Dari Redaksi

Tuesday, 20 September 2011


 JURNAL ALIANSI VOL.3 NO.2 TAHUN 2011

Demokrasi merupakan suatu sistem politik yang dapat didefinisikan sebagai pemerintahan oleh rakyat. Jika sebuah negara diibaratkan sebagai kapal, maka secara teoritis dalam sebuah sistem demokrasi rakyat memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam menentukan berbagai macam kebijakan yang kemudian akan digunakan sebagai landasan bagaimana sebuah negara itu berlayar. Demokrasi yang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai sistem politik yang terbaik ternyata masih menjadi perdebatan khususnya jika melihat bagaimana demokrasi itu diterapkan pada konteks masyarakat kontemporer yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda mengikuti pertumbuhan dan perkembangan berbagai aspek dan dan dimensi baru dalam masyarakat tersebut.

Pemikiran Politik Islam Vs Pemikiran Islam Politik

Friday, 16 September 2011

Judul buku : Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi hingga Masa Kini
Penulis : Antony Black
Judul asli : The History of Islamic Political Thought: from the Prophet to the Present
Penerjemah : Abdullah Ali dan Mariana Arietyawati
Penerbit : Serambi , Jakarta
Cetakan : I, Juli 2006
Tebal : 698 halaman

Islam boleh jadi merupakan agama yang paling kaya dengan pemikiran politik. Antony Black dalam buku ini menjabarkan bahwa pemikiran politik Islam terentang mulai masalah etika politik, filsafat politik, agama, hukum, hingga tata negara. Black juga mengungkapkan bahwa pemikiran politik Islam dipengaruhi oleh pemikiran politik Plato, Aristoteles, dan Iran kuno.

Orientasi Studi Islam di Indonesia

Friday, 1 July 2011




Orientasi Studi Islam di Indonesia





Khamami Zada

Dosen STAINU Jakarta,

Koordinator Program Kajian dan Penelitian Lakpesdam NU

 



 

Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari semangat penyebaran Islam yang dilakukan secara intensif oleh para pendahulu dalam kerangka perpaduan antara konteks keindonesiaan dengan keislaman. Tak heran, jika pada awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional dalam bentuk halaqah-halaqah. Namun seiring dengan kemajuan zaman, modernisasi pendidikan Islam mulai tampak dengan diambilnya bentuk madrasah  [1] sebagai salah satu pendidikan Islam, selain pesantren. Semuanya ini dilakukan untuk memenuhi target atau tujuan pendidikan Islam yang berorientasi individual dan kemasyarakatan.

Secara umum, ada dua pandangan teoretis mengenai tujuan pendidikan Islam.  [2] Pandangan teoretis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan masyarakat yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun monarkis. Pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan menyesuaikan diri dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan hal ini, tujuan dan terget pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan untuk memperkuat kepercayaan, sikap ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian yang sudah diterima dan sangat berguna bagi masyarakat. Konsekuensinya, karena kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan keahlian yang bermanfaat dan diterima oleh sebuah masyarakat itu senantiasa berubah, mereka berpendapat bahwa pendidikan dalam masyarakat tersebut harus bisa mempersiapkan peserta didiknya untuk menghadapi segala bentuk perubahan yang ada.  [3]

MAHMUD AHMADINEJAD

Thursday, 30 June 2011


BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN POLITIK MAHMUD AHMADINEJAD


M. Siddik Purnomo




A.   Biografi dan Karir Politik Mahmud Ahmadinejad

Mahmud Ahmadinejad, begitu nama lengkap Presiden Iran keenam ini.  Dia lahir di Aradan pada tanggal 28 Oktober 1956. Dia terpilih menjadi presiden pada 24 Juni 2005 melalui pemilihan umum yang demokratis. Dia didukung oleh sebagian besar rakyat Iran yang menginginkan sebuah perubahan.

Sebelum terpilih sebagai presiden, Ahmadinejad menjabat sebagai walikota Teheran, terhitung mulai 3 Mei 2003. Keberhasilannya dalam menjalankan roda pemerintahan di Teheran kian melambungkan namanya. Terlebih setelah namanya terpilih sebagai salah satu nominasi finalis untuk pemilihan “Word Mayor 2005” (walikota terbaik sedunia). Selain dikenal sebagai seorang pengajar bergelar doktor, Ahmadinejad dikenal konservatif dalam beragama. Pandangan-pandangannya yang konservatif, menjadikannya dibenci sekaligus dipuja lawan maupun kawan politiknya.

Bagi Barat dan AS, Ahmadinejad merupakan seorang pembangkang yang harus segera dilengserkan dan singkirkan dari kursi kekuasaan. Namun bagi rakyat Iran, negara-negara muslim, Kuba, Venezuela, Bolivia, dan negara-ngara Amerika Latin lainnya, Ahmadinejad merupakan seorang revolusiner sekaligus sahabat yang harus disambut kehadirannya dalam percaturan politik dunia. Sikapnya yang kritis dan tegas terhadap Barat dan AS, menjadikannya bagian dari “poros setan” versi AS, yaitu poros penentang dan menolak tunduk akan aturan dan hegemoni negara adidaya AS.[1]



1.    Kehidupan Pribadi dan Pendidikan Mahmud Ahmadinejad

Ahmadinejad lahir di Aradan, kawasan udik sekitar 120 kilometer arah tenggara Teheran. Dia anak keempat dari tujuh bersaudara. Orangtuanya, Ahmad Saborjihan, memberinya nama Mahmud Saborjihan saat lahir. Dia menggunakan nama itu hingga sebuah keputusan besar mendorong keluarganya hijrah ke Teheran pada paruh kedua tahun 50-an.

