Penelitian

Friday 19 March 2010

PERSEPSI PARTAI POLITIK ISLAM DAN PARTAI POLITIK BERBASIS ISLAM DI KABUPATEN TASIKMALAYA TERHADAP PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI KABUPATEN TASIKMALAYA

Oleh.

Akhmad Satori
Rino Sundawa Putra


Abstract
Objectives of this study are to find out how the Islamic party and the Islamic-based party in Tasikmalaya understands and gives his perception on the implementation of the Islamic Shari'a in Tasikmalaya. Data collection is done by in-depth interviews, went into the field and direct observation with a sampling method is done deliberately (purposive sampling), while the approach to be used in this study is the symbolic interaction approach by trying to understand the meaning of human behavior in life, motives, insight, and internalization of values. (Faizal, 2003: 22).
Based on this research, it can be concluded that that in addressing, understanding and perception of the application gives the Islamic Shari'a in Tasikmalaya, tend to be careful. This began when the Islamic party and how Islam based on the District understand the "religious / Islamic" as stipulated in the vision-mission Tasikmalaya regency. So far, these parties do not make sense and understand the vision and mission as the juridical basis or a gate to then apply the concept of Islamic law which was adopted by the government. This is because the parties are aware there is no legal basis which provides higher greater authority to the region to implement Islamic law as a whole (Kaffah).

Keyword : perception, Islamic Political Party and Political Party Based on Islam, Islamic Shari’a.


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana partai Islam dan partai berbasis Islam di Kabupaten Tasikmalaya memahami dan memberikan persepsinya mengenai penerapan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam (Indeepth Interview), terjun ke lapangan dan observasi langsung dengan metode sampling yang dilakukan dengan sengaja (Purposive sampling), sedangkan Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Interaksi simbolik Pendekatan dengan berupaya untuk memahami makna perilaku manusia dalam kehidupan, motif, wawasan, serta internalisasi nilainya.(Faizal, 2003 : 22).
Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa bahwa dalam menyikapi, memahami dan memberikan persepsinya mengenai penerapan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya, cenderung hati-hati. Ini dimulai ketika bagaimana partai Islam dan berbasis Islam di Kabupaten memahami “religius/Islami” yang tertuang dalam visi-misi Kabupaten Tasikmalaya. Selama ini partai-partai tersebut tidak memaknai dan memahami visi-misi tersebut sebagai landasan yuridis atau gerbang untuk kemudian diterapkan konsep syariat Islam yang diadopsi oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan partai-partai tersebut menyadari belum ada landasan hukum yang lebih tinggi yang memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk menerapkan syariat Islam secara keseluruhan (Kaffah).

Kata Kunci : Persepsi, Partai Islam dan Partai Berbasis Islam, Syariat Islam


A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai wacana yang mereproduksi pranata nilai, selalu berpengaruh pada pola kehidupan yang lebih luas kedalam struktur masyarakat yang kemudian dipahami dan diinternalisasikan ke dalam sebuah konsep yang mengatur sebuah sistem tertentu. Pranata nilai Islam yang terus berkembang di Kabupaten Tasikmalaya tidak hanya mencakup dalam pemahaman yang membentuk karakter masyarakat Tasikmalaya yang lebih Islami atau religius, tapi juga berkembang ke wilayah kekuasaan, artinya reproduksi nilai Islam kemudian diadopsi menjadi sebuah aliran politik dan dihayati dalam kerangka kekuasan. Sejak saat itu Islam terus direproduksi ke wilayah-wilayah kekuasaan dan sangat bersentuhan sekali dengan dinamika politik pada waktu itu. Kedekatan ulama dan penguasa menjadikan Islam dengan mudah diterima oleh masyarakat sebagai agama baru.
Akar sejarah nilai-nilai Islam dalam wilayah kekuasaan sampai sekarang terus terinternalisasi dalam pemahaman masyarakat dan politisi Tasikmalaya sampai saat ini. Struktur sosial politik masyarakat Tasikmalaya dibangun berdasarkan sendi-sendi agama. Untuk itulah kenapa bahasan-bahasan bahkan isu-isu tentang keislaman selalu laku dalam ranah-ranah sosial politik masyarakat Tasikmalaya, dan partai-partai Islam selalu meraih suara yang signifikan di Kabupaten Tasikmalaya.
Kabupaten Tasikmalaya adalah daerah yang memiliki ratusan Pondok Pesantren, pada Renstra tahun 2001 ada sekitar 700 pesantren namun pada revisi Renstra tahun 2003 ada 400 pesantren (Renstra 2003 : 11 ). Ada beberapa Pondok Pesantren besar dan fenomenal yang menjadi basis gerakan keagamaan yang bertranformasi menjadi sebuah gerakan politik (Cipasung, Sukahideung dan Miftahul Huda).
Dalam konteks proses politik formal di Kabupaten Tasikmalaya yang berada dalam sebuah sistem demokrasi Indonesia, partai politik menjadi sebuah arena perjuangan sekaligus pertarungan para ulama atau para pemuka agama. Partai-partai yang menjadi pilihan jelas partai-partai yang berazas dan berbasis Islam, diantaranya PPP, PBB, PKS, PKB, PAN dan PBR. Konsolidasi para pemuka agama selama ini menjadi sebuah kunci kemenangan partai-partai Islam terutama PPP di Kabupaten Tasikmalaya, ditambah isu-isu dan wacana-wacana keagamaan yang memang selalu menjadi bahasan yang laku keras di Kabupaten Tasikmalaya.
Hasil dari konsolidasi politik para pemuka agama di dalam partai politik Islam adalah adanya Visi Misi Kabupaten Tasikmalaya, yaitu “Tasikmalaya yang Religius Islami sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah daerah kabupaten Tasikmalaya selanjutnya menjabarkan dalam misi dan program.
Visi Misi tersebut secara formal akan menjadi sebuah kerangka dasar dan garis besar dalam membuat sebuah kebijakan dan peraturan daerah (Perda), terutama perda bernuansa syariat Islam yang secara umum mengikat masyarakat Kabupaten Tasikmalaya, mempunyai hukum tetap yang sifatnya memaksa setiap masyarakat. Kemudian muncul peraturan yang sifatnya segmentasi berbentuk Surat Keputusan (SK) Bupati contohnya Keputusan Bupati No 421.2/Kep.326 A/Sos/2001 tentang Persyaratan Memasuki Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Multi interperetasi dan multi tafsir ada pada cara pandang mengenai Renstra Kabupaten Tasikmalaya yang tertuang dalam visi misi Kabupaten Tasikmalaya, perbedaan cara pandang tersebut kemudian bermuara pada ada tidaknya penerapan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya, artinya ada dua anggapan tentang persepsi visi misi itu sendiri dan persepsi tentang penerapan syariat Islam, di Kabupaten Tasikmalaya. Anggapan itu adalah, pertama, bahwa Kabupaten Tasikmalaya telah menerapkan syariat Islam dalam bentuk hukum yang bersifat legal formal dengan landasan yuridis “religius/Islami” dalam visi-misi tersebut, kedua adalah bahwa Kabupaten Tasikmalaya belum bisa dikatakan menerapkan syariat Islam dalam kerangka hukum legal formal daerah, karena belum ada perda turunan dari visi-misi tersebut yang mempunyai hukum tetap dan bersifat memaksa dengan landasan syariat Islam.
Lahirnya sebuah visi misi daerah, Perda, Surat Keputusan kepala daerah dan Surat Edaran kepala daerah, khususnya yang benuansa syariat Islam adalah merupakan hasil sebuah konstalasi politik lokal yang bernuansa konfrontatif, kompromis, dialogis bahkan pragmatis, dimana partai politik menjadi sebuah kendaraan dalam mendistribusikan ideologi, platform, visi misi, ide-ide dan sistem nilai, lalu kemudian diperjuangkan lewat saluran politik formal baik itu di eksekutif maupun legislatif untuk mencapai sebuah formulasi hukum daerah. Dengan demikian usaha penerapan syariat Islam tidak lagi terfokus pada formalisasi syariat Islam dalam level negara, artinya usaha-usaha tersebut tidak lagi dalam kerangka dasar negara seperti Undang-Undang, tapi lebih bernuansa lokal yaitu dalam bentuk peraturan daerah (Perda).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah tersebut, maka diambil perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana persepsi partai-partai Islam dan partai yang berbasis massa Islam di Kabupaten Tasikmalaya memahami Visi Misi Kabupaten Tasikmalaya yang “religius Islami” sebagai landasan yuridis kebijakan Kabupaten Tasikmalaya?
2. Bagaimana partai-partai Islam dan partai yang berbasis massa Islam di Kabupaten Tasikmalaya memberikan persepsinya secara umum tentang penerapan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya ?

