Teori Konstitusi

Sunday 29 April 2012


TEORI KONSTITUSI

Keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi adalah keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi nampak pada gagasan dasar, cita – cita dan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan UUD suatu negara. Dasar negara sebagai pedoaman penyelenggaraan negara secara tertulis termuat dalam konstitusi suatu negara. Keterkaitan konstitusi dengan UUD dapat dijelaskan bahwa Konstitusi adalah hukum dasar tertulis dan tidak ter tulis sedangkan UUD adalah hukum dasar tertulis. UUD memiliki sifat mengikat oleh karenanya makin elastik sifatnya aturan itu makin baik, konstitusi menyangkut cara suatu pemeritahan diselenggarakan

Definisi Konstitusi
Secara etimologi istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis, constituir, yang berarti membentuk. Sedangkan menurut bahasa Inggris, constitution, berawal dari kata dasar constitute yang berasal dari bahasa Latin constituo; constitutum-con, and statuo, to set, statue; statute]. To settle, fix, or enact; to establish, to form or compose, to make up; to make a thing what it is; to appoint, depute, or elect to an office or employment; to make and empower (menetapkan, memastikan, mengundangkan, mendirikan, membentuk, membenahi, membuat sesuatu, menunjukkan, mewakilkan, atau memilih seorang pejabat atau mempekerjakan, memberikan kekuasaan). Sedangkan yang dimaksud dengan “constitution adalah the system of fundamental principles according to which a nation, state, corporation, etc. is governed; the document embodying these principles (sistem prinsip-prinsip mendasar yang mengatur suatu bangsa, negara, dan perkumpulan; sebuah dokumen yang berisi prinsip-prinsip mendasar).
Konstitusi (Latin constitutio) dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara – biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis – Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum, istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagai prinsip-prinsip dasar politik, prinsip-prinsip dasar hukum termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya, Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan kepada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara. Dalam bentukan organisasi konstitusi menjelaskan bentuk, struktur, aktivitas, karakter, dan aturan dasar organisasi tersebut. Konstitusi dapat menunjuk ke hukum penting, biasanya dikeluarkan oleh kaisar atau raja dan digunakan secara luas dalam hukum kanon untuk menandakan keputusan subsitusi tertentu terutama dari Paus. konstitusi adalah mengatur hak-hak dasar.
Constitution juga dapat berarti the fundamental law of the state, containing the principles upon which government is founded, regulating the division of the sovereign powers and directing to what persons each of these powers is to be exercised” (hukum dasar dari suatu negara yang berisi prinsip-prinsip sebuah pemerintahan dibentuk, pengaturan pembagian kekuasaan, dan pedoman pengujian terhadap kekuasaan-kekuasaan tersebut).  Konstitusi ada sebelum sebuah negara terbentuk. Konstitusi memiliki fungsi menetapkan aturan-aturan dasar yang harus dipatuhi oleh pemerintah dan warga negara pada suatu negara.  Peran konstitusi bagi suatu negara sangat penting bagi terselenggaranya kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dan efektif.

Pengertian konstitusi menurut para ahli
K. C. Wheare, konstitusi adalah keseluruhan sistem ketaatanegaraaan suatu negara yang berupa kumpulan peraturan yang mmbentuk mengatur /memerintah dalam pemerintahan suatu negara.
Herman heller, konstitusi mempunyai arti luas daripada uud. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis tettapi juga sosiologis dan politis
Lasalle, konstitusi adalah hubungan antara kekuasaaan yang terdapat didalam masyarakat seperti golongan yang mempunyai kedudukan nyata didalam masyarakat misalnya kepala negara angkatan perang, partai politik dsb
L.j Van Apeldoorn, konstitusi memuat baik peraturan tertulis maupun peraturan tak tertulis
Koernimanto soetopawiro, istilah konstitusi berasal dari bahasa latin cisme yang berarati bewrsama dengan dan statute yang berarti membuat sesuatu agar berdiri. Jadi konstitusi berarti menetapkan secara bersama.
Carl schmitt membagi konstitusi dalam 4 pengertian yaitu:
Konstitusi dalam arti absolut mempunyai 4 sub pengertian yaitu; o Konstitusi sebagai kesatuan organisasi yang mencakup hukum dan semua organisasi yang ada didalam negara. o Konstitusi sebagai bentuk negara o Konstitusi sebagai faktor integrasi o Konstitusi sebagai sistem tertutup dari norma hukum yang tertinggi didalam negara
Konstitusi dalam arti relatif dibagi menjadi 2 pengertian yaitu konstitusi sebagai tuntyutan dari golongan borjuis agar haknya dapat dijamin oleh penguasa dan konstitusi sebagai sebuah konstitusi dalam arti formil (konstitrusi dapat berupa terttulis) dan konstitusi dalam arti materiil (konstitusi yang dilihat dari segi isinya)
konstitusi dalam arti positif adalah sebagai sebuah keputusan politik yang tertinggi sehingga mampu merubah tatanan kehidupan kenegaraan
Konstitusi dalam arti ideal yaitu konstitusi yang memuat adanya jaminan atas hak asasi serta perlindungannya

Tujuan konstitusi yaitu:
Membatasi kekuasaan penguasa agar tidak bertindak sewenang – wenang maksudnya tanpa membatasi kekuasaan penguasa, konstitusi tidak akan berjalan dengan baik dan bisa saja kekuasaan penguasa akan merajalela Dan bisa merugikan rakyat banyak
Melindungi Ham maksudnya setiap penguasa berhak menghormati Ham orang lain dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan haknya.
Pedoman penyelengaraan negara maksudnya tanpa adanya pedoman konstitusi negara kita tidak akan berdiri dengan kokoh.

