun 1976 dengan hasil yang memuaskan. Karena merasa ‘haus’ akan pendidikan, ia kemudian melanjutkan sekolah di universitas yang sama, pada program Master of Science di bidang Teknik Sipil tahun 1984. Di tahun itu juga, ia aktif dalam Islamic Revolutionary Guards Corps, sebuah organisasi yang mulai menempa dirinya menjadi seorang revolusioner besar. Tahun 1987, Ahmadinejad menerima gelar prestisius Ph. D atas Rekayasa dan Perencanaan Transportasi dan Lalu Lintas. Setelah lulus, ia kemudian dipercaya menjadi salah satu pengajar di Fakultas Teknik Sipil di IUST. Ia juga banyak menulis tentang seputar masalah transportasi, bahkan ide dan pemikirannya banyak dibutuhkan para pakar transportasi dalam mengatasi problematika lalu lintas kota Teheran saat itu. Dengan status sosial dan pendidikan demikian, paling tidak Ahmadinejad dapat mengamini doa yang terselip dalam makna namanya tersebut.
2. Awal Karir Politik
Di kancah politik Iran, nama Ahmadinejad baru dikenal cukup luas ketika ia dipilih sebagai walikota Teheran pada 3 Mei 2003. Namun ia jelas bukan seorang politisi “karbitan”. Karier politiknya dimulai ketika pada masa-masa awal kemenangan Revolusi Islam Iran (1979), ia aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan yang mendukung perjuangan Khomeini. Ia antara lain tercatat sebagai pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (Anjoman e Eslami ye Danesyjuyan). Sejak Agustus 1979, ia beberapa kali berkunjung dan ikut dalam rapat-rapat bersama Imam Khomeini sebagai wakil dari IUST. Kelanjutan pertemuan itu dengan Ayatullah Ali Khamenei, salah seorang ulama kepercayaan Khomeini, berujung pada terbentuknya cikal-bakal Dewan Pemantapan Persatuan (Daftar-e Tahkim-e Vahdat), organisasi kemahasiswaan ekstra-kampus yang belakangan banyak berperan dalam membangkitkan semangat kalangan muda untuk mengangkat senjata mempertahankan pondasi revolusi Islam Iran.
Ketika berkobar perang Iran-Irak (1980-1988), Ahmadinejad sempat bergabung dalam milisi Bassij dan kemudian Pasdaran (Pasukan Garda Revolusi Islam Iran). Ia juga pernah menjadi komandan Pasdaran dan berhasil menyusup ke wilayah Kirkuk (Irak). Setelah perang berakhir, karier politiknya semakin menanjak. Ia dipercaya menduduki kursi wakil Gubernur di propinsi Maku, kemudian menjadi Gubernur di Khoy serta menjadi penasehat Menteri Budaya dan Bimbingan Islam, dan kemudian menjadi gubernur bagi propinsi Ardabil yang baru saja terbentuk dari tahun 1993 hingga Oktober 1997. Tapi namanya baru mulai dikenal cukup luas ketika ia terpilih menjadi Walikota Teheran.
Sebagai Walikota Teheran, nama Ahmadinejad terpilih sebagai salah satu nominasi dari 65 finalis untuk pemilihan “Word Mayor 2005” (walikota terbaik sedunia 2005), yang diadakan oleh sebuah lembaga kajian di Inggris. Sebagai walikota, ia dinilai berhasil menata Teheran sehingga ibukota Iran itu menjadi salah satu kota yang paling bersih dan teratur di kawasan Timur Tengah. Namun yang lebih penting, ia sangat dekat dengan golongan rakyat kelas bawah. Sekali dalam sepekan, ia senantiasa menyempatkan diri untuk berbagi kepada masyarakat miskin Iran, walau hanya dengan semangkuk sup. Dan tak jarang juga ia mendatangi warga Teheran yang masih menganggur dan lalu memberi mereka pekerjaan, sekalipun hanya sebagai penjual barang asongan atau tukang sapu jalanan.