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi Persepsi
Persepsi, menurut Rakhmat Jalaludin (1998: 51), adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Menurut Ruch (1967: 300), persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk-petunjuk inderawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan diorganisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Senada dengan hal tersebut Atkinson dan Hilgard (1991: 201) mengemukakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1994: 53) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Dikarenakan persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera. Persepsi diartikan sebagai proses mengetahui atau mengenali obyek dan kejadian obyektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1989: 358).
Sebagai cara pandang, persepsi timbul karena adanya respon terhadap stimulus. Stimulus yang diterima seseorang sangat komplek, stimulus masuk ke dalam otak, kemudian diartikan, ditafsirkan serta diberi makna melalui proses yang rumit baru kemudian dihasilkan persepsi (Atkinson dan Hilgard, 1991 : 209). Persepsi mencakup penerimaan stimulus (inputs), pengorganisasian stimulus dan penerjemahan atau penafsiran stimulus yang telah diorganisasi dengan cara yang dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap, sehingga orang dapat cenderung menafsirkan perilaku orang lain sesuai dengan keadaannya sendiri (Gibson, 1986: 54).

2. Partai Politik Islam
Menurut Prof. Dr. Miriam Budiarjo (1998 : 43) secara umum dapat di katakan bahwa Partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempuyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik. Tentu dengan cara konstitusionil untuk melaksanakan kebijaksanan - kebijaksanan mereka.
Kegiatan seseorang dalam partai politik merupakan suatu bentuk partisipasi politik. Partisipasi politik mencakup semua kegiatan sukarela, di mana seseorang turut serta dalam proses pemilihan, dan turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam pembentukan kebijaksanaan umum. Kegiatan-kegiatan ini mencakup kegiatan memilih dalam lembaga politik seperti dewan perwakilan rakyat, atau membedakan komunikasi dengan wakil-wakil rakyat yang duduk dalam badan itu, berkampaye, menghadiri kelompok diskusi, dan sebagainya.
Partai politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW. Partai politik Islam adalah partai yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan kehidupan Islam. Ikatan antara mereka terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam yang ideologis memiliki beberapa karakter. Partai Islam merujuk pada partai-partai yang mengadopsi Islam sebagai ideologi yang mewarnai platform dan program partai-partai tersebut, sedangkan partai berbasis Islam adalah partai Islam pluralis merujuk pada partai-partai yang secara ideologis menancapkan nasionalis dan sekuler tetapi mempunyai basis massa Islam secara organisatoris atau secara kultural.

3. Pendefinisian Perda Syariat
Pendefinisian perda syariat ini dikembangkan berdasarkan fenomena maraknya perda syariat di Indonesia, Arskal Salim dalam Rusdji Ali Muhammad (2003 : 38) mengusulkan tiga kategori peraturan daerah untuk, yang berkaitan dengan ketertiban umum dan masalah sosial (pelacuran, judi dan konsumsi alkohol), kewajiban agama dan keterampilan membaca Al-Quran, membayar zakat (zakat atau pajak keagamaan), dan mengenai simbolisme agama.
Arskal Salim juga berpendapat bahwa perda syariat adalah bagian dari gerakan Pan-Islamisme yang berusaha untuk menggerakan Islam politik untuk agenda yang dalam Islam adalah dasar dari kerangka politik dan hukum dalam masyarakat, upaya ini dilakukan melalui saluran dan prosedur formal. Pendekatan teologis dari hadirnya perda-perda bernuansa syariah adalah untuk menformalkan aturan agama dan pendekatan hukum ekslusif pendekatan Islam politik merujuk pada gagasan bahwa Islam tidak hanya agama tetapi juga sistem hukum yang lengkap, universal, ideologis dan sistem yang sempurna (Robin Bush : 17).