Mahmud Saborjihan sendiri sepenuhnya merujuk pada bahasa Persia. Mahmud berakar dari kata Muhammad; dia yang terpuji. Sementara Saborjihan berarti pelukis karpet—pekerjaan yang digeluti sebagian besar masyarakat Aradan.

Di Aradan, keluarga Saborjihan dulunya tinggal disebuah rumah sederhana.[2] Dengan membuka toko kelontong, ayah Ahmadinejad berupaya menafkahi ketujuh orang anaknya. Tapi apalah daya, pekerjaan ini sukar menghidupkan perapian dapur rumah mereka. Kemudian dia beralih profesi sebagai tukang pangkas rambut. Tapi, pekerjaan ini pun sukar diharapkan. Maka dari itu, pada akhir era 50-an, keluarga Saborjihan mengambil sebuah keputusan besar: meninggalkan Aradan dan hijrah ke Teheran, kota yang diharapkan dapat memberikan kehidupan yang lebih baik dan layak bagi keluarga Ahmadinejad.[3]

Di Teheran, keluarga Saborjihan mengontrak rumah di kawasan pekerja di timur kota. Di sini, ayah Ahmadinejad tak bisa meneruskan profesi lamanya di Aradan. Dia merintis dan menggantungkan hidup keluarganya dari bekerja sebagai seorang pandai besi. Di Teheran kala itu, tukang besi adalah profesi masyarakat kelas keempat, satu strata dengan pekerja pabrik, industri kayu, pertambangan, kereta api, dok kapal, supir truk, penjaga toko dan lain sebagainya. Tak ada statistik berapa jumlah mereka kala itu, tapi seorang sosiolog memperkirakan mereka mencapai 2,4 juta jiwa dan terus membengkak seiring arus masuk imigran dari daerah. Yang terakhir ini menjadikan pojok-pojok Teheran semakin sesak dan kumuh. Di antara mereka yang tak punya keahlian, sebagian memilih menjadi buruh bangunan. Dan jika tak ada pekerjaan bangunan, banyak di antara mereka yang beralih profesi sebagai penjaja makanan, pedagang asongan, dan tukang cuci. Yang terparah di antara mereka bahkan harus menerima kenyataan pahit hidup di kota: mengemis demi sesuap nasi. Menjelang Revolusi 1979, masyarakat yang terpinggirkan ini menjadi bahan bakar utama revolusi dengan sebutan “mustad’afin”[4] yang ternafikan hak-haknya. Pada 1940, mereka hanya 16% dari total tenaga kerja. Pada medio 1970, mereka menguasai 34% dari angkatan kerja.

Bagi jutaan imigran baru seperti keluarga Saborjihan, Teheran layaknya sarden. Mereka harus menerima kenyataan hidup berdesak-desakan. Namun, dipemukiman sesak Teharen dan kota-kota besar lainnya di Iran, agama bisa menjadi perekat komunitas dan solidaritas sosial-sesuatu yang mereka dambakan sejak meninggalkan daerah. Jadilah mereka mengarahkan kehidupannya di seputar masjid dan menerima bimbingan sosial kaum mullah. Agama menjadi pengganti komunitas mereka yang musnah. Modernisasi justru membatu memperkuat komunitas tradisional. Dan keluarga Saborjihan terimbas gerakan itu. Mungkin ini pula yang melatari Ahmad mengubah nama anaknya, Mahmud Saborjihan, menjadi Mahmud Ahmadinejad.[5] Nama tersebut mengisyaratkan nilai dan prinsip-prinsip religiuisme, serta semangat dalam mencari taraf hidup yang jauh lebih baik.

Seiring perjalanan waktu, Ahmadinejad kecil mulai tumbuh menjadi anak yang akrab dengan nilai-nilai Islami. Pola pikir konservatif dan fundamentalisnya, memang sudah mengakar sejak kecil. Jenjang demi jenjang pendidikan ia tempuh di Teheran. Di bawah himpitan ekonomi, Ahmadinejad tertempa untuk memiliki semangat dan jiwa pejuang hidup. Sampai akhirnya, ia memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Univeritas Antarbangsa. Selanjutnya Ahmadinejad belajar di Iran University of Science and Technology (IUST), dan lulus sebagai sarjana di bidang Tehnik Sipil di universitas tersebut pada tahun 1976 dengan hasil yang memuaskan. Karena merasa ‘haus’ akan pendidikan, ia kemudian melanjutkan sekolah di universitas yang sama, pada program Master of Science di bidang Teknik Sipil tahun 1984. Di tahun itu juga, ia aktif dalam Islamic Revolutionary Guards Corps, sebuah organisasi yang mulai menempa dirinya menjadi seorang revolusioner besar. Tahun 1987, Ahmadinejad menerima gelar prestisius Ph. D atas Rekayasa dan Perencanaan Transportasi dan Lalu Lintas. Setelah lulus, ia kemudian dipercaya menjadi salah satu pengajar di Fakultas Teknik Sipil di IUST. Ia juga banyak menulis tentang seputar masalah transportasi, bahkan ide dan pemikirannya banyak dibutuhkan para pakar transportasi dalam mengatasi problematika lalu lintas kota Teheran saat itu. Dengan status sosial dan pendidikan demikian, paling tidak Ahmadinejad dapat mengamini doa yang terselip dalam makna namanya tersebut.[6]