Nilai konstitusi yaitu:
Nilai normatif adalah suatu konstitusi yang resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam masyarakat dalam arti berlaku efgektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
Nilai nominal adalah suatu konstitusi yang menurut hukum berlaku, tetrapi tidak sempurna. Ketidak sempurnaan itu disebabkan pasal – pasal tertentu tidak berlaku / tidsak seluruh pasal – pasal yang terdapat dalam UUD itu berlaku bagi seluruh wilayah negara.
Nilai semantik adalah suatu konstitusi yang berlaku hanya untuk kepentingan penguasa saja. Dalam memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat untuk melaksanakan kekuasaan politik.
Konstitusi pada umumnya bersikat kodifikasi yaitu sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, konstitusi harus diartikan dalam artian tidak semuanya berupa dokumen tertulis (formal). namun menurut para ahli ilmu hukum maupun ilmu politik konstitusi harus diterjemahkan termasuk kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan dan distibusi maupun alokasi, Konstitusi bagi organisasi pemerintahan negara yang dimaksud terdapat beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum akan tetapi mengandung pula arti konstitusi ekonomi
Dewasa ini, istilah konstitusi sering di identikkan dengan suatu kodifikasi atas dokumen yang tertulis dan di Inggris memiliki konstitusi tidak dalam bentuk kodifikasi akan tetapi berdasarkan pada yurisprudensi dalam ketatanegaraan negara Inggris dan mana pula juga Konstitusi Istilah konstitusi berasal dari bahasa inggris yaitu “Constitution” dan berasal dari bahasa belanda “constitue” dalam bahasa latin (contitutio,constituere) dalam bahasa prancis yaitu “constiture” dalam bahsa jerman “vertassung” dalam ketatanegaraan RI diartikan sama dengan Undang – undang dasar. Konstitusi / UUD dapat diartikan peraturan dasar dan yang memuat ketentuan – ketentuan pokok dan menjadi satu sumber perundang- undangan.

Macam – macam konstitusi
Menurut CF. Strong konstitusi terdiri dari: 
Konstitusi tertulis (dokumentary constiutution / writen constitution) adalah aturan – aturan pokok dasar negara , bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar lainnya yang mengatur perikehidupan suatu bangsa didalam persekutuan hukum negara.
Konstitusi tidak tertulis / konvensi (nondokumentary constitution) adalah berupa kebiasaan ketatanegaraan yang sering timbul.

Adapun syarat – syarat konvensi adalah:
1.       Diakui dan dipergunakan berulang – ulang dalam praktik penyelenggaraan negara.
2.       Tidak bertentangan dengan UUD 1945
3.       Memperhatikan pelaksanaan UUD 1945.

Secara teoritis konstitusi dibedakan menjadi:
Konstitusi politik adalah berisi tentang norma- norma dalam penyelenggaraan negara, hubungan rakyat dengan pemerintah, hubuyngan antar lembaga negara.
Konstitusi sosial adalah konstitusi yang mengandung cita – cita sosial bangsa, rumusan filosofis negara, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa itu.

Berdasarkan sifatnya  Konstitusi dapat dibedakan atas
1.       Flexible / luwes apabila konstitusi / undang undang dasar memungkinkan untuk berubah sesuai dengan perkembangan.
2.       Rigid / kaku apabila konstitusi / undang undang dasar jika sulit untuk diubah.

Terdapat beberapa unsur atau substansi sebuah konstitusi.
1.       Jaminan terhadap Ham dan warga negara
2.       Susunan ketatanegaraan yang bersdifat fundamental
3.       Pembagian dan poembatasan tugas ketatanegaraan
4.       Pernyataan ideologis
5.       Pembagian kekuasaan negara
6.       Jaminan HAM (hak asasi manusia)
7.       Perubahan konstitusi
8.       Larangan perubahan konstitusi

Syarat terjadinya konstitusi yaitu:
1.       Agar suatu bentuk pemerintahan dapat dijalankan secara demokrasi dengan memperhatikan kepentingan rakyat.
2.       Melindungi asas demokrasi
3.       Menciptakan kedaulatan tertinggi yang berada ditangan rakyat
4.       Untuk melaksanakan dasar negara Menentukan suatu hukum yang bersifat adil

Riwayat Sejarah Kronologis Konstitusi Indonesia
Sejak Indonesia merdeka sistem ketatanegaraan selalu mencari bentuk yang sesuai dengan kondisi sosial dan politik masyarakat dan negara yang sedang tumbuh dan berkembang. Pergantian konstitusi selalu mengiringi peristiwa penting yang ada di Indonesia. Peristiwa politik  dan pergantian kepemimpinan juga ikut berperanan penting dalam terjadi perbuhan konstitusi yang sedang berjalan dilakukan.
Beberapa pergantian konstitusi tersebut adalah :
1.       UUD 1945 Negara Republik Indonesia merupakan konstitusi yang pertama dan ditetapkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945.
2.       Tahun 1949-1950 Konstitusi Republik Indonesia Serikat
3.       Tahun 1950-1959 dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950
4.       Undang-Undang Dasar 1945 diberlakukan kembali pada tanggal 5 Juli 1959 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 1959.
5.       Tahun 1999 sampai dengan 2002 dilakukan perubahan UUD 1945 secara periodik melalui Perubahan Pertama (1999), Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat (2002).
6.       Mencermati kronologis sejarah konstitusi Indonesia  tersebut maka ada hal penting patut dicatat. Konstitusi boleh berganti berkali-kali tetapi yang menarik  hal yang tidak pernah berubah  adalah  nilai-nilai Pancasila selalu tetap diterapkan sebagai pembukaan. Pengalaman itu dapat lebih diyajini bahwa secara tidak disadari sejarah telah memberi pelajaran bahwa terdapat  kesepakatan nasional bangsa Indonesia dalam menata kehidupan ketatanegaraannya. Tampaknya Pancasila masih tetap diajukan sebagai syarat utama untuk pedoman bagi pengaturan lebih jauh  dalam pasal-pasal konstitusi. Fenomena ini jugalah yang harus menjadi perhatian bagi para unsur pemerintahan dan institusi yang lain dalam melaksanakan dan memelihatra konstitusi di Indonesia.


dari berbagai sumber

Patologi Politik dalam Implementsi Otonomi Daerah

Thursday 26 April 2012


PATOLOGI POLITIK DALAM IMPLEMENTASI OTONOMI DAERAH

Rino Sundawa Putra[1]