C. METODE PENELITIAN DAN ANALISIS
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Tasikmalaya, dengan sasaran penelitian elite dan anggota partai politik Islam dan partai yang berbasis massa Islam di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu Ketua DPC /DPD (Dewan Perwakilan Cabang/Dewan Perwakilan Daerah), Sekretaris DPC/DPD, atau anggota Legislatif DPRD Kabupaten Tasikmalaya dari partai politik Islam dan partai politik yang berbasis massa Islam, yakni PPP, PKB, PBR, PAN, PKS dan PBB., Bagian Hukum Kabupaten Tasikmalaya dan Komisi I Bidang Pemerintahan, Ketertiban, Kependudukan, Penerangan/Pers, Hukum dan Perundang-Undangan, Kepegawaian/Aparatur Pemerintahan, Perizinan, Sosial Politik, Organisasi Kemasyarakatan/Lembaga Swadaya Masyarakat, Pertanahan Arsip dan Perpustakaan DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Selain itu, dalam rangka mendapatkan data yang valid dan realiable, responden juga berasal dari pengamat luar, seperti akademisi lokal dan tokoh agama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan tekhnik analisis data interaktif.

D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Sejarah Upaya Penerapan Syariat Islam di Indonesia
Penerapan syariat Islam dalam konteks hukum negara memiliki sejarah yang panjang. Usaha dalam wilayah yuridis dimulai ketika bangsa Indonesia merumuskan dasar negara pada awal usaha memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Gejolak yang terjadi sebelum Pancasila sebagai peletak dasar negara dikukuhkan bersama adalah ketika dalam sila pertama berbunyi :
“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Rumusan itu ditolak oleh golongan minoritas non-muslim, dan akhirnya wakil-wakil dari kelompok Islam menyetujui usul penghapusan anak kalimat tersebut dari Pancasila dan batang tubuh pembukaan UUD 1945 karena Piagam Jakarta akan mengancam keutuhan wilayah Indonesia, sebabnya wilayah Indonesia bagian timur yang pemeluk Islamnya tidak signifikan mengancam akan keluar dari wilayah NKRI yang dicita-citakan. Akan tetapi, sila pertama tersebut mendapat tambahan kata kunci sehingga menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Fakta sejarah yang kemudian terus berlanjut mengenai usaha-usaha memformalkan syariat Islam kedalam bentuk yuridis negara adalah adanya gerakan separatis yang ingin membentuk sebuah negara Islam yang utuh. Gerakan yang terjadi di Jawa Barat pada awal 1950-an sampai awal 1960-an adalah DI/TII (Daulah Islamiyah/Tentara Islam Indonesia). Gerakan pemberontakan ini dipimpin oleh Karto Suwiryo. Salah satu basis gerakan ini adalah di Tasikmalaya, yaitu didaerah Manonjaya Kabupaten Tasikmalaya. Kemudian tokoh-tokohnya mendirikan pesantren sebagai pola Tarbiyah (Pendidikan) bagi gerakannya untuk membentuk kader-kader perjuangannya. Pesantren itu adalah pesantren Miftahul Huda yang didirikan oleh KH. Khoer Affandi, pada saat itu juga dia menjabat sebagai Gubernur DI/TII.
Pola perjuangan yang dilakukan oleh para penerus tokoh DI/TII dipesantren Miftahul Huda kini bergerak menggunakan sistem politik formal lewat partai politik, terutama dalam momentum semangat otonomi daerah dimana peluang untuk menerapkan syariat Islam minimal dilevel daerah sangat terbuka. Perubahan gerakan ini sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang dikategorikan sebagai kelompok Islam garis keras yang tidak mengakui proses atau sistem politik formal dimana partai politik sebagai kendarannya dan pemilu sebagai prosesnya, padahal bila melihat akar sejarahnya gerakan DII/TII adalah gerakan perlawanan berbasis militer yang dimulai dengan melawan vis a vis, yakni melakukan perlawawan saling berhadapan dengan negara dan tidak mengakui adanya pemerintahan yang berkuasa.
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Asymawi tentang fenomena upaya penerapan syariat Islam di Indonesia, bahwa Pemberlakuan (formalisasi) syariat Islam hampir tidak pernah menemukan titik totalitasnya (kaffah). Dalam sejarah Indonesia, formalisasi syariat lebih banyak terkait dengan hukum perdata, belum banyak sampai pada hukum pidana secara luas. Oleh karena itu, ada berbagai usaha pemberlakuan syariat Islam dari kelompok Islam dalam instrumen yang berbeda-beda. Beberapa Partai politik dan ormas Islam menempuh upaya pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Syariatisasi sejak Indonesia merdeka sudah dilakukan dalam beberapa jalur. Setidaknya ada tiga jalur yang pernah ditempuh dalam gerakan syariatisasi di Indonesia.
Pertama, jalur politik (parlemen) misalnya perjuangan partai-partai Islam untuk mengembalikan Piagam Jakarta di dalam Majelis Konstituante di masa Orde Lama yang berakhir dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Jalur politik ini, di masa Reformasi, kembali diperjuangkan semenjak Sidang Tahunan MPR Tahun 2000-2002 yang lalu. Dua partai Islam; Partai Persatuan Pembangunan (FPP) dan Partai Bulan Bintang (FBB) mengusulkan untuk memasukkan kembali “tujuh kata” tentang syariat Islam ke dalam Amendemen UUD 1945.
Kedua, jalur militer yang dilakukan kelompok Islam radikal dengan melakukan pemberontakan bersenjata (seperti Darul Islam/Negara Islam Indonesia/DI/TII) di Jawa Barat; atau pemberontakan Abdul Qahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan Teuku Muhammad Daud Beureuh di Aceh. Jalur militer ini tidak berhasil menggapai cita-cita berdirinya negara Islam dengan substansi penegakkan syariat Islam. Darul Islam dipimpin oleh SM Kartosuwiryo memproklamasikan negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949 di desa Cisampang, Jawa Barat.
Ketiga, jalur kultural, yakni melakukan dakwah Islam kepada masyarakat melalui pemahaman syariat Islam kepada komunitas masyarakat. Hal ini dapat kita saksikan pada beberapa ormas Islam, yang giat memperjuangkan syariat Islam sebagai hukum negara. Kelompok-kelompok Islam, seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin, Front Pembela Islam selama ini giat mengkampanyekan proyek syariatisasi ke masyarakat melalui jalur dakwah.
Ketiga jalur proyek syariatisasi yang sudah dilakukan ternyata tidak mampu melakukan perubahan besar dalam usaha Islamisasi produk hukum. Terbukti sejak Indonesia merdeka hingga awal reformasi, proyek syariatisasi gagal menjadi kebijakan politik negara. Padahal, gairah umat Islam untuk memformalkan syariat ke dalam hukum negara begitu kuat. Karena itulah, strategi yang dilakukan adalah syariatisasi peraturan daerah dengan jalan mendekat kepada penguasa daerah (gubernur, bupati atau walikota) untuk membuat beberapa bentuk peraturan hukum yang aspiratif terhadap Islam. Jalur ini memang begitu terasa dampaknya bagi proyek syariatisasi di sejumlah daerah. Sekarang ini hampir di setiap kabupaten atau kotamadya sudah bersiap-siap membuat peraturan daerah (Perda SI). (Asymawi, 2007 : 5).