2.    Awal Karir Politik

Di kancah politik Iran, nama Ahmadinejad baru dikenal cukup luas ketika ia dipilih sebagai walikota Teheran pada 3 Mei 2003. Namun ia jelas bukan seorang politisi “karbitan”. Karier politiknya dimulai ketika pada masa-masa awal kemenangan Revolusi Islam Iran (1979), ia aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan yang mendukung perjuangan Khomeini. Ia antara lain tercatat sebagai pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (Anjoman e Eslami ye Danesyjuyan). Sejak Agustus 1979, ia beberapa kali berkunjung dan ikut dalam rapat-rapat bersama Imam Khomeini sebagai wakil dari IUST. Kelanjutan pertemuan itu dengan Ayatullah Ali Khamenei, salah seorang ulama kepercayaan Khomeini, berujung pada terbentuknya cikal-bakal Dewan Pemantapan Persatuan (Daftar-e Tahkim-e Vahdat), organisasi kemahasiswaan ekstra-kampus yang belakangan banyak berperan dalam membangkitkan semangat kalangan muda untuk mengangkat senjata mempertahankan pondasi revolusi Islam Iran.[7]

Ketika berkobar perang Iran-Irak (1980-1988), Ahmadinejad sempat bergabung dalam milisi Bassij dan kemudian Pasdaran (Pasukan Garda Revolusi Islam Iran). Ia juga pernah menjadi komandan Pasdaran dan berhasil menyusup ke wilayah Kirkuk (Irak). Setelah perang berakhir, karier politiknya semakin menanjak. Ia dipercaya menduduki kursi wakil Gubernur di propinsi Maku, kemudian menjadi Gubernur di Khoy serta menjadi penasehat Menteri Budaya dan Bimbingan Islam, dan kemudian menjadi gubernur bagi propinsi Ardabil yang baru saja terbentuk dari tahun 1993 hingga Oktober 1997. Tapi namanya baru mulai dikenal cukup luas ketika ia terpilih menjadi Walikota Teheran.[8]

Sebagai Walikota Teheran, nama Ahmadinejad terpilih sebagai salah satu nominasi dari 65 finalis untuk pemilihan “Word Mayor 2005” (walikota terbaik sedunia 2005), yang diadakan oleh sebuah lembaga kajian di Inggris. Sebagai walikota, ia dinilai berhasil menata Teheran sehingga ibukota Iran itu menjadi salah satu kota yang paling bersih dan teratur di kawasan Timur Tengah. Namun yang lebih penting, ia sangat dekat dengan golongan rakyat kelas bawah. Sekali dalam sepekan, ia senantiasa menyempatkan diri untuk berbagi kepada masyarakat miskin Iran, walau hanya dengan semangkuk sup.[9] Dan tak jarang juga ia mendatangi warga Teheran yang masih menganggur dan lalu memberi mereka pekerjaan, sekalipun hanya sebagai penjual barang asongan atau tukang sapu jalanan.

Ia sering mengatakan, “tak ada bedanya antara jabatan walikota atau bahkan presiden, dengan tukang sapu jalanan, karena tugas utama mereka sama, yaitu melayani rakyat banyak.” Karenanya ia selalu menyebut dirinya sebagai Mardomyar (“sahabat rakyat”). Dalam kampanyenya ia juga mengangkat isu-isu yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat banyak, seperti pemberantasan korupsi, pengangguran dan kemiskinan, yang cenderung makin meningkat. Namun, Ahmadinejad tidak hanya beretorika. Ia benar-benar mempraktikkan gaya hidup sederhana, bahkan cenderung puritan. Setelah dua tahun menjadi pejabat paling tinggi di ibukota Teheran, misalnya, ia tetap tinggal di sebuah rumah kontrakan, serta menyetir sendiri mobilnya yang buatan tahun 1970-an itu. [10]

Pola pemerintahan Ahmadinejad yang merakyat ini sempat membawanya ke medan persateruan dengan Presiden Iran kala itu, Mohammad Khatami. Persateruan ini terkait telatnya Khatami menghadiri sebuah acara di Teheran. Di depan khalayak ramai, Khatami mengatakan keterlambatannya itu dilatari kemacetan di salah satu ruas jalan Teheran. Ahmadinejad belakangan mengomentari itu. “Untunglah” katanya, “jika kita punya presiden yang baru kali ini mengalami problematika seharian rakyat. Komentar ini tak pelak memperenggang hubungan antara keduanya dan berujung pada keputusan Khatami mencegah Ahmadinejad hadir di sidang kabinet.[11]

Setelah dua tahun menjabat walikota Teheran dan menjadi finalis walikota Dunia (World Mayor) tahun 2005, kesibukan Ahmadinejad kian bertambah. Kali ini, perhatiaannya tersita pada sesuatu yang lebih besar dari jabatannya sebagai walikota, yaitu menjadi orang nomor satu di Iran.

