Jurnal Aliansi Vol.4 No.1 Tahun 2012

Saturday 25 February 2012


KINERJA ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
Studi Tentang Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Prespektif Opini Publik di Kota Tasikmalaya

Taufik Nurohman[1]
Wiwi Widiastuti[2]

ABSTRACT

This study entitled "PERFORMANCE OF MEMBERS OF THE HOUSE OF REPRESENTATIVES (Performance Studies Member of Legislative Assembly Perspective Public Opinion in the City Tasikmalaya)". The purpose of this study is to investigate in depth and obtain a descriptive about to find out public opinion on Parliament's performance in terms of the City Tasikmalaya resposivitas, reliability and accountability.
The research method used was qualitative-descriptive, with the informant selection techniques using purposive sampling. Collecting data through in-depth interviews, observation, and documentary studies. The method of analysis used is Interactive Analysis Model to the validity of data was tested using Trianggulasi Sources.
The results showed that by looking at indicators of responsiveness, reliability, accountability and implementation of the functions of Parliament is seen that legislators Tasikmalaya City has not shown a good performance. When the members of the City Legislature Tasikmalaya showed good performance and the public quite satisfied with its performance then it did not rule on the coming election period they will be re-elected, but if this is the opposite then it is possible to describe the members of this council will be left and will not be selected again by the voters in the upcoming election period.

Keyword : Resposivitas, Reliability, Accountability



ABSTRAK

Penelitian ini berjudul ”KINERJA ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (Studi Tentang Kinerja Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Prespektif Opini Publik di Kota Tasikmalaya )”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam dan memperoleh gambaran secara deskriptif tentang untuk mengetahui opini publik tentang kinerja DPRD Kota Tasikmalaya dilihat dari sisi resposivitas, reliabilitas dan akuntabilitas.
Metode Penelitian yang digunakan adalah kualitatif-deskriptif, dengan teknik pemilihan informan menggunakan Purposive Sampling. Pengumpulan data melalui wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumenter. Metode analisis yang digunakan adalah Model Analisis Interaktif dengan keabsahan data diuji menggunakan Trianggulasi Sumber.
Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan melihat indikator responsivitas, reliabilitas, akuntabilitas dan pelaksanaan fungsi-fungsi DPRD  terlihat bahwa anggota DPRD Kota Tasikmalaya belum memperlihatkan kinerja yang baik. Ketika para anggota DPRD Kota Tasikmalaya menunjukan kinerja yang baik dan masyarakat cukup puas atas kinerjanya maka tidak menutup kemungkinan pada pemilu periode yang akan datang mereka akan dipilih kembali tetapi jika keadaannya menggambarkan kebalikannya maka sangat dimungkinkan para anggota dewan ini akan ditinggalkan dan tidak akan dipilih kembali oleh para pemilihnya pada pemilu periode yang akan datang.

Kata Kunci : Resposivitas, Reliabilitas, Akuntabilitas


PENDAHULUAN

Desentralisasi merupakan suatu cara pemerintahan dalam mana sebagian dari kekuasaan mengatur dan mengurus dari Pemerintahan Pusat diserahkan kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan, misalnya kepada Daerah-Daerah dalam Negara itu sehingga Daerah-Daerah itu mempunyai pemerintahan sendiri yang lazim disebut Pemerintahan Daerah. Jadi suatu Negara yang desentralistis, terdiri dari daerah-daerah yang mempunyai rumah tangga sendiri, yang disebut Otonom. Otonomi adalah hak dari Daerah Bawahan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya, dibawah pengawasan kekuasaan yang lebih tinggi.
Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah sebagai upaya mewujudkan keseimbangan politik (political equality), akuntabilitas pemerintah lokal (local accountability) dan pertanggungjawaban pemerintah lokal (local responsiveness). Adapun prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut, dalam konteks Indonesia misalnya, adalah pemerintah daerah harus memiliki territorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah (PAD) sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah; dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui suatu pemilihan yang bebas.
Undang-Undang 22 Tahun 1999 lahir dalam suasana konfigurasi politik nasional yang demokratis. Reformasi telah mambawa perubahan pola hubungan Pusat dan Daerah yang bersifat paternalistik dan sentralistik melalui UU No.5/1974 menjadi pola hubungan yang bersifat kemitraan dan desentralistik yang tertuang dalam UU No.22/1999. Paradigma pembangunan sebagai acuan kerja pemerintahan yang disakralkan berubah, kembali menggunakan paradigma pelayanan dan pemberdayaan. Dengan kata lain, tugas pembangunan diletakkan diatas landasan nilai pelayanan.
Namun begitu, UU No. 22 Tahun 1999 ternyata dalam prakteknya menciptakan banyak permasalahan baru sebagai implikasi dan konsekuensi baik bersifat administratif, politis, sosial, maupun hukum. Adanya kelemahan-kelemahan yang dirasakan di dalam UU No.22/1999 maka kemudian dikeluarkan UU No.32/2004. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada dasarnya merupakan revisi dari UU No.22 Tahun 1999 yang mengatur tentang hal yang sama. Revisi atas UU No.22/1999 ini bertujuan untuk menyegarkan pelaksanaan otonomi daerah yang mengandalkan kemandirian dan kemajuan daerah.  Namun begitu tidak sedikit pula pihak yang mengartikan bahwa revisi atas UU No.22/1999 dimaksudkan sebagai jalan kembali ke sentralisasi atau resentralisasi.
Pada saat berlakunya UU No. 22 tahun 1999 lembaga legislatif terkesan sangat arogan di pihak lain lembaga eksekutif tidak berkutik bila berhadapan dengan legislatif. Fenomena ini terjadi karena UU No. 22 tahun 1999 memberikan keleluasaan kewenangan yang sangat besar kepada DPRD dan DPRD pada saat itu seolah-olah dapat dengan mudah menjatuhkan seorang kepala daerah tanpa alasan politik yang masuk akal. Kondisi demikian mengakibatkan banyak anggota DPRD yang terlibat kasus suap dan akhirnya terkena kasus hukum. Keberhasilan DPRD dalam mengakomodasi kepentingan rakyat dalam bentuk regulasi masih jauh dari harapan masyarakat, hal ini disebabkan banyak anggota DPRD yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kepentingan partai daripada kepentingan rakyat secara umum.
Porsi kekuasaan yang lebih besar diberikan kepada DPRD khususnya pada periode 1999-2004 pada kenyataannya tidak digunakan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan partai dan dirinya sendiri. Pada periode itu terdapat kecenderungan adanya pola “legislative heavy” di dalam hubungan relasi antara kepela daerah dengan DPRD. DPRD yang diberikan kekuasaan dan otoritas lebih besar memiliki bargaining position yang lebih kuat ketika berhubungan dengan kepala daerah.
Namun di era UU No. 32 tahun 2004 terjadi kecenderungan yang sebaliknya yakni kecenderungan “eksekutive heavy”. Hal ini terlihat dari berkurangnya otoritas yang dimiliki oleh DPRD, termasuk dalam hal fungsi kontrol terhadap pemerintah daerah, terlebih kepala daerah merupakan hasil dari pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung mengembalikan otoritas kepada masyarakat daerah. Sistem representasi yang dibangun melalui pemilihan kepala daerah secara langsung lebih member ruang otoritas yang lebih besar kepada masyarakat daripada sistem representasi yang mendelegasikan otoritas memilih kepala daerah kepada DPRD.
Walaupun sistem representasi sudah berubah tetapi hal itu belum memperbaiki hubungan relasi antara rakyat dengan DPRD. Di era UU No. 32 tahun 2004 seharusnya anggota DPRD memperbaiki hubungan relasi dengan rakyat pemilihnya sebagai konstituennya. Sebagai wakil rakyat yang dipilih secara demokratis, sepantasnya jika anggota DPRD lebih memperjuangkan kepentingan rakyatnya daripada kepentingan partai dan dirinya. Setidaknya memperjuangkan aspirasi politik dengan melakukan komunikasi politik dengan rakyat yang memilihnya. Atau paling tidak, anggota DPRD memperjuangkan aspirasi masyarakat seperti yang selalu mereka janjikan pada saat kampanye. Oleh karena itu DPRD seharusnya mampu memelihara komunikasi dengan rakyat dan mentranformasikan berbagai aspirasi masyarakat ke dalam berbagai kebijakan.
Namun pada kenyataannya, tidak sedikit anggota DPRD belum menjalankan berbagai fungsinya secara maksimal, terutama dalam menjalin komunikasi politik dengan rakyat sebagai konstituennya. Banyak anggota DPRD cenderung berorientasi kepada kepentingan ekonomi politiknya. Selain itu, mereka mengabaikan komunikasi politiknya dengan rakyat, sehingga aspirasi konstituennya terabaikan. Akibat tidak terbangunnya komunikasi politik dapat menyebabkan sikap apatisme masyarakat terhadap kinerja DPRD. Tidak itu saja, akibat tidak resposifnya DPRD terhadap aspirasi masyarakat dapat menumbuhkan sikap ketidakpercayaan masyarakat terhadap DPRD dengan terjadinya berbagai protes, unjuk rasa ataupun demonstrasi.
Kekuasaan yang begitu besar yang begitu yang diberikan undang-undang kepada DPRD membawa dampak negatif terhadap perilaku anggota DPRD, seperti kasus suap dan kasus korupsi yang menimpa anggota DPRD Kota Tasikmalaya. Kasus ini menunjukkan bahwa anggota DPRD lebih mengutamakan kepentingan ekonomi pribadinya bukan kepentingan rakyat. Melihat hal tesebut peneliti tertarik untuk meneliti mengenai kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tasikmalaya dilihat dari perspektif opini publik (masyarakat) Kota Tasikmalaya.


PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, maka permasalahan yang diteliti adalah bagaimana opini publik melihat kinerja anggota DPRD Kota Tasikmalaya dilihat dari sisi responsivitas, reliabilitas, dan akuntabilitas ?

TIJAUAN TEORITIS OTONOMI DAERAH
Adanya perubahan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, di samping karena adanya amandemen UUD 1945, juga memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR. Adanya kekurangan-kekurangan dalam UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah disempurnakan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Beberapa kelemahan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah yang dapat diamati adalah sebagai berikut. (1) Dalam pembagian daerah, belum atau tidak cukup jelas mengatur pembagian daerah. Apa ukuran atau kriteria suatu daerah provinsi dapat dikatakan otonom; (2) Dalam pembentukan dan susunan daerah tidak rinci, hanya didasarkan atas prakarsa dan kehendak masyarakat. Kriteria susunan daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan lain-lain. Kriteria seperti ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum tentang keberadaan suatu daerah; (3) Dalam kewenangan daerah. Sebagai akibat ketidakjelasan kriteria otonomi tercermin pula kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Kondisi seperti ini akan tetap menempatkan pusat sebagai pihak yang lebih tinggi dari provinsi, kemudian provinsi sebagai pihak yang lebih tinggi dari kabupaten/kota, dan seterusnya. (4) Tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Belum memberikan kewenangan yang sungguh-sungguh kepada DPRD sebagai lembaga legislatif dengan tidak jelasnya kedudukan DPRD dalam pengambilan keputusan terhadap masalah-masalah daerah; (4) Tentang perangkat daerah. Daerah mempunyai wewenang untuk mengangkat perangkat derah, akan tetapi tidak ada kejelasan kewenangan daerah merekrut perangkat derah di luar struktur pemerintahan sebelumnya; (5) Dalam keuangan daerah. Belum mencerminkan otonomi penuh daerah untuk menentukan jumlah anggaran dan pengaturannya; (6) Dalam hubungan pusat dan daerah. Harus ada batasan yang jelas hubungan antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom, selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prinsip-prinsi otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam UU No. 32 Tahun 2004 ini adalah sebagai berikut: (1) Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang ini;  (2) Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat; (3) Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang beranggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional; (4) Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat; (5) Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah; (5) Otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antara daerah dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan negara.
Adapun asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Undang-Undang No.32 Tahun 2004, yaitu: (1) Digunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan; (2) Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di daerah kabupaten dan daerah kota; (3) Asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan dari daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota, dan desa.