Abstrak
          Otonomi daerah memiliki perubahan fundamental pada sistem birokrasi pemerintahan antara pusat dan daerah, sekaligus juga perubahan pada sistem politik. Pemilihan kepala daerah langsung merupakan konskuensi logis ketika daerah diberi kewenangan dan kekuasaan besar dalam mengelola daerahnya masing-masing. Dengan kondisi seperti ini, konstelasi politik daerah akan meningkat sebagai jalan memperebutkan kekuasaan daerah yang sudah sangat otonom. Peningkatan konstelasi politik daerah sebagai bagian implementasi otonomi daerah memiliki implikasi negatif terhadap jalannya roda pemerintahan daerah atau sistem birokrasi di daerah. Implikasi negatif ini menyangkut keterlibatan birokrasi dan birokrat dalam politik praktis.
Artikel ini akan menyoroti mengenai dampak pelaksanaan otonomi daerah, yakni keterlibatan birokrasi dan para birokrat dalam konstelasi politik lokal. Gejala ini sangatlah umum dan terlihat vulgar pada setiap kontestasi politik di daerah, Pemilukada Provinsi, Kota dan Kabupaten. Sistem otonomi daerah ternyata melahirkan fenomena yang disebut dengan patologi politik, dimana ruang-ruang birokrasi yang seharusnya netral, fokus terhadap tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai pelayan publik “dipaksa”  masuk dalam ranah politik. logika keterlibatan birokrasi dan para birokratnya kedalam politik praktis merupakan jaringan komplek antara elit politik lokal dan para pejabat birokrasi. Jaringan kompleks ini sebagai sebab akibat atau konskuensi logis dari implementasi otonomi daerah yang harus diurai.

Kata Kunci: Patologi Politik, Otonomi Daerah, Birokrasi Daerah
 


Politisasi Birokrasi
Persoalan politisasi birokrasi memang bukanlah fenomena baru di Indonesia, jauh-jauh hari sebelum otonomi daerah diimplementasikan, rezim Orde Baru telah memanfaatkan struktur Birokrasi dari pusat hingga daerah sebagai pondasi dalam mempertahankan rezim. Begitu kuatnya tarikan politik menyeret birokrasi sehingga intervensi-intervensi politik terus membayangi birokrasi pada zaman  Orde Baru. Pegawai Negeri Sipil yang idealnya tidak boleh memiliki afiliasi politik dan bersikap netral, justru dikondisikan sebagai agen-agen partai ditengah-tengah masyarakat.  Pada waktu itu birokrasi dipersepsikan oleh masyarakat sebagai satu paket yang tidak bisa dipisahkan dari Golkar, partai penguasa, padahal birokrasi merupakan entitas yang terpisah dari sebuah rezim. Birokrasi memang  menjadi sumber daya politik yang dianggap bisa ikut membantu dalam meraih dan mempertahankan sebuah kekuasaan.
Ketika Otonomi Daerah diimplementasikan, struktur politik yang tadinya memberikan episentrum yang besar kepada pusat, kini dipecah konsentrasinya ke daerah masing-masing yang meliputi Provinsi, Kota dan Kabupaten. Dalam UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 24 ayat 5, Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Pasal ini memberikan kepastian hukum yang jelas bahwa secara politik arena perebutan kekuasaan di daerah telah menjadi domain mutlak orang-orang daerah, bukan lagi menjadi domain pusat, sebagaimana pada masa Orde Baru.
Ketika domain politik daerah mutlak sepenuhnya diberikan kepada orang-orang daerah, maka akan ada pergeseran orientasi politik. Pergeseran orientasi politik ini mempunyai implikasi yang mengarah pada adanya patologi politik, yakni pemanfaatan birokrasi daerah untuk kepentingan politik kelompok atau golongan. Birokrasi dihadapkan pada kenyataan baru, bila pada orde baru, birokrasi diseragamkan, entah itu keseragaman dalam orientasi kerja, orientasi pandangan, orientasi etika kerja dan oreintasi politik secara nasional, maka setelah otonomi daerah, birokrasi dihadapkan orientasi lokal yang sifatnya sangat dinamis seiring munculnya elit-elit lokal pasca implementasi Otonomi Daerah, dan ini memberi pilihan terhadap para pejabat yang menjalankan birokrasi. Masalah politisasi birokrasi adalah persoalan klasik, hanya saja kini persoalan ini digeser menjadi persoalan lokal seiring implementasi otonomi daerah. Pengelolaan sebuah pemerintahan idealnya memang harus dipisahkan dari ruang-ruang politik yang mencampurinya, walaupun sebuah pemerintahan dihasilkan dari proses politik, apalagi ketika sudah menyeret birokrasi ke dalam kubu-kubu politik yang membuat birokrasi menjadi kontra produktif dari patron tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Implikasi ini harus segera ditanggulangi, khususnya bagaimana mencari sistem yang memperkecil peluang pemanfaatan birokrasi ke dalam arena politik dalam ruang implementasi Otonomi Daerah.
Penelitian yang dilakukan LIPI tahun 2005 terhdap pilkada langsung di Malang, Gowa, dan Kutai Kartanegara menyebutkan ada sejumlah faktor yang mempengaruhi birokrasi berpolitik, yaitu: kuatnya ketokohan (personality) menamamkan pengaruh terhadap PNS, vested interest PNS untuk mobilitas karir secara cepat, lemahnya sosialisasi institusi, manipulasi tafsir regulasi, kuatnya hubungan patron-client, dan peran shadow bureaucracy. Mobilitas politik terhadap individu dan institusi birokrasi digerakkan melalui jalur primordialisme (kekerabatan dan asal usul kandidat). Juga adanya dilema “rezim pelaksana” pilkada dan tafsir regulasi sepihak yang terjadi saat pilkada. Dalam satu kasus ada tim sukses yang ”bisa bermain” lewat desk pilkada untuk kemenangan kandidat. Faktor vested-interest yaitu kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir/jabatan, juga kepentingan jaringan bisnis dan politik oleh shadow-bureaucracy tampak menjadi faktor dominan yang mendorong birokrasi masih berpolitik di era pilkada langsung.