Dalam kampanye presidennya, Ahmadinejad menggunakan moto “Itu mungkin dan bisa kita lakukan!” (Misyavad va Mitavinim).[12] Dia mengambil pendekatan populis, dengan menekankan pada kehidupan yang sangat modis, dan membandingkan dirinya dengan Mohammad Ali Rajai, Presiden Iran kedua – sebuah klaim yang memunculkan keberatan dari keluarga Rajai. Ahmadinejad mengklaim bahwa dia berencana untuk menciptakan sebuah “pemerintahan teladan bagi seluruh dunia” di Iran. Dia sendiri menggambarkan dirinya sebagai orang yang “prinsipil”; yaitu, bertindak secara politis berdasarkan prinsip-prinsip Islam dan revolusioner. Salah satu tujuannya adalah “meletakkan pendapatan minyak demi skema rakyat”, mengacu pada keuntungan minyak Iran yang didistribusikan kepada rakyat miskin.[13]

Ahmadinejad datang dari golongan pemuda yang memiliki semangat juang besar, jiwa revolusioner, serta keinginan mengabdi pada rakyat. Pada saat kedatangannya ke tengah publik Iran, Ahmadinejad membuat satu gebrakan besar yang mencengangkan setiap orang di sudut-sudut negeri Iran. Ia menang dalam pemilihan presiden, dengan jumlah perolehan suara 17.248.728 suara (61,69 persen suara). Rival terberat Ahmadinejad saat itu adalah Sayyid Hashemi Rafsanjani, peteran politikus berkaliber besar yang sudah melanglang buana di arus perpolitikan nasional Iran.

Ajang pemilihan presiden tersebut, merupakan arena besar bagi Ahmadinejad. Sebab berlangsung dalam dua putaran. Pada putaran pertama, ada tujuh kandidat yang bersaing memperebutkan kursi kepresidenan Iran ke-6 tersebut. Mereka adalah mantan presiden Hashemi Rafsanjani, Mantan Kepala Kepolisian Iran Muhammad Baqir Qalyabaf, mantan Direktur Radio dan Televisi Ali Larijani, Mantan Ketua Parlemen Mehdi Karoubi, Mushthafa Mu’in (mantan Menteri Pendidikan Tinggi masa pemerintahan Muhammad Khatami), Muhsin Mahar Ali Zadah (mantan Wakil Presiden urusan olahraga masa pemerintahan Khatami), dan Walikota Teheran, Mahmud Ahmadinejad. Putaran pertama tersebut, menyisakan dua kandidat besar yang bakal betarung di pemilihan putaran kedua selanjutnya. Yaitu, Ahmadinejad dan Rafsanjani.

Pemilu putaran kedua ini memberikan kemenangan yang mengejutkan kepada Ahmadinejad atas Rafsanjani – yang memang telah diperkirakan para pengamat lokal dan asing dari beberapa hasil jejak pendapat yang dilakukan sebelum pemilu. Sungguh pertarungan dua kandidat besar, yang saat itu oleh para pengamat politik lokal diperkirakan akan melahirkan duel akbar. Terbukti, Ahmadinejad akhirnya memenagkan pertarungan dengan selisih suara perolehan kurang dari 2 persen atas Rafsanjani. Dengan demikian, Ahmadinejad menjadi presiden pertama Iran yang berasal dari luar kalangan ulama, sejak 24 tahun berdirinya republik tersebut.[14]

Kemenangan Ahmadinejad memang bukan hisapan jempol belaka. Sejak awal, sudah banyak rakyat Iran yang menaruh perhatian dan simpati terhadap dirinya. Terutama bagi warga Teheran, kota yang ia pimpin sebelum terpilih menjadi presiden-dengan segala pembenahan dan perubahan, baik dibidang sosial, ekonomi, khususnya budaya. Selama menjabat sebagai Walikota Teheran, Ahmadinejad membuktikan bahwa dirinya memang seorang pelayan rakyat. Dia tidak hanya bicara soal program “kosongan” tapi juga bertindak secara nyata dalam membangun dan meniti setiap kemajuan rakyatnya.[15]



3.    Corak Pemikiran Politik Mahmud Ahmadinejad

Ahmadinejad adalah presiden Iran yang paling kontroversial sejak Revolusi Islam 1979 di bawah pimpinan Ayatullah Khomeini. Ia adalah presiden yang tidak berasal dari kaum mullah yang selama puluhan tahun telah mendominasi hampir semua pos kekuasaan di Iran. Mereka telah menjadi status-quo yang sangat dominan di Iran.

Dia juga bukan dari kalangan elit yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. Dia tidak memiliki track record sebagai politisi dengan sebagian besar sumber daya untuk meraih pucuk kekuasaan. Dia hanyalah seorang revolusioner yang berhasil merebut hati masyarakat di tingkat akar rumput. Satu-satunya modal politiknya adalah esketismenya yang untuk standar rakyat Iran sekalipun, sudah cukup mencolok. Watak esketis itu terus dia pertahankan selama menjabat sebagai gubernur Ardabil periode 1993-1997 dan walikota Teheran periode 2003. Rumah dinas walikota Teheran yang sedemikian mewah itupun dia hibahkan sebagai museum, mengingatkan kita pada apa yang pernah dilakukan oleh Imam Khomeini 27 tahun silam terhadap semua istana Shah Iran.

Dia adalah seorang revolusioner sejati sebagaimana halnya Imam Khomeini, tentunya dengan kedahsyatan aura yang sangat berbeda. Ahmadinejad terlihat jauh lebih “awam” dan “normal” dibandingkan dengan mentor spiritualnya yang sangat ‘khas” dan “mystique” itu. Ahmadinejad menjadi tokoh revolusioner yang sangat mudah dijangkau, dipahami, dan diteladani. Namun demikian, tidak syak lagi, dia adalah seorang revolusioner dalam pengertian bahwa di puncak kekuasaan politik duniawinya, dalam tingkat yang sama, dia juga senantiasa berada dalam puncak perlawanan batinnya terhadap kekuasaan yang digenggamnya.