TINJAUAN TEORITIS TENTANG KINERJA ANGGOTA DPRD
Menurut Manin, Przeworski, stokes dalam Irtanto (2008:80), untuk melihat kemampuan (kinerja) anggota dewan dalam menyikapi aspirasi masyarakat dapat dilihat dari tiga indikator yaitu responsivitas, reliabiltas dan akuntabilitas. Responsivitas berkaitan dengan kemampuan anggota legislatif dalam mentransformasikan berbagai aspirasi masyarakat dalam kebijakan publik. Seorang anggota legislatif disebut responsif apabila mereka mengadopsi berbagai kebijakan yang telah disignalkan masyarakat sebagai isyarat preferensi mereka seperti opini publik, hasil polling, berbagai bentuk perilaku politik langsung seperti demonstrasi, unjuk rasa, menulis surat pembaca dalam suatu surat kabar, dan semacamnya. Reliabilitas berkaitan dengan kemampuan anggota legislatif dalam mentransformasikan berbagai issu dan program yang mereka tawarkan pada saat kampanye ke dalam suatu kebijakan publik. Anggota dewan dikatakan kinerjanya baik apabila mereka mampu memenuhi setidaknya dua kriteria yaitu sebagai berikut : (1) Kebijakan-kebijakan yang dibuat atau diperjuangkan sesuai dengan platform politik (issu dan program) yang mereka tawarkan pada saat kampanye pemilu; (2) Upaya pencapaian platform politik ini semata-mata dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan sesuatu yang terbaik bagi konstituennya.
Akuntabilitas berkaitan dengan kemampuan anggota dewan dalam bertindak sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kepentingan untuk terpilih kembali pada pemilu berikutnya. Anggota dewan dikatakan akuntabel apabila para pemilih dapat melihat bahwa para politisi tersebut melakukan tindakan sesuai  dengan kepentingan mereka dan menyetujui tindakan pemerintah secara wajar. Sehingga para politisi tersebut akan terpilih kembali pada pemilu berikutnya. Akuntabilitas terjadi jika para pemilih akan tetap mempertahankan atau memilih anggota dewan jika para anggota dewan tersebut berbuat untuk kepentingan terbaik mereka. Selain itu, akuntabilitas terjadi jika para anggota dewan memilih kebijakan yang dibutuhkan agar mereka terpilih kembali.
Menurut Laode Ida (2002:40), pada dasarnya esistensi DPRD dalam arti kinerja dapat diukur dengan dua kriteria utama, yaitu (1) secara kuantitatif mampu penghasilkan peraturan daerah dan memvalidasi peraturan daerah yang berorientasi kerakyatan berbasis lokal, (2) mengakomodasi aspirasi rakyat serta mengembangkan iklim transparansi dalam proses-proses pengambilan atau operasionalisasi kebijakan publik. Akuntabilitas terjadi jika para pemilih menilai bahwa anggota dewan telah melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan.
Untuk mengukur ketiga indikator diatas dapat dilihat dari aktivitas anggota dewan dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Secara umum fungsi legislatif terdiri dari fungsi perwakilan (representative functions), fungsi pengawasan (control functions), fungsi legislasi atau pembuatan peraturan (legislative or law-making functions) dan fungsi rekruitmen (recruitment or electorial colleges functions). Fungsi representasi adalah fungsi badan perwakilan yang berhadapan dengan keanekaragaman demografis (seks, umur, tempat tinggal), sosiologis (pengelompokan sosial dan stratifikasi sosial), ekonomi (jenis pekerjaan dan pemilikan atau kekayaan), kultural (adat, kepercayaan, agama, orientasi sosial dan kesenian), maupun politik di dalam masyarakat.

KAJIAN TEORITIS OPINI PUBLIK
Opini dapat diartikan sebagai kepercayaan, nilai dan pengharapan yang disuarakan melalui perilaku. Opini publik dapat diartikan sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang mengandung konflik, perbantahan dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya (Nimmo, 1989:7).
Menurut William Albiq (dalam Santoso, 1990:45), opini publik adalah sejumlah dari pendapat individu-individu yang diperoleh melalui perdebatan dan opini publik merupakan hasil antara individu-individu dalam suatu publik. Opini publik hasil pengintegrasian pendapat berdasarkan diskusi yang dilakukan di dalam masyarakat demokratis. Opini publik bukan merupakan seluruh jumlah pendapat individu-individu yang dikumpulkan.
George L. Bird dan Frederick E. Merwin (dalam Abdurachman, 2001:51) mendefinisikan opini publik sebagai penilaian sosial (social judgment) mengenai suatu hal yang penting dan berarti atas dasar pertukaran fikiran yang dilakukan individu-individu dengan sadar dan rasional. Pengertian senada juga diberikan oleh Emory Bogardus (dalam Abdurachman, 2001:52) yang mengartikan bahwa opini publik adalah hasil pengintegrasian pendapat berdasarkan diskusi yang dilakukan di dalam masyarakat demokratis. Opini publik bukan merupakan seluruh jumlah pendapat individu-individu yang dikumpulkan. Dengan demikian berarti bahwa a). Opini publik itu bukan merupakan kata sepakat. b). Tidak merupakan jumlah pendapat yang dihitung secara numerical (numeric, menurut jumlah) berapa jumlah orang yang terdapat di masing-masing pihak, sehingga mayoritas opini dapat disebut opini publik. c). Opini publik hanya dapat berkembang di negara-negara demokratis dimana terdapat kebebasan bagi tiap individu untuk menyatakan pendapatnya dengan lisan, tertulis, gambar-gambar, isyarat dan simbol-simbol lainya yang dapat dimengerti.

METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif-kualitatif. Penelitian kualitatif menghasilkan data berupa ucapan, tulisan dan perilaku serta penekanan pada aspek subjektif  yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Metode ini langsung menunjuk setting dan individu-individu dalam seting itu secara keseluruhan materi (Bogdan dan Taylor, 1992). Data yang dikumpulkan berupa kata-kata atau kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka atau frekuensi (Sutopo, 1988). Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah sampel bertujuan  (purposive sampling) dimana peneliti memilih informan yang dianggap tahu dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam (Goezt & Le Comple, 1984, dalam Heribertus Sutopo, 1988: 21-22) dengan demikian, pemilihan informan tidak ditekankan secara kuantitas, melainkan ditekankan pada kualitas pemahamannya terhadap masalah yang akan diteliti.