3. Visi Misi “Religius/Islami” Sebagai Kerangka Dalam Memahami Penegakan Syariat Islam
Pada penelitian ini, peneliti memulai asumsinya atau dasar penelitian dari bagaimana partai Islam dan Partai yang berbasis Islam di Kabupaten Tasikmalaya memahami terlebih dahulu visi-misi Kabupaten Tasikmalaya yang “Religius/Islami”. Hal ini dianggap penting karena visi-misi tersebut dirumuskan oleh lembaga politik yang didalamnya terdapat partai-partai politik untuk mengakomodasikan ideologi, tujuan dan kepentingan lewat dinamika politik yang terjadi dan berkembang.
Visi-misi Kabupaten Tasikmalaya yang tertuang dalam No 13 tahun 2001, terdapat kalimat “Religius/Islami” yang menjadi pedoman arah pembangunan Kabupaten Tasikmalaya. Penempatan idiom Islam dalam Visi-Misi Kabupaten Tasikmalaya yang dirumuskan pada tahun 2001 oleh Pansus Renstra Visi-Misi. Namun pemahaman yang berkembang dalam partai-partai yang mendukung pencantuman religius/islami dan anggota Pansus secara keseluruhan tidak dipahami sebagai landasan yuridis untuk menerapkan syariat Islam yang “ekstreem” atau syariat Islam yang dipaksakan dalam sebuah regulasi yang sifatnya memaksa ke dalam hukum positif, tapi lebih kepada membingkai masyarakat Tasikmalaya yang memang sudah religius Islami agar nilai-nilai terebut tetap terpelihara dan terus dikembangkan dalam ruang privat masyarakat Tasikmalaya.
Ketua Pansus Visi-Misi, Basuki Rahmat mengatakan realisasi dan indikator keberhasilan visi-misi “religius/Islami” sekarang dirasakan hanya sebagai sesuatu yang bersifat simbolik, mengawang-ngawang dan tidak punya konsep yang jelas dalam menata itu. Indikatornya pun sangat sulit untuk diukur, kalau yang diukur dari jumlah mesjid dan mushola yang terus bertambah, santri yang banyak dan siswi sekolah banyak yang memakai jilbab mungkin bisa diukur, tapi itu tidak bisa menjadi jaminan bahwa kualitas keimanan dan religiuitas masyarakat Tasikmalaya kemudian meningkat. Wacana-wacana keislaman yang terus berkembang dari visi-misi tersebut hanya terkesan sebagai konsumsi politik dan komoditas politik kalangan elit partai politik.
Formalisasi syariat Islam berbeda dengan penegakan syariat Islam dalam kaitannya dengan visi-misi “religius/Islami”, formalisasi syariat Islam terkadang terjebak pada simbolisme yang mewah tapi justru dangkal syariat Islamnya, tetapi penegakan syariat Islam itu murni dalam Islam sendiri yang tertuang dalam Al-Quran, Hadist dan Sabda Nabi. Dalam hal ini pembuatan Perda di Kabupaten Tasikmalaya bila mau bersandar pada visi-misi tersebut harus membuat Perda yang senapas dengan visi-misi tersebut dengan niat menegakan syariat Islam tanpa “embel-embel” syariat Islam yang simbolik. Banyak ruang untuk memasukan syariat Islam dan setiap aturan, misalnya Perda pengentasan kemikinan, dan pengangguran.
Visi-misi yang menjadi acuan dan harapan yang ingin dicapai oleh pemerintah Kabupaten Tasikmalaya menjadi sulit diukur indikatornya, terutama target religius/Islami. Kalau tujuannya hanya membingkai masyarakat Kabupaten Tasikmalaya yang sudah religius, lalu apa kebutuhannya, bukankah visi-misi adalah sebuah proyeksi dalam mewujudkan sebuah harapan. Dalam hal ini terkesan ada ambiguitas politik, dimana seolah-olah ada harapan penegakan syariat Islam tapi syariat Islam itu sendiri terjebak pada simbolisme politik.


Tabel : 4.1.
Klasifikasi pemahaman partai politik Islam dan partai politik berbasis Islam di Kabupaten Tasikmalaya mengenai visi-misi “religius/Islami”

Nama Partai Pandangan/Sudut Pandang Memahami Harapan Yuridis Penegakan Syariat Islam Argumentasi Alasan
PPP Payung besar bagi pembangunan fisik maupun mental masyarakat Kabupaten Tasikmalaya, dan pergerakannya harus seiring dengan “religius/Islami” Belum bisa dipahami sebagai landasan yuridis untuk kemudian dibuat hukum positif berbasis syariat (Perda). Belum ada landasan peraturan yang lebih tinggi (Undang-Undang dan Perundangan-undangan yang melandasinya
PKB Mengangkat nilai-nilai yang terinspirasi dari masyarkat yang memang sudah religius dan Islami












Tidak membawa visi-misi itu pada ruang yang nantinya membuat wacana membuat Perda syariat yang akan membawa syariat Islam itu pada ruang yang lebih kecil.

Tidak pernah memahami secara intitusi partai, bahwa “religius/Islami” bisa dijadikan sebagai landasan yuridis umtuk kemudian dibuat Perda-Perda berbasis syariat Islam terkesan syariat Islam itu sendiri bergantung pada Perda dan itu.