Akibatnya, sebagaimana mentornya, dia sama sekali tidak tampak terpengaruh oleh kekuasaan yang diraihnya. Bahkan, kekuasaan itu seolah-olah tidak menyentuh karakter-karakter terdalamnya. Dan Khomeini memang contoh per excellence bagi revolusioner dalam pengertian ini. Seorang revolusioner dalam pengertian ini seperti memiliki “kepribadian ganda”: di satu sisi, dia bisa bertarung keras untuk merebut dan mengelola kekuasaan, dan di sisi lain dia bertarung sama kerasnya untuk menolak segenap pengaruh kekuasaan terhadap aspek batinnya.[16]

Selain Imam Khomeini, sosok yang paling berpengaruh dalam membentuk dan mewarnai karakter dan pola pikir Ahmadinejad adalah Ayatullah Mohammad Taghi Mesbah Yazdi. Ayatullah Yazdi, ulama senior dari Qom merupakan mentor ideologis dan guru spiritual Ahmadinejad. Ia mengasah dan memperdalam pemahaman spiritualnya dari salah seorang tokoh spiritual Iran terkemuka ini. Selain sebagai pendiri mazhab pemikiran Haghani di Iran, Ayatullah Yazdi juga anggota Dewan Pengawas Presiden Iran. Ia bersama tim kampanyenya berperan serta dalam menghantarkan Ahmadinejad menuju kursi kepresidenan dalam pemilihan presiden 2005.[17]

Di bawah bimbingan keduanya, Ahmadinejad terus mengasah dan memperdalam pemahaman spiritualnya. Namun, di sisi lain, Ahmadinejad juga seorang dosen yang bergelar doktor. Maka tak heran bila dalam diri Ahmadinejad terdapat spektrum karakter yang berwarna. Ia menyandang beberapa hal yang kontradiksi. Ia adalah seorang dosen yang bergelar doktor. Namun, ia juga seorang konsevatif  yang fanatik dan terdidik di bawah bimbingan Imam Khomeini dan Mesbah Yazdi. Ia memadukan antara nilai-nilai klasik dan kontemporer. Ia menggabungkan pula antara keluwesan yang telah menjadi ciri khas diplomator Iran sepanjang sejarah. Namun, pada waktu yang sama ia nampak berkepribadian sangat tegas dan keras, khususnya pada urusan yang berhubungan dengan ideologi, kehormatan atau apa yang disebut dengan ‘Ego Iran’. Dalam dirinya tertanam nilai-nilai peradaban yang telah ada sejak 5.000 tahun dan kebesaran bangsa yang jarang ada tandingannya. Karena itu, sikap keras kepala dan keberaniannya menentang kepada ketidakadilan negara-negara Barat khususnya AS merupakan salah satu keistimewaan yang dimiliki bangsa Iran yang diwariskan pada sosok Ahmadinejad.[18]

Sosok lain yang turut andil dalam menentukan stabilitas kepemimpinan Ahmadinejad adalah adanya kecocokan pribadi antara Ahmadinejad dengan Pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei. Bahkan sebagian orang ada yang menyatakan bahwa Ahmadinejad  adalah “Khamenei Junior”, atau bahkan disinyalir bahwa Khamenei sebenarnya dapat melihat masa mudanya pada diri Ahmadinejad. Dan yang jauh lebih penting lagi adalah refleksi kedekatan kedua pribadi ini yang muncul pada watak politik Ahmadinejad.

 Dari sisi tertentu, watak politik Ahmadinejad sebagian besar seiring dengan yang dianut Sang Pemimpin Tertinggi. Suatu hal yang langsung membuat Ahmadinejad mendapat dukungan penuh dari Khamenei luar dan dalam. Tidak diragukan lagi, kesepahaman ini memberi pengaruh yang signifikan tidak hanya pada kebijakan dan posisi Ahmadinejad, namun juga terhadap reaksi dari fraksi-fraksi lain di dalam dan di luar negeri terhadap kebijakan politik Ahmadinejad yang dinilai kontroversial.[19]

Di antara kebijakan politik Ahmadinejad yang berani dan kotroversial adalah menentang hubungan Iran-AS. Dalam pandangan revolusioner Ahmadinejad, negara seperti AS tidak perlu dijadikan sahabat bagi rakyat Iran. Karena, dalam pandangannya negara adidaya tersebut mustahil dapat memberikan kontribusi positif, atau kemajuan bagi rakyat Iran. Termasuk bagi masa depan bangsa Iran sendiri.

Menjalin hubungan dengan AS bukanlah sesuatu yang saat ini dibutuhkan oleh bangsa dan negara Iran. “Dulu AS bebas memutus hubungan dengan Iran, kini terserah Iran apakah akan menyambung hubungan dengan AS.” Saat ini, Kalian lah yang lebih membutuhkan kami daripada kami membutuhkan kalian, tegas Ahmadinejad. [20]

Selain menentang hubungan Iran-AS, Ahmadinejad juga mengeluarkan pernyataan yang fenomenal. Ia menyangkal akan kebenaran sejarah terjadinya Holocaust. Bagi Ahmadinejad, Holocaust hanyalah sekedar mitos yang dikarang secara sistematis dan terorganisir oleh sejumlah pihak (barat), demi melindungi eksistensi dan kepentingan Yahudi – kaum Zionisme – dikalangan publik internasional.