KINERJA ANGGOTA DPRD KOTA TASIKMALAYA
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi serta mengetahui dampak positif dan negatif suatu kebijakan operasional yang diambil. Kinerja dapat juga diartikan sebagai prestasi yang dapat dicapai organisasi dalam suatu periode tertentu. Prestasi organisasi merupakan tampilan wajah organisasi dalam menjalankan kegiatannya. Dengan kinerja, organisasi dapat mengetahui sampai peringkat keberapa prestasi keberhasilan atau bahkan mungkin kegagalannya dalam menjalankan amanah yang diterimanya. Kinerja merupakan gambaran mengenai sejauh mana keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi instansi.
Dalam sistem politik yang demokratis, jika dilakukan secara bebas dan fair, jika partisipasi masyarakat begitu luas, pemerintah akan melakukan tindakan sesuai dengan kepentingan masyarakat. Partisipasi dalam kehidupan politik dapat mendukung perwujudan sistem politik yang demokratis. Jika partisipasi diartikan sebagai keikutsertaan dalam proses yang terjadi dalam sistem politik. Maka salah satu bentuk dari partisipasi politik tersebut adalah menyalurkan aspirasi kepada badan perwakilan untuk diteruskan menjadi kebijakan publik.
Untuk melihat bagaimana sebuah negara menjalankan demokrasi perwakilan yang partisipatif dapat dilihat dari bagaimana kinerja para wakil rakyatnya dalam melihat dan menindaklanjuti aspirasi-aspirasi masyarakat yang ada untuk diteruskan kedalam suatu tidakan politik ataupun kebijakan publik.
Untuk melihat Kinerja anggota DPRD Kota Tasikmalaya dalam menyikapi aspirasi masyarakat dapat dilihat dari tiga indikator yaitu responsivitas, reliabiltas dan akuntabilitas. Responsivitas berkaitan dengan kemampuan anggota legislatif dalam mentransformasikan berbagai aspirasi masyarakat dalam kebijakan publik. Seorang anggota legislatif disebut responsif apabila mereka mengadopsi berbagai kebijakan yang telah disignalkan masyarakat sebagai isyarat preferensi mereka seperti opini publik, hasil polling, berbagai bentuk perilaku politik langsung seperti demonstrasi, unjuk rasa, menulis surat pembaca dalam suatu surat kabar, dan semacamnya. Reliabilitas berkaitan dengan kemampuan anggota legislatif dalam mentransformasikan berbagai issu dan program yang mereka tawarkan pada saat kampanye ke dalam suatu kebijakan publik. Anggota dewan dikatakan kinerjanya baik apabila mereka mampu memenuhi setidaknya dua kriteria yaitu sebagai berikut : (1) Kebijakan-kebijakan yang dibuat atau diperjuangkan sesuai dengan platform politik (issu dan program) yang mereka tawarkan pada saat kampanye pemilu; (2) Upaya pencapaian platform politik ini semata-mata dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan sesuatu yang terbaik bagi konstituennya.
Akuntabilitas berkaitan dengan kemampuan anggota DPRD Kota Tasikmalaya dalam bertindak sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kepentingan untuk terpilih kembali pada pemilu berikutnya. Anggota dewan dikatakan akuntabel apabila para pemilih dapat melihat bahwa para politisi tersebut melakukan tindakan sesuai dengan kepentingan mereka dan menyetujui tindakan pemerintah secara wajar. Sehingga para politisi tersebut akan terpilih kembali pada pemilu berikutnya. Akuntabilitas terjadi jika para pemilih akan tetap mempertahankan atau memilih anggota dewan jika para anggota dewan tersebut berbuat untuk kepentingan terbaik mereka. Selain itu, akuntabilitas terjadi jika para anggota dewan memilih kebijakan yang dibutuhkan agar mereka terpilih kembali.