Patologi Politik dan Patologi Birokrasi
          Patologi politik dan patologi birokrasi merujuk pada pengertian dasarnya mengenai Patologi, yakni sebuah gejala penyakit yang terjadi, dimana sebagai akibatnya akan mengganggu dan mengakibatkan abnormal sebuah sistem. Penulis memberikan pengertian patologi politik sebagai sebuah gejala atau penyakit yang akan menggangu pada sistem politik dan berdampak pada terciptanya patologi birokrasi, yakni tergangunya (abnormal) sistem birokrasi.
Patologi politik dalam pelaksanaan otonomi daerah memberi pengertian keterlibatan birokrasi daerah dalam membentuk afiliasi politik yang ada di daerah, (Partai dan elit politik daerah), baik itu secara etika politik dan etika kepegawaian negeri sipil itu tidak bisa dibenarkan. Birokrasi yang seharunys netral, tidak terpengaruh oleh sebuah konstelasi politik, terseret dalam ranah yang akan memasung independensi birokrasi daerah. Pengertian patologi disini mengandung pengertian sebab akibat yang satu sama lain saling berakitan, patologi politik akan menyebabkan patologi birokrasi.
          Bila merujuk pada UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004  Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2  dimana pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian dari dan dalam Eselon II pada pemerintahan daerah sepenunya merupakan domain kepala daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati), ini memberikan legitimasi hukum yang kuat menyangkut kewenangan daerah dalam mengelola kepegawaian daerah. Pasal ini sangat jelas menggambarkan Kepala Daerah mempunyai otoritas kuat dalam memetakan dan menentukan formasi jabatan di daerah. Dengan otoritasnya yang begitu kuat, implikasi penyalahgunaan wewenang ini sering kali terjadi dalam mengelola apartur atau pegawai negeri sipil daerah. Pola pembinaan manajemen dan kaitannya dalam menentukan orang-orang dalam rangka memenuhi pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian yang seharusnya dilakukan dengan asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas, tetapi kecendenderungan yang terjadi asas-asas tersebut diabaikan, karena seringkali kepala daerah menggunakan pendekatan politis dalam rangka membangun jaringan dan memetakan konsolidasi birokrasi sebagai cara membangun kekuatan politik dari dalam birokrasi. Siapa mendukung siapa, adalah patron yang digunakan dalam rangka membentuk formatur pejabat daerah.
          Pola-pola seperti ini biasanya dilakukan menjelang Pemilihan Kepala daerah atau setelah Pemilihan Kepala Daerah. Asas timbal balik menjadi “kue” yang menjanjikan bagi para pejabat publik daerah, karena secara instan jabatan tertentu sebagai pengembangan karirnya di kepegawaian dapat diperoleh. Hal ini menjadi pertaruhan karir tersendiri bagi para pejabat publik, karena menjelang Pemilukada blok-blok dukungan yang sudah terpetakan sebelumnya akan bertarung menjagokan masing-masing calonnya, Para pejabat dari mulai pejabat Dinas, Camat, Lurah dan Kepala Desa seolah menjadi agen partai atau tim sukses calon kepala daerah tertentu. Manakala calon yang didukungnya menang, asas timbal balik akan dilakukan, artinya pengangkatan dan pemindahan yang diinginkan akan diberikan dengan instan sebagai imbalan politik, akan tetapi manakala calon yang didukung kalah, maka secara karir akan terkucil. Pengembangan karir pegawai negeri sipil daerah seharusnya di dasari oleh pasal 133 UU Otonomi Daerah yang harus mempertimbangkan integritas dan moralitas, pendidikan dan pelatihan, pangkat, mutasi jabatan dan kompetensi.
           Analisa penulis mengenai polarisasi birokrasi menjelang Pemilukada ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok loyal. Kelompok ini memiliki konsistensi yang tinggi  ketika mendukung seseorang calon, dan cenderung untuk terus menghimpun dan mencari dukungan dari dalam. Kedua, kelompok oportunis. Kelompok ini adalah kelompok yang cenderung ambigu dalam memberikan dukungan, ambiguitas ini dikarenakan selalu menghitung-hitung keuntungan dan kerugian juga mencari keselamatan posisi dan jabatan. Bisa dibayangkan kalau birokrasi dihadapkan pada persoalan politis seperti ini, produktifitas dalam melakukan pelayanan publik akan terganggu. Akan ada gap dan yang lebar antar pejabat, antar Dinas, karena situasi yang serba politis akan menjadi pertimbangan utama dalam mengelola birokrasi daerah, dan hal ini akan berpengaruh kepada ketidak-solidan struktur birokrasi yang ada di daerah dalam melakukan pelayanan publik.
Menurut Webber (1948), bahwa birokrasi merupakan hirarki otoritas organisasi formal dan legitimasi peran kekuasaan anggota organisasi didasarkan pada keahlian pemegang jabatan secara individu, membantu mengarahkan hubungan intra personal di antara anggota organisasi guna menyelesaikan tugas-tugas organisasi. Dapat disimpulkan bahwa legalitas dengan menggunakan legitimasi peran kekuasaan sangatlah penting sebagai pemegang kunci berjalannya sistem birokrasi. Bila pucuk pimpinan yang memengang kendali kekuasaan tidak menggunakan konsep manajerial yang objektif berdasarkan kemampuan-kemampuan individu dan cenderung mengendalikan birokrasi dengan frame politis, maka sistem birokrasi tidak akan berjalan pada poros yang semestinya.
Pada akhirnya, akan terjadi patologi birokrasi seperti yang diungkapkan oleh webber, yang menekankan pada adanya dominasi kekuasaan yang berlebihan dalam  menjalankan sistem birokrasi (penyalahgunaan wewenang).  Artinya, bila kepala daerah dalam mengelola birokrasi menggunakan pendekatan kekuasaan yang membabi buta dalam mengatur birokrasi, mengatur perangkat-perangkat, jabatan, fungsi dan kewenangan berdasarkan kalkulasi dalam melanggengkan kekuasaannya daripada melanggengkan pola kerja yang berorientasi terhadap fungsi pelayanan yang optimal, maka birokrasi akan jalan ditempat, karena energinya dihabiskan untuk memikirkan konflik-konflik yang syarat akan kepentingan dalam tubuh birokrasi.
          Bekerja atau tidaknya sistem birokrasi daerah ada ditangan kepala daerah terpilih. Dalam hal ini, bagaimana kepala daerah terpilih dituntut untuk bersikap objektif dan menanggalkan kalkulasi dukung mendukung dalam tubuh birokrasi  menjelang Pemilukada. Hasrat untuk menyisihkan kelompok yang tidak mendukung dan menyokong kelompok yang kalah harus dibuang jauh-jauh. Resistensi akibat kemenangan dan kekalahan dalam tubuh birokrasi akan menimbulkan dis-harmonisasi para birokrat, dan ini tentu saja akan berakibat pada merosotnya kinerja para pelayan masyarakat ini.
Kepala Daerah memang jabatan politik, tetapi dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang yang mempunyai kapasitas sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan daerah, kepala daerah harus memerankan konsep manajerial yang utuh dalam menata birokrasi agar terjadi harmonisasi dan sinergitas dalam tubuh birokrasi, merupakan garda terdepan dan ujung tombak  pemerintah dalam menjalankan program-program pemerintah daerah. Jika terjadi dis-harmonisasi atau resistensi pada tubuh birokrasi akibat ekses Pemilukada yang tidak bisa diredam, maka program-program yang selama ini diusung dalam kampanye seperti mungkin tidak akan tercapai.