Perda-Perda berbasis syariat faktanya justru akan menjadi kontra produktif ketika menilai bahwa perda itu adalah syariat Islam, padahal Perda tersebut hanya sebagian kecil dan jauh dari syariat yang kaffah
PKS Terkesan kepada bentuk simbolisme yang indikatornya sulit diukur.

Visi-misi tersebut sangat mulia, apalagi kalau diimbangi dengan usaha-usaha yang lebih kongkrit. Kurang sepakat kalau ranah penegakan syariat Islam yang berangkat dari visi-misi tersebut dilakukan dengan menggembar-gemborkan Perda syariat Rentan dijadikan komoditas politik dan terkadang tidak meyeluruh dan subtansial.
PAN Visi-misi tersebut tidak lebih diposisikan dalam konteks menjadi kerangka besar dalam memberikan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Tasikmalaya Belum bisa dipahami sebagai landasan yuridis dibuatnya aturan hukum yang bersifat memaksa (Perda). Pusat belum memberikan payung hukum bagi daerah untuk menerapkan aturan hukum yang bersifat memaksa terhadap penerapan syariat Islam.
PBB Visi-misi yang “religius/ Islami” belum masuk kepada apa yang dimaksud dengan sistem penegakan syariat.

Memahaminya memang masih sebatas pada porsi yang sewajarnya, yang penting bagaimana masyarakat Kabupaten Tasikmalaya dibingkai dengan nilai-nilai keislaman dan religiusme yang tinggi. Sangat bisa dijadikan landasan yuridis pelaksanaan syariat Islam dalam bentuk aturan hukum, bila kondisi nasional negara mengakomodir, artinya landasan hukum yang lebih tinggi diberikan oleh pusat kepada daerah. Selama Undang-Undang Dasar belum menggiring kepada sesuatu dimana daearah bisa leluasa menerapkan syariat yang menyeluruh, visi-misi tersebut dipahamai hanya sebatas membingkai
PBR Sampai sejauh ini, makna ataupun cara pandang “religius/Islami” masih sebatas simbol-simbol yang ditonjolkan
terkadang terbelenggu kedalam konsumsi ataupun monopoli elite-elite politik, kelihatan mewah tapi tidak menyentuh ke tengah-tengah masyarakat Sangat besar landasannya bila dijadikan landasan dan pedoman yuridis untuk kemudian dibuat penegakan syariat Islam, tapi tidak identik dengan pembuatan Perda syariat, banyak ruang dan celah tanpa harus terjebak pada jargon-jargon dan simbolisme politik Belum ada politisi dari partai itu sendiri yang ingin betul-betul inginmenerapkan syariat Islam secara Kaffah


B. Persepsi Partai Politik Islam dan Berbasis Islam Terhadap Penerapan Syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya
1. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Dalam memahami bagaimana kemudian PPP memberikan pengertian dalam hal penegakan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya, adalah perlu digaris bawahi bagaimana partai ini memberikan pemahamannya atau sudut pandangnya mengenai visi-misi yang “religius/Islami”, dimana memahami visi tersebut hanya sebagai payung besar bagi pembangunan fisik maupun mental masyarakat Kabupaten Tasikmalaya dan tidak bisa dijadikan landasan yuridis pembuatan regulasi hukum positif berupa Perda karena terbentur dengan aturan hukum yang lebih tinggi yang belum memberi landasan hukum yang pasti.
PPP Kabupaten Tasikmalaya menjelaskan, bahwa apa yang dinamakan dengan syariat Islam itu harus bersifat menyeluruh dan utuh (Kaffah), artinya seluruh tata perundang-undangan yang ada harus didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah. Disini perlu menata ulang pemikiran, karena terlanjur syariat Islam itu diidentikan dengan lahirnya sebuah Perda yang seolah-seolah berbasis syariat Islam, padahal dalam Perda itu jauh sekali dari subtansi penegakan syariat Islam. Tetapi dalam hal ini, ide-ide untuk menegakan syariat Islam yang lebih menyeluruh tidak harus padam, artinya ide-ide tersebut harus terus diperjuangkan terutama oleh kader-kader PPP dengan memberikan legitimasi hukum yang lebih tinggi dilevel negara agar syariat Islam yang lebih menyeluruh bisa diterapkan dalam konteks daerah.
Peluang atau ruang-ruang untuk menegakan salah satu syariat Islam sangat terbuka lebar dan tidak bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi tanpa embel-embel “Perda Syariat” atau “aturan daerah yang berbasis syariat Islam”. Ini harus diawali dengan terpelihara ide-ide untuk terus berusaha menegakan salah satu syariat Islam dari politisi-politisi yang berasal partai Islam dan berbasis Islam, terlepas ada atau tidak legitimasi aturan Perundang-Undangannya dilevel negara untuk melandasi itu. Syariat Islam jangan dipahami sebagai aturan yang harus diformalkan dan disimbolkan melalui perangkat atau instrumen pemerintah, tapi syariat Islam juga harus dipahami dalam ranah yang bersifat privat yang bersifat informal tetapi menjangkau struktur kehidupan publik.
Pemberlakuan syariat Islam bagi PPP harus dilakukan menggunakan dua pola. Yakni struktur dan kultur, Struktur dapat membentuk kultur, sebaliknya kultur juga dapat membentuk strutur. Pertanyaannya adalah jalan mana dulu yang harus kita dahulukan, struktur atau kulutur. Kalau dari aspek kultur, ternyata kita belum terbiasa menjalankan kehidupan dengan praktek syariat.