RESPONSIVITAS ANGGOTA DPRD KOTA TASIKMALAYA
Dalam menjelaskan kinerja anggota dewan dapat dilihat salah satunya dari variabel Responsivitas. Variabel responsivitas tersebut berkaitan dengan kemampuan anggota legislatif dalam mentranformasikan berbagai aspirasi masyarakat ke dalam kebijakan publik. Anggota legislatif dapat dikatakan responsif apabila mereka mengadopsi berbagai kebijakan yang telah disignalkan masyarakat sebagai isyarat preferensi mereka seperti opini publik, hasil polling, demonstrasi atau unjuk rasa. Artinya kebijakan yang dibuat oleh para anggota legislatif merupakan respon dari tuntutan atau aspirasi yang disuarakan oleh masyarakat.
Untuk melihat bagaimana tingkat responsifitas para anggota DPRD Kota Tasikmalaya dalam penelitian ini diajukan beberapa pertanyaan misalnya Apakah para anggota DPRD Kota Tasikmalaya mempunyai cukup kemampuan dalam mentranformasikan aspirasi, tuntutan, keinginan dan pengaduan masyarakat ini ke dalam kebijakan publik misalnya ke dalam pembuatan peraturan daerah.
Dari hasil penelitian menunjukan bahwa para anggota DPRD Kota Tasikmalaya belum memiliki kemampuan yang baik dalam mentranformasikan aspirasi, tuntutan dan keinginan masyarakat ke dalam berbagai kebijakan publik (Perda). Menurut hasil wawancara dengan beberapa informan dan di uji validitasnya dengan teknik trianggulasi sumber, anggota DPRD Kota Tasikmalaya kurang produktif dalam menyalurkan berbagai tuntutan dan aspirasi dari masyarakat. Sebagai contoh ada tuntutan dari masyarakat ada di Kota Tasikmalaya dibuat sebuah kebijakan yang mengatur berjamurnya rentenir. Namun sampai saat ini belum ada aturan yang mengatur hal ini. Sehingga praktek-praktek rentenir semakin menjamur sehingga banyak masyarakat yang terjebak dan sangat dirugikan.
Selain contoh diatas terdapat hal lain yang menunjukan bahwa para anggota DPRD Kota Tasikmalaya belum memiliki kemampuan yang baik dalam mentransformasikan aspirasi, tuntutan dan keinginan masyarakat ke dalam berbagai kebijakan publik yakni jika melihat komposisi anggota DPRD Kota Tasikmalaya periode 2009-2014 sebagian besar terdiri dari para tokoh yang religius, artinya pada saat pemilihan masyarakat pemilih banyak yang memilih tokoh-tokoh religius tersebut dengan harapan mereka akan mentranformasikan nilai-nilai religiusnya pada produk kebijakan. Namun setelah beberapa tahun DPRD periode 2009-2014 terbentuk sampai saat ini tidak banyak produk kebijakan yang dihasilkan yang sesuai dengan nilai-nilai religiusitas tersebut. Dari data di lapangan menunjukan hal yang bertentangan. Alih-alih memikirkan bagaimana menghasilkan produk kebijakan yang sarat dengan nilai-nilai religius tetapi ada anggota DPRD Kota Tasikmalaya yang terjerat kasus penipuan.
Menanggapi kasus diatas, Dadih Abdul Hadi (Koordinator Tasikmalaya Corruption Watch) berpendapat dalam sebuah media masa lokal bahwa kejadian tersebut menggambarkan betapa mahanya biaya untuk menjadi anggota dewan sehingga begitu terpilih mereka lebih sibuk mencari uang untuk mengembalikan biaya pada saat kampanye daripada memikirkan bagaimana mentransformasikan aspirasi masyarakat yang mereka tampung dan program-program yang mereka janjikan pada saat kampanye.
Suatu kebijakan publik harus sesuai dengan kehendak masyarakat, oleh karena itu untuk mengetahui kehendak masyarakat diperlukan seperangkat proses yang harus dilalui, apakah itu melalui hearing, dialog, penggalian informasi kepada masyarakat secara mendalam tidak hanya membayangkan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan penelitian dan kemudian digunakan teknik trianggulasi sumber untuk menguji validitasnya tergambar bahwa para anggota dewan jarang sekali melakukan proses itu. Sehingga jangankan mentranformasikan aspirasi atau keinginan masyarakat ke dalam sebuah kebijakan bahkan dapat diperkirakan bahwa sedikit sekali anggota dewan yang tidak memahami apa yang menjadi keinginan masyarakat. Mereka setelah jadi anggota dewan lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada mengurusi kepentingan rakyat. Mereka jarang sekali turun ke bawah untuk mendengarkan aspirasi masyarakat sehingga mereka tidak tahu kondisi dan keinginan masyarakat yang sebenarnya namun lebih mengutamakan kepentingan pribadinya.
Para anggota DPRD Kota Tasikmalaya periode 2009-2014 kurang mampu mentranformasikan aspirasi masyarakat kedalam sebuah kebijakan. Banyak sekali aspirasi masyarakat yang dampai saat ini tidak tertampung dan tidak disalurkan ke Pemerintah Kota Tasikmalaya misalnya keinginan dari mahasiswa Universitas Siliwangi yang menginginkan perubahan status almamaternya menjadi universitas negeri yang prosesnya berlarut-larut. Sampai saat ini belum ada tindakan nyata dari DPRD Kota Tasikmalaya dalam menghadapi masalah ini. Ada anggapan dari mahasiswa yang menuntut aspirasi tersebut bahwa anggota DPRD Kota Tasikmalaya tidak responsif atau tidak mampu mentranformasikan aspirasi dari mahasiswa. Selain tuntutan itu sebetulnya banyak aspirasi dari rakyat yang disampaikan oleh mahasiswa kepada anggota DPRD Kota Tasikmalaya namun mereka tidak tanggap terhadap aspirasi-aspirasi yang disampaikan.
Temuan lain yang dapat memperkuat opini masyarakat bahwa anggota DPRD Kota Tasikmalaya kurang responsif adalah dengan tengah dirancangnya rancangan peraturan daerah (Raperda) pajak. Ade Ruhimat (Ketua Tim Pansus Raperda Pajak) dalam harian Radar Tasikmalaya yang terbit pada hari Jumat, 8 Juli 2011 menyatakan bahwa dalam raperda tersebut ada kenaikan pajak penerangan jalan sebesar 10 persen yang akan dibebankan kepada masyarakat dengan nilai nominal yang  ditargetkan sebesar 10 milyar rupiah. Tentu saja kebijakan tersebut sangat tidak popular, artinya kebijakan tersebut bukan dari aspirasi masyarakat karena yang terjadi adalah sebaliknya banyak sekali masyarakat yang menolak kebijakan tersebut karena masyarakat banyak yang merasa sangat terbebani.
Anggota DPRD Kota Tasikmalaya dipilih oleh masyarakat Kota Tasikmalaya dengan harapan akan mewakili masyarakat Kota Tasikmalaya untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat Tasikmalaya. Konsekuensi logis dari hal ini adalah anggota dewan harus resposif terhadap keinginan masyarakat dalam mentranformasikan keinginan masyarakat tersebut kedalam sebuah kebijakan publik. Di sisi lain pembuatan sebuah kebijakan atau peraturan daerah (Perda) misalnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hasbullah Fudail (Kepala Bagian Hukum Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Barat dalam harian Radar Tasikmalaya yang terbit pada hari Selasa, 12 Juli 2011 menyatakan bahwa kalau setiap daerah membutuhkan biaya 100 juta rupiah setiap pembahasan satu perda, berapa biaya yang harus dikeluarkan dalam pembahasan seluruh perda? Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan untuk studi banding dan lain-lain. Maka dapat dibayangkan akan banyak sekali masyarakat yang sangat kecewa jika perda atau kebijakan publik yang dibuat tidak mencerminkan aspirasi masyarakat sedangkan uang rakyat yang digunakan untuk itu bukan dalam nominal yang sedikit.
Hasil penelitian yang menunjukan bahwa anggota DPRD cenderung kurang responsif terhadap berbagai aspirasi masyarakat dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya kondisi internal DPRD sendiri yang sumber daya manusianya masih rendah. Hal ini dilihat dari latar belakang pendidikan banyak anggota DPRD Kota Tasikmalaya berlatar pendidikan dibawah sarjana. Tercatat bahwa dari semua anggota DPRD Kota Tasikmalaya terdapat 35 persen yang berpendidikan dibawah sarjana padahal untuk mentranformasikan berbagai aspirasi masyarakat harus dilakukan dengan tingkat intelektualitas yang tinggi dengan logika berpikir yang tepat. Selain itu, aspirasi yang murni datangnya dari rakyat kurang mendapat penghargaan dan perhatian. Banyak kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan kurang tepat sasaran. Mereka dalam pembuatan kebijakan hanya cenderung memperhatikan kepentingan pribadinya, golongan dan partainya atau cenderung memihak pada apa yang dikehendaki oleh eksekutif. 
Menurut pengamatan peneliti dengan melihat dari beberapa sumber data sebetulnya masyarakat sering mengusulkan beberapa usulan untuk dijadikan sebagai rancangan peraturan daerah (Raperda), misalnya Tasikmalaya Corruption Watch (TCW) pernah mengajukan Raperda tentang kebebasan memperoleh informasi. Namun, Raperda inisiatif dari salah satu unsur masyarakat ini sampai saat ini belum direspon oleh DPRD KotaTasikmalaya.
Kondisi rendahnya tingkat responsivitas anggota DPRD Kota Tasikmalaya yang cenderung masih rendah ini dapat dilihat dari frekuensi kunjungan kerja kepada masyarakat yang memilihnya. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan dan diuji validitasnya dengan menggunakan teknik trianggulasi sumber terlihat bahwa anggota DPRD Kota Tasikmalaya jarang sekali mengadakan kunjungan kerja yang secara langsung menemui masyarakat yang memilihnya, bahkan ada informan penelitian yang menyatakan bahwa setelah pemilihan ia tidak pernah bertemu dengan wakil rakyat yang ia pilih dari daerah pemilihannya. Menurutnya anggota DRPD lebih suka mengadakan kunjungan kerja ke daerah lain yang jauh dari Kota Tasikmalaya dengan alasan untuk studi banding. Padahal untuk megetahui keinginan masyarakat seharusnya anggota DPRD harus banyak melihat masyarakatnya sendiri bukan masyarakat di tempat atau di daerah lain.
Tingkat responsivitas anggota DPRD Kota Tasikmalaya juga dapat dilihat dari indikator apakah mereka sudah menepati janji-janji politiknya pada saat kampanye pemilihan umum 2009. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan penelitian dan diuji validatasnya dengan menggunakan teknik trianggulasi sumber terlihat bahwa banyak sekali janji-janji anggota DPRD yang dijanjikan pada saat kampanye pemilihan umum 2009 sampai saat ini belum direalisasikan atau ditepati seperti janji tentang perbaikan kualitas pendidikan, pendidikan murah, perbaikan pelayanan kesehatan dan pembangunan Kota Tasikmalaya yang merata.