Ia sering mengatakan, “tak ada bedanya antara jabatan walikota atau bahkan presiden, dengan tukang sapu jalanan, karena tugas utama mereka sama, yaitu melayani rakyat banyak.” Karenanya ia selalu menyebut dirinya sebagai Mardomyar (“sahabat rakyat”). Dalam kampanyenya ia juga mengangkat isu-isu yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat banyak, seperti pemberantasan korupsi, pengangguran dan kemiskinan, yang cenderung makin meningkat. Namun, Ahmadinejad tidak hanya beretorika. Ia benar-benar mempraktikkan gaya hidup sederhana, bahkan cenderung puritan. Setelah dua tahun menjadi pejabat paling tinggi di ibukota Teheran, misalnya, ia tetap tinggal di sebuah rumah kontrakan, serta menyetir sendiri mobilnya yang buatan tahun 1970-an itu.
Pola pemerintahan Ahmadinejad yang merakyat ini sempat membawanya ke medan persateruan dengan Presiden Iran kala itu, Mohammad Khatami. Persateruan ini terkait telatnya Khatami menghadiri sebuah acara di Teheran. Di depan khalayak ramai, Khatami mengatakan keterlambatannya itu dilatari kemacetan di salah satu ruas jalan Teheran. Ahmadinejad belakangan mengomentari itu. “Untunglah” katanya, “jika kita punya presiden yang baru kali ini mengalami problematika seharian rakyat. Komentar ini tak pelak memperenggang hubungan antara keduanya dan berujung pada keputusan Khatami mencegah Ahmadinejad hadir di sidang kabinet.
Setelah dua tahun menjabat walikota Teheran dan menjadi finalis walikota Dunia (World Mayor) tahun 2005, kesibukan Ahmadinejad kian bertambah. Kali ini, perhatiaannya tersita pada sesuatu yang lebih besar dari jabatannya sebagai walikota, yaitu menjadi orang nomor satu di Iran.
Dalam kampanye presidennya, Ahmadinejad menggunakan moto “Itu mungkin dan bisa kita lakukan!” (Misyavad va Mitavinim). Dia mengambil pendekatan populis, dengan menekankan pada kehidupan yang sangat modis, dan membandingkan dirinya dengan Mohammad Ali Rajai, Presiden Iran kedua – sebuah klaim yang memunculkan keberatan dari keluarga Rajai. Ahmadinejad mengklaim bahwa dia berencana untuk menciptakan sebuah “pemerintahan teladan bagi seluruh dunia” di Iran. Dia sendiri menggambarkan dirinya sebagai orang yang “prinsipil”; yaitu, bertindak secara politis berdasarkan prinsip-prinsip Islam dan revolusioner. Salah satu tujuannya adalah “meletakkan pendapatan minyak demi skema rakyat”, mengacu pada keuntungan minyak Iran yang didistribusikan kepada rakyat miskin.
Ahmadinejad datang dari golongan pemuda yang memiliki semangat juang besar, jiwa revolusioner, serta keinginan mengabdi pada rakyat. Pada saat kedatangannya ke tengah publik Iran, Ahmadinejad membuat satu gebrakan besar yang mencengangkan setiap orang di sudut-sudut negeri Iran. Ia menang dalam pemilihan presiden, dengan jumlah perolehan suara 17.248.728 suara (61,69 persen suara). Rival terberat Ahmadinejad saat itu adalah Sayyid Hashemi Rafsanjani, peteran politikus berkaliber besar yang sudah melanglang buana di arus perpolitikan nasional Iran.