Wacana Memutus Mata Rantai
          Pertanyaan yang kemudian muncul dari implikasi-implikasi negatif implementasi Otonomi Daerah ini adalah bagaimana memutus mata rantai keterkaitan birokrasi dan para aparaturnya ke dalam ranah politik. seperti yang sudah penulis gambarkan diatas, bahwa persoalan tarikan politik ke dalam struktur birokrasi adalah masalah klasik, dan persoalannya hanya terletak pada pergeseran domain politik dari pusat ke daerah, maka pendekatan sebagai jalan memutus mata rantai tersebut adalah menggunakan pendekatan sistem politik. bagi penulis, Otonomi Daerah tidak terlalu identik dengan perubahan sistem politik. Demokratisasi secara liberal yang terjadi ditingkat nasional tidak serta merta memberikan keharusan dan syarat mutlak bagi pelaksanaan otonomi daerah, karena fokus otonomi daerah adalah mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, pemerataan, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Walaupun pelaksanaan otonomi Daerah harus memperhatikan prinsip demokrasi, ternyata tidak ada korelasi posistif antara Pemilihan Kepala Daerah Langsung dengan kualitas pelayanan publik di daerah, justru yang terjadi adalah kecendrungan adanya patologi politik yang berakibat pada patologi birokrasi yang penulis paparkan diatas. Ini adalah persoalan teknis pelaksanaan prinsip demokrasi, artinya bagaimana otonomi daerah ini bisa membangun teknis pelaksanaan demokrasi, tapi disisi lain menutup ruang bagi birokrasi untuk bermain dalam wilayah politik.
          Untuk menghasilkan seorang kepala daerah yang berkualitas, menyerap aspirasi masyarakat, cepat dan tanggap dalam menyelesaikan tugas dan persoalan yang ada di daerah, diperlukan sistem yang mempunyai korelasi posistif. Bila selama ini kita menganggap Pemilihan Kepala Daerah langsung merupakan formula yang baik untuk menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan menghasilkan aparatur birokrasi yang berkualitas, ternyata dengan fakta-fakta yang terjadi tidak menunjukan korelasi seperti itu. Pendekatan sistem politik dan prinsip demokrasi ini mengacu pada bagaimana teknis berdemokrasi yang bisa meminimalkan kecenderungan-kecendendungan yang bersifat negatif. Wacana-wacana yang selama ini muncul sebagai respon adanya patologi politik dan patologi birokrasi yang penulis paparkan memang sudah bermunculan, diantaranya adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
          Wacana ini harus dipikirkan kembali, sebagai jalan memutus mata rantai keterikatan birokrasi dalam wilayah politik. Dengan mekanisme ini, otonomi daerah juga tidak akan kehilangan ruhnya sebagai bagian dalam memantapkan demokrasi di tingkat lokal, sekaligus juga meminimalisasi politik High Cost, atau politik berbiaya tinggi sebagai konskwensi logis pelaksanaan Pemilukada. Kemudian pendekatan yang kedua adalah pembatasan kewenangan kepala daerah. Bila dalam UU Otonomi Daerah Nomor 32 Tahun 2004  Bab V Pasal 130 ayat 1 dan 2 kepala daerah diberi kewenangan yang besar dalam rangka  pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian, maka untuk menghindari penyalahgunaan wewenang ini dari tarik ulur kepentingan politis, kewenangan ini harus dipangkas. Kewenangan dalam rangka pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian harus diserahkan kepada otoritas Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini otoritas Menteri Dalam Negeri tidak hanya sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan manajemen pegawai negeri sipil daerah, tetapi juga diberi kewenangan pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian.
          Kemudian pendekatan yang ketiga adalah penguatan sistem birokrasi yang bisa bertahan dari intevensi politik. Pendekatan ini bisa dirumuskan kedalam sistem kerja, sistem hirarki dan pemisahan otoritas antara jabatan politik (kepala daerah) dan jabatan karir melalui  aturan, hukum dan perundang-undangan.