2. Partai Kebangkitan Bangsa
Dari awal pemahaman tentang bagaimana memposisikan visi-misi “religius/Islami”, PKB memahami visi tersebut tidak dalam konteks pada ruang yang nanti akan membuat syariat Islam dalam bentuk Perda. PKB memahami syariat Islam itu adalah merupakan sumber hukum yang paling tinggi dari segala sumber hukum, mewadahi semua unsur-unsur kehidupan manusia dan mewadahi semua umat Islam dimanapun, lintas batas atau lintas negara. Syariat Islam jangan dipahami sebagai aturan yang bersifat teritori, artinya syariat Islam jangan dipilah-pilah menjadi sebuah aturan yang hanya berlaku disatu daerah saja, apalagi formalitas oleh sebuah pemerintahan, baik itu pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi atau pemerintah Kabupaten/Kota.
Syariat Islam adalah sebuah aturan yang memang secara individu bagi pemeluknya wajib untuk dilaksanakan, lebih tepatnya berada dalam ruang privat manusia dan tidak dalam monopoli kekuasaan. Syariat Islam itu bersifat universal, jika penerapan syariat Islam diidentikan atau disamakan dengan sebuah Perda, maka sampai kapanpun Perda tersebut tidak akan bisa mengakomodir syariat Islam secara keseluruhan.
Sampai hari ini PKB memandang, tidak sepakat bila penerapan syariat Islam di formulasikan kedalam sebuah Perda, karena Perda tidak akan mengakomodir seluruh aturan dan nilai-nilai yang ada dalam syariat Islam itu sendiri. Konsep penerapan syariat Islam bisa diawali dengan proses politik, dengan kewenangan yang dimiliki Ekekutif dan Legislatif, artinya apa yang bisa didorong untuk tegaknya salah satu nilai dari syariat Islam, itu didorong tapi tidak dengan memformalkan, dipaksakan dan disimbolkan melalui instrumen hukum nilai terebut. Salah satunya, sarana yang paling potensial untuk memulai penegakan syariat Islam lewat jalur pendidikan agama dan kegiatan keagamaan, bagaimana Legislatif bisa membuat legislasi atau kebijakan agar pendidikan agama di Kabupaten Tasikmalaya menjadi lebih maju dari segi anggaran misalanya, tapi bagaimana terlaksananya nilai-nilai syariat Islam ditengah-tengah masyarakat, itu dikembalikan lagi pada masyarakat dan menjadi tanggung jawab masyarakat itu sendiri, tanpa paksaan dan ancaman hukuman yang bersifat positif.
Dapat dipahami, PKB dalam memberi persepsinya bagaimana sebetulnya nilai-nilai syariat Islam bisa diimplementasikan tanpa adanya intervensi dari penguasa. PKB lebih memahami syariat Islam bersifat individu daripada dipaksakan ke ranah yang sifatnya publik oleh sebuah intitusi atau instrumen pemerintahan. Argumentasi yang kemudian muncul dari persepsi ini adalah bahwa syariat Islam bersifat sebagai sesuatu yang sulit diukur oleh indikator-indikator dan logika-logika hukum tapi bisa diukur dengan kualitas keimanan dan ketaqwaan dari masing-masing individu yang bersifat rohaniah dan batiniah.

3. Partai Keadilan Sejahtera
Cara memahami apa itu syariat Islam dan bagaimana Implementasinya, bagi PKS tergantung bagaimana cara memahami “religius/Islami” itu sendiri yang menjadi arah pedoman pembangunan kabupaten Tasikmalaya ke depan. Bagi PKS visi tersebut sangat bisa sekali dijadikan dasar legitimasi bagaimana kemudian syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya bisa diterapkan dalam konteks ruang, waktu, kesempatan dan ranah-ranah yang mendukungnya.
Bagi PKS, upaya penegakan syariat Islam jangan dipilah-pilah dan diklasifikasi kedalam sebuah simbol-simbol politik, seperti Perda syariat. Syariat Islam itu mengatur segala kebaikan dari ajaran Islam yang sangat suci yang datangnya dari Allah SWT agar kehidupan manusia bisa tertata rapih. Untuk itu penegakannya harus betul-betul menyeluruh. Bagian-bagian yang mengusung nilai-nilai keislaman yang ingin dikonversikan kedalam bentuk kebijakan oleh sebuah pemerintah, dalam hal ini pemerintah Kabupaten Tasikmalaya beserta Legislatif, itu juga bagian dari salah satu upaya penegakan syariat Islam tapi jangan diberi simbol dan gelar bahwa itu seolah-olah kebijakan syariat Islam secara keseluruhan. Perlu dipisahkan apa itu kebijakan sebagai upaya menegakan salah satu syariat Islam dengan tegaknya syariat Islam secara keseluruhan.
Syariat Islam secara keseluruhan ada dalam Al-Quran dan Al-Hadist, setiap manusia bisa membaca dan mengimplementasikan apa-apa yang dilarang dan dibolehkan dalam Al-Quran dan Al-Hadist, itu kuncinya. Tapi kalau berbicara peran yang dilakukan dalam ranah politik yang ada dipemerintahan dan parlemen dalam menegakan syariat Islam ini tergantung dari political will dari masing-masing intitusi (partai dan penguasa), artinya kalau mau menerapkan syariat Islam, lakukanlah secara menyeluruh (Kaffah) sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Al-Hadist. Ada yang memahami syariat Islam tidak perlu di formalkan sebagai aturan hukum yang mengikat ada yang memahami syariat penegakan syariat Islam bukan wewenang kebijakan pemerintah dalam ranah politik, dan ada yang memahami syariat Islam sebagai aturan yang perlu diformalkan.
Syariat Islam harus muncul dari segi Amaliyah, artinya muncul sebagai kesadaran khususnya bagi partai-partai yang punya ideologi ingin mengusung nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat, bukan muncul hanya sebagai wacana, perdebatan apalagi sebagai komoditas politik, Al-Quran dan Al-Hadist tidak perlu diperdebatan lagi. Syariat Islam adalah pelaksanaan Amaliyah bukan hanya simbol, artinya syariat Islam sebagai sebuah aturan yang kompleks, dari mulai masalah keyakinan, ibadah dan muamalah, tidak ada satu pun yang tidak diatur dalam syariat Islam, untuk itu syariat Islam tersebut tidak harus menunggu formalitas tapi berupaya agar konsep syariat Islam itu membumi tanpa simbol dan bukan wacana, apa yang bisa dilaksanakan itu harus dilaksanakan.
Dalam hal ini PKS memandang relasi penegakan syariat Islam dengan kekuasaan adalah selama kekuasaan menaungi, artinya selama diwilayah kekuasaan itu ternaungi seluruh konsep-konsep Islam, tidak perlu lagi diformalkan menjadi sebuah aturan yang kaku. Syariat Islami itu bersifat murni sumber hukum dari segala sumber hukum, bersifat batiniyah dan dipertanggung jawabkan secara individu. Kalau tidak diformalkan sudah bisa dilaksanakan, kenapa harus diformalkan. Untuk konteks sekarang, lebih baik melakukan pembinaan dan menggiring masyarakat ke arah penegakan syariat Islam itu sendiri dianding memaksa masyarakat dengan instrumen hukum yang bersifat memaksa, tapi disisi lain masyarakat belum paham apa itu sebenarnya syariat Islam. Kalau syariat Islam melulu diidentikan dengan Perda justru pemahaman syariat Islam menjadi sempit, fenomena ini justru mengarah pada ketidak efektifan penerapan syariat itu, karena sifatnya yang memaksa dan cenderung menghakimi hak-hak individu seseorang.
Syariat Islam itu terasa nikmat kalau disadari secara alami dengan ketaqwaan dan keimanan, bukan dengan bentuk paksaan berupa formaslisasi syariat dalam wilayah kekuasaan.