Ajang pemilihan presiden tersebut, merupakan arena besar bagi Ahmadinejad. Sebab berlangsung dalam dua putaran. Pada putaran pertama, ada tujuh kandidat yang bersaing memperebutkan kursi kepresidenan Iran ke-6 tersebut. Mereka adalah mantan presiden Hashemi Rafsanjani, Mantan Kepala Kepolisian Iran Muhammad Baqir Qalyabaf, mantan Direktur Radio dan Televisi Ali Larijani, Mantan Ketua Parlemen Mehdi Karoubi, Mushthafa Mu’in (mantan Menteri Pendidikan Tinggi masa pemerintahan Muhammad Khatami), Muhsin Mahar Ali Zadah (mantan Wakil Presiden urusan olahraga masa pemerintahan Khatami), dan Walikota Teheran, Mahmud Ahmadinejad. Putaran pertama tersebut, menyisakan dua kandidat besar yang bakal betarung di pemilihan putaran kedua selanjutnya. Yaitu, Ahmadinejad dan Rafsanjani.
Pemilu putaran kedua ini memberikan kemenangan yang mengejutkan kepada Ahmadinejad atas Rafsanjani – yang memang telah diperkirakan para pengamat lokal dan asing dari beberapa hasil jejak pendapat yang dilakukan sebelum pemilu. Sungguh pertarungan dua kandidat besar, yang saat itu oleh para pengamat politik lokal diperkirakan akan melahirkan duel akbar. Terbukti, Ahmadinejad akhirnya memenagkan pertarungan dengan selisih suara perolehan kurang dari 2 persen atas Rafsanjani. Dengan demikian, Ahmadinejad menjadi presiden pertama Iran yang berasal dari luar kalangan ulama, sejak 24 tahun berdirinya republik tersebut.
Kemenangan Ahmadinejad memang bukan hisapan jempol belaka. Sejak awal, sudah banyak rakyat Iran yang menaruh perhatian dan simpati terhadap dirinya. Terutama bagi warga Teheran, kota yang ia pimpin sebelum terpilih menjadi presiden-dengan segala pembenahan dan perubahan, baik dibidang sosial, ekonomi, khususnya budaya. Selama menjabat sebagai Walikota Teheran, Ahmadinejad membuktikan bahwa dirinya memang seorang pelayan rakyat. Dia tidak hanya bicara soal program “kosongan” tapi juga bertindak secara nyata dalam membangun dan meniti setiap kemajuan rakyatnya.
3. Corak Pemikiran Politik Mahmud Ahmadinejad
Ahmadinejad adalah presiden Iran yang paling kontroversial sejak Revolusi Islam 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini. Ia adalah presiden yang tidak berasal dari kaum mullah yang selama puluhan tahun telah mendominasi hampir semua pos kekuasaan di Iran. Mereka telah menjadi status-quo yang sangat dominan di Iran.
Dia juga bukan dari kalangan elit yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. Dia tidak memiliki track record sebagai politisi dengan sebagian besar sumber daya untuk meraih pucuk kekuasaan. Dia hanyalah seorang revolusioner yang berhasil merebut hati masyarakat di tingkat akar rumput. Satu-satunya modal politiknya adalah esketismenya yang untuk standar rakyat Iran sekalipun, sudah cukup mencolok. Watak esketis itu terus dia pertahankan selama menjabat sebagai gubernur Ardabil periode 1993-1997 dan walikota Teheran periode 2003. Rumah dinas walikota Teheran yang sedemikian mewah itupun dia hibahkan sebagai museum, mengingatkan kita pada apa yang pernah dilakukan oleh Imam Khomeini 27 tahun silam terhadap semua istana Shah Iran.
Dia adalah seorang revolusioner sejati sebagaimana halnya Imam Khomeini, tentunya dengan kedahsyatan aura yang sangat berbeda. Ahmadinejad terlihat jauh lebih “awam” dan “normal” dibandingkan dengan mentor spiritualnya yang sangat ‘khas” dan “mystique” itu. Ahmadinejad menjadi tokoh revolusioner yang sangat mudah dijangkau, dipahami, dan diteladani. Namun demikian, tidak syak lagi, dia adalah seorang revolusioner dalam pengertian bahwa di puncak kekuasaan politik duniawinya, dalam tingkat yang sama, dia juga senantiasa berada dalam puncak perlawanan batinnya terhadap kekuasaan yang digenggamnya.