Kesimpulan
          Implementasi Otonomi Daerah pada hakekatnya adalah memberi ruang kepada daerah dalam mengelola urusan rumah tangganya sendiri secara otonom dengan prinsip-prinsip demokrasi. Sebagai tulang punggung utama terciptanya Otonomi daerah yang berkualitas, pengelolaan birokrasi daerah yang profesional adalah kunci bagi terciptanya tujuan-tujuan implementasi otonomi daerah. Tapi proses politik yang mengiringi implementasi otonomi daerah ternyata tidak melepaskan birokrasi dari tarikan-tarikan politik sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru. Masalah ini tentunya akan sangat kontra produktif bagi kinerja pelayanan publik. Gejala ini haruslah menjadi cermin dalam rangka menyempurnakan sistem dan landasan hukum yang baik bagi pelaksanaan otonomi daerah. Sistem yang dimaksud adalah sistem politik yang bisa meminimalisasi tarikan-tarikan kepentingan yang menyeret birokrasi daerah dalam situasi politik lokal. Kemudian yang kedua adalah menyempurnakan landasan hukum yang mempunyai korelasi terciptanya independensi birokrasi dan para birokrat di daerah dari tarikan-tarikan politik dalam memperebutkan kursi kepala daerah.
          Keadaan seperti ini memang merupakan buah dari sistem otonomi daerah yang memberi ruang sangat besar bagi konsolidasi demokratisasi di daerah. Dinamika dan warna-warni politik semakin ramai ditingkat lokal. Hiruk-pikuk demokrasi di tingkat lokal ini ternyata menyeret birokrasi daerah kedalam wilayah politik. fenomena ini haruslah menjadi kajian bersama dalam menciptakan sistem yang memutus mata rantai terseretnya birokrasi daerah dalam wilayah politik lokal.
Birokrasi yang profesional adalah birokrasi yang memandang politisi dan partai politik secara objektif. Karena bagaimanapun, sepatutnya pegawai negeri sipil berkomitmen penuh untuk mengabdi pada masyarakat (Edgar Gladden, 1956) tanpa diganggu oleh proses politik.  Birokrasi yang netral akan menjadikan pemerintahan lebih stabil dan mampu meningkatkan daya kinerja dan pelayanan publik sebuah daerah. Sebenarnya menghilangkan pengaruh politik dari birokrasi sama sekali adalah hal yang tidak mungkin (Guy Peters, 2001; Dag Jacobsen, 2006). Maka yang diperlukan adalah penguatan sistem birokrasi yang tahan terhadap pengaruh dan intervensi politik yang negatif (Tri Widodo, 2011).

Referensi

Martin Albrow, 2005, Birokrasi, Tiara Wacana, Yogyakarta

LIPI Press, 2006: Netralitas Birokrasi dalam Pilkada Langsung di Indonesia 2005 (Studi kasus Malang, Gowa dan Kutai Kartanegara)

Prijono Tjiptoherijanto: Mewujudkan Netralitas PNS Dalam Era Otonomi Daerah, 23/11/2008

UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.







[1] Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Siliwangi Tasikmalaya

Menjadi Umat Terbaik, Inilah Caranya


HIKMAH
REPUBLIKA.CO.ID,
 Oleh: Abi Muhammad Ismail Halim

Manusia adalah wujud dari kemahasempurnaan Allah SWT yang menciptakan (al-Khaliq), yang mengadakan (al-Bari'), dan yang membentuk rupa (al-Mushawwir). Di samping kesempurnaan jasmani dan rohani, kapasitas intelektual adalah alasan penting mengapa manusia dipilih untuk menerima amanah sebagai khalifah di muka bumi.

Kesempurnaan manusia adalah pada kemampuannya berpikir, menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, memanfaatkan fakultas-fakultas yang dimilikinya, yaitu as-samu (pendengaran), al-bashar (penglihatan), dan al-fuad (hati).

Menuntut ilmu adalah tugas pertama dan utama seorang anak manusia. Allah SWT telah mengajarkan nama-nama benda kepada Adam AS pada awal penciptaan sebagai landasan bagi penguasaan ilmu pengetahuan. (QS al-Baqarah [2]:31).

Perintah membaca (iqra) dan menulis dengan pena (al-qalam) juga merupakan perintah pertama dari risalah kenabian. Wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah perintah membaca dan menulis. (QS al-Alaq [96]:1-5).
 

Belajar, mencari, menguasai, dan mengembangkan ilmu pengetahuan adalah tugas yang pertama dan utama dari umat Muhammad SAW. Dengan bekal ilmu pengetahuan yang dimilikinya, manusia dapat memakmurkan bumi dan mencegahnya dari kerusakan.

Di samping sebagai hamba dan wakil Allah SWT di muka bumi, umat Islam adalah umat terbaik (khaira ummah) karena mereka senantiasa memerintahkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah SWT. (QS Ali Imran [3]:110).

Untuk dapat memelihara eksistensi dan kehormatannya sebagai umat yang terbaik, khaira ummah, the best nation of peoples for the people, umat Islam perlu terus-menerus belajar, beriman, dan beramal menyampaikan pesan-pesan Islam dengan contoh dan perbuatan serta tetap bersabar di dalam melaksanakannya. Pengetahuan yang mencerdaskan sekaligus mencerahkan tersebut diperoleh dengan menjelajahi dan mendalami ayat-ayat Allah SWT (the Spoken Verses) dan tanda-tanda di dalam ciptaan-Nya (the Creation Verses).

Kemampuannya untuk menggunakan hati (zikir) dan nalar (pikir) di dalam menjelajahi tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah ciri utama dari seorang Muslim cendekia (ulul albab, men of understanding). Itu sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, pengikut, dan pewaris terbaiknya. (QS Ali Imran [3]: 190-191).

Mengenai turunnya ayat ini, Abdullah Ibnu Umar RA menceritakan, dari Ummul Mu'minin Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW berdiri di dalam shalat malamnya dan menangis hingga janggutnya menjadi basah. Beliau menangis hingga air matanya membasahi lantai. Beliau kemudian berbaring dan bertumpu pada bagian sisinya seraya menangis.

Ketika Bilal datang untuk mengingatkan waktu shalat Subuh, dia berkata, "Ya Rasulullah, apa gerangan yang membuatmu menangis, padahal Allah SWT telah mengampuni dosa-dosamu yang telah lalu dan akan datang.” Beliau SAW berkata, "Ya Bilal, apa yang dapat menghalangi tangisku, ketika malam ini, ayat ini (QS Ali Imran [3]:190), diturunkan kepadaku. Celaka orang yang membaca ayat ini, tetapi tidak merenungkannya."
 Wallahu a'lam.