Penentangan Ahmadinejad terhadap sejarah holocaust, sesunggunya terkait erat dengan alasan historis berdirinya negara Israel-Zionis. Lebih dari itu, juga berhubungan dengan konflik Palestina, yang hingga kini masih tetap berlanjut. Ahmadinejad mengatakan, “Peristiwa historis ini, jika memang suatu kenyataan, maka kita masih perlu mempertanyakan apakah rakyat Palestina harus menanggungnya atau tidak. Bagaimanapun, peristiwa itu terjadi di Eropa. Bangsa Palestina tidak punya peran di dalamnya. Mengapa orang-orang Palestina harus terus menanggung akibat suatu peristiwa yang tidak ada kaitannya dengan mereka?”[21] 

            Selanjutnya, program nuklir Iran adalah salah satu kebijakan politik Ahmadinejad yang mengundang reaksi dunia, terutama negara-negara Barat dan AS. Walau mendapat tentangan dan ancaman dari negara adidaya, Ahmadinejad tetap teguh mempertahankan program nuklir damainya. Karena nuklir Iran semata-mata diciptakan untuk mendukung proses percepatan pembangunan dan kemajuan bangsa Iran. Bukan untuk perang atau membuat senjata pemusnah masal seperti yang dituduhkan. Ahmadinejad mengatakan, “Kami anti-senjata nuklir, sebab senjata nuklir bertentangan dengan asas kemanusiaan. Yang menginginkan nuklir adalah politikus yang terbelakang pemikirannya!”.[22] Pada konferensi Januari 2006 di Teheran ia juga mengatakan, “Sebuah bangsa yang mempunyai budaya, ligika, dan peradaban tidak butuh senjata nuklir. Negara-negara yang mencari senjata nuklir adalah mereka yang ingin memecahkan semua masalah dengan menggunakan kekuatan. Negara kita tidak butuh senjata seperti itu.”[23]

 Itulah beberapa kebijakan politik Ahmadinejad yang berani dan kontroverial. Sebagai sosok yang berpegang teguh pada Revolusi Islam 1979, ia tak pernah gentar pada tentangan dan ancaman negara-negara Barat dan AS. Namun demikian, ia senantiasa membuka lebar-lebar pintu dialog dengan semua pihak guna mencapai satu titik temu dari permasalahan-permasalahan yang ada. “Kami senantiasa bersedia berdialog dengan seluruh negara dengan syarat saling menghormati.” [24] Itulah yang dikatakan Ahmadinejad dalam dialog bersama civitas akademika Univeritas Columbia Amerika.





           

             















[2] Seorang jurnalis Inggris yang menyempatkan ke sana setelah Ahmadinejad terpilih sebagai Presiden Iran pada 2005 menggambarkan kondisi terakhir rumah itu: lapuk dan tak terawat. Pekarangan Ahmadinejad dibesarkan kini penuh ilalang. Sementara sumur tempat ayahnya dulu menampung air dari irigasi lokal juga telah lama mengering. Misbah Labib (d.k.k), Ahmadinejad! David di Tengah Angkara Goliath Dunia, Cet. 7 (Jakarta: Hikmah Populer, 2007), hlm. 54.


[3] Ibid., hlm. 66.


[4] Dalam psikologi mustad’afin – meminjam istilah Azumardi Azra, orang-orang yang lemah dan tertindas akan bekerja efektif jika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang menindas, baik itu rezim politik dalam negeri maupun keputusan dan kebijakan politik negara-negara kuat yang menindas dan tidak adil. Ibid., hlm. 201.


[5] Dalam bahasa Persia, Mahmud Ahmadinejad berarti ras yang unggul, bijak, dan paripurna. Ibid., hlm. 68.


[6] Danny H. Simanjuntak, Ahmadinejad Menentang Amerika: Dari Nuklir Iran, Zionisme, Hingga Penyangkalan Holocaust, Cet. 2 (Yogyakarta: Narasi, 2008), hlm. 24-25.


[7] Labib (d.k.k), Ahmadinejad! David di Tengah Angkara, hlm. 106.


[8] Riza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah (Jakarta: Mizan, 2007), hlm. 273-274.


[9] Robert E. Quirk (d.k.k), “Poros Setan” Kisah Empat Presiden Revolusioner: Fidel Kastro, M. Ahmadinejad, Evo Morales, Hugo Chaves, Cet. 4, Terj. Abdul Qodir Shaleh (Yogyakarta: Prismashophie, 2007), hlm. 85.    


[10] Sihbudi, Menyandera, hlm. 274-275.


[11] Labib (d.k.k), Ahmadinejad! David di Tengah Angkara, hlm. 122.


[12] Ibid., hlm. 133.


[13] Quirk (d.k.k),  “Poros Setan” Kisah Empat Presiden, hlm. 86.


[14] Adel El-Gogary, Ahmadinejad: The Nuclear Savior of Teheran Sang Nuklir Membidas Hegemoni AS dan Zionis, Terj. Tim Kuwais (Depok: Pustaka IIMAN, 2007), hlm. 34.


[15] Simanjuntak, Ahmadinejad Menentang Amerika, hlm. 15.


[16] Labib (d.k.k), Ahmadinejad! David di Tengah Angkara, hlm. 147-149.


[17] Maulana, Mahmoud Ahmadinejad; Singa Persia, hlm. 43; Labib (d.k.k), Ahmadinejad! David di Tengah Angkara, hlm. xiv-xv.