4. Partai Amanat Nasional
Partai Amanat Nasional memandang penegakan syariat Islam sebagai sebuah ketetapan hukum yang berskala nasional, artinya harapan untuk menegakan syariat Islam di daerah dan dalam konteks ini adalah pemerintah Kabupaten Tasikmalaya berpulang kembali kepada payung hukum yang ada diatasnya. Sampai sejauh ini pusat belum memberikan wewenang secara penuh kepada daerah untuk meregulasi konsep syariat Islam tersebut keadalam hukum daerah.
Ada perbedaan antara penerapan syariat Islam dengan usaha penerapan salah satu syariat Islam. Dua perbedaan ini harus betul-betul dipahami agar tidak terjebak pada dikotomi terbatas. Karena legitimasi hukum yang berskala nasional belum ada dalam melandasi sebuah daerah menerapkan syariat Islam secara keseluruhan, bukan berarti salah satu atau bagian-bagian dari konsep syariat Islam tidak bisa diterapkan didaerah asalkan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi.
Dalam hal ini, PAN sebagai partai yang lahir untuk mengusung nilai-nilai keislaman sangat setuju terhadap pelaksanaan penegakan syariat Islam, tapi disisi lain kita juga harus memahami wilayah yuridis dalam hal ini Undang-Undang yang masih belum memberikan ruang yang luas terhadap penerapan syariat Islam yang menyeluruh didaerah, dan kita semua harus taat terhadap Undang-Undang tersebut.

5. Partai Bulan Bintang
Menurut Partai Bulan Bintang, pada dasarnya, setiap agama memiliki “syariat”, karena definisi daripada syariat itu adalah aturan. Kalau dalam konteks Islam syariat itu adalah aturan dan hukum baik itu yang datangnya dari Alloh SWT atau dari sabda dan Hadist Nabi yang tertuang dalam Al-Quran, dan setiap umat Islam itu wajib menjalankan syariat tanpa harus dikendalikan dan ditekan oleh pemerintah. Dalam konteks proses politik, bagi PBB syariat Islam memang harus mencelup semua ranah yuridis baik itu Undang-Undang dan kalau dalam konteks daerah adalah Perda. Dalam hal ini visi-misi “religius/Islami” potensi atau legitimasi hukum sangat besar kalau kemudian menjadi acuan lahirnya Perda-Perda yang berbasis syariat Islam bila ada hukum diatasnya yang melegitimasi lahirnya Perda berbasis syariat Islam yaitu Undang-Undang.
PBB tidak memahami bahwa penegakan syariat Islam dalam konteks negara dimulai dengan mengubah dasar negara atau merubah negara Pancasila menjadi sebuah negara Islam, tapi harus dimulai dengan mengembangkan potensi masyarakat yang mayoritasnya adalah umat Islam bertata, berbangsa dan bernegara semua diwarnai dengan cara-cara keagamaan. Dalam konteks Kabupaten Tasikmalaya, penegakan syariat Islam tidak terpaku pada kepada lahirnya sebuah Perda yang dikatakan sebagai “Perda syariat”, idealnya adalah semua Perda dan kebijakan-kebijakan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya di-Sidgoh atau diwarnai dengan konsep-konsep syariat Islam.
Menurut PBB, syariat Islam bisa diklasifikasikan menjadi tiga bagian, pertama syariat Islam di bidang ibadah, kedua syariat Islam dibidang hukum privat dan ketiga syariat Islam dibidang hukum publik. Pengertian syariat Islam dalam ibadah bahwa pemerintah tidak bisa intervensi terhadap pelaksanaan ibadah umat Islam, kemudian dalam hukum privat artinya syariat Islam tersebut tanpa adanya pengaturan secara formal dari pemerintah, syariat Islam tersebut harus dijalankan oleh umat Islam karena itu berlaku bagi umat Islam saja, dan dalam hukum publik itu adalah syariat Islam yang harus diperjuangkan kedalam wilayah-wilayah formal pemerintah, dalam hal ini pemerintah dan parlemen Kabupaten Tasikmalaya.
Dapat dipahami apa yang kemudian menjadi persepsi dan pemahaman PBB dalam penegakan syariat Islam khususnya di Kabupaten Tasikmalaya sebagai sebuah hal yang lebih bersifat rohaniah sehingga seluruh penerapan syariat Islam tidak bisa sepenuhnya bersifat formalis, tapi lebih kepada bagaimana konsep syariat Islam bisa mewarnai segala kebijakan daerah. Penerapan ide-ide syariat ini bukan pada sistem Mahdohnya atau sesuatu yang bersifat fisik, tapi bagaimana syariat Islam yang bersifat rohaniah ini di imani oleh semua masyarakat Islam.