Sumber: Republika.co.id
Gambar :

Pancasila dalam Konteks Sejarah Perjuangan Bangsa

Thursday 19 April 2012

Contoh Draft Rencana Makalah


Draft Rencana Makalah

Relasi Negara dan Penerapan Hukum Islam : Perspektif  Sejarah Konfigurasi Politik di Indonesia

Akhmad Satori





A.  Latar Belakang
Perjuangan umat Islam dalam menyebarkan dan mengembangkan hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut dan dinamis sesuai dengan perkembangan sosial dan politik yang mengitarinya.  Dalam konteks sosial politik, hukum Islam di Indonesia selalu mengalami polemik.  Persoalannya terletak pada dua hal yaitu; pertama, hukum Islam berada pada titik tengah antara peradigma agama dengan paradigma negara; kedua,  hukum Islam terletak pada ketegangan antara agama itu sendiri.[1]
            Sejarah mencatat bahwa interaksi antara umat Islam dan negara sering kali di kaitkan kristalisasi  konstruksi politik yang sedang berjalan, untuk memberikan gambaran dari dimanika perjalanan penerapan hukum Islam di Indonesia, diperlukan suatu maping histories sebuah usaha untuk merekonstruksi sejarah.  Hal ini diperlukan untuk mengetahui bahwa  perkembangan hukum Islam tidak  selamanya mulus.
                                                                                           
B.  Perumusan Masalah
Makalah ini berusaha menjelaskan relasi negara dengan Penerapan hukum Islam di Indonesia dengan menggunakan Persfektif historis Perjalanan politik di Indonesia.  Bagaimana dinamika Perjalanan Penerapan Hukum Islam Di Indonesia selama Ini? Bagaimana Prospek nya kedepan?

C.  Metodologi
Metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode library research (studi kepustakaan), dengan memakai pendekatan sejarah (historical approach), dengan berusaha memetakan historical maping dari dinamika perjalanan hubungan umat Islam dalam hal penerapan hukum Islam dengan negara serta konstalasi politik yang terjadi di dalamnya.

D.  Kerangka Teoritik
a.      Konsepsi Hukum Islam: Tinjauan Singkat
Dalam kepustakaan hukum Islam Indonesia, Istilah Hukum Islam kadangkala dipergunakan untuk hukum fiqih Islam atau mungkin juga untuk hukum Syariat Islam.  Perbedaan Keduanya dapat di identifikasikan sebagai berikut :
1.      Syari'at terdapat dalam al-Qur'an dan kitab Hadis.  Sedangkan fiqh terdapat dalam kitab fiqh yang merupakan hasil pemahaman dan penalaran manusia tentang Syari'ah.
2.      Syari'at bersifat fundamental, mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada fiqh.  Sedangkan fiqh bersifat instrumental, ruang lingkupnya terbatas pada apa yang biasa di sebut tindakan hukum.
3.      Syariat adalah ciptaan atau ketetapan Allah serta ketentuan Rasul-Nya.  Karena itu Syariah berlaku sepanjang masa dimana saja.  Sementara fiqh adalah karya manusia, yang dapat berubah dari masa-kemasa baik ditempat yang sama maupun berbeda.
4.      Syariah hanya satu, sedangkan fiqh dapat terdiri dari beberapa madzhab atau aliran.
5.      Syariah menunjukan kesatuan, sedangkan fiqh menunjukan keaneka ragaman dalam hukum Islam.

b.   Relasi Negara dengan Penerapan hukum Islam.
Ada beberapa model yang muncul dikalangan umat Islam Indonesia dalam melihat  relasi antara Negara dan penerapan hukum Islam tersebut antara lain:
  1. Penerapan hukum Islam secara resmi melalui lembaga atau institusi kenegaraan. Pandangan ini bermaksud untuk menerapkan hukum Islam melalui perundang-undangan yang berpedoman pada hukum Islam.  Negara berkewajiban untuk menerapkan hukum Islam sebagai tatanan kehidupan bernegara dan bermasyarakt.  Dengan demikian pandangan ini mengharuskan  adanya pemerintahan Islam.  Pandangan ini menggunakan 2 model dalam mewujudkan cita-cita penerapan hukum Islam tersebut, yaitu :
a)       Memperjuangkan berlakunya hukum dan norma-norma Islam dengan melibatkan diri atau kelompok dalam mekanisme kenegaraan, seperti terlibat dalam pemilihan umum, menjadi anggota legislative dan eksekutif, model ini direpresentasikan oleh partai-partai yang berazazkan Islam seperti ; PPP dan PBB.
b)       Tidak melinbatkan diri kedalam mekanisme kenegaraan, karena menganggap bahwa mekanisme seperti itu tidak Islami, tetapi berusaha mensosialisasikan pandangan-pandangannya di masyarakat melalui gerakan dan pada saatnya nanti akan terbentuk pemerintahan Islam. Pandangan ini dapat dilihat dalam gerakan Hizbut Tahrir.  Gerakan ini berpendapat bahwa masyarakat Islam adalah masyarakat yang bertumpu pada aqidah dan kekhasan ideologi Islam.  Ia adalah masyarakat yang menjadikan Islam sebagai konsep hidupnya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya serta penentu arahnya baik hubungan individual, komunal, regional maupun Internasional. Usaha untuk menjadikan hukum Islam sebagai salah satu produk konstitusi dibuktikan dengan adanya usulan yang termuat dalam piagam Jakarta yang berbunyi : Negara berdasarkan ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
  1. Penerapan Hukum Islam tidak perlu diwujudkan dalam konsep terwujudnya pemerintahan Islam.  Tetapi hukum Islam di integrasikan dalam sistem perundang-undangan Negara.  Pandangan seperti ini umumnya dianut oleh sebagian cendikiawan muslim di Indonesia.
Integrasi hukum Islam dan hokum Nasional adalah wujud dari perhatian pemerintah terhadap umat Islam.  Seperti diakuinya lembaga-lembaga peradilan Agama sebagai salah satu sistem peradilan resmi di Indonesia serta disusunya kompilasi hokum Islam yang memuat undang-undang perkawinan, warisan dan wakaf yang berlandaskan pada hukum Islam.
      3.   Penerapan Hukum Islam tidak diperlukan dalam konsep bernegara karena Negara telah mengatur hokum dan perundang-undanganyaitu dalam bentuk hokum positif.  Pandangan ini meyakini bahwa hokum positif yang diterapkan oleh Negara telah mengakomodasi kepentingan umat Islam.  Pandangan seperti ini dapat dijumpai dalam kelompok Jaringan Islam Liberal.  Menurut mereka politik dan agama sama sekali tidak punya kaitan apapun, karenaitu agama tidak boleh dibawa dalam urusan politik.  Kelompok ini tidak menerima sama sekali pandangan yang mengharuskan adanya penerapan hokum Islam dalam bernegara.