RELIABILITAS ANGGOTA DPRD KOTA TASIKMALAYA
Tingkat reliabilitas anggota DPRD dapat dilihat dari kemampuan anggota DPRD dalam mentranformasikan isu-isu yang ditawarkan baik oleh partai politiknya maupun anggota DPRD itu sendiri kedalam kebijakan publik. Semakin tinggi tingkat kemampuan anggota DPRD mentranformasikan isu-isu yang ditawarkan pada saat kampanye pemilihan umum kedapam kebijakan publik maka semakin tinggi tingkat realibilitas dari anggota DPRD Kota Tasikmalaya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kemampuan anggota DPRD mentranformasikan isu-isu yang ditawarkan pada saat kampanye pemilihan umum kedalam kebijakan publik maka semakin rendah pula tingkat realibilitas dari anggota DPRD Kota Tasikmalaya. Dari hasil wawancara dengan beberapa informan penelitian dan diuji validatasnya dengan menggunakan teknik trianggulasi sumber terlihat bahwa banyak sekali isu-isu yang ditawarkan pada saat kampanye pemilihan umum 2009 sampai saat ini belum direalisasikan.
Selain itu, kinerja anggota DPRD Kota Tasikmalaya berdasarkan indikator reliabilitas dapat dilihat dari kesesuaian dalam upaya untuk mencapai platform politik yang dibuat dalam kebijakan publik. Apakah platform yang dibuat dalam kebijakan publik tersebut sudah sesuai dengan keinginan para pemilihnya atau tidak. Hasil penelitian dengan teknik pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara mendalam dan teknik trianggulasi sumber sebagai uji validitasnya menunjukan bahwa platform yang dibuat dalam kebijakan publik banyak sekali yang tidak sesuai dengan keinginan para konstituennya. Kebijakan yang dibuat oleh DPRD Kota Tasikmalaya bersama Pemerintah Kota Tasikmalaya disusun atas kemauan para anggota DPRD dan Pemerintah Kota Tasikmalaya tanpa memperdulikan apa yang diinginkan oleh masyarakat buktinya jarang sekali ada sosialisasi tentang pembuatan kebijakan kepada masyarakat luas. Jika ada sosialisasi yang diundang hanya dari elemen-elemen partai politik. Misalnya saja tentang RAPBD yang sebuat setiap tahun dapat dilihat berapa persen masyarakat yang mengetahui pembuatannya. Masyarakat hanya tahu ketika RAPRD telah disahkan menjadi APBD. Contoh lain adalah tentang Raperda Pajak, Ade Ruhimat (Ketua Tim Pansus Raperda Pajak) dalam harian Radar Tasikmalaya yang terbit pada hari Jumat, 8 Juli 2011 menyatakan bahwa dalam raperda tersebut ada kenaikan pajak penerangan jalan sebesar 10 persen yang akan dibebankan kepada masyarakat dengan nilai nominal yang  ditargetkan sebesar 10 milyar rupiah. Sebetulnya masyarakat menolak adanya kenaikan pajak ini namun keingginan masyarakat untuk tidak dinaikannya pajak tersebut sama sekali tidak didengar.
Dalam indikator reliabilitas juga melihat bagaimana kinerja anggota DPRD Kota Tasikmalaya dilihat dari apakah kebijakan yang telah diperjuangkan itu sesuai dengan isu-isu atau program yang ditawarkan pada saat kampanye pemilu 2009. Menurut hasil penelitian dengan mewawancarai beberapa informan yang ditetapkan berdasarkan purposive sampling dan uji validitasnya menggunakan teknik trianggulasi sumber dapat disebutkan bahwa kinerja anggota DPRD Kota Tasikmalaya masih sangat rendah karena hasil wawancara menunjukan bahwa sebagian besar kebijakan yang diperjuangkan oleh para anggota DPRD Kota Tasikmalaya tidak didasarkan pada isu-isu atau program yang ditawarkan pada saat kampanye. Namun lebih mengakomodir apa yang menjadi keinginan dari pemerintah kota. Misalnya saja pada pembangunan jalan lingkar (jalan Mashudi) yang dimulai dari pertigaan depan LANUD sampai Simpang Lima Mangkubumi. Terlihat jalan yang di-hotmix hanya sebagian yaitu dari Simpang Lima Mangkubumi sampai perempatan Kawalu. Sebagian lagi yaitu dari perempatan Kawalu sampai LANUD dibiarkan rusak dan berlobang dan terkesan tidak ada tindakan pemeliharaan. Ternyata hal ini disebabkan karena ruas jalan lingkar dari Simpang Lima Mangkubumi sampai Perempatan Kawalu adalah ruas jalan yag setiap hari dilalui oleh walikota untuk pergi atau pulang dari kantornya. Paling tidak ini menggambarkan DPRD tidak berdaya ketika menghadapi pemerintah Kota Tasikmalaya. Intinya untuk melihat kebijakan yang diperjuangkan oleh para anggota dewan itu dilihat dari siapa dan pihak mana yang akan membawa keuntungan bagi mereka dan siapa yang mereka hadapi.