Akibatnya, sebagaimana mentornya, dia sama sekali tidak tampak terpengaruh oleh kekuasaan yang diraihnya. Bahkan, kekuasaan itu seolah-olah tidak menyentuh karakter-karakter terdalamnya. Dan Khomeini memang contoh per excellence bagi revolusioner dalam pengertian ini. Seorang revolusioner dalam pengertian ini seperti memiliki “kepribadian ganda”: di satu sisi, dia bisa bertarung keras untuk merebut dan mengelola kekuasaan, dan di sisi lain dia bertarung sama kerasnya untuk menolak segenap pengaruh kekuasaan terhadap aspek batinnya.
Selain Imam Khomeini, sosok yang paling berpengaruh dalam membentuk dan mewarnai karakter dan pola pikir Ahmadinejad adalah Ayatullah Mohammad Taghi Mesbah Yazdi. Ayatullah Yazdi, ulama senior dari Qom merupakan mentor ideologis dan guru spiritual Ahmadinejad. Ia mengasah dan memperdalam pemahaman spiritualnya dari salah seorang tokoh spiritual Iran terkemuka ini. Selain sebagai pendiri mazhab pemikiran Haghani di Iran, Ayatullah Yazdi juga anggota Dewan Pengawas Presiden Iran. Ia bersama tim kampanyenya berperan serta dalam menghantarkan Ahmadinejad menuju kursi kepresidenan dalam pemilihan presiden 2005.
Di bawah bimbingan keduanya, Ahmadinejad terus mengasah dan memperdalam pemahaman spiritualnya. Namun, di sisi lain, Ahmadinejad juga seorang dosen yang bergelar doktor. Maka tak heran bila dalam diri Ahmadinejad terdapat spektrum karakter yang berwarna. Ia menyandang beberapa hal yang kontradiksi. Ia adalah seorang dosen yang bergelar doktor. Namun, ia juga seorang konsevatif yang fanatik dan terdidik di bawah bimbingan Imam Khomeini dan Mesbah Yazdi. Ia memadukan antara nilai-nilai klasik dan kontemporer. Ia menggabungkan pula antara keluwesan yang telah menjadi ciri khas diplomator Iran sepanjang sejarah. Namun, pada waktu yang sama ia nampak berkepribadian sangat tegas dan keras, khususnya pada urusan yang berhubungan dengan ideologi, kehormatan atau apa yang disebut dengan ‘Ego Iran’. Dalam dirinya tertanam nilai-nilai peradaban yang telah ada sejak 5.000 tahun dan kebesaran bangsa yang jarang ada tandingannya. Karena itu, sikap keras kepala dan keberaniannya menentang kepada ketidakadilan negara-negara Barat khususnya AS merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki bangsa Iran yang diwariskan pada sosok Ahmadinejad.
Sosok lain yang turut andil dalam menentukan stabilitas kepemimpinan Ahmadinejad adalah adanya kecocokan pribadi antara Ahmadinejad dengan Pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei. Bahkan sebagian orang ada yang menyatakan bahwa Ahmadinejad adalah “Khamenei Junior”, atau bahkan disinyalir bahwa Khamenei sebenarnya dapat melihat masa mudanya pada diri Ahmadinejad. Dan yang jauh lebih penting lagi adalah refleksi kedekatan kedua pribadi ini yang muncul pada watak politik Ahmadinejad.
Dari sisi tertentu, watak politik Ahmadinejad sebagian besar seiring dengan yang dianut Sang Pemimpin Tertinggi. Suatu hal yang langsung membuat Ahmadinejad mendapat dukungan penuh dari Khamenei luar dan dalam. Tidak diragukan lagi, kesepahaman ini memberi pengaruh yang signifikan tidak hanya pada kebijakan dan posisi Ahmadinejad, namun juga terhadap reaksi dari fraksi-fraksi lain di dalam dan di luar negeri terhadap kebijakan politik Ahmadinejad yang dinilai kontroversial.