E.  Sistematika Penulisan
A. Pendahuluan
            1.  Latar Belakang Masalah
            2.  Perumusan Masalah
            3.  Kerangka Teoritik
B.  Akar Sejarah Hukum Islam Indonesia
C.  Hukum Islam dan Strategi politik Kolonial
D.  Hukum Islam dalam konfigurasi politik Orde Lama
E.  Hukum Islam dalam Konfigurasi Politik Orde Baru
F.  Prospek Hukum Islam di era Reformasi
G. Daftar Pustaka

F.   Rencana Referensi

Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam : dari Fundamentalisme, Moderenisme hingga Post Moderenisme, Jakarta : Paramadina, 1996.
Anshari, Endang Syarifuddin, Perjuangan Konstitusional para Nasionalisme Islam, dalam bidang Konstitusi, dalam Tjun Suryaman, (Ed), Hukum Islam di Indonesia Perkembangan dan Pembentukan, Bandung : Remaja Rosyda Karya, 1991.
Amrullah, Ahmad dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Bustanul Arifin, SH., Jakarta : Gema Insani Press, 1996)
Mahfud MD, Moh, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : UII Perss, 2000
Maarif, Ahmad Syafii, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, Bandung : Penerbit Mizan, 1993
______  ,  Islam dan Masalah Kenegaraan : Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante, Jakarta : LP3ES, 1985
Effendi, Bachtiar, Islam dan Negara : Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta : Paramadina, 1998.
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia ; Kompilasi Aktual Masalah konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian, Jakarta : Gema Insani Press, 1996
Rofik, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Grafindo Persada, 2000
_______,  Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 2001
Sadjali, Munawwir, Islam dan Tatanegara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1993.


[1]Ahmad Rofiq,  Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta : Gama Media, 2001) hal.100.

Pemimpin Itu Pelayan

Wednesday 18 April 2012


REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh: Prof KH Achmad Satori Ismail

Yahya bin Aktsam berkata, “Pada suatu malam aku menginap di rumah Amirulmukminin al-Makmun. Aku terbangun di tengah malam karena rasa haus yang sangat, maka aku pun bangkit (mencari air). Tiba-tiba Amirulmukminin berkata, “Wahai Yahya, apa gerangan yang terjadi?” Aku menjawab, “Demi Allah, aku sangat haus wahai Amirulmukminin.”

Lalu, Khalifah Makmun bangun seraya membawa seteko air untukku. Aku berkata, “Wahai Amirulmukminin, mengapa tidak kau suruh pembantu atau budak saja?” Beliau menjawab, “Tidak.” Karena bapakku meriwayatkan hadis dari bapaknya dan dari kakeknya dari Uqbah bin ‘Amir ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.’” (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).

Hadis tersebut di atas terdapat juga dalam kitab Al-Mawahib al-Laduniyah karangan al-Qastholani dan Syarah Az-Zarqani, juz 4, hlm 117-118. Kendati hadis ini lemah sanadnya, dikuatkan oleh beberapa hadis lain yang hampir serupa dan juga isinya tidak bertentangan dengan jiwa ajaran Islam yang memerintahkan kita untuk memberikan jasa sebanyak mungkin kepada manusia.

“Amalan yang paling dicintai Allah setelah yang fardu adalah memasukkan kegembiraan di hati Muslim.” (HR at-Thabrani dari Ibnu Abbas).

Ibnu al-Mubarok meriwayatkan dari Abi Syureih bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Di antara amalan yang paling dicintai Allah adalah memasukkan kegembiraan pada hati Muslim, melapangkan kesedihannya, membayar utangnya, atau memberi makan untuk menghilangkan rasa laparnya.” (Syu’abul Iman lil Baihaqi).

Sebaik-baik manusia adalah yang paling berjasa kepada orang lain. Uwais al-Qarni berkata, “Dalam perjalananku pernah melewati seorang pendeta, lalu aku bertanya, ‘Apakah derajat pertama yang harus dilewati seorang murid (pencari jalan tazkiyatunnafs)?’ Dia menjawab, ‘Mengembalikan semua hak orang dan meringankan punggung dari beban karena amalan seorang hamba tidak akan naik saat masih banyak hal-hal yang membebani dan menyusahkan orang lain. Tugas utama penguasa sebagai pelayan rakyat terfokus dalam dua hal, yaitu hirosatuddin dan siyasatuddunya (melindungi agama mereka dan mengatur urusan dunia.’” (Al-Ahkam as-Sulthoniyah, juz I, hlm 3).

Pelayanan bidang pertama berupa menjamin setiap warga negara agar memahami ajaran agamanya masing-masing, mampu mengamalkannya dengan baik, dan melindungi agama mereka dari berbagai bentuk kesesatan. Sedangkan, siyasatuddunya berupa pelayanan terhadap rakyat agar bisa hidup layak sebagai manusia yang bermartabat.

Tuntutan inilah yang mendorong Umar bin Khattab RA sering berkeliling malam hari untuk melihat kondisi rakyatnya. Saat ada yang mengeluh kekurangan pangan, ia menolongnya dan memanggul karung gandum sendiri.

Dalam kesempatan lain Umar pernah berkata, “Seandainya seekor keledai terperosok di Baghdad, niscaya Umar akan ditanya, mengapa tidak kau ratakan jalannya?”

Bila semua penguasa ataupun pemimpin di dunia menjadi pelayan rakyat atau anggotanya sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW, akan tegaklah keadilan dan umat manusia pun berada dalam kesejahteraan.

Sumber : Republika.co.id
Pic: aneahira.com
 

Most Reading