[18] El-Gogary, Ahmadinejad: The Nuclear, hlm. 8.


[19] Ibid., hlm. 85-86.


[20] Labib (d.k.k), Ahmadinejad! David di Tengah Angkara, hlm. 178-180.


[21] Mahmud Ahmadinejad, Ahmadinejad Menggugat!, Terj. Zahra Publishing House (Jakarta: Zahra, 2008), hlm. 20-21.


[22] Ibid., hlm. 42.


[23] Maulana, Mahmoud Ahmadinejad; Singa Persia, hlm. 42-43.


[24] Ahmadinejad, Ahmadinejad Menggugat!, hlm. 43.

Thursday, 23 June 2011


Ibnu Taimiyah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
 
Abul Abbas Taqiuddin Ahmad bin Abdus Salam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani (Bahasa Arab: أبو عباس تقي الدين أحمد بن عبد السلام بن عبد الله ابن تيمية الحراني), atau yang biasa disebut dengan nama Ibnu Taimiyah saja (lahir: 22 Januari 1263/10 Rabiul Awwal 661 H – wafat: 1328/20 Dzulhijjah 728 H), adalah seorang pemikir dan ulama Islam dari Harran, Turki.


Ibnu Taymiyyah berpendapat bahwa tiga generasi awal Islam, yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Sahabat Nabi, kemudian Tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Sahabat Nabi, dan Tabi'ut tabi'in yaitu generasi yang mengenal langsung para Tabi'in, adalah contoh yang terbaik untuk kehidupan Islam.

Biografi

Ia berasal dari keluarga religius. Ayahnya Syihabuddin bin Taimiyah adalah seorang syaikh, hakim, dan khatib. Kakeknya Majduddin Abul Birkan Abdussalam bin Abdullah bin Taimiyah al Harrani adalah seorang ulama yang menguasai fiqih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan penghafal Al Qur'an (hafidz).

Ibnu Taimiyah lahir di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam pada masa Dinasti Abbasiyah. Ketika berusia enam tahun (tahun 1268), Ibnu Taimiyah dibawa ayahnya ke Damaskus disebabkan serbuan tentara Mongol atas Irak.

Perkembangan dan hasrat keilmuan

Semenjak kecil sudah terlihat tanda-tanda kecerdasannya. Begitu tiba di Damaskus, ia segera menghafalkan Al-Qur’an dan mencari berbagai cabang ilmu pada para ulama, hafizh dan ahli hadits negeri itu. Kecerdasan serta kekuatan otaknya membuat para tokoh ulama tersebut tercengang. Ketika umurnya belum mencapai belasan tahun, ia sudah menguasai ilmu ushuluddin dan mendalami bidang-bidang tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Ia telah mengkaji Musnad Imam Ahmad sampai beberapa kali, kemudian Kutubu Sittah dan Mu’jam At-Thabarani Al-Kabir.

Suatu kali ketika ia masih kanak-kanak, pernah ada seorang ulama besar dari Aleppo, Suriah yang sengaja datang ke Damaskus khusus untuk melihat Ibnu Taimiyah yang kecerdasannya menjadi buah bibir. Setelah bertemu, ia memberikan tes dengan cara menyampaikan belasan matan hadits sekaligus. Ternyata Ibnu Taimiyah mampu menghafalkannya secara cepat dan tepat. Begitu pula ketika disampaikan kepadanya beberapa sanad, iapun dengan tepat pula mampu mengucapkan ulang dan menghafalnya, sehingga ulama tersebut berkata: "Jika anak ini hidup, niscaya ia kelak mempunyai kedudukan besar, sebab belum pernah ada seorang bocah sepertinya".

Sejak kecil ia hidup dan dibesarkan di tengah-tengah para ulama sehingga mempunyai kesempatan untuk membaca sepuas-puasnya kitab-kitab yang bermanfaat. Ia menggunakan seluruh waktunya untuk belajar dan belajar dan menggali ilmu, terutama tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Kepribadiannya

Ia adalah orang yang keras pendiriannya dan teguh berpijak pada garis-garis yang telah ditentukan Allah, mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ia pernah berkata: ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.”

Menjadi Jenderal

Sangat luar biasa, tidak hanya di lapangan ahli ilmu pengetahuan saja ia terkenal, ia juga pernah memimpin sebuah pasukan untuk melawan pasukan Mongol di Syakhab, dekat kota Damaskus, pada tahun 1299 Masehi dan beliau mendapat kemenangan yang gemilang. Pada Februari 1313, beliau juga bertempur di kota Jerussalem dan mendapat kemenangan. Dan sesudah karirnya itu, beliau tetap mengajar sebagai profesor yang ulung [1]

Pendidikan dan karyanya

Di Damaskus ia belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu diantaranya ilmu hitung (matematika), khat (ilmu tulis menulis Arab), nahwu, ushul fiqih. Ia dikaruniai kemampuan mudah hafal dan sukar lupa. Hingga dalam usia muda, ia telah hafal Al-Qur'an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa dalam masalah masalah keagamaan.