Di antara kebijakan politik Ahmadinejad yang berani dan kotroversial adalah menentang hubungan Iran-AS. Dalam pandangan revolusioner Ahmadinejad, negara seperti AS tidak perlu dijadikan sahabat bagi rakyat Iran. Karena, dalam pandangannya negara adidaya tersebut mustahil dapat memberikan kontribusi positif, atau kemajuan bagi rakyat Iran. Termasuk bagi masa depan bangsa Iran sendiri.
Menjalin hubungan dengan AS bukanlah sesuatu yang saat ini dibutuhkan oleh bangsa dan negara Iran. “Dulu AS bebas memutus hubungan dengan Iran, kini terserah Iran apakah akan menyambung hubungan dengan AS.” Saat ini, Kalian lah yang lebih membutuhkan kami daripada kami membutuhkan kalian, tegas Ahmadinejad.
Selain menentang hubungan Iran-AS, Ahmadinejad juga mengeluarkan pernyataan yang fenomenal. Ia menyangkal akan kebenaran sejarah terjadinya Holocaust. Bagi Ahmadinejad, Holocaust hanyalah sekedar mitos yang dikarang secara sistematis dan terorganisir oleh sejumlah pihak (barat), demi melindungi eksistensi dan kepentingan Yahudi – kaum Zionisme – dikalangan publik internasional.
Penentangan Ahmadinejad terhadap sejarah holocaust, sesunggunya terkait erat dengan alasan historis berdirinya negara Israel-Zionis. Lebih dari itu, juga berhubungan dengan konflik Palestina, yang hingga kini masih tetap berlanjut. Ahmadinejad mengatakan, “Peristiwa historis ini, jika memang suatu kenyataan, maka kita masih perlu mempertanyakan apakah rakyat Palestina harus menanggungnya atau tidak. Bagaimanapun, peristiwa itu terjadi di Eropa. Bangsa Palestina tidak punya peran di dalamnya. Mengapa orang-orang Palestina harus terus menanggung akibat suatu peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan mereka?”
Selanjutnya, program nuklir Iran adalah salah satu kebijakan politik Ahmadinejad yang mengundang reaksi dunia, terutama negara-negara Barat dan AS. Walau mendapat tentangan dan ancaman dari negara adidaya, Ahmadinejad tetap teguh mempertahankan program nuklir damainya. Karena nuklir Iran semata-mata diciptakan untuk mendukung proses percepatan pembangunan dan kemajuan bangsa Iran. Bukan untuk perang atau membuat senjata pemusnah masal seperti yang dituduhkan. Ahmadinejad mengatakan, “Kami anti-senjata nuklir, sebab senjata nuklir bertentangan dengan asas kemanusiaan. Yang menginginkan nuklir adalah politikus yang terbelakang pemikirannya!”. Pada konferensi Januari 2006 di Teheran ia juga mengatakan, “Sebuah bangsa yang mempunyai budaya, ligika, dan peradaban tidak butuh senjata nuklir. Negara-negara yang mencari senjata nuklir adalah mereka yang ingin memecahkan semua masalah dengan menggunakan kekuatan. Negara kita tidak butuh senjata seperti itu.”
Itulah beberapa kebijakan politik Ahmadinejad yang berani dan kontroverial. Sebagai sosok yang berpegang teguh pada Revolusi Islam 1979, ia tak pernah gentar pada tentangan dan ancaman negara-negara Barat dan AS. Namun demikian, ia senantiasa membuka lebar-lebar pintu dialog dengan semua pihak guna mencapai satu titik temu dari permasalahan-permasalahan yang ada. “Kami senantiasa bersedia berdialog dengan seluruh negara dengan syarat saling menghormati.” Itulah yang dikatakan Ahmadinejad dalam dialog bersama civitas akademika Univeritas Columbia Amerika.
Maulana, Mahmoud Ahmadinejad; Singa Persia, hlm. 43; Labib (d.k.k), Ahmadinejad! David di Tengah Angkara, hlm. xiv-xv.