6. Partai Bintang Reformasi
Dalam wilayah hukum positif formal pemerintah daerah, penegakan syariat Islam tentunya harus mempunyai kerangka hukum yang lebih tinggi. PBR memahami bahwa syariat Islam yang selama ini menjadi wacana pasca otonomi daerah adalah syariat Islam yang terbagi-bagi kedalam beberapa bagian, kebanyakan, bila melihat fenomena penegakan syariat Islam didaerah itu hanya menyangkut bagian-bagian yang sifatnya lebih teknis dan bagian-bagian kecil saja, seperti kewajiban menggunakan jilbab, pengaturan jam kerja wanita, zakat dan kewajiban lulus membaca Al-Quran dalam menempuh pendidikan formal. Pada dasanya syariat Islam tersebut harus betul-betul menata kehidupan yang lebih luas, karena nilai ataupun tujuan yang ingin dibangun dari penerapan syariat Islam ini adalah sesuatu yang bersifat agami, indikatornya sulit diukur apakah daerah tersebut menerapkan syariat Islam atau tidak.
Penerapan syariat Islam yang lebih kongkrit adalah bukan dengan sebuah ancaman hukuman atau sanksi yang tertuang dalam sebuah Perda, tapi lebih bersifat pembinaan. Penegakan syariat Islam jangan dikesankan sebagai upaya penegakan hukum yang bersifat memaksa, karena dengan pola persepsi ini justru akan membuat masyarakat menjadi takut dan skeptis dengan penegakan syariat Islam. PBR memahami bahwa memang perlu instrumen hukum yang mejadi landasan penerapan syariat Islam, tapi cara memahami instrumen hukum tersebut bukan pada penerapan syariat Islam yang Kaffah, tapi hanya bagian atau aturan hukum diilhami dari konsep syariat Islam.
Syariat Islam tidak akan mungkin diakomodir hanya dengan sebuah Perda, bahkan akan terkesan elitis, simbolis bahkan pragmatis. Kalau berbicara penerapan syariat Islam dalam wilayah politis formal pemerintah, instrumen yang paling memadai adalah instruen hukum pusat, bukan daearah. Syariat Islam harus dipandang sebagai sesuatu yang bersifat ruh dibanding bersifat ancaman, artinya seberapa besar umat Islam meyakini dan menjalankan syariat Islam tersebut, apakah sesuatu yang bersifat ruh bisa diasumsikan dan diprediksi dengan lahirnya sebuah Perda.
PBR memberi pemahaman tentang penerapan syariat Islam lebih kepada nilai-nilai yang bersifat ruh dibanding bersifat simbol, tapi kemudian konsentrasi PBR dalam hal menegakan syariat Islam yang mungkin bisa ditegakan dalam ruang-ruang hukum positif daerah adalah salah satu dari bagian-bagian yang terilhami dari konsep syariat Islam sendiri.

E. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini di ketahui bahwa semua responden dari ke enam partai Islam dan partai berbasis Islam (PPP, PKB, PKS, PAN, PBB dan PBR) di Kabupaten Tasikmalaya, dapat dipahami bahwa dalam menyikapi, memahami dan memberikan persepsinya mengenai penerapan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya cenderung hati-hati. Ini dimulai ketika bagaimana partai Islam dan berbasis Islam di Kabupaten memahami “religius/Islami” yang tertuang dalam visi-misi Kabupaten Tasikmalaya.
Disisi lain, setuju atau tidaknya partai-partai ini terhadap penegakan syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya dapat dipahami bahwa partai-partai tersebut mendefinisikan syariat Islam kedalam bentuk yang lebih relevan untuk bisa diterapkan dalam konteks sekarang dan dalam konteks negara Indonesia. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa partai-partai tersebut ternyata lebih selektif dan lebih bisa mengkaji dari aspek yuridis dan aspek subtansial, artinya tidak serta merta syariat Islam yang secara bulat harus dipaksakan ke dalam ranah hukum formal pemerintah. Syariat Islam lebih dipahami sebagai sumber hukum agama yang bersifat rohaniah dan bersifat lebih kepada hak privat, kalau pun syariat Islam diadopsi kedalam hukum positif publik maka syariat Islam tersebut harus dipilah terlebih dahulu dan harus ada sandaran hukum yang lebih tinggi dalam melegitimasinya.
Sejauh ini dari segi implementasi terlebih setelah tercantumnya “religius/Islami” dalam visi-misi Kabupaten Tasikmalaya, partai-partai tersebut belum menemukan adanya unsur pemaksaan untuk melaksanakan syariat Islam dari sebuah kekuasaan pemerintah daerah, dan memang pemahaman dari awal pembentukan visi tersebut terutama dari partai-partai yang masuk dalam penelitian ini, tidak dibangun pemahaman bahwa visi tersebut akan menjadi landasan yuridis bagi penerapan syariat Islam yang bersifat memaksa kedalam sebuah Perda.

Daftar Pustaka

Abuza, Zachary, 2007, Political Islam and Violence in Indonesia, New York, Routledge

Ali, Rusdji, 2003, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi ,Jakarta: Logos, 2003.

Azhari, 1995, Negara Hukum Indonesia, UI Press, Jakarta. Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, Ind-Hill, Jakarta.

Boland, B. J. 1971, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, Den Haag, The Hague-Martinus Nijhoff.

Brunessen, Van, Maria, 2004, Geneologis of Islamic Radicalism in Post-Soeharto Indonesia, South East Asia Reseach.

Budiarjo, Miriam, 1993, Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia, Raja Grafindo Persada, University of California.

Jurdi, Syarifudin, 2007, Islam dan Politik Lokal, Pustaka Cendikia Press, Yogyakarta.

Malik, Abdul, Dinamika Kaum Santri : Kajian Tentang Aktiuvitas Umat Islam di Tasikmalaya 1905-1942, 1992, Skripsi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Millis dan Huberman, 1992, Analisa Data Kualitatif, PT Rosda Karya, Bandung.
Moeleong, Lexy, 2001, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya, Bandung.

Moesa, Maschan, 2007, Nasionalisme Kyai, Konstruksi Sosial berbasis Syariat, Lkis, Yogyakarta

Muzakir, Amin, 2005, Kaum Santri Kota : Pengusaha, Perubahan Ekonomi Dan Islam di Kota Tasikmalaya 1930-1980an, Skripsi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Noer, Deliar, 2000, Partai Islam di Pentas Nasional, Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Mizan, Jakarta.
Sukmasari, Indira, 2007, Agama dan Politik, Dilema Penataan Demokrasi di Negara Berkembang (Artikel dalam Swara Politika Vol. 10, No. 2), Lab. Ilmu Politik FISIP UNSOED, Purwekerto.
Surya, Anom, 2002, Gempa Tektonik Syariat Islam di Daerah : Mengungkap Rencana Strategis 2001-2005 di Tasikmalaya (Artikel dalam Tashwirul Afkar No. 12).
Sumber Lain :
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.
Renstra Kabupaten Tasikmalaya, Perda Nomor 13/2003 Mengenai Visi Misi Kabupaten Tasikmalaya.
Keputusan Bupati Tasikmalaya No. 421/Kep. 326 A/Sos/2004.
Surat Edaran Bupati Tasikmalaya No. 451/SE/Sos/2001.

No comments:

 

Most Reading