AKUNTABILITAS ANGGOTA DPRD KOTA TASIKMALAYA
Akuntabilitas berkaitan dengan kemampuan anggota dewan dalam bertindak sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kepentingan untuk terpilih kembali pada pemilu berikutnya. Anggota dewan dikatakan akuntabel apabila para pemilih dapat melihat bahwa para politisi tersebut melakukan tindakan sesuai  dengan kepentingan mereka dan menyetujui tindakan pemerintah secara wajar. Sehingga para politisi tersebut akan terpilih kembali pada pemilu berikutnya. Akuntabilitas terjadi jika para pemilih akan tetap mempertahankan atau memilih anggota dewan jika para anggota dewan tersebut berbuat untuk kepentingan terbaik mereka. Selain itu, akuntabilitas terjadi jika para anggota dewan memilih kebijakan yang dibutuhkan agar mereka terpilih kembali.
Tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja anggota DPRD Kota Tasikmalaya merupakan salah satu indikator untuk melihat bagaimana akuntabilitas anggota DPRD. Semakin tinggi tingkat masyarakat atas kinerja anggota DPRD berarti anggota DPRD tersebut semakin akuntabel. Sebaliknya, jika semakin rendah tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja anggota DPRD maka anggota DPRD tersebut semakin tidak akuntabel.
Oleh karena itu untuk melihat bagaimana akuntabilitas anggota DPRD Kota Tasikmalaya dalam penelitian ini diajukan beberapa pertanyaan kepada beberapa informan diantaranya adalah “Apakah anda cukup puas dengan kinerja para anggota DPRD Kota Tasikmalaya? Mengapa demikian?” hasil penelitian menujukan bahwa masyarakat Kota Tasikmalaya belum cukup puas dengan apa yang sudah dikerjakan dan apa yang sudah dikeluarkan sebagai kebijakan publik selama dua tahun ini, dengan alasan masih banyak janji-janji yang ditawarkan pada saat kampanye yang belum ditepati oleh sebagian besar anggota DPRD Kota Tasikmalaya selain itu masih banyak tuntutan dari masyarakat yang sampai saat ini belum diperjuangkan oleh para anggota dewan tersebut. Misalnya tentang pendidikan murah, persaingan usaha yang sehat dan pembangunan Kota Tasikmalaya yang merata. Hal-hal diatas disebabkan oleh kemampuan menyerap aspirasi masih rendah, skill manajemen program yang rendah, dan mereka lebih mengutamakan kepentingan sendiri atau partai politiknya. Banyak informan penelitian yang menyatakan bahwa ada beberapa anggota dewan yang lebih sibuk dalam acara-acara partai politiknya daripada sibuk di kantornya sebagai anggota dewan.
Kinerja anggota dewan jika dilihat dari indikator akuntabilitas juga terlihat ketika memperhatikan sikap dan perilaku para anggota DPRD di mata masyarakat. hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat menunjukan sikap ketidaksukaan terhadap sikap dan perilaku yang ditunjukan oleh anggota dewan. Terutama pada sikap anggota dewan dalam membuat perda. Sikap yang mereka tunjukan seolah-olah mereka yang memutuskan semua hal jadi ketika ada pihak yang ingin diuntungkan atau tidak ingin dirugikan oleh kebijakan yang diambil maka pihak tersebut haru melakukan pendekatan dan tawar-menawar pada anggota DPRD. Tentu saja hal ini dapat dipandang tidak adil dimana ketika masyarakat yang hubungannya tidak dekat dengan para anggota dewan kepentingannya tidak dapat dipenuhi. Inilah yang menyebabkan kebijakan publik yang dibuat tidak pro-rakyat atau tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Selain itu, ada sikap dan perilaku anggota dewan yang tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat. Misalnya saja ketika salah satu anggota DPRD Kota Tasikmalaya yang tersangkut kasus penipuan dan menjadi buronan polisi. Hal ini sangat mencederai kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat kepada anggota dewan sebagai yang mewakilinya. Seharusnya para anggota dewan menunjukan sikap-sikap yang terhormat agar tingkat kepercayaan dari masyarakat dapat meningkat bukan sebaliknya.
Selain itu, akuntabilitas anggota DPRD Kota Tasikmalaya dapat dilihat dari indikator sejauhmana transparansi dalam setiap proses pengambilan keputusan. Berdasarkan hasil penelitian yang teknik pengumpulan datanya digunakan teknik wawancara mendalam dan diuji validitasnya dengan teknik trianggulasi sumber terlihat bahwa tingkat transparansi dalam setiap proses pengambilan keputusan masih rendah. Hal ini terbukti dari beberapa informan penelitian banyak yang tidak tahu kebijakan atau keputusan apa saja yang telah dikeluarkan oleh DPRD Kota Tasikmalaya. Masyarakat berpendapat bahwa DPRD jarang sekali mensosialisasikan kebijakan publik dan produk-produk yang dihasilkannya apalagi proses pembuatannya. Mereka menganggap anggota dewan transparan hanya kalau ada desakan yang kuat dari masyarakat, adanya demonstrasi misalnya. Padahal sosialisasi kepada masyarakat luas sangat penting artinya mulai dari tahap awal dalam pengambilan keputusan sampai pada proses akhir dari pembuatan kebijakan tersebut atau setelah menjadi suatu produk hukum. DPRD kadang-kadang transparan dan mengundang tokoh masyarakat, LSM, atau akademisi hanya pada program-program tertentu saja.
Sikap dan perilaku anggota DPRD ini sangat perlu untuk dinilai oleh masyarakat khususnya terkait dengan kelayakan mereka untuk dipilih kembali pada pemilu periode yang akan datang. Ketika para anggota DPRD Kota Tasikmalaya bersikap dan berperilaku dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan masyarakat cukup puas atas kinerjanya maka tidak menutup kemungkinan pada pemilu periode yang akan datang mereka akan dipilih kembali tetapi jika keadaannya menggambarkan kebalikannya maka sangat dimungkinkan para anggota dewan ini akan ditinggalkan dan tidak akan dipilih kembali oleh para pemilihnya pada pemilu periode yang akan datang.

PENUTUP
Kinerja anggota DPRD Kota Tasikmalaya dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya adalah responsivitas, reliabilitas, akuntabilitas dan pelaksanaan fungsi legislasi, fungsi pengawasan serta fungsi anggaran. Berdasarkan hasil penelitian dengan melihat indikator-indikator tersebut diatas terlihat bahwa anggota DPRD Kota Tasikmalaya belum memperlihatkan kinerja yang baik. Ketika para anggota DPRD Kota Tasikmalaya menunjukan kinerja yang baik dan masyarakat cukup puas atas kinerjanya maka tidak menutup kemungkinan pada pemilu periode yang akan datang mereka akan dipilih kembali tetapi jika keadaannya menggambarkan kebalikannya maka sangat dimungkinkan para anggota dewan ini akan ditinggalkan dan tidak akan dipilih kembali oleh para pemilihnya pada pemilu periode yang akan datang.