Ibnu Taymiyyah amat menguasai ilmu rijalul hadits (perawi hadits) yang berguna dalam menelusuri Hadits dari periwayat atau pembawanya dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Ia memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad. Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah atau dalil, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir atau ahli tafsir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filusuf . Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikh Ibnul Wardi bahwa karangannya mencapai lima ratus judul. Karya-karyanya yang terkenal adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam

Wafatnya

Ibnu Taimiyah wafatnya di dalam penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul Qayyim, ketika beliau sedang membaca Al-Qur an surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin"[1] . Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Ia wafat pada tanggal 20 DzulHijjah th. 728 H, dan dikuburkan pada waktu Ashar di samping kuburan saudaranya Syaikh Jamal Al-Islam Syarafuddin.

Jenazah ia disalatkan di masjid Jami`Bani Umayah sesudah salat Zhuhur dihadiri para pejabat pemerintah, ulama, tentara serta para penduduk.

Pujian para ulama

Al-Allamah As-Syaikh Al-Karamy Al-Hambali dalam Kitabnya Al-Kawakib AD-Darary yang disusun kasus mengenai manaqib (pujian terhadap jasa-jasa) Ibnu Taimiyah, berkata: “Banyak sekali imam-imam Islam yang memberikan pujian kepada (Ibnu Taimiyah) ini. Diantaranya: Al-Hafizh Al-Mizzy, Ibnu Daqiq Al-Ied, Abu Hayyan An-Nahwy, Al-Hafizh Ibnu Sayyid An-Nas, Al-Hafizh Az-Zamlakany, Al-Hafidh Adz-Dzahabi dan para imam ulama lain.

Al-Hafizh Al-Mizzy mengatakan: “Aku belum pernah melihat orang seperti Ibnu Taimiyah ….. dan belum pernah kulihat ada orang yang lebih berilmu terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam serta lebih ittiba’ dibandingkannya.”

Al-Qadhi Abu Al-Fath bin Daqiq Al-Ied mengatakan: “Setelah aku berkumpul dengannya, kulihat ia adalah seseorang yang semua ilmu ada di depan matanya, kapan saja ia menginginkannya, ia tinggal mengambilnya, terserah padanya. Dan aku pernah berkata kepadanya: “Aku tidak pernah menyangka akan tercipta manasia seperti anda.”

Al-Qadli Ibnu Al-Hariry mengatakan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukah Syaikhul Islam, lalu siapa ia ini ?” Syaikh Ahli nahwu, Abu Hayyan An-Nahwi, setelah ia berkumpul dengan Ibnu Taimiyah berkata: “Belum pernah sepasang mataku melihat orang sepertinya …..” Kemudian melalui bait-bait syairnya, ia banyak memberikan pujian kepada Ibnu Taimiyah.

Penguasaan Ibnu Taimiyah dalam beberapa ilmu sangat sempurna, yakni dalam tafsir, aqidah, hadits, fiqh, bahasa arab dan berbagai cabang ilmu pengetahuan Islam lainnya, hingga ia melampaui kemampuan para ulama zamannya. Al-‘Allamah Kamaluddin bin Az-Zamlakany (wafat th. 727 H) pernah berkata: “Apakah ia ditanya tentang suatu bidang ilmu, maka siapa pun yang mendengar atau melihat (jawabannya) akan menyangka bahwa ia seolah-olah hanya membidangi ilmu itu, orang pun akan yakin bahwa tidak ada seorangpun yang bisa menandinginya”. Para Fuqaha dari berbagai kalangan, jika duduk bersamanya pasti mereka akan mengambil pelajaran bermanfaat bagi kelengkapan madzhab-madzhab mereka yang sebelumnya belum pernah diketahui. Belum pernah terjadi, ia bisa dipatahkan hujahnya. Ia tidak pernah berkata tentang suatu cabang ilmu, baik ilmu syariat atau ilmu lain, melainkan dari masing-masing ahli ilmu itu pasti terhenyak. Ia mempunyai goresan tinta indah, ungkapan-ungkapan, susunan, pembagian kata dan penjelasannya sangat bagus dalam penyusunan buku-buku.”

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah (wafat th. 748 H) juga berkata: “Ia adalah lambang kecerdasan dan kecepatan memahami, paling hebat pemahamannya terhadap Al-Kitab was-Sunnah serta perbedaan pendapat, dan lautan dalil naqli. Pada zamannya, ia adalah satu-satunya baik dalam hal ilmu, zuhud, keberanian, kemurahan, amar ma’ruf, nahi mungkar, dan banyaknya buku-buku yang disusun dan amat menguasai hadits dan fiqh.

Pada umurnya yang ke tujuh belas ia sudah siap mengajar dan berfatwa, amat menonjol dalam bidang tafsir, ilmu ushul dan semua ilmu-ilmu lain, baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, detailnya dan ketelitiannya. Pada sisi lain Adz-Dzahabi mengatakan: “Ia mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai rijal (mata rantai sanad), Al-Jarhu wat Ta’dil, Thabaqah-Thabaqah sanad, pengetahuan ilmu-ilmu hadits antara shahih dan dhaif, hafal matan-matan hadits yang menyendiri padanya ….. Maka tidak seorangpun pada waktu itu yang bisa menyamai atau mendekati tingkatannya ….. Adz-Dzahabi berkata lagi, bahwa: “Setiap hadits yang tidak diketahui oleh Ibnu Taimiyah, maka itu bukanlah hadist.


Rujukan
Ibnu Taimiyah, Bathal Al-Islah Ad-Diny. Mahmud Mahdi Al-Istambuli. Maktabah Dar-Al-Ma'rifah-Dimasyq.
Perjalanan Hidup Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1), Media Muslim INFO
Perjalanan Hidup Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 2), Media Muslim INFO

 

Most Reading