REFERENSI
Abdul Wahab, Solichin, Putra, Fadillah, Arif Saiful. 2002. Masa Depan Otonomi Daerah; Kajian Sosial, Ekonomi dan Politik Untuk Menciptakan Sinergi dalam Pembangunan Daerah. SIC. Malang

Abdurrachman, Oemi. 2001. Dasar-Dasar Public Relation. Citra Aditya Bakti. Bandung

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta

Basri, Faisal H. 2003. Otonomi Daerah Evaluasi dan Proyeksi. Trio Rimba Persada. Jakarta

Dwiyanto, Agus dkk. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Hamid, Edi Suandi. 2004. Memperkokoh Otonomi Daerah. UII Press. Yogyakarta

Ida, Laode. 2002. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal dan Clean Government. Pusat Studi Pengembangan Kawasan. Jakarta

Kurniawan, Agung. 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Gava Media. Yogyakarta

Mahsun, Mohammad. 2006. Pengukuran Kinerja Sektor Pelayanan Publik. BTPE. Yogyakarta

Mc Quail, Dennis. 1996.  Teori Komunikasi Massa Erlangga. Jakarta

Moleong, Lexy. 2002.  Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung

Nimmo, Dan. 1989. Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Remadja Karya. Bandung

Olii, Helena. 2007. Opini Publik. PT Indeks. Jakarta

Salam, Setyawan. 2003. Otonomi Daerah Dalam Prespektif Lingkungan, Nilai dan Sumber Daya. Djambatan. Jakarta

Sanit, Arbi. 1985. Perwakilan Politik Di Indonesia. CV Rajawali. Jakarta
Sarangih, Bintan. 1987. Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia. Gaya Media Pratama. Jakarta

Sastropoetro, Santosa. 1990. Pendapat Publik, Pendapat Umum dan Pendapat Khalayak dalam Komunikasi Sosial. Remaja Rosdakarya. Bandung

Soesanto, Astrid. 1995. Sosiologi Pembangunan. Rineka Cipta. Bandung

Soetrisno, L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipastif. Kanisius. Yogyakarta

Sujamto, dkk. 1997. Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Rineka Cipta. Jakarta

Tim Studi Pengembangan Sistem AKIP. 2000. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. BPKP. Jakarta

Widjaya, HAW. 2001. Otonomi Daerah dan daerah Otonom. PT Grafindo Persada. Jakarta

Widodo, Joko. 2007. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Bayu Media. Malang

Wiyono, Suko. 2006. Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum Indonesia. Faza Media. Jakarta
Sumber Lain :
- Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
- Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
- Harian Radar Tasikmalaya
- Harian Kabar Priangan
- www.tasikmalayakota.go.id 


[1]-2 Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas  Siliwangi, Tasikmalaya.

Hikmah


Pendidikan Kejujuran

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhbih Abdul Wahab
Ketidakjujuran tampaknya sudah mewabah pada hampir semua aspek kehidupan bangsa. Di mana-mana, kita menyaksikan orang berbohong di DPR, pengadilan, pasar, kantor, kampus, bahkan di tempat ibadah pun ada yang berani berdusta untuk menutupi perilaku amoralnya. Kebohongan menjadi benteng pembelaan diri. Bohong menjadi “barang dagangan yang diobral”. Padahal, tali kebohongan itu pendek. Sebuah ungkapan bijak menyatakan bahwa semua tali itu panjang, kecuali tali kebohongan. Satu kebohongan akan dibarengi dengan aneka kebohongan lainnya.

Karena itu, ketika didatangi seseorang yang meminta nasihat, Rasulullah SAW berkata singkat kepadanya, “Jangan berbohong” (HR Muslim). Kalimat singkat, tetapi bernas ini mengandung nilai edukasi yang tinggi, yaitu pendidikan kejujuran. Mendidik manusia supaya berperilaku jujur merupakan esensi pendidikan, sedangkan esensi pendidikan kejujuran adalah keteladanan yang baik dan benar.

Orang yang berbohong itu sejatinya merugi. Jika kebohongannya tidak diketahui, dia akan mendapatkan dosa. Dan, jika kebohongannya diketahui orang lain, dia tidak akan dipercaya lagi. Implikasinya, hubungan dirinya dengan sesama menjadi kurang baik karena sudah dicap sebagai pembohong atau munafik. Orang lain tidak akan bersimpati dan menjauhi, bahkan memusuhinya.

Orang yang jujur, secara psikologis hatinya akan selalu merasa tenteram, damai, dan bahagia. Sebaliknya, orang yang biasa berdusta, hidupnya menjadi tidak tenang, dikejar-kejar oleh “pemberontakan” hati kecilnya yang selalu menyuarakan kebenaran. Dia selalu merasa khawatir kebohongannya itu terbongkar.

Kebiasaan tidak jujur itu sangat berbahaya, tidak hanya bagi orang lain, tetapi juga bagi dirinya sendiri. Kepercayaan dan kewibawaannya akan hilang. “Dalam hati mereka (orang-orang munafik) itu ada penyakit, lalu ditambah oleh Allah penyakitnya, dan bagi mereka siksa yang pedih disebabkan mereka berdusta.” (QS al-Baqarah [2]:10).

Pendidikan kejujuran harus dimulai dengan jujur kepada diri sendiri dengan senantiasa meminta “fatwa kebenaran” yang bersumber dari hati nurani. “Istafti qalbaka” (minta fatwalah kepada hatimu). Setelah itu, hendaklah kamu selalu benar. Sesungguhnya kebenaran membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga.” (HR Bukhari).

Pendidikan kejujuran dapat terwujud manakala ia selalu belajar menjalani kehidupan ini dengan lima hal, yaitu iman, ikhlas, ihsan, ilmu, dan istiqamah. Dengan iman, ia yakin Allah pasti mengawasi dan mencatat seluruh amal perbuatannya. Dengan ikhlas, ia dididik untuk melakukan sesuatu dengan mengharapkan rida Allah. Dengan ihsan, ia akan berbuat yang terbaik untuk orang lain. Dengan ilmu, ia tahu perbuatan halal dan haram. Dan, dengan istiqamah, ia belajar mengawal kebaikan dan kebenaran yang sudah dibiasakannya menjadi lebih baik dan lebih diridai Allah SWT.

“Tiga golongan manusia yang pada hari kiamat kelak tidak akan dipandang oleh Allah dengan rahmat-Nya, bahkan mereka itu akan memperoleh siksaan yang menyakitkan, yaitu orang tua yang berbuat zina, penguasa yang berdusta, dan orang melarat yang sombong.” (HR Muslim).
Sumber: koran republika
 

Most Reading